Rabu, 09 Januari 2008

Sakit Soekarno, Soeharto, dan Bangsa Ini

Oleh: Endang Suryadinata
Peminat sejarah Indonesia- Belanda, alumnus Erasmus Universiteit Rotterdam

Setiap orang pernah sakit. Tak ada orang yang bisa lolos, termasukmereka yang pandai menjaga kesehatan sekalipun, kadang bisa sakit.Bahkan sekuat dan sehebat apa pun penguasa dunia ini, hidupnya jugabisa terancam sakit. Tak terkecuali dua presiden negeri ini, Soekarnodan Soeharto.
Kita mulai dari Soekarno. Presiden Pertama RI Soekarno positifmengidap gangguan ginjal dan pernah dirawat di Wina pada 1961 dan1964. Takut ginjal kirinya diangkat, seperti disarankan Prof Dr KFellinger dari Fakultas Kedokteran Wina, Bung Karno lebih menyukaiobat tradisional China atau melakukan akupunktur. Selama menjadiPresiden, layanan kesehatan untuk mengatasi sakit Bung Karno masihbaik-baik dan proporsional.
Namun, setelah peristiwa kudeta merangkak, yakni Supersemar 1966, dansecara perlahan tetapi pasti kekuasannya “dipreteli”, layanankesehatan kepada Bung Karno bisa dikatakan amat tidak memadai, bahkansangat minim. Bayangkan, untuk urusan sakit gigi saja, Bung Karnoharus diawasi ketat, padahal dia masih menjabat sebagai presidenhingga Maret 1967.
Kisah itu boleh jadi pernah kita baca dari buku yang ditulis drg OeiHong Kian, dokter gigi pribadi Bung Karno, seperti pernah ditulismajalah Intisari.
Kisahnya terjadi pada Januari 1967, saat drg Oei Hong Kian diminta keIstana Negara karena Bung Karno sakit gigi. Karena peralatan gigi diIstana sudah amat kuno, terpaksa alat-alat Dr Oei diangkut ke Istana.Pasalnya, saran drg Oei Hong Kian agar Bung Karno dirawat di tempatpraktiknya tidak diterima.
Lebih parah lagi, ketika Bung Karno harus terusir dari istana, pasca-Soeharto diangkat jadi Pejabat Presiden pada Maret 1967, secara resmiBung Karno menjalani karantina atau tahanan rumah di Bogor. Sejaksaat itu, layanan untuk mengatasi sakit Bung Karno bisa dikatakankurang bagus. Dunia luar, bahkan keluarga dekat Bung Karno, pun tidaktahu kondisi Bung Karno yang sebenarnya. Yang sedikit kita tahu,menurut pengakuan Mahar Mardjono, saat Bung Karno sakit, obat yangdiresepkan hanya disimpan di laci karena ada pesan demikian.
Tidak heran jika kemudian menyebar kasak-kusuk Soekarno ditelantarkanatau dibiarkan menderita sakit tanpa penanganan medis memadai. Dariucapan Mahar Mardjono kita tahu, ternyata dokter di Indonesia masihbelum bisa independen karena masih bisa ditekan oleh kekuatan politiksehingga standar pelayanan medis yang sepantasnya tidak diberikankepada pasien. Tidak heran di saat-saat akhir hidupnya, fisik BungKarno tampak sangat memprihatinkan.
Akhirnya sosok kelahiran Blitar, 6 Juni 1901, itu wafat dalamkesepian pada 20 Juni 1970, tanpa ada liputan semarak media.Kenyataan pahit akan sakitnya Bung Karno selama ini ditutupi, padahalseharusnya para saksi sejarah berani berbicara untuk mengungkap apayang sebenarnya terjadi.

Pelayanan Soeharto
Pelayanan terhadap Soekarno berbeda sekali dengan pelayanan medisuntuk Soeharto pascalengsernya pada 21 Mei 1998. Tim dokter langsungdibentuk, bahkan berasal dari dokter-dokter terbaik negeri ini.Bahkan, ketika baru-baru ini ada yang tak beres dengan usus PakHarto, operasi dengan tenaga serta alat-alat medis tercanggih pundilakukan. Para pejabat negara atau tamu-tamu lain berdatanganmembesuk. Kita gembira melihat mantan orang kuat Orba itu sembuh,seperti diberitakan Kompas (9/5).
Jadi, pelayanan medis kepada para mantan presiden seharusnya sepertiyang diberikan kepada Soeharto. Juga dengan liputan media yang luassehingga rakyat tahu akan kondisi mantan presidennya. Tidak perlu adasejarah yang ditutupi. Kita tidak perlu dendam pada Soeharto, tetapiproses hukum terhadapnya perlu dilakukan demi kejelasan sejarah.Setelah proses hukum selesai, kita semua harus rela memaafkanSoeharto, seperti disarankan Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Otokritik
Jika menyimak sakit Bung Karno, kemudian sakit Soeharto, ada sesuatuyang membuat kita harus berani melakukan otokritik. Ternyata, jujurharus diakui, kita sering diliputi ketakutan menatap sejarah parapemimpin kita, yang di dalamnya juga terangkum sejarah masa lalu kitasebagai bangsa. Sikap demikian jelas tidak menunjukkan kematangansama sekali.
Akibatnya, seperti dikatakan Amien Rais di berbagai kesempatan, kitasebenarnya merupakan bangsa yang sakit. Meski berbagai diagnosissudah dilakukan, di antaranya meminta bantuan IMF dan Bank Dunia,penyakitnya belum sembuh, bahkan kian parah.
Yang lebih menyedihkan, kita juga menjadi bangsa besar yang amatminim dengan rasa percaya diri. Kita sering dihinggapi rasa minder,boleh jadi karena utang kita yang 150 miliar dollar AS. Kitaberkewajiban agar bisa sembuh dari sakit dan kembali menggapaikejayaan seperti di era Majapahit. Bagaimana caranya?
Tentu ada banyak jawaban. Tetapi, dari perspektif sejarah, kita perlumenjadi bangsa yang berani menatap masa lalu. Misalnya, hingga kinimasih banyak kasus dari masa lalu yang coba ditutupi, mulai dariTragedi 1965 hingga Tragedi Mei 1998. Ada jutaan korban atau anakcucu korban yang masih terstigma oleh kasus ini atau itu.
Konyolnya, pemerintah sendiri takut menghadapi kenyataan sejarah. Inibisa dibaca dari terbengkalainya RUU Komisi Kebenaran danRekonsiliasi yang diundangkan Presiden Megawati Soekarnoputri, 6Oktober 2004. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang seharusnyaterbentuk 6 April 2005 belum bisa dibentuk di era Presiden SusiloBambang Yudhoyono (Kompas, 22/4). Konyolnya, banyak orang meremehkanrekonsiliasi. Untuk apa? tanya mereka.
Padahal, meremehkan rekonsiliasi sama dengan meremehkan masa laluatau mengabaikan sejarah sendiri. Akibatnya, kita tetap menjadibangsa yang gagal. Bukan bangsa yang unggul, seperti diharapkanSusilo Bambang Yudhoyono. Tocqueville (1805-1859) mengingatkankita, “Karena masa lalu gagal menerangi masa depan, benak manusiamengelana di tengah kabut”.

Tidak ada komentar: