Senin, 27 Agustus 2007

(Artikel) Pan Optic Anak Korban Penculikan


Tragedi penculikan Rasyah Ali (5) terjadi ketika Rasyah pulang sekolah dibonceng oleh Linda pembantunya pada tanggal 15 Agustus di Kalimalang, Jakarta Timur yang dilakukan oleh 4 orang tersangka diantaranya masih SMU. Penculik sempat menelfon kedua orang tua Rasya dan meminta uang tebusan sebesar satu miliar. Tragedi penculikan Rasya menjadi berita utama terlebih setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan dua kali jumpa pers khusus berkaitan dengan penculikan Rasyah, bahkan porsi pemberitaannya lebih besar dibanding pemberitaan mengenai kenaikkan harga bahan pokok, seperti beras, minyak goreng dan telur yang meresahkan masyarakat akhir agustus ini. Pada hari yang sama, kasus penculikan juga dialami oleh Erizka Pravitasari, siswi SMA Negeri III, Setiabudi, Jakarta Selatan dan setelah sebelummnya meminta uang tebusan 50 juta pada akhirnya dibebaskan pada hari Kamis atas bantuan pihak kepolisian.
"Indonesia itu sebenarnya sangat aman. Namun, kerena banyak contoh dari film-film Amerika Serikat dan lainnya, kejahatan terhadap anak sering terjadi, seperti penculikan dan sebagainya. Kalau seperti itu, hanya satu solusinya, guru-guru di sekolah harus intensif mengawasi lingkungan sekolah. Para murid juga diajarin mengenal orang-orang yang tak dikenalnya," kalimat-kalimat itulah yang diucapkan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla berkaitan dengan keprihatinannya terhadap kasus penculikan Raisyah Ali. Kemudian seperti yang diberitakan KOMPAS (23/08/2007), secara terpisah, Kepala Biro Operasi Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya Komisaris Besar Irawan Dahlan mengatakan, setelah serangkaian kejadian penculikan belakangan ini, pihaknya pengamanan di lingkungan sekolah. "Bentuknya patroli yang lebih intensif, baik oleh petugas berseragam maupun berpakaian preman," ungkapnya.
Sangat menarik untuk menjadi bahan diskusi lebih lanjut dari kedua pernyataan di atas. Pertama, Indonesia bukanlah negara yang aman dan ramah bagi rakyatnya. Persoalan kesejahteraan menjadi persoalan yang belum terpecahkan dan menjadi terror tersediri bagi kaum miskin, mulai dari bahan-bahan pokok yang melonjak tinggi, penggusuran sepihak, hingga persoalan pendidikan yang amburadul belum lagi kasus korupsi dan pelanggaran HAM menjadikan Indonesia belum layak dikatakan negara yang aman.
Kedua, perilaku kejahatan yang kian marak lebih berasal dari persoalan hukum dan budaya. Tidak arif dan terkesan membabi buta jika film luar dijadikan kambing hitam tragedy penculikan anak yang semakin marak. Realitasnya, justru film dan sinetron produksi Indonesia yang selama ini menjerumuskan psikologis dan tidak membentuk karakter bangsa. Aksi menendang, mempekerjakan paksa, mencelakai, menculik anak dan baik aksi ekstrem kekerasan dan ekstrem "cinta kasih" maupun pemecahan mistik sangat biasa disajikan di TV tanah air untuk mengejar sekedar rating atau pun keuntungan dari iklan. Dari pada sibuk mengkritik film produksi luar negeri, sebaiknya Wapres terlebih dahulu berani mengkritik film dan sinetron dalam negeri yang jauh tidak bermutu dan cenderung merusak otak dan menghancurkan potensi generasi bangsa.
Ketiga, pernyataan Komisaris Besar Irawan Dahlan berkaitan dengan "mengkomando" untuk melakukan patroli intensif aparat di lingkungan sekolah bahkan dengan berpakaian preman, jauh dari solusi jangka panjang yang diharapkan. Aparat bagaimanapun alasannya tidak memiliki hak dan kewenangan untuk seenaknya sendiri ikut campur dan memaksa terintegrasi dengan kehidupan pribadi penduduk sipil, terlebih masuk tanpa ijin pada ranah privasi penduduk sipil, itulah sebabnya mengapa Bakorda (Badan Koordinasi Daerah) layak dibubarkan. Militer, polisi, Satpol PP dll memiliki tugas menjaga keamanan yang tidak boleh melenceng terlalu jauh justru menjadi benteng dan memata-matai rakyat untuk kepentingan kekuasaan.
Keempat, ketika aparat dengan mudah—baik disahkan secara hukum maupun mejadi kebudayaan (kekerasan) yang dilembagakan—masuk ke ruang privat masyarakat sipil, yang menjadi kekhawatiran adalah benih-benih militerisme dan totaliterianisme tumbuh subur dan lagi-lagi justru rakyat kembali menjadi tumbalnya. Karena alasan subversif, mengganggu ketertiban umum, dan pencemaran nama baik (mengkiritik/berdemonstrasi secara terbuka) kembali orang-orang kritis akan disingkirkan. Mempermainkan isu dan pemberitaan bisa menjadi skenario sempurna yang kembali memposisikan seolah menjadi mendesak akan kebutuhan aparat untuk menjaga keamanan bahkan masuk lingkungan sekolah atau kampus sekalipun.
Dampak dari penyajian berita penculikkan maupun cara pemerintah dan kepolisian meresponnya justru mengakibatkan beban dan tekanan psikologis bagi masyarakat luas. Para orang tua akan was-was dan memperketat penjagaannya pada anak-anaknya, hal tersebut tentu akan berakibat buruk pada dunia anak-anak. Anak-anak akan menderita pan optic, pan optic menurut Hannah Arendt adalah situasi psikologis di mana seseorang merasa terus-menerus diawasi, hal ini mengakibatkan kemerdekaan anak untuk melakukan aktivitas dan memajukan kreatifitas terhambat, bahkan dampak psikologis yang lebih berat anak-anak bisa mengalami schizophrenia, penderita schizophrenia sering mengalami paranoid berlebihan bahkan seolah benar-benar merasakan kehadiran orang lain. Dan celakanya akibat pemberitaan media dan respon pemerintah yang justru mengaduk-aduk psikologis massa, pan optic maupun schizophrenia bukan hanya menimpa korban penculikan langsung namun secara luas juga akan menimpa orang tua dan anak-anak.
Selain itu sikap paranoid pada orang asing dan terutama orang-orang miskin yang berpakaian compang-camping akan meningkat seiring meningkatnya ketakutan akan tertimpa tindak kejahatan dan perampasan harta benda. Hal tersebut justru akan mengakibatkan jurang ketimpangan antara si kaya dan si miskin yang lebih curam dengan konsekuensi-konsekuensi yang tiada terkira. Orang-orang miskin yang dimarjinalkan dan tidak dimanusiakan apalagi diberi kesempatan yang layak berdampak jalinan ikatan sosial yang terjalin akan rusak dan tidak memenuhi syarat terpeliharanya situasi aman dan damai.
Dari sisi modus kejahatan, faktor-faktor yang menjadi sebab aksi kriminal selama ini yang lebih mendominasi lebih bersifat ekonomis. Itu berarti, persoalan konkrit sesungguhnya atas maraknya aksi penculikan, dan sederetan aksi kejahatan lainnya di tanah air adalah persoalan seputar pemenuhan kesejahteraan yang timpang sehingga menimbulkan kecemburuan. Kecemburuan kian berlebihan ketika lembaga hukum tidak berpihak pada keadilan ditandai dengan masih bebasnya mafia aset negara dan koruptor uang rakyat.

Rabu, 22 Agustus 2007

(Cerpen) Kutukan Burung 'Kuuuk'



Aku selalu takut burung hantu, ketika burung itu mengeluarkan bunyi “kuuuk…..kuuuk…..kuuuk” meski tidurku sepulas beruang kutub kekenyangan karena perut penuh. Lalu seperti kanak-kanak lagi, aku akan menyelinap ke kamar bapak dan ibu, dan melanjutkan tidur ditengah-tengah mereka.
Tapi sungguh aneh atau sebuah kebetulan yang sangat mengejutkan, karena besok paginya kepalaku terasa pusing, perutku mual ingin muntah, keringat dingin juga terus mengucur meneror seluruh tubuhku ditambah lagi dadaku mulai sesak seperti tertimpa beras satu ton lalu nafasku mulai payah, sedangkan tangan dan kakiku gemetar karena kedinginan.
*
Berganti hari kondisiku bukannya membaik, maka keadaan itulah yang menjadi alasan mengapa aku diharuskan untuk dirawat secara intensif oleh para ahli medis. Harus istirahat total, dan aku selalu sebal dengan hanya berbaring sepanjang hari, terlebih aku tidak bisa bergerak bebas karena jarum infuse tertanam di tangan kananku.
Di hari pertama rawat inap, kekasihku mengunjungiku tanpa membawa buah tangan, tapi keberadaannya membuatku merasa lebih baik meski tanpa buah tangan seperti yang dibawa rekan-rekan kerja bapak dan ibu yang mengunjungiku beberapa waktu sebelum kekasihku datang.
“Bagaimana jika mitos burung hantu tersebut benar ?” dia bertanya padaku.
“Benar? maksudmu?” aku balik bertanya dengan penuh keheranan.
“Burung hantu adalah burung setan, burung itu menandakan kalau seseorang sakit karena terkena kutukan.”
Aku sangat kaget dan sedikit merinding, karena aku memang tidak menyukai burung hantu yang selalu ber-kuuk..kuuk tiba-tiba dalam suasana senyap. “Kalaupun benar, terus aku harus bagaimana?” aku bertanya pada kekasihku.
“Berarti kamu harus berkonsentrasi untuk kesembuhanmu dan melupakan tentang keduniawian, termasuk kau juga harus melupakanku, karena mungkin saja itu kutukan dari hubungan yang kita jalani” dia menjawab tanpa ekspresi, tanpa kesedihan, keharuan atau sebaliknya.
“Maksudmu, kita dikutuk seperti Adam dan Eve karena cinta terlarang mereka?”
“Mungkin saja seperti itu, sayang” karena cara kita membangun hubungan pacaran sangat berbeda dengan orang kebanyakan, sehingga kau harus menanggung ini semua.”
“Tapi pendapatmu itu terkesan sangat mistik alias tidak masuk akal. Lagi pula, aku tidak pernah berfikir akan meninggalkanmu, aku akan memperjuangkan untuk selalu bersama orang yang aku cintai. Seperti perjuangan Eve yang tanpa putus asa mencari kekasihnya sampai keujung dunia dan berputar berpuluh-puluh kali di bulatan planet bumi, tidak mengeluh dan putus asa meski berkali-kali terus mengulang rute yang sama; gunung, hutan, hamparan pasir panas, sungai, es, hujan yang menyusul kemarau, menyusul hujan, menyusul kemarau tanpa henti” begitulah aku bersusah payah untuk meyakinkannya bahwa aku tidak akan meninggalkannya.
“Ingat, sayang..sebelumnya, mereka adalah malaikat, bukan manusia biasa seperti kita” kekasihku dengan mata sayu menatapku.
“Lalu apa bedanya cinta mereka dengan kita?”
“Bukan itu maksudku, kalau malaikat dikutuk akan turun menjelma menjadi manusia seperti Adam dan Eve.Tapi kalau manusia dikutuk, maka akan jadi…..”
Kalimatnya kupotong “Maksudmu kita akan jadi binatang? Oooh..asyik juga akhirnya aku akan berkawan dan berbincang dengan Pleky gu-guk kesayanganku” aku berusaha membuat kelucuan, tapi tak berhasil.
Dia tersenyum dan melanjutkan kata-katanya yang terpotong: “Mungkin saja kita akan jadi binatang atau apalah. Tapi sebelum jadi binatang maka kita akan mengalami kematian terlebih dahulu. Artinya kita akan meninggalkan orang-orang yang sangat kita cintai dan ingat, kawan-kawan yang masih membutuhkan kita.
“Mati?” tiba-tiba bayangan gelap kematian terlintas, kematian yang sepi tanpa tepi. Lalu aku membuang jauh khayalan tetang kematian itu.
“Tenang, sayang. Sakit yang kualami ini bukan karena ajal sudah menjilat-jilat ubun-ubunku. Bukankah rasa sakit itu merupakan perlawan tubuh dengan virus dan bakteri yang menyerang tubuh supaya jiwa tetap tumbuh, tetap hidup? Tubuh melawan kematian dengan rasa sakit, seperti yang aku alami sekarang.” Dalam keadaan sakit begini tampaknya posisi motivator tidak boleh leyap menghadapi manusia yang super manja dan terkadang tidak percaya diri yang mewujud orang yang kusayangi, dia duduk termangu di samping ranjang tempatku tergeletak lemah.
“Mungkin ya…atau entah. Tapi bukankah burung hantu itu adalah simbol bahwa sedang ada orang sakit parah karena kutukan, dan akhir-akhir ini seperti yang kau ceritakan, setiap malam selalu ada burung hantu yang berbunyi dari pohon mangga di samping kamarmu itu?”
“Memang benar setiap malam selalu ada burung hantu yang berbunyi di pohon sebelah kamarku, juga benar katamu, kenyataanya sekarang aku memang sedang sakit. Tapi bukan berarti aku akan mati dan meninggalkan sebagian besar cita-citaku yang ingin kujelang.”
“Tapi cerita mengenai burung hantu itu begitu mengakar dan masih sangat dipercaya di lingkungan kita. Iya to?” Kekasihku mulai bimbang.
“Tentu saja, karena alam pikiran mereka masih mistik percaya yang tidak masuk akal, kuno tidak mau memecahkan masalah dan menjawab ketidaktahuan dengan ilmu pengetahuan yang ilmiah. Tapi malah percaya hal-hal yang tidak masuk di akal dan mistik, itu sangat vatalis.”
“Tapi aku tidak mau beresiko, siapa tahu memang benar. Dan kau akan mati meninggalkanku dan yang lebih aku sesalkan kau juga akan meninggalkan kawan-kawan bersama setumpuk pekerjaan besar.”
“Lho yang menderita sakit saat ini aku, berarti yang beresiko mati aku bukan kamu. Terlebih aku senang seandainya aku mati lebih dulu dari pada kamu, sayang. Aku selalu merasa takut kau tinggalkan dan memecahkan semua persoalan rumit yang aku hadapi sendirian.” saat kukatakan hal ini, ujung hidung dan kedua pipi kekasihku memerah menyerupai warna tomat yang matang.
“Kengawuran perkataanmu selalu membuatku merasa sangat berarti. Tapi bukankah ada kawan-kawan yang akan membantumu nantinya seandainya aku yang akan meninggalkanmu terlebih dahulu.”
“Mereka berbeda, kolektifitas yang kita bangun sebatas melakukan kerja-kerja bersama, belum sepenuhnya mengisi persoalan-persoalan psikologis. Saat ini kamulah sandaran utama yang sangat bisa aku andalkan.”
“Lalu aku harus bagaimana, kulihat kondisi kesehatanmu belum juga membaik. Itulah yang membuatku takut pada mitos burung hantu dan bayang-bayang kutukkan yang akan menimpamu.” ketika melihatku berbaring tak berdaya seperti ini, kekasihku tampaknya kehilangan akalnya.
“Sudahlah, bukankah cara berfikir kita tidak boleh seperti itu. Coba kau cari di buku-buku insklopedia mengenai binatang yang kita takuti itu. Mungkin ada jawaban yang masih bisa diterima akal dan tidak membuat kita putus asa seperti ini.”
*
Tidak lama aku menjalani perawatan di rumah sakit, sekitar satu minggu aku sudah diperbolehkan pulang. Ibu dan Bapak sangat bahagia melihat kondisiku yang semakin membaik. Untuk sementara aku dibebaskan dari kewajiban-kewajiban pekerjaan rumah yang biasanya menyita sebagian besar waktuku. Bahkan aku diwajibkan tidur siang segala.
Sangat membosankan, keadaan sakit membuatku seperti terpenjara. Setiap hari yang kutunggu adalah malam tiba dan suara burung hantu di balik jendela kamarku.
“Kuuuk…kuuuuk….,” kemudian jeda agak lama, dan berbunyi lagi “kuuuk…kuuuuk….,” sebanyak dua kali barulah aku merasa yakin, itu adalah tanda kekasihku menungguku di balik jendela kamar.
Kupastikan pintu kamar sudah terkunci dari dalam, supaya yakin tidak akan diketahui Ibu-dan Bapak mengenai ketidakberadaanku, tentu mereka akan merasa cemas ketika tahu anak perempuannya menghilang di lebatnya kegelapan malam.
Daster tidur kuganti kaos dan celana panjang, kurangkap dengan memakai jaket tebal supaya mampu mengatasi dinginnya angin malam. Dengan berhati-hati aku melompat, keluar kamar melalui jendela.
Di sana, di balik jendela kamarku kutemui kekasihku yang sudah menunggu bermaksud menjemputku untuk mengikuti rapat penting bersama kawan-kawan malam ini. Kecuali malam minggu maka kami akan menghabiskannya bersama.
Ternyata kesembuhanku lebih cepat (atau waktu yang berlalu tidak kurasa lambat sama sekali, entah) dengan cara seperti ini.
kekasihku telah menemukan jawaban yang dapat dipertanggung jawabkan akal sehat, mitos burung hantu yang berbunyi “kuuuk” mengandung arti: burung tersebut sedang birahi dan memanggil-manggil pasangannya. Jadi tidak ada yang perlu kami takutkan pada binatang yang sedang mengakomodasi instink reproduksinya. Kami yakin hal itu bukan kesalahan, apalagi kutukkan yang mengerikan.


15.10 WIB
Purworejo, 23 Agustus 2006

(Artikel) LUKA PEREMPUAN INDONESIA

Masih ada dalam ingatan kita, beberapa waktu lalu seorang Ibu di Malang, Jawa Timur yang membunuh ke 4 anaknya dengan memberikan racun, ia pun kemudian bunuh diri. Menurut surat terakhir yang ditulisnya sebelum ia bunuh diri, alasan ia melakukan aksi meracun anaknya dan bunuh diri adalah akibat tekanan ekonomi yang mendalam.
Beberapa hari kemudian setelah peristiwa tersebut, seperti yang diberitakan di Pamekasan seorang perempuan nekat membakar diri. Perempuan tersebut bunuh diri setelah mengetahui suaminya melakukan selingkuh.
Perilaku seoarang ibu yang membunuh anaknya tentu akan mengundang pertanyaan besar dan sebagian besar masyarakat bahkan dengan serta merta menyalahkannya, karena tega membunuh darah dagingnya sendiri, membunuh anak-anak kecil yang tidak berdosa.
Dom Camara dalam bukunya yang berjudul “Spiral Kekerasan” mengatakan, sudah umum diketahui bahwa kemiskinan membunuh secara sama pastinya dengan perang yang paling brutal. Namun kemiskinan lebih dari sekedar membunuh; ia menyebabkan kerusakan fisik, kerusakan psikologis (terdapat banyak kasus subnormalitas mental akibat kelaparan), dan kerusakan moral (mereka yang dalam situasi perbudakan, sesuatu yang tidak tampak tetapi sungguh nyata, hidup tanpa kepastian akan masa depan dan harapan sehingga jatuh ke dalam fatalisme dan merosot ke dalam mental pengemis).
Kemiskinan bangsa yang diawali oleh krisis ekonomi dan menyebar diikuti dengan krisis multidimensi mengakibatkan psikologis rakyat tertekan. Di saat rakyat mengalami kesulitan untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup, akses pendidikan semakin sulit. sedangkan sistem hukum dan pemerintahanan semakin kacau dan tidak bisa dijadikan sandaran. Maka, pada sistuasi tersebut jiwa masyarakat sangat rentan dan merasa bahwa dunia telah menyangkalnya, bahwa dunia membencinya dengan cara yang amat keji.
Seorang perempuan yang mendapati suaminya selingkuh akan melakukan aksi-aksi fatal yang mengancam hidupnya, karena ia tidak memiliki ‘capital’ yang membuatnya tidak akan pernah sanggup menghadapi persaingan. Seorang perempuan Indonesia yang secara kultur feudal patriarki mengalami diskriminasi untuk mendapatkan akses informasi, keahlian dan pendidikan yang maju dan menghasilkan, tentu akan kelabakan ketika mendapati relasinya yang selama ini menjadi arena pengabdian diri secara total telah menghianati komitmen. Sehingga perasaan tidak memiliki apapun di dunia segera menjadi momok yang menakutkan. Apa yang akan perempuan lakukan jika ia merasa tidak siap menghadapi dunia sesungguhnya seandainya perpisahan dengan suaminya, yang selama ini tidak ia duga menjadi kenyataan, padahal secara nyata ia telah tergantung sepenuhnya pada suaminya.

Hingga saat ini dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara perempuan masih saja menjadi kaum yang termarginalkan, karena memang kenyataannya perempuan masih duduk pada posisi lemah secara ekonomi, pendidikan dan retan penyakit sehingga harapan hidupnya lebih rendah. Namun perempuan tidak ada bedanya dengan laki-laki, penguasa negara yang menciptakan ideology palsu atau ilmuwan-ilmuwan yang memiliki pengetahuan luas, perempuan adalah manusia seutuhnya yang memiliki akal budi, sehingga tidak ada alasan untuk misoginis (jijik) terhadap perempuan.
Bahkan para filsuf dan ilmuwan yang berkonspirasi dengan penguasa dan kaum pemodal seringkali menciptakan kebenaran-kebenaran ilmiah semu guna mendukung kepentingan patriarkinya. Teori-teori yang dicetuskan mencoba menjelaskan gerakan-gerakan evolusioner perempuan sebagai akibat dari penyimpangan-penyimpangan dalam jiwa orang-orang yang terlibat di dalamnya, ketimbang sebagai akibat penyimpangan struktur ekonomi dan social masyarakat itu sendiri. Teori tersebut tidak lebih dari pengembangan teori Freud yang menjelaskan bahwa pemberontakan melawan otoritas Negara tidak lebih dari sekedar ungkapan luar ketidakmampuan rakyat untuk mengatasi pergolakan emosional di dalam diri mereka sendiri yang terkubur ke dalam alam bawah sadar mereka.
Di era serba modern, dimana kemajuan tekhnologi mengalami perkembangan yang sangat pesat masih saja penindasan terhadap perempuan bercokol kuat dibawah sistem budaya feodal dan system ekonomi kapitalis patriarki. Dalam sinetron di TV maupun propaganda iklan, perempuan terus menerus diciptakan sebagai obyek untuk ditonton dan dinikmati karena paras molek dan lekukan-lekukan tubuhnya. Sebagai manusia yang juga memiliki otak, kapasitas berfikirnya tidak diperhitungkan. Bukannya mengembalikan kualitas pribadi perempuan secara keseluruhan, sebaliknya perempuan menjadi bulan-bulanan peraturan daerah, maupun RUU yang diskriminatif dan cenderung bahkan mengkriminalkan kaum perempuan. Tidak cukupkan memposisikan perempuan sebagai obyek kenikmatan pragmatis, kemudian dengan munafik diciptakannya peraturan yang menyerang perempuan yang sebenarnya mereka hanya korban dari system ekonomi dan social yang tidak adil?
Kebijakkan yang dihasilkan pemerintah pun cenderung semakin menjerumuskan rakyat ke dalam jurang kesengsaraan yang dalam. Dapat dipastikan, perempuan dan anak yang paling menderita akibat kebijakkan kenaikan harga BBM, akibat kelangkaan minyak tanah, akibat mahalnya harga beras, akibat lumpur panas Lapindo-Sidoarjo, akibat perusakan alam, bencana kekeringan dan bencana banjir, atau pelayanan kesehatan yang tidak memadai serta pendidikan yang kian mahal.
Ibu-ibu kebingungan mengatur anggaran belanja ketika harga BBM naik, Ibu akan gelisah ketika minyak tanah sebagai sarana dia memasak makanan untuk keluarga kosong di pasar, ketika keringan melanda, ibu-ibu dan anak perempuanlah yang akan hiruk pikuk kewalahan mencari sumber air bersih dan mengangkutnya untuk keperluan keluarga, ketika harga beras melonjak hingga Rp. 6.000/kg perempuan lah yang akan menderita.
Terlebih perempuan memiliki rahim yang dari rahimnya, anak-anak penerus masa depan kehidupan dilahirkan. Jika perempuan mengalami gizi buruk, maka anak yang dilahirkannya akan mengalami hal yang sama. Bila jaminan kesehatan reproduksi bagi perempuan tidak memadai, maka keselamatan bayi yang dikandung juga akan terancam. Jadi sangat jelas, isu-isu sensitif gender dan persoalan-persoalan perempuan sangat penting, karena persoalan tersebut menyangkut masa depan kehidupan manusia.
Sayangnya beberapa waktu lalu presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya sudah merasa berhasil karena capaian-capaian kerjanya mengenai perdamaian konflik Aceh, embargo militer AS terhadap TNI, pelanggaran HAM timor-Timur, Konflik di Papua, utang luar negeri yang berkurang, arbitrase Cemex, Blok Cepu, dan Texmakco. Padahal banyak sekali persoalan lain yang mendesak menunggu giliran untuk ditangani secara adil dan cepat demi kesejahteraan bersama. Persoalan tersebut antara lain, perusakan alam seperti kasus Lapindo yang belum juga menuai jalan terang, jumlah angka kemiskinan yang semakin melonjak, kasus pelanggaran HAM yang belum terselesaikan, peradilan bagi koruptor kelas kakap, persoalan kesehatan, pendidikan dan upah buruh,dll, yang semuanya akan berdampak buruk pada rakyat dan terutama perempuan dan anak.
“Jangankan masyarakat yang berkesejahteraan sosial, menyusun masyarakat yang normal sajapun tidak mungkin, sebelum selesainya soal nasional. Tidak mungkin sebelum selesainya soal politik.” Demikian kalimat yang dikatakan bung Karno dalam buku yang berjudul “Sarinah”. Bila hingga saat ini pemerintah justru melarikan diri dari kebenaran sejarah bangsa bukannya menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat, berarti negara ini meneruskan rezim yang lalu, dapat dipastikan pemerintah sekarang adalah kepajangan dari rezim yang lalu. Jangalah berharap pada sistem pemerintah yang telah mewarisi kebobrokan-kebobrokan rejim lama yang korup, militeristik dan berpihak pada kaum pemodal karena suara rakyat tidak akan pernah dipertimbangkan namun sebaliknya sebisa mungkin akan dibungkam—meskipun dengan cara yang lebih halus dengan mengatasnamakan agama maupun kepentingan bersama.
Dimuat Majalah OPSI Jakarta Minggu Ke-3 Maret 2007

