Jumat, 30 November 2007

Narsisme Tubuh Perempuan Dan Hipermarket


Oleh Ken Ratih Indri Hapsari


Pada Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan di seluruh dunia yang jatuh pada tanggal 25 November, masyarakat dan NGO yang peduli persoalan perempuan memperingatinya dengan cara melakukan pawai atau melakukan kampanye serta menyampaikan tuntutan-tuntutan yang memperjuangkan seputar isu-isu perempuan. Penindasan terhadap perempuan memang masih terpupuk dan tumbuh subur, meski saat ini adalah era yang mengagung-agungkan modernitas dan kemajuan tekhnologi.
Penindasan perempuan bukan hanya melalui tindakan pelecehan dan kekerasan fisik, lebih daripada itu penindasan itu juga berbentuk kesadaran semu yang diinjeksikan kepada perempuan secara terus menerus oleh berbagai instrument-instrumen kekuasan demi kepentingan segelintir orang. Perempuan dengan mudah akan terhipnotis oleh semarak tawaran-tawaran pasar globalisasi, yaitu berupa berbagai macam aksesoris untuk memperindah penampilan, yang sebernarnya merupakan salah-satu usaha pemalsuan kesadaran perempuan menuju ideologi narsis.Bila kita cermati semakin hari, kian menjamurlah mall, pusat-pusat perbelanjaan dan swalayan di berbagai sudut-sudut kota besar. Seolah tidak mau ketinggalan, mini market juga telah merambah di kota-kota pinggiran. Hingga nasib mengenaskan melanda toko-toko kelontong milik masyarakat yang berbasis ekonomi keluarga.
Pasar tradisional mengalami penurunan keuntungan penjualan dengan jumlah yang cukup signifikan. Padahal toko kelontong dan pasar tradisional adalah penyangga perekonomian mikro rakyat kecil, berbeda dengan swalayan dan jaringan mini market yang didesain dan dioperasikan oleh segelintir orang yang secara finansial memiliki kemampuan materiil lebih mapan.Ketika awal tahun 2006 hingga mendekati pertengahan tahun 2007 penambahan jumlah mall, swalayan dan mini market yang menjual kebutuhan hidup, cinderamata, pakaian-pakaian mode baru—yang hanya akan bertahan sebatas diiklankan produk tersebut, permainan elektronik, photo box, jumlahnya bertambah pesat jika dibandingkan jumlah toko buku di Indonesia. Jumlah buku yang diterbitkan di Indonesia juga masih tertinggal jauh dari negara lain, setiap tahunnya hanya 10.000 judul buku yang diterbitkan di Indonesia, bandingkan dengan Inggris yang menerbitkan 110.000 buku setiap tahunnya. Hal itu mengindikasikan budaya masyarakat Indonesia yang masih minim untuk menyampaikan pemikiran dan gagasan baru, mereka telah terbiasa menonton dan mengkonsumsi dibanding mencipta dan melakukan proses kreatif.
Mall dan swalayan juga menjadi tujuan rekreasi pemuda-pemudi, dalam hal ini perempuanlah yang lebih mendominasi karena memiliki kepentingan untuk terus berbelanja dan melakukan perbaikan-perbaikan pada setiap detail tubuhnya supaya semakin mendekati stradarisasi-stadarisasi cantik menurut ukuran pasar.
Perempuan akan kebingungan dan merasa kurang percaya diri ketika pakaiannya ketinggalan mode, perempuan akan mengalami krisis yang tidak terelakkan dalam hidupnya ketika ia tidak memakai lipstik dan pada akhirnya jiwa mereka akan tetap mengalami kegelisahan karena telah memutuskan untuk ikut arus yang sebenarnya tidak bisa ia mengerti dan menuruti aturan-aturan, standar-standar kecantikan yang dipaksakan pada mereka.Kesadaran perempuan diremehkan dan ditempatkan pada posisi serendah-rendahnya, perempuan berfikir dengan metode dangkal, mereka disibukkan berhias diri di depan kaca, menyempurnakan penampilannya, terkagum-kagum pakaian terbaru artis sinetron, berpose dengan senyuman dibuat-buat di dalam box foto, memandang dan mengevaluasi hasil foto kemudian siklusnya diulang lagi. Seolah eksistensinya sudah terpenuhi hanya dengan aktivitas-aktivitas pasif itu.
Kalau perempuan terus-menerus hanya mempedulikan diri-sendiri dan akan memperhatikan orang lain yang lebih glamour sebagai referensi, ketika perempuan menganut ideologi narsistik atau ideologi yang memuja-muja tubuh sendiri, lantas kapan mereka menyempatkan untuk melakukan sesuatu pada orang lain yang mengalami kesulitan hidup? Kapan perempuan akan menuntut ketidakadilan yang menimpa mereka? Kapan perempuan memiliki perspektif maju tentang persoalan kehidupan?Sebagaimana manusia seutuhnya, perempuan memiliki hak untuk bebas dari lingkaran narsis yang akan menenggelamkan mereka menuju lubang gelap imajinasi dan kepuasan-kepuasan semu yang tidak memberikan efek positif apapun selain kesia-siaan.
Perempuan memiliki hak sekaligus kewajiban untuk berorganisasi dan memberi kontribusi terhadap lingkungan sosial. Perempuan berhak belajar dan lebih memiliki ruang untuk mengelola ide-ide kreatifnya, perempuan berhak bebas dari intimidasi serta tindak kekerasan. Perempuan berhak bebas dari pelacuran hubungan seksual—maupun yang dibungkus pernikahan— yang semata-mata bertujuan untuk memperoleh uang atau berbagai keuntungan materi dan keamanan, karena bentuk hubungan seperti itu terjadi pada situasi dimana perempuan mengorbankan perasaan kasih-sayang sejati, persahabatan dan kemurnian cinta.
Lalu, apakah terlarang ketika perempuan merawat tubuhnya? Tentu saja jawabannya tidak! Yang menjadi persoalan adalah ketika seluruh waktunya dihabiskan untuk mengejar tubuh 'ideal' versi 'pasar' yang menyesatkan itu. Kecantikan muncul dari tubuh dan pikiran yang sehat, kecantikan bukan pemalsuan kepribadian yang telah mengubah konsep kebahagiaan diri guna memuaskan norma masyarakat dengan tujuan untuk memikat laki-laki dan supaya orang-orang sekitar menganggapnya normal. Sesungguhnya pada saat itulah terbukti penyebab tersingkirkannya perempuan untuk hidup mandiri dan tidak tergantung bukan disebabkan oleh kodrat maupun ajaran agama, namun sistem ekonomi dan sistem sosial-lah yang menyebabkannya.


Dimuat di Radar Jember, 29 November 2007

Jumat, 23 November 2007

Mempedulikan Hak Kesehatan Perempuan


Oleh: Ken Ratih Indri Hapsari



Pada Tanggal 25 November 2007, kembali dunia memperingatinya sebagai Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Anti kekerasan terhadap perempuan dimaknai sebagai sikap yang menjunjung tinggi hak perempuan. Antara lain hak perempuan untuk hidup sehat. Kesehatan bagi perempuan merupakan hal yang sangat krusial, terutama di negara dunia ketiga dimana angka kematian ibu sangat tinggi.
Siapa yang tahu mengenai sebab kematian R.A. Kartini yang pedih itu? Dalam buku sejarah tidak pernah dibahas bahwa Kartini menghembuskan nafas terakhirnya ketika melahirkan. Kematian seorang ibu ketika melahirkan dianggap perihal wajar sebagai perjuangan demi melanjutkan generasi selajutnya, bukan dipandang sebagai persoalan proses reproduksi dan persoalan hak kesehatan reproduksi perempuan, demikianlah adanya budaya Jawa yang berkembang bahkan masih bertahan hingga di masa modern seperti sekarang ini.
Saat ini, seiring dengan meningkatnya jumlah kemiskinan perempuan yang mengalami nasib seperti Kartini kian banyak. Namun, pihak pemerintah belum bergeming dan memprioritaskan mensejahterakan perempuan. Karena kesejahteraan perempuan dengan akses kesehatan yang mudah untuk dijangkau dan murah, dengan pendidikan yang murah dan tidak diskriminatif, dengan kondisi alam yang kondusif untuk berlangsungnya kehidupan dan tidak membahayakan serta berlimpahnya bahan pangan akan mengurangi resiko perempuan mengalami persoalan kesehatan dan gizi buruk.
Hak kesehatan reproduksi adalah menjadi salah satu bagian hak asasi manusia yang dijamin oleh berbagai perjanjian internasional, diantaranya seperti Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap perempuan (CEDAW). Namun hingga saat ini negara yang seharusnya pihak yang bertanggung jawab untuk memberi perlindungan tapi justru sebaliknya, lebih berpihak pada kaum pemodal dan pengusaha. Rakyat dibiarkan menjadi korban pencemaran limbah beracun pabrik-pabrik, rakyat dibiarkan menderita karena bencana kekeringan, bencana pemanasan global, atau pemerintah terkesan melindungi perusahaan yang mengakibatkan bencana Lumpur panas Sidoarjo.
Persoalan kerusakan alam seperti krisis air telah menyumbang angka kematian sebesar 34,6% terhadap anak-anak khususnya pada negara dunia ketiga. Setiap tahunnya 5.000.000 anak meninggal karena terkena penyakit diare. Bekurangnya persediaan air bersih selain dikarenakan privatisasi air, pengalihan sumber air bagi AC bagi hotel-hotel mewah, air bagi industri perkotaan, air untuk coolant (cairan untuk pendingin mesin), atau terpolusinya air karena timbunan sampah-sampah industri, hingga tidak terelakkan mengorbankan kebutuhan air bersih bagi masyarakat luas dan anak-anak yang tak ubahnya sebagai tumbal atas nama pembangunan.
Ancaman berbagai macam zat beracun yang disebabkan oleh limbah industri yang tidak bertanggung jawab terhadap kelangsungan ekologis akan menghancurkan kehidupan penduduk miskin. Dalam hal ini anak-anak sebagai korban pertama yang akan terkena dampaknya, karena anak-anaklah yang paling peka terhadap kontaminasi bahan kimia, selanjutnya pencemaran air yang disebabkan bahan kimia termanifestasi dalam kondisi kesehatan mereka. Misalnya, penyakit polio, diare, kolera akan semakin mudah menyerang anak, dimana mereka hidup pada situasi persediaan air yang tercemar.
Maka, pada momentum Hari Anti Kekerasan Terhadap perempuan Sedunia ini, mari kita memaknainya dengan semangat untuk terus memperjuangkan kehidupan yang layak bagi masyarakat dan menuntut diberlakukannnya peraturan hukum yang memadai yang pro kepentingan perempuan dan kepentingan rakyat secara keseluruhan.

Selasa, 20 November 2007

Remaja Indonesia Diteror!


Oleh: Ken Ratih Indri Hapsari

Masalah seks bebas dikalangan remaja memang sudah menggejala di negeri ini. Di kabupaten Indramayu beberapa waktu lalu, diketemukan lagi rekaman adegan persetubuhan remaja SMP yang tersebar luas melalui internet maupun HP milik siswa. Maraknya rekaman adegan hubungan seks luar nikah yang dilakukan oleh para pelajar sebelumnya direspon bupati Indramayu. Untuk mengatasi hal tersebut bupati Indramayu menganjurkan supaya sekolah melakukan pemeriksaan keperawanan pada siswi SMU dan hasilnya harus disampaikan kepada orang tua murid yang bersangkutan. Tentu rencana tersebut langsung disambut protes keras masyarakat dan LSM perempuan. Pemeriksaan keperawanan yang—dipaksakan—sepihak oleh sekolah merupakan tindakan pelanggaran HAM berat dan justru melecehkan perempuan serta membuat kondisi kejiwaan para siswi tertekan dan malu.
Menurut Giddens dalam Transformation of intimacy, keterbukaan seksual tidak seluruhnya sama dengan pembebasan. Keterbukaan seksualitas belum tentu sebuah kondisi yang membebasakan, tapi lebih merupakan cerminan gaya hidup liberal yang dipengaruhi oleh sistem ekonomi pasar bebas dikampanyekan secara halus melalui tanyangan televisi. Televisi layak diperhitungkan sebagai salah satu aktor yang bertanggung jawab, karena sebagai media yang secara intens dikonsumsi oleh masyarakat luas.
Kaum remaja adalah kalangan yang paling banyak terkena imbas dari maraknya gaya hidup liberal. Kaum muda yang dalam fase pencarian jati diri akan mudah sekali terbawa arus. Terlebih dengan semakin menjamurnya tempat hiburan malam yang tak lain adalah dunia hedon dan rawan pergaulan bebas, juga gaya hidup yang diimitasi dari media TV yang sering menyuguhkan kehidupan para selebritis dimana gaya hidupnya berganti-ganti pasangan serta kawin cerai. Menurut Louis Althusser, seorang filsuf Prancis, media termasuk termasuk dalam kelompok institusi ideologis tertentu, selain tempat ibadah sekolah, dan lembaga keluarga.
Yang terakhir misalnya konfrontasi tidak sehat yang diekspos secara vulgar oleh tayangan infoteimen. Misalnya, konflik yang terjadi antara Ahmad Dani dan Maya Ratu, sang istri, Maya tidak diijinkan pulang malam, dihukum dengan tidak diijinkan pulang ke rumah. Belum lagi penyataan Dani yang terkesan otoriter dan patriarkis meski dibungkus dogma agama, misalnya: “Istri itu harus cantik dan nurut, percuma kalau cantik tapi tidak nurut suami”. Sayangnya sikap arogan Dani sama sekali tidak mempengaruhi kedigdayaannya dalam bermusik. Remaja-remaja putri justru berebut minta dicium oleh Dani yang saat itu posisinya sebagai komentator dalam acara Mamia.
Sikap selalu ingin benar, sempurna dan dipuja merupakan karakter khas selebritis, meski dengan cara menjatuhkan dan melecehkan orang lain. Fenomena tersebut sedana dengan karya Fromm dalam bukunya yang berjudul akar kekerasan, bahwa watak masyarakat modern yang teralienasi dari dunia riil ditandai dengan sadisme dan narsisme akut. Manusia yang terjangkiti sadisme sulit konformis dengan mudahnya melecehkan untuk mempermalukan orang lain. Sedangkan narsisme adalah keyakinan subyektif mengenai kesempurnaan dirinya, keunggulannya atas orang lain, dan perasaan bangga atas citra dirinya, maka ia secara terus-menerus berusaha mempertahankan citra dirinya. Jika orang lain melukai perasaan narsistiknya dengan meremehkannya, mengkritik dan meralat ucapannnya yang salah maka akan direspon dengan kemarahan yang amat sangat dengan atau tanpa memperlihatkan kemarahannya itu.
