Senin, 24 September 2007

Mana Parsel Untuk Rakyat Miskin?


Dewasa ini, secara tidak sadar segala kegiatan manusia dalam beraktivitas menjalani kehidupan sehari-hari, dalam berhubungan dengan orang lain, dengan sesama manusia, dikendalikan oleh hubungan pertukaran jual-beli, di mana uang sebagai simbol pertukaran memainkan peran penting. Hubungan itu terlembagakan dalam keinginan, pikiran, nafsu, penalaran, kesadaran, dan dalam waktu yang lama terendap dalam alam bawah sadar; kemudian menjadi watak psikologis setiap manusia yang hidup dalam zaman ini.


Mendekati perayaan Hari Raya Idul Fitri, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mensosialisasikan larangan menerima parsel bagi pejabat negara di seluruh Indonesia, pada saat pelaksanaan hari raya tahun ini. Pekan lalu, Deputi Pencegahan KPK Waluyo di gedung KPK Djuanda, Jakarta mengatakan, apabila ada pejabat negara yang menerima parcel dari siapa pun, yang bersangkutan harus melaporkannya dalam jangka waktu 30 hari. "Bila tidak, dia akan terkena tindak pidana korupsi dengan pasal gratifikasi," tandasnya. Larangan pemberian parsel tersebut merajuk pada UU No 31/1999 jo UU No 20/2001 pasal 12 B ayat 1 dan 2 mengatur bahwa setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberiap suap apabila berhubungan dengan jabatan yang dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.


Memang di era pasar bebas seperti sekarang ini, di mana hubungan produksi juga mengadopsi simbol berupa uang, maka watak dan pola relasi antar manusia dikendalikan oleh hubungan produksi yang disimbolkan oleh uang. Uang mengatur hubungan manusia: uang adalah alat komunikasi, dan juga pelembagaan nilai-nilai yang dianggap ideal. Pertukaran yang tidak langsung karena adanya alat uang ini, juga berakibat pada dimunculkannya kategori-kategori apa saja yang bisa digunakan untuk menghasilkan uang. Kategori ini disebut faktor produksi: di dalamnya termasuk modal (atau uang itu sendiri), tanah, tenaga kerja (manusia), dan apa saja yang bisa digunakan untuk menghasilkan uang; pada perkembangannya termasuk ide-ide, citra, bahkan agama dan kebohongan itu sendiri.


Di sini parsel lebaran yang dikirimkan ke kerabat atau kolega bisnis kenyataannya memang budaya kelompok-kolompok tertentu, yaitu golongan masyarakat menengah keatas. Pertanyaanya jika yang diberi atau bertukar parsel adalah seseorang yang serba kecukupan, lalu apa manfaat dan urgensinya kiriman parsel tersebut? Di saat yang sama, lebih dari separuh penduduk Indonesia masih kesulitan untuk sekedar memenuhi kebutuhan sehari-hari, dikarenakan persoalan kemiskinan yang mendera mereka.


Rakyat Miskin Lebih Membutuhkan

Dalam menjaga hubungan perkawanan dan cara mengekspresikan rasa sayang atau cinta seharusnya bukan hanya kata atau konsep, atau juga keindahan yang bisa diperjual-belikan. Kasih sayang tidak dianggap sebagai hubungan dan upaya menciptakan lembaga dan undang-undang yang memungkinkan hubungan itu didasari oleh pemberian dan penerimaan secara tulus tanpa klaim-klaim kepemilikan pribadi dan keunggulan antar sesama. Pada hal esensi kasih-sayang adalah pemberian tulus-ikhlas untuk menuju otentisitas manusia sebagai subjek, bukan objek. Hilangnya cinta ternyata tidak dipahami dari hilangnya kemesraan hubungan itu, masyarakat yang hidup dalam warna pemberian dan penerimaan sebagai akibat hubungan dagang dan komersial dalam sistem kapitalisme ini masih menganggap bahwa cinta komersial (terutama dari sektor propaganda lewat artis dan film populer ataupun sinetron) yang diteriakkan tanpa sadar adalah cinta sejati sebagaimana yang dimaksud oleh ajaran-ajaran luhur.


Faktor manusia sebagai "benda" yang bisa digunakan untuk berproduksi (menghasilkan uang) inilah yang menempatkan manusia berada dalam status (derajat) serendah-rendahnya: barangkali bisa dimaksudkan bahwa manusia disamakan dengan tanah, modal (uang), mesin, produk (besi, mobil, mesin cuci, kondom, celana dalam, pembalut wanita, obat, dan lain-lain). Dalam pemahaman yang sama, manusia masih diperbudak oleh manusia-manusia lain, keinginan-keinginannya (tanpa mampu melampiaskan, karena harus beli), saling mangsa-memangsa (dalam bentuk yang berbeda, meskipun kadang juga masih sama) seperti hewan.


Sehingga berkaitan dengan konsep cinta, rekayasa nilai-nilai komersial atas suatu objek (manusia yang menjadi faktor produksi niaga) telah menghilangkan elemen-elemen terdasar dari cinta (kepasrahan, kealamiahan, ketulusan, kerelaan, tanpa rekayasa, kebenaran). Apalagi jelas dapat dibuktikan mereka yang memiliki budaya saling berkirim parsel adalah orang yang memeliki penghasilan menengah ke atas, yang tidak benar-benar membutuhkan kiriman bantuan makanan, buah, piranti makan ketika lebaran, terlepas apakah parsel tersebut memiliki fungsi-fungsi tersembunyi semacam, pelicin kenaikan pangkat, atau mencari muka atasan bahkan memperlacar hubungan bisnis. Dan untuk merekonstruksinya kembali, diperlukan ikhtiar kemanusiaan yang harus didukung oleh syarat-syarat sosial-politik untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Parselnya lebih berguna bila diberikan pada rakyat yang benar-benar membutuhkan.(dimuat di http://www.parasindonesia.com/ October, 16 2006)

Kamis, 20 September 2007

(cerpen)Lubang Kecemasan

Perempuan terhormat akan meninggal di usia senja dengan senyuman bahagia karena ditunggui oleh anak-anak, cucu dan cicit tercinta.
**
Aku lupa siapa namaku, dan darimana asal-usulku. Tapi kemudian aku mengetahuinya, bahwa aku seorang perempuan. Sebelumnya aku tidak mengetahui bahwa aku adalah perempuan. Tapi di tempat yang penuh pohon rindang dan juntaian buah-buahan segar ini kami memang dibedakan menjadi dua jenis, mereka yang di lehernya terdapat benjolan kecil yang keras, seluruh tubuhnya ditumbuhi bulu-bulu dan di pangkal pahanya terdapat seperti belalai huna yang lunglai terkadang menegang seperti tongkat diberi nama lelaki. Sedangkan aku termasuk kaum perempuan karena di dada kami tumbuh daging yang di ujungnya menyerupai buah vee matang merekah, di pangkal paha kami terdapat lubang yang lentur dan kencang di mana dari dalamnya asal cairan bening keluar, terkadang sedikit terkadang deras seperti air liur.
Entahlah, apa benar cerita bahwa dalam tempurung kepalaku yang ditumbuhi rambut panjang hitam, mengkilat dan harum ini terdapat syaraf-syaraf rumit yang membuatku bisa berfikir. Tapi kami tahu bahwa kami berada di sini karena kami adalah orang-orang dari golongan terhormat. Orang tidak terhormat bertempat tinggal di api panas yang berkobar-kobar. Raja di negeri kami sangat pengasih, meski kami tidak pernah sedetikpun bertatap muka dengannya, tapi kami selalu mematuhi semua perintahnya. Misalnya, tidak boleh kami memakan buah-buahhan secara berlebihan terlebih sampai memiliki keinginan untuk menimbunnya, kami tidak diperkenankan menghambur-hamburkan air susu yang bersumber dari mata air ajaib yang tiada habis-habisnya memenuhi danau, kalau hal itu dilanggar, maka bencana kekeringan dan kehausan akan melanda.
Kami benar-benar ketakutan, ya mungkin kami patuh karena kami ketakutan, semua kata-kata raja selalu kami ingat. Raja memberlakukan tatacara tersebut karena raja menyanyangi kami. Dan menurutku, hal itu memang masuk akal. Masuk akal, kataku? Yah, mungkin memang tempurung kepalaku berisi sesuatu ajaib yang sejauh ini memiliki kemampuan memilih mana yang baik-baik dan tidak merugikan.
Kami para perempuan, memiliki pakaian yang indah dan selalu ngetrend, pakaian yang kami kenakan diproduksi langsung oleh karyawan raja yang sakti hingga kami hanya tahu barang sudah jadi. Sepatu, sandal jinjit, bra, baju tidur, baju bercinta, baju mancing, baju bersenang-senang, jepit rambut semuanya sudah tersedia secara ajaib di dalam lemari kaca kami. Hei, bukan hanya aku yang mendapatkan keistimewaan ini, semua perempuan juga mendapatkannya.
Di negeri kami terdapat sebuah sinar yang lembut dari arah langit. Sinar bulat keemasan yang tiada berhenti bercahaya redup tersebut bernama mentari. Sinar itu yang membuat tubuhku merasa nyaman, tidak kepanasan ataupun merasa kedinginan.
*
Suatu ketika, kami yang semuanya berjumlah kurang lebih tujuh perempuan molek, berjalan-jalan memutari danau air susu yang sangat luas, namun kaki kami tidak pernah merasa kecapekan hingga kami merasa bosan sendiri untuk mengitarinya maka kami akan menghentikan acara jalan santai tersebut dan duduk-duduk santai di tepi danau, untuk memancing atau bermain layang-layang.

Di tepi danau, di bawah pohon rinas yang rindang itu seorang perempuan seperti sedang mengulum belalai huna milik lelaki. Lelaki yang terhormat tentunya, karena dia tinggal di negeri ini, negeri kami adalah tempat tinggal bagi orang-orang yang terpilih. Lalu, beberapa saat belalai lelaki tersebut menegang dan memuncratkan sesuatu tepat di wajah perempuan molek itu. Lalu tubuh telanjang perempuan itu ditinggalkan begitu saja oleh lelaki telanjang yang belalainya melunglai, ketika lelaki itu berjalan belalai lunglainya mengayun kesana-kemari, dan dari unjungnya masih menetes sisa-sisa muncratan air yang tadi disemprotkan ke wajah perempuan bertubuh molek yang ditinggal pergi begitu saja tanpa ekspresi apapun, seolah seperti kewajaran yang aneh.
Perempuan itu menangis, sesenggukkan. Aku tidak mengenalnya, seperti aku juga tidak pernah mengenal kawan-kawan perempuan yang berjalan-jalan santai bersamaku tadi, namun demikian kami akrab begitu saja. Nah, kini aku sudah tertinggal jauh oleh mereka, entah mengapa tiba-tiba aku mendekati perempuan yang wajahnya berlumuran air mata dan cairan belalai tegang milik lelaki tadi.
“Hai, bagaimana keadaanmu?”, kusapa dia dan perempuan itu memperhatikanku yang mendekatinya.
Lalu aku duduk disebelahnya. Saat itu kuamati dengan jelas kemolekan tubuhnya, dia duduk dengan posisi seperti hampir tersungkur, hingga raambutnya tergerai lembut menutupi sebagian tubuhnya, dan itu menambah kemolekannya. Ada beberapa daun kering pohon naris yang mungkin tertiup angin dan kini terselip di sela rambutnya. Menurutku, dia terlihat kian erotis dengan geraian rambut yang sedemikian rupa. Wajahnya yang sendu dengan make up permanen yang takkan hilang meski terbasuh lengket keringat, terbasuh air mata ataupun muncratan cairan belalai tegang. Ya, kami para perempuan di sini, berwajah molek dengan make up permanen yang akan berubah genre dari make up natural, energik, eksotik atau make up ala bangsawan sekehendak perintah hati kita, dan kunfayakun! maka akan berubah begitu saja. Mau tidak mau harus percaya, karena memang demikianlah adanya tanpa kutambah-tambahi.
Matanya yang coklat menatapku, seperti mengadu sesuatu yang sangat menyedihkan yang takkan bisa diungkapkan walau menggunakan bahasa yang memiliki kosa-kata paling lengkap sekalipun. Tapi Aku mengetahuinya, aku berhasil menangkap pesan itu. Lalu seperti sepasang lelaki dan perempuan di puncak rangsangan ketertarikan, aku mendekapnya, membiarkan tubuhnya yang telanjang menghambur ke dalam pelukkan. Dia, perempuan itu mulai melucuti pakaian yang membungkus tubuhku, satu-persatu dengan sangat sopan, lembut dan romantis. Ada sesuatu dalam hatiku yang melonjak, entahlah bernama apa, dan akupun tidak sempat untuk sekedar menamai sensasi itu. Walau sudah berkali-kali melayani lelaki di negeri ini, akan tetapi tak pernah sekalipun aku mendapatkan perlakuan yang semanis ini.
Lalu wajahnya yang molek itu kutahan, kedua tanganku menyentuh pipinya yang halus kemerahan dengan tulang pipi yang tegas serasi, sungguh cantik pikirku.
“Hai, perempuan molek, apakah kau melakukan ini karena kekecewaanmu pada lelaki yang baru saja meninggalkanmu, hingga kau lebih menyerupai seonggok tanah tempat kita membuang sampah perut yang mulai membusuk yang akan kita tinggalkan begitu saja setelah perut kita lega. Sabarlah, memang para lelaki itu tidak pernah benar-benar mengetahui, bahwa kita juga memiliki lubang rahasia yang selalu merindukan beberapa detik denyutan kenikmatan di tengah mengejangnya tubuh karena sensasi yang masih kita tabukan untuk sekedar menamainya, meskipun tanpa atau dengan sedikit malu kita selalu melakukannya.” Aku seperti mengguruinya dan kusadari itu setelah kata-kataku meluncur begitu saja di sela-sela birahinya.
“Kalaupun lubang yang ada di pangkal paha perempuan ini adalah kutukan yang lebih menyerupai kecemasan, maka aku akan mengambil sikap atas penciptaan lubang yang mirip seperti pecundang, jangan pernah beranggapan lubang ini menyerupai bunga karnivora yang akan menjebak binatang bodoh tidak bertulang belakang itu untuk memasukinya lalu menghisap seluruh cairan dari belalai bodoh itu. Maka, mulai sekarang bunga karnivoraku akan menolak menghisap binatang bodoh itu, alih-alih menginginkan cairan yang tidak berguna itu. Binatang bodoh itu tidak tahu menahu mengenai apapun, seperti cairan yang justru memperburuk suasana. Maka aku pun juga mengingikanmu, tubuh indah yang tidak pernah memberi waktu menikmati karunia lubang kenikmatan adalah dosa besar yang takkan termaafkan.”
lalu, kubiarkan saja ia membelai tubuhku teramat mesra, dengan cara yang sama sekali tidak pernah kuketahui, kenikmatan yang tidak pernah diajarkan oleh aturan raja. Kukira raja akan senang mengenai pengalaman kami, karenanya nanti perempuan penghuni kerajaannya menemukan cara baru menghargai tubuh perempuan. Ini akan menjadi berita besar, karena tidak seorangpun telah mengetahuinya, tak terkecuali raja kami. Perempuan memiliki lubang kebahagiaan, karena anatominya saling berhimpitan yang memungkinkan merasai kenikmatan tanpa bantuan gagal belalai tegang milik lelaki yang hanya ingin menyemprotkan cairan. Hanya sesama perempuan yang mengerti cara memperlakukan lubang kenikmatan mencapai keberkahan maksimal, padahal selama ini lubang itu lebih diposisikan seperti pecundang.
“karena lubang perempuan bukan seperti bunga karnivora yang haus cairan belalai tegang yang bodoh”
Lalu kami saling memeluk, dua tubuh molek yang telanjang, senyuman di hati, sungguh negeri yang sempurna.
**
“Nenek hidup lagi! Papa….papa, jari tangan nenek bergerak” Aku mendengar suara polos anak kecil yang berteriak kaget sekaligus kengerian. Beberapa wajah yang kukenal akrab, berdiri mengelilingiku, sedangkan aku…..oh..oh…oh, aku berada di peti mati.
Bersyukur, ternyata aku adalah perempuan terhormat, karena di kematian singkatku ditunggui oleh anak-anak, cucu, dan cicit yang menyanyangiku. Tidak seperti kematian suamiku dua tahun lalu, dia meninggal di rumah istri mudanya yang gila harta dan kehormatan, tanpa ditunggui siapapun selain pembantu setia. Suamiku memang bukan lelaki terhormat.
Tapi mengapa aku hidup kembali? Apakah karena aku bukan benar-benar perempuan terhormat, hingga tak layak hidup di negeri yang demikian sempurna? Entahlah, mengapa harus kupikirkan dalam-dalam tentang status terhormat, aku hanya sering mengobsesikanya, padahal hingga detik inipun aku tidak benar-benar yakin mengerti maknanya. Tetapi aku menyakini kesungguhan cintaku pada perempuan bermata coklat dengan rambut panjang yang tergerai keemasan tertusuk cahaya mentari redup..ah, sungguh membahagiakan, hingga aku merasa muda dan tangkas kembali. Ah, di usiaku yang kian senja, pantaskah jika masih mengkhayalkan kisah cinta yang molek setelah kegagalanku membangun hubungan rumah tangga? Siapa yang akan melarangnya?