Jumat, 17 Agustus 2007

(Artikel) Riwayat Haru di Hari Kemerdekaan RI ke-62, 17 Agustus 2007: KRISIS AIR DI HARI KEMERDEKAAN

Bulan Agustus adalah bulan di mana segenap masyarakat di seluruh pelosok tanah air mulai disibukkan dengan seabrek aktivitas untuk memperingati hari kemerdekaan RI. Mulai dari pemasangan bendera dan unmbul-umbul lampu yang kerlap-kerlip, hingga menyiapkan diri untuk berpartisipasi mengikuti serangkaian lomba yang diadakan oleh lingkungan sekitar seperti; panjat pinang, balap karung, adu bantal, tarik tambang, dll. Hingga keramaian yang tercipta karena drum band dan karnaval di jantung kota yang menyedot perhatian masyarakat dalam menyemarakkan pesta kemerdekan RI.

Riwayat yang mengharukan di negeri yang sedang merayakan ulang tahun kemerdekaan ke 62 adalah persoalan krisis air. Hingga saat ini persoalan seputar air selalu menjadi persoalan rutin setiap tahunnya. Menginjak musim kemarau seperti saat ini, kekeringan menjadi persoalan tak terelakkan yang menimpa sebagian besar masyarakat Indonesia terutama petani dan masyarakat kelas bawah, hinga tidak jarang terjadi pertikaian antar warga karena terjadi perebutan dan pencurian air, seperti di Kabupaten Cirebon dan Indramayu beberapa waktu yang lalu.

Salah satu daerah yang dilanda kekeringan hebat adalah di Purwakarta-Jawa Barat. Menurut Endang Setiawinata, Kepala Unit Pelaksana Teknis Dinas (UPTD) Agroklimat dan Perlindungan Tanaman Dinas Pertanian Kabupaten Purwakarta (KOMPAS, 09/08/2007), mengatakan, bulan Agustus sudah 323 hektar (ha) sawah dilaporkan kering dan 442 ha lainnya terancam kekeringan. Lahan yang kekeringan itu berada di kecamatan Plered (133 ha), Tegalwaru (101 ha), Maniis (76 ha), dan Purwakarta (13 ha). Sedangkan Lahan pertanian di jawa Barat yang mengalami kekeringan semakin meluas. Saat ini 17.311 ha lahan kekeringan berat, sedangkan 2.075 ha lainnya sudah puso. Sementara itu, di kawasan pantai utara, akibat sejumlah waduk mengalami penurunan elevasi air, petani terpaksa bergiliran dalam penggunaan air. Sedangkan di Jawa Tengah, hingga awal Agustus 2007 tak kurang dari 107.028 ha tanaman padi rusak akibat kekeringan. Dari jumlah itum 10.028 ha dinyatakan puso.

Menilik hari air di bulan Maret lalu yang keberadaannya diharapkan menjadi sebuah momentum berguna secara budaya maupun politis dalam artian sebagai hari dimana akan terjadi refleksi, kampanye maupun tuntutan-tuntutan mengenai isu seputar air dan lingkungan, namun sebaliknya justru momentum tersebut telah dikomersilkan oleh perusahaan korporasi bisnis demi keuntungan segelintir orang, hingga yang tersisa adalah air-air kotor akibat pencemaran limbah pabrik yang merusak ekosistem maupun mengancam kehidupan manusia. Perusahaan-perusahaan besar air minum, seperti Coca-Cola, Danone dengan getol menjadi sponsor penelitian mengenai kadar pencemaran pada sungai-sungai, atau mengadakan kampanye lingkungan, supaya masyarakat mengkonsumsi air bersih, air yang layak minum—air botolan produksi perusahaan mereka.

Strategi filantropis ala kapitalis adalah meraih keuntungan sebanyak-banyaknya bagaimanapun agitasi dan propagadanya, bahkan jika perlu dibungkus sehumanis mungkin, misal dengan dibungkus bakti sosial maupun penelitian-penelitian bertopeng. Padahal, privatisasi air dan komersialisasi air bersih yang dilakukan oleh perusahaan air minum dapat dipastikan bukan solusi tepat dalam menghadapi kisisis air, privatisasilah senyatanya yang menyebabkan bencana krisis air, dimana masyarakat miskin semakin sulit untuk mendapatkan akses air bersih .

Tidaklah mungkin persoalan air akan selesai hanya dengan penelitian yang capaiannya sebatas identifikasi. Persoalan air bersih tidak akan tuntas dengan solusi sederhana semacam dengan melakukan kampanye supaya masyarakat tidak membuang sampah sembarangan, supaya masyarakat tidak menggunakan lahan disekitar sungai sebagai tempat tinggal. Memang seringkali pemodal membujuk masyarakat dengan propaganda berwajah humanis: “ Untuk hidup sehat hendaknya konsumsilah air yang bersih dan sehat seperti air produksi perusahaan kami.” Mengapa air yang merupakan hasil alami keseimbangan siklus alam dan keberadaannya menjadi bagian dari alam kini hanya menjadi milik orang-orang berduit dan kemudian mereka mengambil seenaknya? Bahkan selanjutnya menjadi makelar air dan menjualnya dengan mahkota harga pada masyarakat yang sebenarnya pemilik sah hak atas air bersih tersebut?

Krisis Air: Krisis Kesejahteraan

Krisis air ditandai dengan situasi bukan hanya ketika volume air menipis, namun juga menyangkut pencemaran air, komersialisasi air, akses terhadap air yang sulit maupun regulasi dan sanitasi yang rusak. Seluruh persoalan mengenai air dapat diartikan krisis air, yaitu keberadaan air yang secara berhadap-hadapan merusak alam yang disebabkan oleh faktor intervensi manusia.

Krisis air selama ini berimbas pada krisis harapan untuk hidup. Krisis air telah menyumbang angka kematian sebesar 34,6% terhadap anak-anak khususnya pada negara dunia ketiga. Setiap tahunnya 5.000.000 anak meninggal karena terkena penyakit diare. Bekurangnya persediaan air bersih selain dikarenakan privatisasi air, pengalihan sumber air bagi AC bagi hotel-hotel mewah, air bagi industri perkotaan, air untuk coolant (cairan untuk pendingin mesin), atau terpolusinya air karena timbunan sampah-sampah industri, hingga tidak terelakkan kebutuhan air bersih bagi masyarakat luas dan anak-anak terperosok menjadi tumbal atas nama pembangunan.

Ancaman berbagai macam zat beracun yang disebabkan oleh limbah industri yang tidak bertanggung jawab terhadap ekologi akan menghancurkan kehidupan penduduk miskin. Dalam hal ini anak-anak sebagai korban pertama yang akan terkena dampaknya, karena anak-anaklah yang paling peka terhadap kontaminasi bahan kimia, selanjutnya pencemaran air yang disebabkan bahan kimia termanifestasi dalam kondisi kesehatan mereka. Misalnya, penyakit polio, diare, kolera akan semakin mudah menyerang anak, dimana mereka hidup pada situasi persediaan air yang tercemar.

Di Indonesia krisis air menjadi persoalan besar yang tidak kunjung terselesaikan. Jutaan penduduk telah menjadi korban namun sikap pemerintah hingga saat ini belum memberikan respon positif, namun sebaliknya justru kini pemerintah kembali akan mengeluarkan kebijakan baru berupa RUU Penanaman Modal (RUU PM) yang meliberalkan regulasi penanaman modal. Saat ini pemerintah dan DPR sedang berencana mengesahkan RUU PM yang substansinya justru akan berdampak buruk bagi kepentingan masyarakat luas maupun lingkungan.

