Sabtu, 09 Juni 2012

Lebih Kreatif Dengan Kemudahan Pendidikan Berbasis TI



Lebih Kreatif Dengan Kemudahan Pendidikan Berbasis TI
Oleh: Ratih Indri Hapsari, S.Sos

Teknologi informasi yang merupakan produk kemajuan peradaban manusia, pada perkembangannya memiliki kontribusi yang sangat besar dalam mendukung proses kreativitas manusia. Kreativitas manusia modern tidak pernah terlepas dari Teknologi Informasi sebagai penunjangnya. Misalnya di dalam dunia pendidikan, sangat penting pemanfaatan teknologi dalam proses Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) untuk lebih memudahkan dalam penyampaian materi agar pemahaman peserta didik bisa menjangkau sedekat mungkin dengan fakta obyektif  ilmu pengetahuan. 

Berikut ini adalah sekilas mengenai cara pembelajaran di Indonesia, yang pertama pembelajaran dengan metode konvensional, yaitu ceramah dan variasi diskusi kelas. Yang kedua, metode pembelajaran secara modern dengan menggunakan alat peraga maupun pemanfaatan teknologi informasi secara massif.

Mengapa KBM Dengan Metode Konvensional?
Mata pelajaran “Sosiologi” tingkat SMA. Di semester awal, terdapat pokok bahasan mengenai “Masyarakat Multikultural dan Konflik Sosial”. Jika pilihan proses KBM secara konvensional, maka pembelajaran yang dilakukan di kelas pada umumnya yaitu: menganalisa konsep Multikulturalisme dan konsep  Konflik Sosial. Kemudian bisa saja berdiskusi, sebagai referensi awalan diskusi adalah situasi lingkungan yang diperoleh siswa dari pengalaman sehari-hari siswa  maupun informasi yang didapatkan melalui media massa. 

Sejauh ini memang tidak adil rasanya jika KBM konvensional seperti contoh di atas  diposisikan sebagai model pembelajaran yang kuno yang sekarang juga harus dirubah. Terlebih melihat kenyataannya teknik pembelajaran konvensional tersebut masih berlaku di sekolah-sekolah yang secara teknologi belum memadai karena keterbatasan sarana dan prasarana. Misalnya, gedung sekolahnya saja mau roboh, sekolah-sekolah di daerah yang memang belum tersentuh oleh jaringan listrik. Atau, ada juga sekolah yang memiliki fasilitas Teknologi Informasi modern, tapi fasilitas tersebut  belum digunakan secara maksimal dalam KBM, hal tersebut disebabkan antara lain faktor para pendidik yang belum akrab dengan Teknologi Informasi. Memang sangat disayangkan.

Memutus Mata Rantai Ketertinggalan
Menyadari bahwa dunia begitu cepat mengalami perubahan disebabkan oleh arus globalisasi yang sedemikian pesat. Maka pendidik memiliki kapasitas yang besar dalam pendampingan menyambut era globalisasi tersebut. Atap sekolah mungkin bocor, gedung sekolah mungkin hampir roboh, sebagian dari  pendidik yang berusia lanjut mungkin tidak akrab teknologi, dan mungkin saja sekarang masih banyak daerah yang terisolasi dari terangnya jaringan listrik. Tetapi, bukanlah suatu kemustahilan bagi anak-anak dan peserta didik yang gedungnya mau roboh tersebut sudah sedemikian dekat dengan gadget modern dan internet. Suatu daerahpun tidak akan gelap tanpa listrik untuk selama-lamanya. Pasti suatu saat nanti, cepat atau lambat akan ada pembenahan menuju kesejahteraan, karena perubahan adalah keniscayaan.

