“… Aku sangat bangga, Stella, disebut satu
nafas dengan rakyatku ”.
( surat Kartini kepada Stella, pada 17 Mei 1902)
Mengenang kembali sosok
Kartini, berarti mengingat kembali riwayat mengharukan mengenai perempuan muslim
yang taat, seorang pribumi berdarah biru
yang hidup ketika Indonesia dalam cengkraman kolonialisme Hidia-Belanda.
Kartini, pada dekade itu adalah seorang perempuan pejuang sekaligus pelopor
pembebasan yang konsisten. Terbukti, sepanjang hidupnya, semenjak usianya
belasan tahun hingga kematian menjemput, tanpa henti dan tak pernah menyerah terus
bergelut dalam aktivitas perjuangan untuk kemajuan masyarakat. Begitu gigihnya
Kartini mengajari membaca dan menulis para perempuan, sedangkan Ia sendiri, pada
masa itu dihadapkan pada lingkungan yang sangat kental dengan feodalisme.
Dimana perempuan dikondisikan hanya berkutat pada sektor domestik.
Dulu tidaklah mudah,
bahkan bagi seorang Kartini sekalipun untuk memulai suasana kelas yang
diidam-idamkan. Banyak sekali rintangan dan sabotase.
Selain dilarang keras oleh pemerintah
Hindia Belanda, antara lain halangan tersebut berasal justru dari ayahnya
sendiri_seorang yang sangat Kartini hormati dan cintai. Penghalang tersebut
kian nyata ketika Kartini dijodohkan dengan seorang Bupati. Kartini menuruti
saran sang Ayah untuk menikah di usia muda, dan dalam kondisi psikologis yang
penuh angan tentang pembebasan.
Kartini paska menikah,
hidupnya relatif nyaman dan serba tercukupi. Namun, diakuinya tidurnya tak pernah
nyenyak. Karena, ketika semakin banyak Ia berdialog dengan rakyat semakin
berkembang kesadarannya tentang cita-cita pembebasan. Kartini menyadari
realitas kehidupan disekitarnya semakin rapuh. Itulah yang membangkitkan jiwa
dan semangat Kartini menjadi bertambah kokoh, tekat semakin bulat dan cita-cita
mengenai pendidikan untuk pembebasan tidak boleh ditunda-tunda.
Tentu kesadaran yang
dimiliki Kartini adalah kesadaran tertinggi. Meskipun status sosialnya mapan
namun tidak lantas menutup mata terhadap kondisi objektif masyarakat yang masih
tertindas. Sikap Kartini jelas sungguh berbeda dengan kisah pejuang dan aktivis
paska kolonial. Misalnya, aktivis di era roformasi_meskipun tidak semuanya.
Aktivis yang sebelumnya sangat garang memprotes pemerintahan otoriter Orba,
setelah menduduki posisi yang mapan di salah satu partai politik atau lembaga
pemerintahan, kini justru menjadi tumpul kesadaran kritis dan macet sentimen
kerakyatan, alias tidak berkutik. “Aktivis kacangan” tersebut jelas masih jauh dari
standart capaian kesadaran Kartini,
yang notabene bangsawan/berdarah biru
namun tidak menduplikasi mentalitas dan kesadaran orang yang menindas mereka.
Kartini justru memilih menjadi pendidik, sebab salah satu misi dan tugas
pendidikan adalah bagaimana membebaskan alam pikir kaum tertindas dari
kekaguman terhadap kaum penindas, yang terkadang itu terjadi tanpa disadari.
Memang kondisi
pendidikan untuk mayoritas rakyat pribumi pada waktu itu, jelas jauh berbeda dari situasi pendidikan di
era sekarang, dimana lembaga pendidikan menjamur dan tidak ada lagi hambatan
yang cukup signifikan bagi perempuan untuk mendapatkan pendidikan.
Namun ironis,
pendidikan yang dulu merupakan barang langka yang mencatatkan proses sejarah
panjang dan melelahkan untuk mencapai tahapan yang lebih maju, kini kondisi
pendidikan di Indonesia sangat memprihatinkan dan carut marut. Pendidikan, kini
adalah komoditas instan semata-mata untuk mendapatkan ijasah dan pengetahuan
dianggap seperti “barang jadi” yang siap ditelan peserta didik tanpa melalui
proses seleksi dan refleksi bersama. Padahal manusia
memiliki kapasitasnya untuk berfikir. Kapasitas inilah yang memungkinkan mereka
terlibat di dunia dengan maksud dan tujuan yang jelas. Kapasitas reflektif
membuat manusia mampu menjaga jarak dengan dunia dan mampu untuk memberi makna
kepada dunia serta memungkinkan manusia untuk reserve. Kapasitas berfikir membuat manusia mampu memproblematisasi
kontradiksi-kontradiksi yang terjadi dalam realitas kehidupan dan bagaimana
mengubahnya. Mereka juga mampu menamai dan mengubah dunia lewat
bahasa-pikirannya untuk menciptakan sejarah masa depan.