Substansi RUU PM, misalnya, Pasal 8 memperbolehkan suatu perusahaan menutup dan merelokasi industri dan modal (capital flight). Pada pasal tersebut tidak dijelaskan mengenai ganti rugi perusahaan terhadap kerusakan lingkungan yang diakibatkan ketika perusahaan masih beroperasi. Secara vulgar dan sepihak peraturan dan kebijakan yang dikeluarkan pemerintah telah berpihak pada kepentingan pemodal dan mengabaikan psikologis, sosiologis, maupun ekologis masyarakat.

Maka, di hari kemerdekaan ini sudah selayaknya persoalan krisis air mendapatkan prioritas menuju jalan terangnya. Pemerintah sebagai pihak yang paling memiliki kompeten dalam hal kebijakan dan regulasi sumber daya alam sangat didambakan langkah konkrit dan semangat untuk terus memperjuangkan kehidupan yang layak bagi masyarakat dengan air bersih dan memadai serta kebijakan yang pro kepentingan rakyat.

Dimuat di Koran Bhirawa tgl 21 Agustus 2007


Rabu, 15 Agustus 2007

((Artikel) Perempuan dan Iklan


Iklan adalah media promosi produk tertentu, dengan tujuan produk yang ditawarkan terjual laris. Untuk itu iklan dibuat semenarik mungkin, sehingga terkadang dapat dinilai terlalu berlebihan, serta mengabaikan sisi psikologis, sosiologis, ekologis, dan estetika penonton atau sasaran produk yang diiklankan.Eksploitasi perempuan dalam iklan teridentifikasi melalui wacana seksual yang diekspos secara vulgar dalam iklan, tubuh perempuan dipertontonkan secara erotis dan eksotis.Memang tidak dapat disangkal, secara mendasar yang membutuhkan produk-produk adalah tubuh, untuk bertahan dan beraktivitas. Pada dasarnya tubuh membutuhkan produk-produk fungsional untuk bekerja dan bertahan, misalnya mengkonsumsi makanan untuk beraktivitas, mengkonsumsi obat untuk penyembuhan. Namun pada perkembangan era pasar bebas, kaum penumpuk modal bukan hanya mengembangkan pembuatan produk, tetapi juga mengontrol kesadaran massa tentang tubuh melalui pencitraan tubuh ideal melalui berbagai media, diantaranya melalui propaganda iklan.Sayangnya, perempuan dalam iklan dijadikan alat memasarkan produk, tubuhnya dieksploitasi untuk mengumbar definisi cantik versi standardisasi "pasar" dengan cara memamerkan rambut yang lurus dalam iklan shampo dan obat pelurus rambut, kulit wajah yang mulus dalam iklan obat kecantikan, payudara besar dalam iklan obat pembesar payudara, perut langsing dalam iklan pelangsing perut, betis indah dan tubuh yang ramping dalam iklan obat diet, kulit putih dalam iklan obat pemutih, dll.Eksploitasi tubuh perempuan dengan cara memamerkan tubuh sesuai kontrol pemodal telah menghadirkan sosok perempuan yang teralienasi, hal tersebut karena mereka memasarkan produk (yang sebenarnya asing bagi dirinya) demi mendapatkan bayaran semata. Perempuan dalam posisi sebagai alat yang dimanfaatkan dalam mobilisasi politik kepentingan kaum borjuasi.Maraknya iklan produk-produk untuk perempuam mengakibatkan banyaknya perempuan sebagai korban iklan, karena iklan adalah media penyebarluasan produk yang mampu menjangkau seluruh komunitas yang sangat luas yang memungkinkan terciptanya kondisi masyarakat dengan citra dan estetika konsumtif yang sangat kondusif bagi kelangsungan sistem kapitalis. Sehingga perempuan mengkonsumsi produk-produk yang diiklankan bukan berdasarkan sisi fungsional tapi karena berdasarkan kesadaran palsu tentang ideologi tubuh, norma keindahan tubuh, mulai dari bentuk, ukuran, warna, dan bau.Selain persoalan esksploitasi tubuh perempuan, ketidakadilan jender berlabel "untuk menjadi ibu yang baik" mempersempit peran perempuan dalam kehidupan bermasyarakat. Seakan perempuan hanyalah sebagai pelayan suami, merawat anak, dan pekerjaan-pekerjaan di wilayah domestik. Artinya, peran perempuan yang dibangun oleh iklan belum beranjak dari konstruksi sosial yang tidak adil dan kultur patriarkhi. Dalam iklan, perempuan dominan dipertontonkan dalam aktivitas kerja domestik, Misalnya, perempuan sedang memasak dalam iklan bumbu dapur dan mie instan, perempuan sedang mencuci dalam iklan sabun cuci, perempuan sedang mengasuh anak dalam iklan susu dan pasta gigi, dll. Jadi jelas iklan-iklan tersebut semakin memupuk dan mengekalkan diskriminasi peran perempuan berdasarkan jenis kelamin.Iklan memang digunakan sebagai alat propaganda untuk memasarkan produk guna mendapatkan keuntungan, karena menurut logika sistem kapitalisme, produk adalah komoditas yang dapat dipertukarkan dengan uang. Produk (barang dan jasa) bukan lagi hasil dari kreativitas sebagai ekspresi artistik kecerdasan manusia, tetapi demi dijual dan dipertukarkan secara ekonomis.Akhirnya kualitas dan keindahan produk ditentukan oleh nilai uang bukan berdasar kegunaannya. Manusia yang menciptakan produk akhirnya terasing dari ciptaannya sendiri karena dia menciptakan produk berdasar orientasi ekonomi bukan aktivitas dalam proses kretivitas. Dapat dipastikan produk-produk yang dihasilkan adalah produk instan, yang digemari sepanjang diklankan dan dibentuk melalui wacana-wacana kapitalisme yang menarik dengan cara menebarkan rangsangan-rangsangan kebutuhan seksual dan kesenangan tubuh-jiwa menggunakan perempuan sebagai perangkat pemasaran dimana perempuan jarang sekali ditampilkan sebagai subyek yang aktif dalam kapasitas pribadinya yang elok secara manusiawi (inner beauty). Dehumanisasi produk yang menempatkan suatu produk dikatakan berkualitas berdasar nilai ekonomis menjadi penyebab terdehumanisasinya hubungan antar manusia. Manusia memperalat dan mengeksploitasi satu sama lain. Dalam hal ini hidup sedang disangkal, karena kerja yang seharusnya menjadi ekspresi dan kreatifitas kemakhlukan, menjadi kerja yang terpaksa, untuk mendapatkan upah, untuk sekedar dapat bertahan hidup.Kini kita semakin irrasional dan dikendalikan oleh nafsu, eksploitasi pekerja dalam aktivitasnya memproduksi barang akan terus ada, eksploitasi perempuan dalam iklan yang diposisikan sebagai alat dan sasaran pemasaran produk-produk kaum pemodal semakin subur. Melalui teror-teror iklan yang menciptakan kebutuhan semu, maka mengkonsumsi pada hakekatnya merupakan kepuasan fantasi yang dirangsang secara artifisial, suatu bentuk fantasi yang teralienasi dari diri manusia yang konkrit.Berdasarkan uraian diatas, untuk mengatasi pengeksploitasian perempuan dalam iklan dan segala bentuk penindasan yang ada dalam sistem perdagangan liberal-kapitalistik adalah mengontrol kerakusan pasar dan mengembalikan keadilan ekonomi di tangan rakyat dengan memprioritaskan kebijakan - kebijakan yang membela kaum perempuan.



25 Februari 2007

Selasa, 14 Agustus 2007

12 Agustus 2007:Lomba Menulis Kisah Nyata KDRT Penerbit Erlangga


Hasil penelitian Unicef dan The Body Shop International menunjukkan sedikitnya 1 dari 3 wanita di dunia mengalami tindak kekerasan baik dalam bentuk fisik maupun mental.Di indonesia, 20.391 kasus kekerasan terjadi pada tahun 2005 dan 16.721 (82%) diantaranya adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).Esensi dan The Body Shop Indonesia mengadakan KISAH (Kontes Inspirasi dan Harapan) berupa lomba penulisan naskah dengan tema KDRT, bukan untuk menguak tragedi ataupun menyebar trauma, tetapi untuk menyerukan perjuangan, cinta, dan keberanian wanita dalam menghadapi tantangan hidup yang paling berat. Bersama KISAH, kami ingin membagi inspirasi hidup dan harapan.


Kriteria Lomba :
Peserta adalah warga negara Indonesia Laki-laki maupun Perempuan berusia minimal 18 tahun. Tulisan bisa berisi kisah hidup pribadi, keluarga, atau orang lain yang memiliki nilai inspiratif.Cerita ditulis dalam format narasi, baik dalam sudut pandang orang pertama (aku) atau orang ketiga. Kisah yang diceritakan adalah kisah nyata, bukan rekaan, terjemahan, saduran, atau jiplakan.

Karya yang dikirimkan harus orisinal, belum pernah dipublikasikan, baik di media elektronik maupun cetak, dan belum pernah diikutsertakan dalam sayembara lain. Naskah diketik dengan komputer sepanjang 10 - 30 halaman A4, jenis huruf Times New Roman 11, dan spasi 1,5.Naskah dikirimkan dalam bentuk print out dan file (dalam CD). Sertakan biodata singkat penulis dan narasumber (jika menceritakan tentang orang lain), alamat lengkap, nomor telepon,dan foto kopi KTP. Tuliskan KISAH di sebelah kiri atas amplop.


Kirimkan naskah ke:
Panitia KISAHDivisi ESENSI, Penerbit Erlangga Jl. Haji Baping Raya No. 100 Ciracas, Pasar Rebo Jakarta Timur, 13740atau via e-mail ke:kisah@erlangga. net
Peserta boleh mengirimkan lebih dari 1 naskah. Naskah yang masuk sepenuhnya menjadi milik panitia.10.Naskah paling lambat diterima pada tanggal 11 Oktober 2007.11.Keputusan juri mengikat, tidak dapat diganggu gugat, dan tidak diadakan surat- menyurat.

Hadiah :
Pemenang 1 memperoleh uang sebesar Rp. 5.000.000 + sertifikat dan paket menarik dari The Body Shop
Pemenang 2 memperoleh uang sebesar Rp. 3.000.000 + sertifikat dan paket menarik dari The Body Shop
Pemenang 3 memperoleh uang sebesar Rp. 2.000.000 + sertifikat dan paket menarik dari The Body Shop
10 karya terbaik akan diterbitkan dalam bentuk buku oleh ESENSI (Erlangga Group)

Juri :
Dewi Lestari (Penulis)
Myra Diarsi (Aktivis Perempuan)

The Body Shop IndonesiaTalkshow mengenai KDRT akan diadakan di kota-kota berikut :
Jogjakarta, 21 Agustus 2007 di Universitas Gadjah Mada (UGM)
Semarang, 22 Agustus 2007 di Universitas Diponegoro (Undip)
Bandung, 30 Agustus 2007 di Universitas Padjajaran (Unpad)
Jakarta, 5 September 2007 di Universitas Indonesia (UI)

Senin, 13 Agustus 2007

(Artikel) Formalin (dalam) Nasionalisme Indonesia


Di bulan agustus ini bersamaan dengan momentum peringatan hari kemerdekaan RI yang ke-62, ada banyak (berita) kejutan bagi masyarakat Indonesia. Selain persoalan kekeringan yang rutin melanda setiap tahunnya dipertengahan tahun, adalah persoalan embargo Cina terhadap ekspor ikan dari Indonesia. Pemberitaan yang ugal-ugalan mengenai embargo Cina pada ikan asal Indonesia diawali dengan hiruk-pikuknya pemberitaan produk kosmetik dan makanan dari Cina di Indonesia yang diindikasikan mengandung formalin.
Formalin di negara Uni Eropa dilarang segala jenis penggunaannya termasuk dalam pengawetan mayat sekalipun. Hal tersebut dikarenakan Formaldehid digolongkan sebagai bahan berbahaya kerena bersifat toksik (beracun) dan karsinogenik (menyebabkan kanker). Berkaitan dengan hal tersebut maka pemerintah Indonesia melarang produk-produk dari Cina yang diidentifikasi mengandung zat berbahaya tersebut. Entah bagaimana prosedur pencegahan masuk dan dan dipasarkannya produk berbahaya di Indonesia. Ada hal aneh dalam penanggulangan persoalan produk berformalin asal Cina. Pasalnya, kosmetik dan gula-gula asal Cina tersebut dirazia secara langsung di pasar-pasar tradisional oleh dinas kesehatan setempat diikuti oleh pemberitaan langsung mengenai proses razia tersebut di berbagai media elektronik maupun media cetak di tanah air.
Pemberitaan besar-besaran mengenai berbahayanya produk Cina yang terkontaminasi bahan berbahaya kian gencar di bulan kemerdekaan ini, padahal produk tersebut sudah ada dipasaran jauh-jauh waktu sebelumnya. Selain itu, bukankah produk tersebut sudah berhasil lolos hingga masuk pasaran, yang seharusnya menandakan kualitas produk karena terlebih dahulu telah diuji kelayakan untuk dikonsumsi.
Hal mengejutkan yang didapatkan dari berita akhir-akhir ini adalah larangan impor ikan asal Indonesia disinyalir sebagai suatu pembalasan Cina atas pemboikotan produk Cina di pasar Indonesia. Ikan asal Indonesia yang selama ini diandalkan dan diakui keamanannya oleh masyarakat dunia, oleh Cina diidentifikasi mengandung zat berbahaya seperti, toksin, pathogen dan bahan kimia lainnya.
Yang membuat sia-sia secara substansial, pemberitaan tersebut cenderung digiring pada sudut perseteruan antara Indonesia-Cina, bukan pada substasi perlindungan hak asasi konsumen yang terabaikan. Secara politis perseteruan yang diciptakan oleh hiruk-pikuknya pemberitaan memiliki kepentingan politis yang patut dicurigai. Selain persoalan tersebut sudah basi, pengangkatan pemberitaan yang berlebihan mengapa bebarengan dengan momentum hari kemerdekaan RI.
Nasionalisme yang Tercabik
Selain Formalin, bumbu nasionalisme yang ditampilkan dalam rangka menyedapkan ritual tujuhbelas-an adalah pemberitaan penemuan (padahal bukan hal baru) lagu kebangsaan Indonesia Raya oleh Roy Suryo dari museum di Belanda dalam versi tiga stanza. Di mana menjadi alasan lagu ‘temuan’ tersebut terus menerus dilantunkan dan ditampilkan teksnya pada setiap ulasan yang terus menerus menjadi item berita di tanah air akhir-akhir ini. Nasionalisme adalah ideologi yang seringkali dimanfaatkan oleh elite penguasa untuk mempertahan kekuasan dan sistem pemerintahan bopengnya yang bertopeng atas nama kepentingan rakyat dan berlindung di balik tameng barisan rakyat cinta tanah air.
“Ganyang Malaysia” adalah politik slogan Soekarno untuk mengalihkan perhatian rakyat supaya berkonsentrasi pada semangat nasionalisme. Selanjutnya, selama 32 tahun Soeharto memerintah Indonesia dengan menggunakan strategi pasar untuk menaikkan pendapatan penduduk sehingga pertumbuhan ekonomi naik drastis disertai pemberitaan luar biasa mengenai kemajuan pembagunan Indonesia. Namun, pada kenyataanya hanya segelintir orang yang menikmati kue pembangunan, sebagian besar masyarakat digencet kemandirian ekonominya dan dikebiri kemerdekaan berpendapatnya. Maka untuk mengatasi gejolak rakyat dalam tataran psikologi massa disebarluaskanlah imaji bahwa Indonesia adalah bangsa berbudaya luhur yang tak boleh dinodai budaya asing. Anehnya, budaya asing dibayangkan sebagai sikap, nilai, serta pandangan hidup yang tidak pantas, akan tetapi di sana tidak termasuk modal asing untuk dihindari.
Selama ini nasionalisme yang digunakan oleh penguasa adalah jenis nasionalisme artikuaris, yaitu, nasionalisme yang selalu mengkaitkan dengan sejarah kejayaan masa lalu tanpa melihat keterkaitan dengan masa sekarang terlebih masa depan. Nasionalisme yang selalu mengangung-agungkan sejarah dan kebudayaan bangsa, namun pelaksanaanya pada keadaan aktual justru nol atau sebaliknya, menginjak-injak budaya dan sejarah bangsa serta memanfaatkannya untuk kepentingan kekuasaan. Maka, jual beli ideologi dan penghianatan atas kepercayaan rakyat tidak terhindarkan. Hubungan antara nilai-nilai antik yang dimuliakan itu dan tingkah laku sosial-politik kian serba tidak jelas, seringkali sambil membanggakan kebudayaan bangsa, dengan mudahnya mencabut nyawa orang. Atau sambil menyerukan toleransi, tanpa malu-malu menculik orang-orang yang berbeda pendapat. Dan sambil berkotbah mengenai tepo sliro, tapi mencuri uang milik rakyat, merampas tanah penduduk.
Konflik Tidak Pernah Menguntungkan
Konflik dalam sistem produksi dan reproduksi dengan sistem pasar bebas adalah “Suffient” dan implikasi praktisnya konflik diatasi secara divisional bukan perombakan sistem sosio-ekonomi secara mendasar. Konflik dipahami secara Parsonian yaitu, seharusnya diperlakukan sebagai hal yang fungsional sebagai penguatan struktur. Padahal berdasarkan keadaan obyektif, basis material masyarakat dengan cara produksi yang serba mengagungkan kekuatan pasar, sangat rentan terjadinya konflik yang sifatnya sistemik.
Menurut Lewis Coser, dalam konteks ini pertama, konflik dipahami sebagai refleksi kondisi struktur sosial atau akibat instrumental dari ketidak cocokan isi struktur. Kedua, kekeliruan penginterpretasian atas konflik tersebut merupakan refleksi dan evaluasi mengenai begitu merasuknya sebuah model memaknaan realitas sampai-sampai kekeliruan bersifat total. Ketiga, rasionalitas bertujuan praktis menunjukkan di mana arah sosial-keabsahan generalisasi konflik kultural dan bersamaan dengan itu dialogisme, demokrasi, dan kerendahan hati para elite dianggap sebagai solusi pragmatis.
Persoalan yang dialami Indonesia tidak akan mereda dan tuntas dengan menelan mentah pil nasionalisme atas dasar resep salah pemerintah seperti selama ini. Hal tersebut dikarenakan konflik yang menimpa masyarakat Indonesia sifatnya sangat sistemik dan merupakan imbas dari sistem konflik masyarakat kapitalis. Yaitu konflik yang berasal dari pelanggaran-pelanggaran kriteria-kriteria primer keamanan eksistensial, sebab proses-proses ke arah konflik mengikuti arah totalisasi, globalisasi, kesamaan operasi sistem.
Dimuat 14 Agustus 2007 di www.parasindonesia.com

Minggu, 12 Agustus 2007


Apa guna banyak baca buku Jika mulutmu sering menipu Apa guna sekolah hingga tinggi Bila Rakyat masih dibodohi (Wiji Tukul)

Kekerasan adalah jalan keluar bagi manusia berjiwa lemah (Gandhi)

(Cerpen) Separuh Tubuh Malam

Dulu, aku selalu membayangkan mantan pacar kekasihku, walau hanya meraba-raba dalam kekaburan, aku selalu mengkhayalkan seperti apa gerangan wajahnya, kulitnya, rambutnya, susunya,y pantatnya, jempol kakinya, bibirnya, hidungnya, matanya, giginya, tinggi tubuhnya, langsingkah perutnya? apakah benar-benar selangsing bintang Hollywood yang memainkan film-film romantis, selayak yang didongengkan kekasihku tentang dia.
Sebenarnya hari itu adalah pertama kalinya aku tidur seranjang dengan laki-laki yang tidak memiliki hubungan darah denganku. Malam, hari itu adalah pertama kali aku dirayu, dibujuk, dicium begitu mesra oleh seorang lelaki, tapi itu hal lumrah, karena dia pacarku, dia kekasihku, dia seseorang yang memiliki nama Lanang.
Pada malam itu aku sudah setengah dipaksa, sudah setengah ditindih, dan telah setengah telanjang. Malam, Lanang sangat bernafsu padaku. Tapi kini, hingga pagi datang dan sinar mentari mulai mengalahkan nyala terang lampu kamar, belum barang semenit pun aku memejamkan mata. Mana mungkin mata sanggup menutup rileks kalau dari tempat yang sama juga mengalir deras isakkan dan air mata. Hari itu aku merasa begitu rendah, aku seperti nona kosong.
Mentariku, malam itu sebenarnya Lanang tidak benar-benar untuk meneruskan menelanjangiku hingga bugil, yang dilanjutkan dengan menjilati seluruh tubuhku hingga berakhir erangan penuh keringat mengucur tuntas. Dia tidak melakukan itu semua, mentari. Ketika mencumbuku, tiba-tiba ia berteriak. Ia mengatakan: “Aku adalah perempuan yang punya karakter menyukai dipaksa dan ditindas, buktinya aku kurang agresif, tidak mau membalas cumbuannya dan lambat bergairah tidak seperti perempuan normal, tidak seperti kekasih dan peliharaannya dulu”.
Mentariku, aku masih ingat, ketika kedua bola mata Lanang merah menyala bagai kobaran api, bahkan di tengah nyala lampu terang kamarnya, sangat jelas matanya yang nyalang, kemudian tangannya bersiap memukuli dadanya sendiri hingga tubuhnya terguncang. Kulihat rambutnya yang basah dan lepek menutupi sebagian keningnya, kemudian kepalanya tertunduk dengan muka lesu.
Sang bayu, seketika dia tidak lagi berniat memaksaku bersetubuh semalam. Aku masih dalam posisi tidur di ranjang dalam keadaan yang setengah telanjang, dan dia duduk di pojok kamarnya, lalu mengejekku: “Kamu jangan berfikir yang aneh-aneh tentangku, Ranti.” Aku hanya diam, mendengarkan dan menerima saja apa yang akan dia lakukan dan kata-kata apupun yang akan berlompatan dari mulutnya. Aku sadar benar, kalau aku ada di kamarnya, aku berada dalam lingkungan ciptaannya dan di wilayah miliknya apapun mungkin saja terjadi, bahkan yang tidak dinyana-nyana sekalipun.
Sang bayu, kemudian dia berkata dengan posisi kepala diletakkan di lututnya yang ditekuk, hingga dengkulnya mampu menopang kepalanya, kulihat keningnya terhalangi oleh rambutnya yang basah dan lepek karena keringat kemarahan yang meledak. Kemudian ia berteriak lagi sambil mendongkakkan kepalanya dan memelototkan matanya secara maksimal, hingga membuatku khawatir bola matanya akan copot dan menggelinding bebas di lantai kamarnya. Ia berteriak: “Jangan kau kira aku sungguh-sungguh ingin bersetubuh denganmu, Ranti. Kalau mau sekarang aku bisa saja memperkosamu, atau diam-diam memberimu minuman yang telah kucampur obat tidur dan memperlakukan tubuhmu dalam keadaan tidak sadar sekehendakku.”
Oooh debu, wuuzzzzz……….,kutiup kau supaya kau tahu sebagaimana yang kurasa semalam. Dia memang berhenti memaksaku untuk membalas cumbuannya. Tapi dia menghempaskan dan menamparku dengan sangat kuat, melalui kata-katanyalah ia melakukannya, hingga tak ubahnya aku seperti debu, yang sangat kecil yang tidak berarti apa pun selain menambah pahit pengalaman hidupnya.
Oooh debu, kau tahu dia tidak mencintaiku. Lanang pernah mengaku, ia hanya iseng. Dia adalah laki-laki yang penasaran dengan seorang Ranti yang terlihat lebih matang, dan lebih dewasa dari perempuan seusiaku, dia hanya penasaran pada kontrandiksi yang jelas terpancar dari raut mukaku yang menyebabkan aku mirip nona kosong. Aach…! Nona kosong? Nona kosong kupikir lebih bagus daripada nona gaul atau nona nan suci! Nona kosong mempunyai daya dan kemerdekaan untuk berpindah dari gaul ke suci, dari kota ke ndeso, dari radikal ke konservatif, dari vulgar ke misterius atau sebaliknya dari suci ke norak, dari ndeso ke urban dan seterusnya..dan satu lagi nona kosong selalu kembali pada kontradiksi dan kontempelasi atau secara gampangan akhir-akhir ini oleh orang-orang disebut sebagai lelaku kosong. Entahlah, mungkin itu hanya semacam pembelaan atau lebih bagusnya semacam cita-citaku.
Semalam dia menegaskan prasangkaku, bahwa Lanang masih mencintai mantan kekasihnya yang kabur di tengah malam menuju hutan pring dan Lanang tidak pernah ingin tahu sebabnya, atau tepatnya, Lanang malas mengoreksi perilaku-perilakunya.
Ribuan debu, percayakah kau, dia masih sangat kasmaran pada mantan kekasihnya. Semalam dengan kepala tunduk terduduk, dia berteriak padaku: “Kau tak seperti kekasihku, kau perempuan jelek, dengan kulit jelek, tubuh yang jelek dan tidak proporsional, rambutmu jelek, matamu terlalu lebar, dan terutama bibirmu tidak pernah berganti warna tidak seperti kekasihku, ia memiliki bibir pelangi.”Kemudian Lanang diam, kukira dia akan berhenti berteriak padaku, tapi perkiraanku ternyata salah debu, dia masih ingin menyerangku dengan bedil yang berpeluru jutaan kata-kata panas. Lanang berteriak lagi: “Ranti, kaupun kukira bukan betul-betul seorang perempuan, kakimu menjuntai terlalu panjang seperti pemain sepak bola, kau juga tidak pernah memakai rok atau kain, aku sungguh tidak menginginkanmu yang sok tomboy, sok tomboy berarti sok kuat. Aku inginkan kau berpakaian seperti mantan kekasihku. Taukah kau Ranti, dia sangat manis, tubuhnya langsing, tinggi, berkulit mulus, dan berwajah manis, dia selalu memilih memakai pakaian yang anggun dan elegan. Oooh Ranti, sekarang ini aku benar-benar merindukannya.”
Mentari, bayu dan debu sahabatku, kalau kau tidak percaya ceritaku ini, tanyakan saja pada bulan. Petang nanti bulan janji akan datang menjengukku, tanyakan saja kepadanya. Aku yakin tadi malam bulan mengintip peristiwa itu, semalam aku sempat melihat bulan menyelinap di pojok jendela kamar kekasihku. Tanyakan semuanya padanya, karena aku yakin bulan akan menjawabnya dengan jujur tanpa dikurangi atau dilebih-lebihkan.
Bertanyalah pada bulan mengenai peristiwa semalam, bulan menyaksikan, bagaimana gugupnya Lanang yang tiba-tiba berdiri, beranjak dari pojok kamar dan menggeledah tas kerjaku secara kasar dengan tangan dan tubuhnya yang gemetar karena kemarahan yang tidak kuketahui jelas sebabnya. Apa yang dia cari, aku hanya menebak-nebak saja. Apa mungkin dia mencari spidol warna yang biasanya kugunakan menulis di white board, saat mengajar di kelas? Apakah dia akan memilih spidol berwarna merah menyala dan akan mencoretkannya di bibirku, supaya menyerupai bibir pelangi mantan kekasihnya yang telah kabur itu. Ternyata aku salah, dia tidak mengambil spidol dan mencoretkannya di bibirku, Lanang mengambil kotak kacamata milikku, Lanang membukanya dengan tergesa-gesa dan menyuruhku memakainya.
Bulan di pojok jendela kamar tahu untaian utuh peristiwa semalam, semalam aku menurut saja ketika lanang menyematkan kaca mata di wajahku, wajah yang mengisyaratkan kelimbungan hingga aku benar-benar mirip nona kosong. Aku tahu Lanang tidak akan memujiku, atau mengatakan saat berkacamata wajahku bertambah manis. Sebaliknya dia berkata: “Kekasihku dulu sangat manis, kalau memakai kacamata, tidak sepertimu yang tetap jelek. Kekasihku mirip artis sineteron terkenal, dan aku sangat mencintainya kamu harus tahu itu, Ranti.” Rasis!!Kenapa aku harus tahu, pikirku.
Bulan masih juga setia menyaksikan aku dan Lanang semalaman, bulan terpekur dan seolah ikut menderita atas apa yang menimpaku semalam. Seolah bulan membujukku supaya aku berontak. Bahkan bulan memberi usul supaya aku membunuh atau menyobek saja mulut Lanang atau memotong kemaluannya dan akan kubawa pulang, Pleky pasti gembira mendapat oleh-oleh daging segar. Tapi aku menolak usulan bulan. Lalu, kunang-kunang beterbangan memasuki kamar, menerobos melewati fentilasi kamar. Indah sekali, kunang-kunang terbang membawa lentera mini dan meliuk-liuk di langit-langit kamar yang berwarna putih. Kunang-kunang itu berisik dan mengajakku untuk meninggalkan Lanang yang terus menjajah jiwaku, hingga kini membuatku setengah gila, tapi aku menolak dan enggan mengikuti kunang keluar kamar itu.
Semalam hanya diam, aku menunggu pagi datang, hingga Lanang tertidur karena kelelahan oleh amarahnya sendiri. Kupandangi wajahnya yang bersih, ketika tidur, mimik Lanang seperti bayi, dia memiliki raut muka kosong yang indah, tapi sayang hanya nampak ketika tidur, jika terjaga, kupastikan dia akan kambuh lagi. Bila keinginannya atas tubuhku tidak terpenuhi, maka dia akan mengejek dan memakiku supaya lekas seperti mantan kekasihnya yang sempurna, kekasihnya yang memilih menghilang, kabur masuk hutan pring.
Mentari, Bayu dan Debu, aku memiliki rahasia, yang sebernarnya hanya bulan yang mengetahuinya. Bahkan Lanang belum mengetahui perihal ini. Sebenarnya tanpa sengaja, beberapa bulan yang lalu, pada masa musim layang-layang yang kemarau, aku menjelajah hutan pring. Waktu itu, aku bermaksud menemani kawan-kawan kecilku berburu layang-layang kesayangannya lantaran angin kemarau yang kuat memutus tali layang-layang dari kendali tangan-tangan mungil sehingga tersangkut pohon pring di dalam hutan. Karena cukup jauh masuk hutan, maka aku menemaninya, aku selalu mengkhawatirkan ada hewan buas yang akan memangsa kawan kecilku. Setelah melewati belukar yang membuat kulit kaki dan tangan kami baret-baret lanyang-lanyang itu akhirnya kami temukan. Layang-layang itu tersangkut di pohon yang letaknya jauh di dalam hutan. Kemudian, tanpa sengaja aku bertemu seorang gadis yang berwajah ceria seperti wajah yang penuh harapan. Gadis hutan itu bernama Lilin.
Pernah kuajak Lilin keluar hutan, tapi dia menolak, dia berkata padaku: “Aku telah hafal musim, alam, dan perilaku hewan disini, justru aku takut pada makhluk sejenis manusia Lanang, yang ketika aku yakini telah mengenalnya, tapi tak pernah kusadari diluar akal batin dia berlaku melampaui penjahat negara dan aku takkan sanggup menerima penghianatannya. Ranti, dia lebih jahat dari binatang buas di hutan ini, hingga aku pernah tak lagi hanya ingin meninggalkannya, bukan hanya berniat meninggalkan lingkungannya, bahkan aku pernah ingin meninggalkan dunia, aku pernah sengsara dan karena hal itulah aku tidak berniat untuk mengulanginya lagi.”
Kasihan sekali Lilin, aku tidak akan lagi mengajakmu keluar hutan dan meninggalkan alam yang kini menjadi kawan baikmu Lilin, demikian janjiku sebelum berpisah dan mengajak kawan-kawan kecilku segera meninggalkan hutan pring sebab senja mulai merambah hutan.
Demikianlah pertemuanku dengan Lilin, dia berwajah ceria. Hingga aku selalu membayangkan mantan pacar kekasihku dengan sangat jelas, tidak lagi hanya meraba-raba dalam kekaburan. Kini aku selalu sanggup melukiskan seperti apa gerangan wajahnya, kulitnya yang hitam kelam, rambutnya yang kusut dan sedikit berombak, susunya yang sedang, pantatnya yang wajar, jempol kakinya yang dibalut kulit kelam, bibirnya memang memakai pewarna lumayan tebal, hidungnya yang tidak mbangir, matanya yang kenes, giginya besar-besar, (kutaksir giginya kira-kira besarnya dua kali ukuran gigiku) tingginya kira-kira sedagu-ku, tubuhnya kurus, dan sama sekali tidak mirip artis sinetron apalagi bintang Hollywood yang memainkan film-film romantis. Rupa sejarah jelas tergambar jauh dari yang didongengkan Lanang tentang dia, dan ini persoalan kebenaran ucap dan kata-kata Lanang.
Mentari, bayu dan debu sahabatku, kalian kupercaya untuk menjaga rahasia cerita ini, karena hanya bulan dan kalian sahabat setiaku. Kumohon jangan ceritakan hal ini pada kunang-kunang, karena mereka pasti akan semakin merasa memiliki alasan kuat dan membujukku terbang bersama mereka. Kunang-kunang selalu menginginkanku ikut dengannya, dia ingin mengenalkanku pada bintang-bintang berkerlip di langit malam yang berbentuk lucu dan bagus. Kunang-kunang ingin mengajakku terbang meninggalkan Lanang sendirian. SShhhtttttttt…., tolong jaga Rahasia ini.

Celaka!! sepertinya aku mulai menimbang-nimbang ajakan kunang-kunang untuk meninggalkan Lanang.


00.45 WIB

Purworejo, 8 Agustus 2006