Adalah tanggungjawab moral bagi pendidik yang memiliki kesiapan secara teknis dan mental dalam kemajuan teknologi informasi diharapkan bisa  pro aktif  dan semakin antusias dalam pemanfaatan Teknologi Informasi di dalam proses KBM. Tujuannya yaitu, pertama, materi yang disampaikan akan lebih variatif.  Misalnya  matapelajaran Sosiologi SMA dengan pokok bahasan “Sosialisasi” dengan sub bahasan “keluarga”. Dari pengalaman proses KBM di kelas, saya menampilkan cuplikan film yang berjudul “Just Married”( bisa dilihat di: peraga 1).  Siswa saya minta untuk menganalisa fungsi manifest (terlihat) lembaga keluarga dan fungsi latent (tersembunyi) lembaga keluarga yang tersirat dari cuplikan film tersebut maupun dari pengalaman sehari-hari siswa. Teknik KBM secara konvensional tentu tidak akan mungkin menghadirkan abstraksi nyata sebuah keluarga di ruang kelas. Kekurangan tersebut terjawab oleh kemajuan teknologi informasi. Berkat seperangkat laptop dan proyektor guru bisa menghadirkan media peraga pendidikan berupa “film”, dan hasilnya siswa sangat antusias dan tidak bosan.

Kedua, peran pendidik memiliki kapasitas mengenalkan teknologi sebagai basis pengembangan ilmu pengetahuan. Misalnya, menunjang rancang bangun arsitektur, botani planting, membuat rumusan dasar teknologi pesawat, teknik mutakhir rekayasa multimedia, dll.

Ketiga, ketika membutuhkan tambahan referensi sebagai penunjang proses KBM , maka berkat kemajuan teknologi informasi dan internet, maka pendidik bisa dengan leluasa browsing referensi maupun gambar yang dibutuhkan, tentunya dengan catatan tidak boleh lupa mengiformasikan kepada siswa alamat domain asal data tersebut didapat. Hal ini penting untuk menanamkan sikap sportif bukan plagiatif (bisa dilihat di: peraga 2).

Keempat, melalui pemanfaatan kemajuan Teknologi informasi,  pendidik dan peserta didik  bisa lebih intens berdiskusi dalam konteks dunia akademis. Misalnya, melalui jejaring sosial  facebook, twitter, blogger, dll. 

Kelima, pemanfaatan teknologi dalam dunia pendidikan juga bisa mengurangi bahaya global warming secara efektif.  Misalnya, membiasakan mengumpulkan tugas makalah melalui email. Bisa dibayangkan, jika tugas-tugas tidak lagi ditulis di kertas, berapa banyak pohon yang terselamatkan. Selain itu kelebihan membiasakan mengerjakan tugas menggunakan perangkat teknologi modern akan memberi jalan bagi peserta didik untuk meng-upload  dan menyebarluarkan karya ilmiahnya. Efeknya, betapa ramainya iklim ilmiah, siswa perlahan juga tidak akan malu-malu untuk ikut dalam berbagai perlombaan. Apalagi informasi mengenai lomba, beasiswa, festival menulis sangat erat dengan sistem informasi internet,  jadi dengan demikian tidak ada lagi ketertinggalan informasi.  

Keenam, manfaat secara budaya. Apabila pendidik bersama-sama dengan konsisten menggunakan perangkat teknologi informasi secara efektif dalam proses pembelajaran, maka secara perlahan akan terkonstruk di dalam pikiran siswa bahwa pemanfaatan teknologi erat kaitannya dengan proses kreatif yang produktif. Dengan demikian, penyalahgunaan teknologi di kalangan pelajar akan berkurang. Karena di mindset  peserta didik sudah lebih tertata mengenai pemanfaatan kemajuan teknologi informasi secara cerdas dan terarah.** 


Tulisan ini disertakan dalam lomba penulisan artikel guru di Guraru: http://www.guraru.org/news/2012/05/09/499/lomba_penulisan_artikel_guraru_quotpemanfaatan_teknologi_untuk_ruang_kelas_yang_kreatif.html

Tema “Pemanfaatan Teknologi Untuk Pendidikan”


 



Sabtu, 21 April 2012

Mewarisi Fisafat Hidup Kartini

 “… Aku sangat bangga, Stella, disebut satu nafas dengan rakyatku ”.
( surat Kartini kepada Stella, pada 17 Mei 1902)

Mengenang kembali sosok Kartini, berarti mengingat kembali riwayat mengharukan mengenai perempuan muslim yang taat, seorang  pribumi berdarah biru yang hidup ketika Indonesia dalam cengkraman kolonialisme Hidia-Belanda. Kartini, pada dekade itu adalah seorang perempuan pejuang sekaligus pelopor pembebasan yang konsisten. Terbukti, sepanjang hidupnya, semenjak usianya belasan tahun hingga kematian menjemput, tanpa henti dan tak pernah menyerah terus bergelut dalam aktivitas perjuangan untuk kemajuan masyarakat. Begitu gigihnya Kartini mengajari membaca dan menulis para perempuan, sedangkan Ia sendiri, pada masa itu dihadapkan pada lingkungan yang sangat kental dengan feodalisme. Dimana perempuan dikondisikan hanya berkutat pada sektor domestik.
Dulu tidaklah mudah, bahkan bagi seorang Kartini sekalipun untuk memulai suasana kelas yang diidam-idamkan. Banyak sekali rintangan dan sabotase. Selain dilarang  keras oleh pemerintah Hindia Belanda, antara lain halangan tersebut berasal justru dari ayahnya sendiri_seorang yang sangat Kartini hormati dan cintai. Penghalang tersebut kian nyata ketika Kartini dijodohkan dengan seorang Bupati. Kartini menuruti saran sang Ayah untuk menikah di usia muda, dan dalam kondisi psikologis yang penuh angan tentang pembebasan.
Kartini paska menikah, hidupnya relatif nyaman dan serba tercukupi. Namun, diakuinya tidurnya tak pernah nyenyak. Karena, ketika semakin banyak Ia berdialog dengan rakyat semakin berkembang kesadarannya tentang cita-cita pembebasan. Kartini menyadari realitas kehidupan disekitarnya semakin rapuh. Itulah yang membangkitkan jiwa dan semangat Kartini menjadi bertambah kokoh, tekat semakin bulat dan cita-cita mengenai pendidikan untuk pembebasan tidak boleh ditunda-tunda.
Tentu kesadaran yang dimiliki Kartini adalah kesadaran tertinggi. Meskipun status sosialnya mapan namun tidak lantas menutup mata terhadap kondisi objektif masyarakat yang masih tertindas. Sikap Kartini jelas sungguh berbeda dengan kisah pejuang dan aktivis paska kolonial. Misalnya, aktivis di era roformasi_meskipun tidak semuanya. Aktivis yang sebelumnya sangat garang memprotes pemerintahan otoriter Orba, setelah menduduki posisi yang mapan di salah satu partai politik atau lembaga pemerintahan, kini justru menjadi tumpul kesadaran kritis dan macet sentimen kerakyatan, alias tidak berkutik.Aktivis kacangan” tersebut jelas masih jauh dari standart capaian kesadaran Kartini, yang notabene bangsawan/berdarah biru namun tidak menduplikasi mentalitas dan kesadaran orang yang menindas mereka. Kartini justru memilih menjadi pendidik, sebab salah satu misi dan tugas pendidikan adalah bagaimana membebaskan alam pikir kaum tertindas dari kekaguman terhadap kaum penindas, yang terkadang itu terjadi tanpa disadari.

Memang kondisi pendidikan untuk mayoritas rakyat pribumi pada waktu itu,  jelas jauh berbeda dari situasi pendidikan di era sekarang, dimana lembaga pendidikan menjamur dan tidak ada lagi hambatan yang cukup signifikan bagi perempuan untuk mendapatkan pendidikan.
Namun ironis, pendidikan yang dulu merupakan barang langka yang mencatatkan proses sejarah panjang dan melelahkan untuk mencapai tahapan yang lebih maju, kini kondisi pendidikan di Indonesia sangat memprihatinkan dan carut marut. Pendidikan, kini adalah komoditas instan semata-mata untuk mendapatkan ijasah dan pengetahuan dianggap seperti “barang jadi” yang siap ditelan peserta didik tanpa melalui proses seleksi dan refleksi bersama. Padahal manusia memiliki kapasitasnya untuk berfikir. Kapasitas inilah yang memungkinkan mereka terlibat di dunia dengan maksud dan tujuan yang jelas. Kapasitas reflektif membuat manusia mampu menjaga jarak dengan dunia dan mampu untuk memberi makna kepada dunia serta memungkinkan manusia untuk reserve. Kapasitas berfikir membuat manusia mampu memproblematisasi kontradiksi-kontradiksi yang terjadi dalam realitas kehidupan dan bagaimana mengubahnya. Mereka juga mampu menamai dan mengubah dunia lewat bahasa-pikirannya untuk menciptakan sejarah masa depan.
Perlu diketahui, Kartini tidaklah pernah berpendapat negatif mengenai peran domestik yang diemban oleh perempuan. Justru Kartini ingin menambah kapasitas perempuan pribumi dibidang pengelolaan rumahtangga, ketrampilan, kesenian, emansipasi, pengetahuan politik melalui tatacara filsafat pendidikan kritis. Pendidikan adalah sarana penting yang dijadikan alat oleh Kartini untuk mentransformasikan pengetahuan objektif yang bertujuan mengubah situasi penjajahan dan feodalisme menuju pembebasan dan egaliter. Oleh karena itu penting pendidikan kritis berbasis pada keadilan dan kesetaraan. Melalui pendidikan yang tidak hanya berkutat pada pertanyaan seputar sekolah, kurikulum, tapi juga mewacanakan tentang keadilan sosial dan kesetaraan.
Kartini melihat masyarakat Jawa adalah masyarakat yang kental hierarki, namun belum memiliki konsep utuh mengenai hak dan kemanusiaan. Mayarakat pribumi dan jumlahnya mayoritas justru berada di kasta paling rendah, di atasnya adalah kaum bangsawan dan golongan timur jauh (Cina, Arab), sedangkan posisi puncak kasta adalah bangsa Eropa. Itu artinya ada kesalahan dan penderitaan rakyat yang diakibatkan dari sistem pranata tersebut.
Pergumulan Kartini dengan aktivis dan intelektual asal Eropa sangat mempengaruhi cara pandang Kartini, opini tersebut menjadi dominan disebabkan terbit sebuah buku “Habis Gelap Terbitlah Terang”, yang merupakan kumpulan surat Kartini kepada sahabatnya yang berasal dari Eropa. Hal itulah yang kemudian memunculkan “prasangka” oleh beberapa pihak. Antara lain, label bahwa emansipasi Kartini terlalu barat, tidak cocok jika diadopsi oleh bangsa Indonesia. Jika ditelusuri dengan teliti, prasangka tersebut hanyalah upaya kelompok patriarkal yang memiliki destinasi penghancuran semangat emansipasi di Indonesia.
Kartini bukanlah seorang yang menelan mentah sebuah cara pandang tanpa merefleksikan terlebih dahulu.  Proses refleksi penting untuk dilakukan merupakan akulturasi ajaran budaya Jawa dengan budaya Hindu Budha. Yaitu, cara pandang dalam mencari kebenaran tidak semata demi kebenaran.  Agar manusia terhindar dari keinginan yang menimbulkan penderitaan, maka manusia perlu meningkatkan pengetahuan dan menyadari adanya berbagai ilusi serta cara menghindarinya. Untuk dapat menghilangkan ilusi dan ketidaktahuan, pertama-tama manusia harus meluruskan pengertian tentang kenyataan.
Dengan pengetahuannya tentang kenyataan, ia kan menyadari hal- hal apa saja yang merupakan ilusi dan hal-hal apa yang merupakan kebaikan kebenaran. Pemahaman Kartini terhadap pengetahuan membutuhkan keseluruhan diri manusia, baik pikiran, perasaan, dan tindakan. Dalam hal ini termasuk pemikiran filosofis, pemurnian seluruh hidup, dan aktivitas kontemplasi sehingga tindakan perjuangan tidak menjauh dari kontradiksi masyarakat, namun bisa menjawab keresahan itu dan merubahnya menuju situasi yang lebih baik. Selain itu Kartini menginginkan emansipasi yang dilakukan perempuan sangat penting, namun tidak benar jika cita-cita emansipasi perempuan adalah menjadi seperti laki-laki borjuis atau terlibat penindasan yang tamak. 

Penulis: Ratih Indri Hapsari (kipas_hapsari@yahoo.com)

Rabu, 29 Februari 2012

Internet Menyehatkan Pelajar Indonesia

Pengaruh kemajuan teknologi terhadap pelajar harus diakui melebihi apa pun, bahkan lembaga keluarga maupun lembaga pendidikan. Meskipun banyak kasus yang menimpa pelajar yang menunjukkan penyalahgunaan kemajuan teknologi komunikasi sehingga membawa dampak terburuk bagi tingkah laku pelajar dalam lembaga pendidikan (sekolah).