Selain TV, media cetak juga mengambil peran penting dalam pembentukan arah kesadaran masyarakat. Tidak diperhatikannya target konsumen oleh para penjual dan distributor majalah-majalah dewasa, membuat para remaja dengan mudahnya mendapatkan bahan bacaan yang tidak cocok dengan kebutuhan usia. Berbeda kondisi di Amerika, batasan umur konsumen bacaan, dikontrol secara ketat.
Belum lagi cara penyampaian berita di tanah air pun tidak sesuai UU penyiaran. Seksisme dalam media yang tertuang dalam bentuk peyoratif, aturan semantik dan penamaan. Pada pemberitaan kriminal, melulu perempuan yang menjadi korban adalah suguhan di halaman utama dengan judul besar. Misalnya, Janda Muda Imut-Imut Digagahi Sopir. Memperkosa sebagai tindakan asusila justru terdistorsi maknanya dengan kata-kata digagahi, seolah pelakunya adalah sosok yang kuat dan gagah, kemudian kata janda dan imut-imut sendiri menempatkan perempuan seolah hanyalah objek. Pemberitaan tersebut sama sekali tidak berpihak pada perempuan. Maka bukan mustahil, jika di kesehariannya semakin tinggi saja angka kekerasan terhadap perempuan.
Mungkin perfilman tanah air mengalami kebangkitan secara kuantitas maupun substansi alur dan jalan cerita yang dimotori oleh sineas muda seperti Nia dinata, Mira Lesmana, Riri Reza dan sutradara muda lainnya melalui Soe Hok Gie, Berbagi Suami, Jablai dll. Namun berkebalikannya, lagu yang dipolulerkan oleh agen-agen industri musik tanah air akhir-akhir ini secara kualitas merosot tajam. Mafia dunia intertamen secara licik menancapkan kesadaran liberal, cuek, dan pasif di tempurung kepala masyarakat—terutama remaja—Indonesia. Misalnya lirik lagu yang diciptakan oleh Eros Sheila On 7: ‘…..hak manusia untuk berpesta..berpesta hinggga jadi gila...ampuni aku DJ di tengah lautan pesta..ampuni aku DJ di tengah para wanita’, Matta yang menyanyikan Ketahuan dan Lobow lagunya yang berjudul Salah, Kangen Band dengan lirik lagunya yang cengeng. Seolah-oleh di dunia ini kebutuhan yang paling mendesak di dunia remaja adalah pacaran, perselingkuhan dan balas dendam, Juga Jadikan Aku Yang Kedua yang dinyanyikan Astrid dimana perempuan dengan kerelaan hati mau saja dimadu, sama sekali tidak punya posisi tawar selain mengabdikan diri pada cinta buta.
Sedangkan dangdut remix pasca Kucing Garong diramaikan oleh Lolita yang menyanyikan Emang Gue Pikirin, dengan liriknya: ‘emang gua pikirin elu ga setia..elu punya gebetan baru gua juga bisa gitu, emang gua pikirin elu mau apa…elu punya cewek sepuluh..gua punya cewok seribu…e..ge pe- e ge pe.. emang gua pikirin..emang elu siapa…’ Keke dengan Capek Dech, dengan liriknya: ‘Capek dech ngurusin kamu… capek dech terserah kamu…capek dech bete bete aku, capek dech aku ga kuku..’ . Sepintas lirik lagu yang dinyanyikan Lolita dan Keke menunjukkan kemampuan perempuan untuk tegar meski dikecewakan dan diabaikan, namun jika jeli maka lirik lagu tersebut tak ubahnya ekspresi kefrustasian (capek dech mikirin kamu) dan balas dendam (elu punya cewek sepuluh…gua punya cowok seribu).
Yang menandakan digandrungi, lagu-lagu tersebut duduk di tangga lagu teratas, sebagai ringtone HP bahkan anak-anakpun pandai menyanyikannya, bukan hanya karena kosa katanya yang dangkal dan mudah dihafalkan, namun juga karena komposisi nada-nadanya yang dibuat sangat sederhana. Sedangkan lagu bertemakan cinta milik Iwan Fals yang lounching albumnya hampir bersamaan dengan lagu-lagu tersebut kalah populer. Kalah populer belum tentu karena kalah secara kualitas, namun lebih dipengaruhi pada pertarungan modal untuk mempromosikannya.