Perlu diketahui,
Kartini tidaklah pernah berpendapat negatif mengenai peran domestik yang
diemban oleh perempuan. Justru Kartini ingin menambah kapasitas perempuan
pribumi dibidang pengelolaan rumahtangga, ketrampilan, kesenian, emansipasi,
pengetahuan politik melalui tatacara filsafat pendidikan kritis. Pendidikan
adalah sarana penting yang dijadikan alat oleh Kartini untuk mentransformasikan
pengetahuan objektif yang bertujuan mengubah situasi penjajahan dan feodalisme
menuju pembebasan dan egaliter. Oleh karena itu penting
pendidikan
kritis berbasis pada keadilan dan kesetaraan. Melalui pendidikan yang tidak
hanya berkutat pada pertanyaan seputar sekolah, kurikulum, tapi juga
mewacanakan tentang keadilan sosial dan kesetaraan.
Kartini melihat
masyarakat Jawa adalah masyarakat yang kental hierarki, namun belum memiliki konsep utuh mengenai hak dan
kemanusiaan. Mayarakat pribumi dan jumlahnya mayoritas justru berada di kasta
paling rendah, di atasnya adalah kaum bangsawan dan golongan timur jauh (Cina,
Arab), sedangkan posisi puncak kasta adalah bangsa Eropa. Itu artinya ada
kesalahan dan penderitaan rakyat yang diakibatkan dari sistem pranata tersebut.
Pergumulan Kartini
dengan aktivis dan intelektual asal Eropa sangat mempengaruhi cara pandang
Kartini, opini tersebut menjadi dominan disebabkan terbit sebuah buku “Habis
Gelap Terbitlah Terang”, yang merupakan kumpulan surat Kartini kepada
sahabatnya yang berasal dari Eropa. Hal itulah yang kemudian memunculkan
“prasangka” oleh beberapa pihak. Antara lain, label bahwa emansipasi Kartini
terlalu barat, tidak cocok jika diadopsi oleh bangsa Indonesia. Jika ditelusuri
dengan teliti, prasangka tersebut hanyalah upaya kelompok patriarkal yang
memiliki destinasi penghancuran semangat emansipasi di Indonesia.
Kartini bukanlah
seorang yang menelan mentah sebuah cara pandang tanpa merefleksikan terlebih
dahulu. Proses refleksi penting untuk dilakukan
merupakan akulturasi ajaran budaya Jawa dengan budaya Hindu Budha. Yaitu, cara
pandang dalam mencari kebenaran tidak semata demi kebenaran. Agar manusia terhindar dari keinginan yang
menimbulkan penderitaan, maka manusia perlu meningkatkan pengetahuan dan
menyadari adanya berbagai ilusi serta cara menghindarinya. Untuk dapat
menghilangkan ilusi dan ketidaktahuan, pertama-tama manusia harus meluruskan
pengertian tentang kenyataan.
Dengan pengetahuannya
tentang kenyataan, ia kan menyadari hal- hal apa saja yang merupakan ilusi dan
hal-hal apa yang merupakan kebaikan kebenaran. Pemahaman Kartini terhadap
pengetahuan membutuhkan keseluruhan diri manusia, baik pikiran, perasaan, dan
tindakan. Dalam hal ini termasuk pemikiran filosofis, pemurnian seluruh hidup,
dan aktivitas kontemplasi sehingga tindakan perjuangan tidak menjauh dari
kontradiksi masyarakat, namun bisa menjawab keresahan itu dan merubahnya menuju
situasi yang lebih baik. Selain itu Kartini menginginkan emansipasi yang
dilakukan perempuan sangat penting, namun tidak benar jika cita-cita emansipasi
perempuan adalah menjadi seperti laki-laki borjuis atau terlibat penindasan
yang tamak.
Penulis: Ratih Indri Hapsari (kipas_hapsari@yahoo.com)