Memang dengan kecanggihan teknologi, kini prosedur berinteraksi tidak harus face to face atau kontak langsung. Berinteraksi eksklusif maupun kolektif seiring perkembangan zaman mulai difasilitasi oleh gadget yang mudah dan murah. Mau sekedar bergosip, tertawa, menangis, berdiskusi, jatuh cinta, bahkan loe-gue end (putus cinta) bisa saja terjadi meskipun tanpa melalui kontak langsung.

Fenomenanya sudah sampai pada tahapan menjadi sistem budaya. Kalangan pelajar memang memiliki ketergantungan kuat terhadap internet, terutama sebagai sarana tampil di dunia maya. Bagi sebagian besar kalangan pelajar, berselancar di dunia maya sangat penting, disamping berinteraksi dengan lingkungan sekitar yang riil. Menjadi populer dan sempurna di dunia maya adalah prioritas, selain tentunya diimbangi berkompetisi dan berorganisasi secara nyata.

Keniscayaannya, teknologi semakin mendekatkan kesadaran pelajar akan pentingnya budaya literatif. Budaya literatif adalah nuansa antusiasisme membaca dan kemampuan menuangkan ide baru dalam bentuk tulisan ilmiah. Membaca adalah aktivitas penting untuk dilakukan siapapun terutama oleh kalangan pelajar. Karena pelajar adalah generasi yang memikul tanggung jawab besar sebagai penentu arah kemajuan bangsa dan bertanggung jawab terhadap nasib yang menimpa masyarakat luas. Membaca berita, artikel, esai, karya sastra, buku melalui internet kini adalah kewajaran, seiring kemajuan teknologi dan akses internet yang mudah sekali dinikmati oleh seluruh rakyat Indonesia pada umumnya.

Semoga dengan banyak membaca, pengetahuan akan semakin luas dan akan memacu pelajar untuk lebih kreatif, inovatif. Selain itu budaya literatif akan membentuk karakter yang lebih matang dan kontempelatif. Menghalangi dan melarang para pelajar tidak menyentuh gadget canggih dengan alasan untuk mencegah akibat-akibat buruknya bukanlah pemecahan jangka panjang, justru sebaliknya hal tersebut tergolong pemasungan. Lebih rasional jika kalangan pendidik bersedia terjun langsung memantau perkembangan kalangan siswa dalam kaitannya dengan kemajuan teknologi. Misalnya, sekolah menyediakan pelanyanan dan memperbolehkan penggunaan internet, namun memblokir situs yang dapat merusak iklim akademis. Pendidik dan siswa bergabung dalam jejaring sosial, sehingga bisa lebih intens dalam berdikusi persoalan seputar pelajaran, cara lainnya yaitu membiasakan menyelesaikan tugas sekolah dan mengirimnya melalui email.

Tugas yang dikirim melalui pesan elektronik memiliki beberapa kelebihan, selain lebih modern, efektif waktu, juga akan menghemat kertas. Penghematan kertas sangat penting mengingat ancaman global warming. Dengan metode dan cara pandang demikian mudah-mudahan ada  kemajuan di kalangan pelajar dalam menghadapi kemajuan teknologi. Kemajuan teknologi adalah tantangan dan ujian bagi kita semua. ****


Ratih Indri Hapsari; Mengajar di SMA Kertanegara Kediri & SMK Bhakti Indonesia Medika Kediri; Pengamat pop culture; (menetap di: kipas_hapsari@yahoo.com)
*Tulisan ini diikutsertakan dalam lomba Blog Writing Competition: Eksis Dengan Internet yang diselenggarakan oleh Dunia Axis (http://duniaaxis.co.id/)

Minggu, 19 Februari 2012

Menjemput Manusia Kecil

Tentang berita anak kecil..belum belasan tahun. Tapi dia punya ide dan melakukan penusukan terhadap temannya sendiri. Penyebabnya ha-pe. . Yah! Penyebabnya telpon genggam.Ironi. Dan setiap pertemuanku dengan anak2ku..aku semakin ngeri tehadap kenyataan di sekitarku. Anak-anak sekarang: lebih penting membawa HP daripada membawa otak. Ketika membawa HP, keliatannya seringkali mereka seperti tidak membawa otak kreatif. Oooooohhh! Tak bisakah manusia manusia kecil yang lucu dan enerjik itu sekaligus membawa otak dan HP???? Tak bisakah??? Seharusnya bisa.