Lirik-lirik lagu yang diciptakan dan dilantunkan sendiri oleh Iwan fals yang bertemakan cinta antara lain berjudul Masih Bisa Cinta, berikut cuplikan liriknya: ‘hari ini kau patahkan semangatku..entah mengapa ku masih bisa cinta..bisa cinta padamu..kumaafkan salahmu..berjanjilah..berjanjilah untuk datang padaku..lihat mataku..akan kucoba perhatikan kamu..datang padaku..rasa hatiku..akan kucoba terus cinta kamu. Air mata tak akan kuuraikan..hanya mengelus dada kumaafkan salahmu..berjanjilah untuk datang padaku. Relasi cinta yang tidak mungkin sempurna dan tanpa konflik dihadapi dengan sikap saling memaafkan, ketabahaan (air mata tak akan kuuraikan), dan yang terpenting instropeksi diri jelas tersirat dalam lirik lagu tersebut.
...Kumaafkan..berjanjilah...’ demikian cuplikan lagu Iwan Fals yang berjudul Masih Bisa Cinta. Kata berjanjilah memiliki makna penting untuk mempererat relasi, karena janji adalah awalan baru setelah relasi mengalami goncangan kepercayaan. Seperti yang diungkapkan Hannah Arendt, Bahwa lewat ke-awalan-baru itu diletakkan sebuah kemungkinan bagi manusia. Kemudian manusia akan membuahkan lagi awal baru-awal baru lainnya. Maksudnya, dengan menerjunkan diri ke dalam dunia, manusia akan selalu menjadi pemula, atau menjadi ”yang memulai”. Jadi, keterlahirannya selalu mengokohkan sebuah kelahiran berikutnya. Dalam hal ini kelahiran atau keterlahiran adalah sebuah keajaiban yang senantiasa datang untuk sejenak menyela perjalanan umat manusia. Maka keterlahiran adalah pengandaian ontologis yang harus ada, sehingga perbuatan atau tindakan manusia dapat terjadi. Karena kelahiran, tindakan manusia adalah unik dan istimewa. Sebab dengan kelahiran itu, tindakan manusia itu berarti memulai sesuatu yang baru, dan menggarisbawahi bahwa manusia itu adalah makhluk yang bisa menyatakan dirinya karena ia mengawali atau memulai kebaruan.
Seperti album Iwan Fals sebelumnya, lagu yang berjudul Negara mengkritik dengan keras kelalaian negara, berikut cuplikan liriknya: negara haru bebaskan biaya pendidikan.. negara harus bebaskan biaya pendidikan., negara harus ciptakan pekerjaan negara harus adil tidak memihak.. itulah tugas negara.. itulah gunanya negara.. itulah artinya negara tempat kita bersandar dan berharap.. kenapa tidak..orang kita kaya raya baik alamnya maupun manusianya..hanya saja kita tidak pandai megolahnya.
Sayang lagu-lagu Iwan Fals tersebut tergusur, kalah populer oleh lagu-lagu cinta yang cengeng dan memabukkan. Padahal usia remaja adalah usia puncaknya energi bersemayam, sangat percuma bila energi terbuang sekedar mengakomodasi watak sadis dan narsistik. Meskipun narsisme pada kondisi tertentu terpenuhi dengan pujian maupun usaha diri, namun jauh dari hakikat kemanusiaan—bahkan cenderung fasis, seperti yang dialami Himmler, Stalin, Hitler, terakhir penembakan massal oleh pelajar yang terobsesi paham nazi. Produktifitas yang jauh dari hakikat kemanusiaan adalah karya semu tak ubahnya seperti patung berhala yang disembah-sembah.
Narsisme kelompok dikalangan remaja ditandai dengan maraknya geng, klub sepeda motor dan tawuran antar pelajar yang kian marak terjadi akhir-akhir ini, selain itu ketertekanan pelajar menghadapi UN ditandai dengan histeria massal. Perilaku pembebasan dari keterasaingan dan ketertekanan remaja selama ini belum memiliki wadah dan mekanisme yang sehat. Tentu bukan hal mustahil remaja Indonesia sehat jasmani dan rohani, kemenangan siswa-siswi di berbagai lomba olimpiade sains internasional adalah bukti konkrit bahwa manusia bukan diciptakan untuk menjadi buruk, tidak memiliki potensi dan kecakapan.

Kamis, 15 November 2007

SihirsihirTenungTenungJampiJampi MasaKini

Kekuasan Setan sehari-hari:

kekuasan ilmu pengetahuan sihir alibi dan pembelaan intelektualnya,

kekuasaan ekonomi adalah sihir kemakmuran,

kekuasaan massa adalah sihir jumlah,

kekuasaan politik adalah sihir agensi pemaksaan,

kekuasaan birokrasi adalah sihir jaringan hierarki,

kekuatan militer adalah sihir ketakutan akan dor-dor-dor.

Kekuasaan cenderung menjadi sihir, menjadi tenung, menjadi guna-guna, menjadi jampi-jampi..

(Topeng Kayu, naskah drama Kuntowijoyo)

Senin, 12 November 2007

”SAYA TIDAK TERIMA DIPUKULI & DITELANJANGI !!!”


Ibu dua anak ini tak terima dihinakan mantan kekasihnya di depan umum. Dengan kondisi kesakitan karena terus dihajar, ia berusaha melawan. Sangkur yang dibawa mantan kekasihnya itu pun makan tuannya. Hari masih gelap, tiba-tiba Nila Fitria (26) yang tengah berada di dalam kamar kosnya di Jl. Dukuh Kupang Barat, Surabaya mendengar pintu kamarnya diketuk eseorang. Nila yang tengah sendirian di dalam kamar sudah menduga, yang mengetuk pintu adalah M. Agus Hariyanto. Sengaja ia tidak segera membuka pintu. Akibatnya, Agus yang bertugas di TNI AL dengan pangkat Kelasi Kepala marah. “Kalau tidak kamu buka, pintu ini akan saya jebol dengan sangkur,” cerita Nila Fitria menirukan ancaman Agus.

Dengan perasaan berdebar, dengan terpaksa Nila membuka pintu. Setelah berhasil masuk, lelaki bertubuh tinggi besar dengan bau alkohol di mulut nyerocos bicara kepadanya. Dalam percakapan itu, intinya ia meminta Nila kembali berhubungan kepadanya, ”Tentu saja saya tidak mau karena saya sudah berkeluarga,” kata wanita berwajah manis ini.

Agus yang bertempat tinggal di Jl. Sepanjang Tani, Taman, Sidoarjo, tersebut semakin kalap. Ia menghajar wajah Nila bertubi-tubi. Ibu dua anak bertubuh mungil ini sempat beberapa kali terjatuh di dalam kamar kos yang sempit. Tak puas dengan tangan, Agus mengeluarkan sangkur dari balik bajunya. Sebisanya Nila berusaha merebut sangkur, tapi tidak berhasil. “Akibatnya, sangkur itu mengenai dua jari tangan kiri saya,” kata Nila sambil menunjukkan kedua jarinya yang masih terbungkus verban setelah dijahit.

Melihat Nila mengadakan perlawanan Agus yang masih lajang itu makin kalap. Agus menyeret tubuh Nila keluar kamar. Kembali ia menghajar wajah Nila bertubi-tubi. “Rasanya, saya tidak bakal hidup lagi,”papar Nila menceritakan tragedi memilukan itu.

Menurut Nila di depan polisi maupun kesaksian tetangga Nila, ia diseret hingga bagian lengannya lebam-lebam. “Ini bekas lukanya,” kata Nila sambil menunjukkan kulit bekas luka di pangkal lengan kirinya. Nila yang saat ditemui NOVA Sabtu (27/10) tengah dirawat di Rumah Sakit Bhayangkara, Surabaya, mengungkapkan, Agus makin membabi buta. Pangkal lengannya dicengkeram dan dihempaskan sampai beberapa kali membentur tembok rumah kos. Meski ia menangis kesakitan, mantan kekasihnya itu tidak iba. Bahkan, rambut Nila yang panjangnya sebahu itu dijambak. Dan, membenturkan kepalanya ke tembok. “Muka dan kepala saya kemarin benar-benar bonyok. Kulit kepala kalau dipegang lembek, seperti ada gumpalan darah,” ucap Nila.

