Minggu, 06 Januari 2008

Gerimis

Oleh: R. Indira Hapsari
Malam adalah kesunyian, di luar hujan gerimis. Kutinggalkan rumahku tak berpenghuni, cahaya yang menerangi rumah pun kuajak, kubiarkan saja gubuk gelap gulita.
Menyusuri jalan menunuju kali dengan langkah lamban, karena berhati-hati. Kutembus hawa sejuk yang gelap oleh siluet pohon pring ditepi jalan. Rintik air yang jatuh dari atas tak mampu menampar wajahku, mataku pun masih mampu melihat gendruwo dan wewe di seberang kali yang hening dan mencekam. Sesekali aku mendengar iblis tertawa menggelegar, biar saja...! kali ini aku takkan menghiraukan apakah iblis itu mentertawakanku atau tidak.
Lampu minyak ditangan kiriku menyala kecil seperti banaspati mungil. Senyap...langkahku tak terdengar. Sandal jepitku satu-satunya digondol asu milik tetanggga, sandal jepit dianggapnya mainan, seperti balita yang berjingkrak bersama boneka barunya.
Tapi bagaimanapun juga aku lebih menghormati asu dari pada binatang apaupun, bahkan dari pada menungso yang selalu tergantung. Paling tidak asu bisa bertahan hidup tanpa menjadi parasit. Asu biasa mencari makanan sediri, tidak pernah ditemukan asu mati karena tidak diberi makan majikannya. Asu adalah binatang setia, selalu melindungi majikkan seperti di serial komik tin-tin. Tokoh Tin-tin dan asunya yang bernama Timmy, aku selalu disuguhi cerocos petualangan Tin-tin dan Timmy yang sangat diidolakan cucuku. Cucu laki-laki satu-satunya dari anak perempuanku yang tidak bersuami, suaminya menghilang tanpa jejak, sebelum ia sempat bertanya kepada kami para perempuan, mengenai keterkaitan senggama dengan cinta dan tanggung jawab.
Kunikmati lempung lengket dan duri-duri semak yang tak sengaja terinjak oleh kakiku yang telanjang. Lalu kulangkahkan kaki untuk melampaui jembatan tua yang jika kuinjakkan kakiku di atasnya maka akan berderit, mengeluarkan bunyi “krrreeeek”.
Jembatan dari kayu kulampaui, tujuanku adalah seberang kali. Jembatan yang dibangun ketika umurku tujuh tahun. Orang-orang membangunnya beramai-ramai. Truk raksasa mengangkut potongan kayu-kayu pondasi jembatan. Yang sangat kuingat adalah sopir truk berperawaan seperti buto, berwajah masam, memakai kaca mata hitam dan handuk kumal selalu tersampir di lehernya. Handuk itu selalu dia gunakan untuk mengelap mukanya dengan kasar saat berkeringat.
Mbokku mengatakan, “Kalau kau nakal, maka akan dijadikan tumbal pembangunan jembatan. Mereka akan menculikmu dan memasukkanmu dalam karung, kemudian kepalamu dipenggal dan ditanam di dasar kali sebagai fondasi jembatan.”

*
Pekerjaan ini memang tidak mudah, tapi entah perasaan kuat selalu mendorongku untuk melakukannya. Sejak sepuluh tahun lalu desa ini mengalami bencana banjir dan tanah longsor yang mengubur hidup-hidup keluarga kecil yang kumiliki, anak perempuanku dan cucu satu-satunya terkubur tanah longsor, meratakan rumah kami yang renta, menggulung tanaman katu, kangkung, bayam, lombok, kates dan pisang disamping rumah. Kuntum mawar, melati dan kelopak bunga sepatu luluh lantak bercampur kesunyian dan harapan kami, hanyut, remuk, tertimbun bersama lumpur dan puluhan orang lainnya.
*
Sejak petang tadi hujan mengguyur deras, aku kesini hanya memastikan untuk mewaspadai terjadinya bencana banjir ataupun longsor.
Mereka memang tak memikirkan nasib wong cilik seperti kami. Seolah bencana sepuluh tahun lalu hanya berita kosong mlompong tak bermakna yang dicetak surat kabar, namun hingga sekarang tak ada keniatan untuk merimbunkan lagi hutan di lereng gunung ini. Huh, mereka semua sembrono..

**

Jember, tahun 2006

Tidak ada komentar: