Sabtu, 05 Januari 2008

Sinetron, Penebar Cinta Palsu

*Oleh: R. Indira Hapsari

Televisi merupakan media informasi yang sangat mendominasi kehidupan masyarakat. Bukan hanya kalangan atas, TV tidak lagi barang mewah yang sulit didapatkan pada kehidupan masyarakat miskin. Bila kita jeli, di gubuk-gubuk dan perumahan kumuh di sudut-sudut kota yang hanya terdapat satu ruangan sebagai tempat tinggal sebuah keluarga, disana dengan mudah bisa kita temukan TV nangkring manis diantara kasur untuk tidur bersama (tanpa sekat antara orangtua dan anak-anak), sekaligus ruang keluarga bahkan terkadang juga ruangan seadanya tersebut mendadak menjadi dapur.
Ada hal yang aneh yang menimpa pada hampir seluruh stasiun TV di Indonesia, yaitu ketidakseimbangan prosentase acara-acara di televisi yang sangat mengejutkan. Menurut data sebuah buku yang berjudul ”Matikan TV-mu” TV di Indonesia, 60% lebih acaranya adalah hiburan, seperti gosip dan sinetron. Sisanya, dengan prosentase yang minim adalah berita, namun kualitas, substansi maupun transformasi informasi yang positif masih patut dipertanyakan. Pasalnya, berita dalam kemasan khusus pemberitaan kriminalitas justru semakin menaikkan emosi masyarakat yang sedang mengalami kesulitan hidup akibat mahalnya kebutuhan yang semakin menuntut untuk segera dipenuhi, ironisnya pada saat itu masyarakat sekaligus menjadi manusia yang gampang menyerah karena sinetron-sinetron yang bertopeng agama melemahkan keberanian dan inisiatif untuk mempertanyakan ketidakadilan yang menimpa. Selain itu tanpa ampun masyarakat terus menerus diteror oleh gaya hidup artis-selebritis, yang menebarkan budaya glamour hingga menginjeksi kesadaran manusia untuk sekedar menjadi konsumen.
Sinetron remaja yang didominasi oleh cerita cinta, akan tetapi sebatas cinta ekslusif antara sepasang kekasih yang sifatnya dangkal dan pragmatis. Yang ditonjolkan biasanya berupa fasilitas-fasilitas mewah, cara berdandan yang mencolok, saling memberikan kado sebagai pernyataan kasih-sayang, semakin mahal kado tersebut berarti semakin terbukti keseriusan cinta. Bagaimana mungkin kualitas cinta bisa direduksi oleh sogokan-sogokan materiil dan kemudahan hidup? Kenyataannya memang sinetron remaja tidak menggambarkan wajah relasi kasih yang demokratis, kreatif dan produktif, namun sebaliknya dangkal, materialistik, mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan dan mengabaikan kapasitas berfikir manusia. Hingga pemahaman cinta yang sebenarnya memudar bahkan terkadang justru menjadi lelucon dalam sinetron. Makna cinta dan saling mengasihi terhadap lingkungan dan relasi yang lebih besar telah terabaikan.
Fenomena yang terjadi kini secara tidak sadar segala kegiatan manusia dalam beraktivitas menjalani kehidupan sehari-hari, dalam berhubungan dengan orang lain, dengan sesama manusia, dikendalikan oleh hubungan pertukaran jual-beli, di mana uang sebagai simbol pertukaran memainkan peran penting. Hubungan itu terlembagakan dalam keinginan, pikiran, nafsu, penalaran, kesadaran, dan dalam waktu yang lama terendap dalam alam bawah sadar; kemudian menjadi watak psikologis setiap manusia yang hidup dalam dunia materialistik ini.
Memang di era pasar bebas seperti sekarang ini, di mana hubungan produksi juga mengadopsi simbol berupa uang, maka watak dan pola relasi antar manusia dikendalikan oleh hubungan produksi yang disimbolkan oleh uang. Uang dan barang mengatur hubungan manusia: uang adalah alat komunikasi, dan juga pelembagaan nilai-nilai yang dianggap ideal. Pertukaran yang tidak langsung karena adanya alat uang ini, juga berakibat pada dimunculkannya kategori-kategori apa saja yang bisa digunakan untuk menghasilkan uang. Kategori ini disebut faktor produksi: di dalamnya termasuk modal (atau uang itu sendiri), tanah, tenaga kerja (manusia), dan apa saja yang bisa digunakan untuk menghasilkan uang; pada perkembangannya termasuk ide-ide, citra (image), bahkan agama dan kebohongan itu sendiri.

Menggapai Cinta Sejati
Dalam menjaga hubungan eksklusif dan cara mengekspresikan rasa sayang atau cinta seharusnya bukan hanya kata atau konsep, atau juga keindahan yang bisa diperjual-belikan. Kasih sayang tidak dianggap sebagai hubungan dan upaya menciptakan lembaga dan undang-undang yang memungkinkan hubungan itu didasari oleh pemberian dan penerimaan secara tulus tanpa klaim-klaim kepemilikan pribadi dan keunggulan antar sesama. Esensi kasih-sayang adalah pemberian tulus-ikhlas untuk menuju otentisitas manusia sebagai subjek, bukan objek. Hilangnya cinta ternyata tidak dipahami dari hilangnya komunikasi yang sehat dan keharmonisan hubungan, masyarakat yang hidup dalam warna pemberian dan penerimaan sebagai akibat hubungan dagang dan komersial dalam sistem kapitalisme ini masih menganggap bahwa cinta komersial, terutama dari sektor propaganda lewat iklan, artis dan film populer ataupun sinetron, yang diteriakkan tanpa sadar.
Sehingga berkaitan dengan konsep cinta, rekayasa nilai-nilai komersial yang telah merasuk pada kesadaran manusia telah menghilangkan elemen-elemen terdasar dari cinta sejati, yaitu relasi kasih yang tidak melupakan relasi lebih luas yang sifatnya lebih permanen serta dapat dipertanggungjawabkan. Dan untuk merekonstruksinya kembali, diperlukan ikhtiar kemanusiaan yang harus didukung oleh syarat-syarat sosial-politik untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.


*mahasiswa Sosiologi FISIP Universitas Jember; aktivis KiPaS (Komite Independen Perempuan dan Anak untuk Aksi Sosial) Jember.

Tidak ada komentar: