Sabtu, 26 Januari 2008

Cerpen

Mereka Bilang Aku Ayam Kampus !
Oleh: R. Indira Hapsari

Siang itu adalah jadwal berlangsungnya kuliah umum Sosiologi, kali ini kuliah bertempat di aula dengan dosen tamu Imam Prasodjo. Kabarnya beliau Sosiolog terkenal yang sering muncul di televisi.
Ketika kunaiki tangga menuju aula di lantai dua, sudut mataku menangkap banyak benar pandangan mata tertuju padaku. Pandangan itu seolah-olah melimpahkan rasa jijik padaku, atau tepatnya semacam benci. Tapi kubiarkan saja mereka membuatku seperti sampah.
Tangga paling akhir segera kulampaui dan kumasuki ruang aula yang tak seberapa luas. Bola mataku kuedarkan kesana-kemari mencari tempat duduk. Ternyata kursi di aula hampir semua penuh, padahal kurang lebih masih lima belas menit lagi Imam Prasodjo memberi kuliah umum.
Akhirnya aku mendapatkan bangku kosong yang letaknya di deretan paling belakang. Di sebelah kananku duduk mahasiswi berambut ion, sedang di sebelah kiriku mahasiswa berambut keriting, memakai kacamata, yang dari raut mukanya terlihat serius dan pendiam.
Segera setelah aku menyerahkan tubuhku pada kursi kayu, mahasiswi berambut ion itu mengamatiku, kemudian dia bertanya:
“Kamu Rani kan ?”
Aku menjawab dengan anggukkan kepala.
“Oooh”
Cewek itu kaget layaknya melihat barang antik. Tanpa alasan dan basa-basi ia pun meninggalkanku, sehingga kursi kayu disebelah kananku kini kosong. Aku segera mengambil kesimpulan, dia tahu aku berprofesi sebagai ayam kampus. Dan selanjutnya ia merasa jijik atau tepatnya takut duduk berdekatan dengan ayam kampus, karena konsekuensinya akan dicap macam-macam. Padahal belum tentu ia benci aku, toh ia belum mengenalku.
Yach…, lingkungan ingin menghukumku, menggunakan perlakuan diskriminatif mereka. Tapi dengan lantang aku akan bilang;
“ Kalian semua gagal, pun sebagai penggangguku, sejauh kalian mengusik hidupku, sebaliknya aku akan menertawakan kalian yang mencemoohku dengan tanpa ampun.”
Sebagai ayam kampus aku juga tetap memiliki semangat hidup, meski identitasku bukan rahasia lagi, aku tak akan malu, tentu aku tidak akan bersembunyi saja di kamar atau bahkan melarikan diri dari kota ini dan meninggalkan kuliah, apa lagi hingga memilih jalan bunuh diri karena frustasi pada hidup.
Laki-laki bangsat itu, yang ritualnya hanya menghabiskan uang, nongkrong di kafe-kafe, dan rutin satu bulan sekali belanja kebutuhan di mall demi menjaga penampilan supaya kelihatan modis daan berharap mirip artis. Merekalah segerombolan kelinci ideot yang melihat perempuan hanya dari tampilan fisik yang memukau dan senyum yang cemerlang. Dan aku memanfaatkan itu, kutukarkan tubuhku pada duit laki-laki ingusan yang tidak mengerti kesulitan dan kesunyian hidup. Mereka yang merasa memiliki kekuasaan dan kelebihan ketika mampu menakhlukan perempuan cantik, yang laki-laki yang mewarisi watak picik patriarkhi raja-raja Jawa yang kalah melawan gelegar hasrat, mereka mewarisi kutukan Prabu Pandhu Dewanatha yang meninggal karena tak kuat menahan nafsu bersetubuh hingga kutukan itu merenggut nyawanya sendiri.
Pernah suatu ketika aku salah menentukan jadwal kencan, terjadilah kekecewaan dasyat temanku yang sekaligus langgananku yang tak patut dibela itu. Dia menyebarkan informasi bahwa aku berprofesi sebagai pelacur…sebagai ayam kampus. Pertama-tama aku sangat terganggu karena semua teman kuliahku tahu aibku. Aib? Ach, aku justru menyebutnya lebih sebagai kepahitan hidup. Bahkan teman-teman kuliah yang tidak mengenalku, karena tragedi tersebut maka mereka penasaran ingin mengetahuiku dan selalu berbisik-bisik, setelah itu gunjingan-gunjingan sinis selalu mengiringi langkahku, entah di perpustakaan, entah di lorong kampus, entah di kantin atau ketika aku antri toillet. Tapi aku lega karena posisiku sebagai mahasiswa tidak akan dicabut meski profesiku kini bukan rahasia lagi. Aku tetap dipertahankan oleh dosen-dosen dan pejabat-pejabat kampus, dosen-dosen berpura-pura tidak tahu dan tidak mendengar isu-isu miring tersebut, itu semua karena profesiku sebagai ayam kampus terfavorit dalam dekade ini.
Tanpa kusadari Imam Prasodjo tengah bercuap-cuap tentang konflik, pendidikan, membangun komunitas responsive, dan lain-lain. Aku segera menulis penjelasan darinya yang sekiranya penting, sebagai tugas resume yang harus dikumpulkan minggu depan.
Kuliah umum itu diselingi pemutaran film. Ketika film sederhana itu menyuguhkan pemandangan seorang anak yang terlantar di pinggir jalan, terlentang tidur diatas koran tanpa sehelai benang yang melindunginya dari angin jahat, dan ketika anak-anak jalanan menyanyi letih di perempatan lampu merah dengan posisi aneh—yang menurut mereka mungkin terlihat lucu. Ketika itu pula aula dipenuhi suara tawa, seolah anak-anak terlantar itu adalah lelucon.
Huh…, Sungguh aku menjadi takut dengan keadaan sekitarku. Baru beberapa menit yang lalu mata mereka menusukku seolah aku ini seorang pendosa, karena melacurkan diri. Tapi secepat inikah mereka berubah, aku melihat mereka tak ubahnya seperti halnya penyihir jahat yang gemar menertawakan kegetiran serta menganggap lucu hal-hal yang menyesakkan. Mahasiswa adalah kumpulan borjuis yaang sok intelektualis, mereka sering bertengkar hanya karenaa beda bendera organisasi, mereka sekelompok orang sakit yang demam pencitraan, suka mengagumi tulisan bagus namun prakteknya mbel gedes, pantaslah kalau mereka tak menghargai ayam kampus. Padahal pelacur menjual miliknya sendiri, sedangkan ideologi yang mereka berhalakan telah mmenjadi tameng kemunafikan.
“Dasar penjilat…!!! He….he…he… borjuis kecil yang bertingkah seperti nabi.”
Dengan serta merta aku segera memberikan rasa iba pada Imam Prasodjo, karena maksud kuliah umum ini sebagai media propaganda, ternyata digagalkan oleh manusia-manusia yang cacat. Ironis.
*
Mereka bilang aku ini salah satu ayam kampus dari beberapa ayam kampus yang ada di Universitas ini. Tahukah? Menjadi ayam kampus bukanlah pilihanku. Melainkan jalan hidupku yang lahir dari kekesalan dan keputusasaan. Aku telah diwarisi sebatang dendam tanpa ukuran, hingga menuntunku pada kegilaan dengan voltase yang teramat tinggi.
Ketika berusia limabelas tahun, Bapak tiriku yang telah kuanggap sebagai bapak kandungku. Dalam keadaan mabuk dia memperkosaku pada suatu malam petaka, ketika itu Ibu kerja lembur sebagai buruh pabrik . Setelah itu aku jadi pemurung. Trauma, kesedihan dan keresahan pada akhirnya kian mendewasa.
Lalu, duka adalah yang menyapaku setiap waktu. Duka adalah yang menyapaku setiap pagi. Bagai sahabat setia yang mengucapkan salam ketika waktu dan matahari saling berpacu memburu hari.
Duka adalah yang menyapaku setiap malam. Menganggukkan kepala dan tak mau pergi, sedangkan sepi dan kelam semakin gila merasuk diriku.
Duka adalah yang menyapaku setiap waktu. Bagai laut yang senantiasa mendera dan bernyanyi mengusik diri.^
Akupun semakin tak mengerti. Aneh…, aku bertahan pada kekeliruan, namun kekeliruan itulah justru dasar bagiku menjadi manusia yang lebih berani ditempa situasi yang tidak adil ini.
Ketika aku pasrah pada kebinalanku, kurasakan keabadian adalah kekinian yang kekal. Aku berpura-pura bahagia, bahagia dengan keadaanku disini dan sekarang.
Aku hanya ingin terus kuliah dan membiayai Ibu yang tak memiliki penghasilan setelah dengan seemena-mena ditendang keluar oleh majikannya dan kini beliau mulai pesakitan.
Terbukti kan, uanglah yang menyelamatkanku, walau aku sadar mungkin saja apa yang menyelamatkanku kini, hanyalah apa yang menghancurkanku nanti, ketika aku sampai pada kondisi dimana harapan masa depan yang hancur ditelan kekejaman masa lalu.
Lagi pula dosen-dosen yang menjadi langgananku memperlakukanku sangat baik, sangat baik sekali. Selain aku dibayar sangat mahal dalam bermain-main instink purba dengan mereka, aku juga dijadikan tempat mencurahkan kekesalan mereka mengenai istrinya yang sudah mulai malas berdanndan. Atau terkadang mereka para dosen itu meminta pendapatku ketika dipromosikan menduduki jabatan birokrasi kampus. Aku mulai menyadari, tentunya aku bukanlah sekedar pelacur yang menjual daging dan tubuh belaka, tapi perhatian, pertimbangan dan kasih-sayangku ternyata tak kalah penting sebagai nilai plusku sebagai ayam kampus. Bahkan yang membuatku terkejut, pernah suatu saat, penggila tubuhku yang merupakan salah satu pejabat kunci di kampusku meminta pertimbanganku mengenai kenaikan SPP. Terang saja aku tidak menyepakatinya, di negara kita ini pendidikan mahal hanya akan semakin menyebabkan peningkatan gaya dan pola hidup koruptor-koruptor kampus sedangkan peningkatan kualitas pendidikan adalah omong kosong.
Tapi beberapa bulan kemudian ternyata SPP tetap saja jadi naik….aaach, aku pun sudah menduganya. Bukankah dari kecil kita dididik untuk mendapatkan keuntungan banyak untuk diri-sendiri? Persetan urusan orang lain! Bahkan selain SPP ada kebijakan baru yang dikeluarkan pihak rektorat, yaitu DPA (Dana Penunjang Akademik) tentu aku harus semakin sering berpindah-pindah dari pelukan satu mencari pelukan lain. Bagaimana lagi cara menghadapi tuntutan hidup yang semakin membabi-buta dan terkesan mengada-ada ini, dan aku punya aset tubuh elok dan paras cantik yang sangat di sukai laki-laki yang selalu kehausan mengobral uang mengobral hasrat.
Aku biarkan diri mengalir terbawa arus yang menguntungkan, seperti tai… seperti tai… yang diseret arus sungai sederas tsunami dan akan segera hancur oleh kemantapan deras alurnya sendiri.
Aku ini manusia biasa, perempuan biasa, pelacur biasa, ayam kampus biasa yang jauh dari sikap kedermawanan Diva dalam Supernovanya Dee. Aku juga bukan perempuan seperti Yasmin sang aktivis kekasihnya Saman, Wisanggeninya Ayu Utami. Akupun bukanlah perempuan semacam Firdaus yang intelektualis seperti yang diceritakan oleh Nawal Al-Saadawi. Pun aku tidak seperti Nidah Kirani pelacur dalam novel Muhidin M. Dahlan yang selalu kebingungan dan melakukan tawar-menawar dengan Tuhan. Aku tak serumit mereka, aku ini cuma pelacur biasa yang melacurkan diri demi uang.
Dan latar belakangku yang suram, kini hanya sebagian dari salah satu sejarah yang semakin menguatkanku. Namun selebihnya sederhana: “Aku butuh uang untuk hidup…! Dan aku akan mengendarai kesewenang-wenangannya barang brengsek tersebut. Sejak aku tahu kehormatan akan hilang demi setumpuk uang, namun dengan mudah segera kehormatan akan kembali ketika punya uang banyak.”
*
Aku segera meninggalkan aula, karena kuliah umum telah usai. Menyusuri lorong-lorong fakultas sendiri. Samar-samar terdengar nyanyian heroik mahasiswa demonstran, sepertinya mereka sedang aksi di pelantaran fakultas ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Kudengar nyanyian perjuangan di sela-sela orasi :

Indonesia negeri berdarah…
Berbagai macam peristiwa…
Aceh..Ambon…dan Timor Leste
Dan banyak tragedi lainnya…
Tragedi Trisakti…
Tragedi Semanggi…
Tragedi dua tujuh juli…
Aparat… keparat
Militer…bangsat
eSBeYe… anjing taek..kucing…
Ayo…kawan kita bersama…
………………………….
Lalu nyanyian mereka lenyap berlahan, seiring ayunan kakiku yang menjauh dari lingkungan kampus dan disponsori watak hedonku yang emoh menjamah aktivitas mereka.
Ehm …..tapi aku selalu berharap kehancuran tidak akan datang lebih cepat dari itu semua…, parlemen, undang-undang, pengadilan, teori-teori, doa-doa gumanku lirih.
Kini aku berjalan melewati kaki lima. Sesekali aku berpapasan dengan mahasiswa yang bergegas. Kemudian kulewati mini market-minimarket. Di balik kaca-kacanya, di sudut bertumpuk kue basah dan roti tawar lawas, berjamur sia-sia.
Sayang sekali makanan membusuk tak berguna dengan mahkota harga yang tak terjangkau, sedang di berbagai sudut kota, orang-orang menderita kelaparan.
Aku ini hanya pelacur biasa, dengan perasaan dan kepekaan seperti layaknya manusia biasa, tapi manusia biasa terbiasa memaksa diri menjadi aneh…makanya aku dan mereka terpisahkan oleh ruang sejarah dan kebiasaan yang berbeda sangat jauh…kami semakin jauh.
*
Khusus untuk perempuan terhebat: mbak N dan mbak P yang tak pernah menyerah pada apapun.
NB: Judul terinspirasi Mereka Bilang Saya Monyet-nya Djenar Mahesa Ayu dan ^adalah sepotong puisi yang kutemukan di bak sampah kampus, entah siapa empunya saya minta ijin mengutipnya sepotong saja.

1 komentar:

eb.32 mengatakan...

JEJAK ITU LUKA
TAPI APA KABAR
......LUDAH......
SEPERTI JEJAK
YANG PERNAH KUTINGGALKAN

Salam hangat dari pak Harto
Dari pada ratih
Ha,ha,ha