Sabtu, 21 April 2012

Mewarisi Fisafat Hidup Kartini

 “… Aku sangat bangga, Stella, disebut satu nafas dengan rakyatku ”.
( surat Kartini kepada Stella, pada 17 Mei 1902)

Mengenang kembali sosok Kartini, berarti mengingat kembali riwayat mengharukan mengenai perempuan muslim yang taat, seorang  pribumi berdarah biru yang hidup ketika Indonesia dalam cengkraman kolonialisme Hidia-Belanda. Kartini, pada dekade itu adalah seorang perempuan pejuang sekaligus pelopor pembebasan yang konsisten. Terbukti, sepanjang hidupnya, semenjak usianya belasan tahun hingga kematian menjemput, tanpa henti dan tak pernah menyerah terus bergelut dalam aktivitas perjuangan untuk kemajuan masyarakat. Begitu gigihnya Kartini mengajari membaca dan menulis para perempuan, sedangkan Ia sendiri, pada masa itu dihadapkan pada lingkungan yang sangat kental dengan feodalisme. Dimana perempuan dikondisikan hanya berkutat pada sektor domestik.
Dulu tidaklah mudah, bahkan bagi seorang Kartini sekalipun untuk memulai suasana kelas yang diidam-idamkan. Banyak sekali rintangan dan sabotase. Selain dilarang  keras oleh pemerintah Hindia Belanda, antara lain halangan tersebut berasal justru dari ayahnya sendiri_seorang yang sangat Kartini hormati dan cintai. Penghalang tersebut kian nyata ketika Kartini dijodohkan dengan seorang Bupati. Kartini menuruti saran sang Ayah untuk menikah di usia muda, dan dalam kondisi psikologis yang penuh angan tentang pembebasan.
Kartini paska menikah, hidupnya relatif nyaman dan serba tercukupi. Namun, diakuinya tidurnya tak pernah nyenyak. Karena, ketika semakin banyak Ia berdialog dengan rakyat semakin berkembang kesadarannya tentang cita-cita pembebasan. Kartini menyadari realitas kehidupan disekitarnya semakin rapuh. Itulah yang membangkitkan jiwa dan semangat Kartini menjadi bertambah kokoh, tekat semakin bulat dan cita-cita mengenai pendidikan untuk pembebasan tidak boleh ditunda-tunda.
Tentu kesadaran yang dimiliki Kartini adalah kesadaran tertinggi. Meskipun status sosialnya mapan namun tidak lantas menutup mata terhadap kondisi objektif masyarakat yang masih tertindas. Sikap Kartini jelas sungguh berbeda dengan kisah pejuang dan aktivis paska kolonial. Misalnya, aktivis di era roformasi_meskipun tidak semuanya. Aktivis yang sebelumnya sangat garang memprotes pemerintahan otoriter Orba, setelah menduduki posisi yang mapan di salah satu partai politik atau lembaga pemerintahan, kini justru menjadi tumpul kesadaran kritis dan macet sentimen kerakyatan, alias tidak berkutik.Aktivis kacangan” tersebut jelas masih jauh dari standart capaian kesadaran Kartini, yang notabene bangsawan/berdarah biru namun tidak menduplikasi mentalitas dan kesadaran orang yang menindas mereka. Kartini justru memilih menjadi pendidik, sebab salah satu misi dan tugas pendidikan adalah bagaimana membebaskan alam pikir kaum tertindas dari kekaguman terhadap kaum penindas, yang terkadang itu terjadi tanpa disadari.

Memang kondisi pendidikan untuk mayoritas rakyat pribumi pada waktu itu,  jelas jauh berbeda dari situasi pendidikan di era sekarang, dimana lembaga pendidikan menjamur dan tidak ada lagi hambatan yang cukup signifikan bagi perempuan untuk mendapatkan pendidikan.
Namun ironis, pendidikan yang dulu merupakan barang langka yang mencatatkan proses sejarah panjang dan melelahkan untuk mencapai tahapan yang lebih maju, kini kondisi pendidikan di Indonesia sangat memprihatinkan dan carut marut. Pendidikan, kini adalah komoditas instan semata-mata untuk mendapatkan ijasah dan pengetahuan dianggap seperti “barang jadi” yang siap ditelan peserta didik tanpa melalui proses seleksi dan refleksi bersama. Padahal manusia memiliki kapasitasnya untuk berfikir. Kapasitas inilah yang memungkinkan mereka terlibat di dunia dengan maksud dan tujuan yang jelas. Kapasitas reflektif membuat manusia mampu menjaga jarak dengan dunia dan mampu untuk memberi makna kepada dunia serta memungkinkan manusia untuk reserve. Kapasitas berfikir membuat manusia mampu memproblematisasi kontradiksi-kontradiksi yang terjadi dalam realitas kehidupan dan bagaimana mengubahnya. Mereka juga mampu menamai dan mengubah dunia lewat bahasa-pikirannya untuk menciptakan sejarah masa depan.
Perlu diketahui, Kartini tidaklah pernah berpendapat negatif mengenai peran domestik yang diemban oleh perempuan. Justru Kartini ingin menambah kapasitas perempuan pribumi dibidang pengelolaan rumahtangga, ketrampilan, kesenian, emansipasi, pengetahuan politik melalui tatacara filsafat pendidikan kritis. Pendidikan adalah sarana penting yang dijadikan alat oleh Kartini untuk mentransformasikan pengetahuan objektif yang bertujuan mengubah situasi penjajahan dan feodalisme menuju pembebasan dan egaliter. Oleh karena itu penting pendidikan kritis berbasis pada keadilan dan kesetaraan. Melalui pendidikan yang tidak hanya berkutat pada pertanyaan seputar sekolah, kurikulum, tapi juga mewacanakan tentang keadilan sosial dan kesetaraan.
Kartini melihat masyarakat Jawa adalah masyarakat yang kental hierarki, namun belum memiliki konsep utuh mengenai hak dan kemanusiaan. Mayarakat pribumi dan jumlahnya mayoritas justru berada di kasta paling rendah, di atasnya adalah kaum bangsawan dan golongan timur jauh (Cina, Arab), sedangkan posisi puncak kasta adalah bangsa Eropa. Itu artinya ada kesalahan dan penderitaan rakyat yang diakibatkan dari sistem pranata tersebut.
Pergumulan Kartini dengan aktivis dan intelektual asal Eropa sangat mempengaruhi cara pandang Kartini, opini tersebut menjadi dominan disebabkan terbit sebuah buku “Habis Gelap Terbitlah Terang”, yang merupakan kumpulan surat Kartini kepada sahabatnya yang berasal dari Eropa. Hal itulah yang kemudian memunculkan “prasangka” oleh beberapa pihak. Antara lain, label bahwa emansipasi Kartini terlalu barat, tidak cocok jika diadopsi oleh bangsa Indonesia. Jika ditelusuri dengan teliti, prasangka tersebut hanyalah upaya kelompok patriarkal yang memiliki destinasi penghancuran semangat emansipasi di Indonesia.
Kartini bukanlah seorang yang menelan mentah sebuah cara pandang tanpa merefleksikan terlebih dahulu.  Proses refleksi penting untuk dilakukan merupakan akulturasi ajaran budaya Jawa dengan budaya Hindu Budha. Yaitu, cara pandang dalam mencari kebenaran tidak semata demi kebenaran.  Agar manusia terhindar dari keinginan yang menimbulkan penderitaan, maka manusia perlu meningkatkan pengetahuan dan menyadari adanya berbagai ilusi serta cara menghindarinya. Untuk dapat menghilangkan ilusi dan ketidaktahuan, pertama-tama manusia harus meluruskan pengertian tentang kenyataan.
Dengan pengetahuannya tentang kenyataan, ia kan menyadari hal- hal apa saja yang merupakan ilusi dan hal-hal apa yang merupakan kebaikan kebenaran. Pemahaman Kartini terhadap pengetahuan membutuhkan keseluruhan diri manusia, baik pikiran, perasaan, dan tindakan. Dalam hal ini termasuk pemikiran filosofis, pemurnian seluruh hidup, dan aktivitas kontemplasi sehingga tindakan perjuangan tidak menjauh dari kontradiksi masyarakat, namun bisa menjawab keresahan itu dan merubahnya menuju situasi yang lebih baik. Selain itu Kartini menginginkan emansipasi yang dilakukan perempuan sangat penting, namun tidak benar jika cita-cita emansipasi perempuan adalah menjadi seperti laki-laki borjuis atau terlibat penindasan yang tamak. 

Penulis: Ratih Indri Hapsari (kipas_hapsari@yahoo.com)