Penganiayaan ini sempat diredakan tetangga Nila, antara lain Ngatemin dan Mulyono. Sejenak memang damai. Setelah para tetangga kembali masuk rumah, lanjut Nila, Agus kembali brutal. Pakaian Nila bagian atas yang sudah koyak, kembali ditarik Agus. Bahkan, Agus kembali menyeret Nila ke jalan umum. Agus juga menarik seluruh pakaian atasannya. ”Itu yang saya benar-benar tidak bisa terima. Betapa malunya saya ditelanjangi dan di seret-seret di jalanan. Dia memang ingin membuat saya malu di depan orang banyak,” kata Nila dengan mata menerawang ke langit-langit kamar rumah sakit. Didera rasa sakit dan malu karena dihinakan, Nila mengaku seolah mendapat kekuatan untuk melawan. Ketika tangan kiri dipegang dan dipontang-pantingkan dengan tubuh atas tak pakai busana, Nila berusaha berontak. Ia berhasil merebut sangkur yang terselit di pinggang Agus. Dengan cepat pula Nila menancapkan tepat mengenai ulu hati Agus. Beberapa menit kemudian, Agus meninggal di tempat. Nila sendiri segera lari masuk kamar, yang berjarak 50 meter dari tempat kejadian.

PINDAH TUJUH KALI

Didampingi kuasa hukumnya Atet Sumanto, SH, dari Biro Bantuan HukumUniversitas Wijaya Kusuma (BBH UWK) Surabaya, Nila tertunduk lesu. Ia menceritakan hubungannya dengan Agus yang bagaikan lakon sinetron. Nila kenal Agus sekitar tahun 2002 di kawasan hiburan malam di Jl. Tunjungan Plasa Surabaya. Perkenalan itu membuat mereka memadu kasih. Belakangan Nila tahu, ”Dia tidak serius. Bahkan, Agus selaau plin-plan kalau diajak menuju perkawinan.”Akhirnya, setelah sembilan bulan pacaran, Nila meninggalkan Agus. Nila bertemu dengan Zamroni. ”Lalu, kami menikah. Saya memilih Mas Roni karena dia lebih bertanggungjawab,” ujarnya.

Mengetahui Nila menikah, Agus jadi murka. Sejak itu, kehidupan pribadi Nila tidak tenang. Nila berusaha menghindari Agus dengan beberapa kali pindah rumah kontrakan. Yang membuat Nila frustrasi, Agus selalu menemukan tempat tinggalnya. Sebenarnya, oleh mertuanya Nila dibelikan rumah sekaligus usaha bahan bangunan. ”Tapi, saya terpaksa harus pindah ke tempat kos karena Agus berhasil menemukan rumah saya dan membuka aib saya di tetangga sekitar rumah,” papar Nila yang sudah tujuh kali pindah. ”Saya heran, dia selalu berhasil menemukan saya.”Agus juga tak segan berhadapan dengan suami Nila. Hari itu sebelum kejadian, Agus sempat menemui Nila dan suaminya. ”Saat itu, ia melempar sangkur di depan kami. Sungguh rumah tangga kami dibuat tak tenang,” tambahnya. ”Terang-terangan dia bilang tidak terima karena Zamroni merebut saya.”

Sama sekali Nila tak berharap, kisahnya berakhir begitu tragis. Sangkur Agus telah makan tuannya sendiri. Nila pun harus jadi tersangka. ”Saya berharap ini adalah peristiwa buruk terakhir dalam hidup saya. Kelak saya ingin menata hidup dengan baik dan tenang,” ujar Nila yang berharap tidak mendapat hukuman berat.
(Nova, 12 November 2007)