Untuk kawanku yang berulangtahun di akhir September
Jember, 20 September 2007

Jumat, 14 September 2007

(resensi buku) Mengurai Altruisme Cinta Perempuan

Judul : Cinta, Seksualitas dan Matriarki: Kajian
Komprehensif tentang Gender
Penulis : Erich Fromm
Penerbit : Jalasutra, Yogyakarta
Cetakan : I, April 2007
Halaman : xx + 284 hlm


Masyarakat kapitalis banyak mendapatkan kritik tajam dari berbagai ilmuwan (sosial). Sejak Marxissme ortodoks dianggap tidak mampu memberikan penjelasan terhadap masyarakat (kapitalis) dan rekomendasi praktisnya, mazhab Frankfurt muncul sebagai sebuah aliran kritis yang cukup meluas. Mereka dikenal sebagai kaum neo-Marxis.
Nama Erich Fromm adalah salah satu dari tokoh mazhab Frankfurt yang memiliki perhatian besar terhadap arah masyarakat kapitalis dan pengaruhnya terhadap kajian massa rakyat. Perhatiannya dalam ilmu psikologi sosial membuahkan banyak karya yang menunjukkan pemikirannya yang kaya dan tajam. Bahkan bukan psikologi saja yang dibedah, tapi juga gagasan sosial-humanis. Hampir semua karya fromm telah diterjemahkan di seluruh penjuru dunia. Yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan terjual laris di toko-toko buku di antaranya: The Art of Loving (1956); Man, Beyond the Chains of Illusion (1956); Akar Kekerasan (1941); Konsep Manusia Menurut Marx (1960); Lari dari Kebebasan (1941; Revolusi Harapan (1968).
Buku yang berjudul Cinta, Seksualitas, dan Matriarki: Kajian Komprehensif tentang Gender, yang merupakan buku terjemahan dengan judul asli Love, Sexuality and Matriarchy about Gender (Fromm International, 1997) seakan menyempurnakan pandangan Erich Fromm mengenai permasalahan cinta sebagai aspek sosial dalam kehidupan manusia . Di buku ini Fromm menganalisa aspek-aspek psikologi laki-laki dan perempuan, ia mengacu pada karya terbesar Bachofen atas Mother Right (Hak Ibu) sekaligus mengkrtitik Freud mengenai fase libidal dan oedipus kompleks, yang justru merupakan teori yang mewakili pandangan patriarkhal Freud, dimana menurut Freud “Perempuan adalah manusia yang belum sempurna”.
Melengkapi pemikiran Freud dan Marx memang menyita perhatian besar dalam hidup Fromm. Buku ini mencoba mengurai benang merah antara cinta, seksualitas, dan matriarki. Menurutnya, perempuan secara seksualitas memiliki fungsi reproduksi untuk melahirkan anak. Sehingga perempuan lebih dahulu belajar menebarkan cinta dan kasih sayang terhadap makhluk melampaui batas ego, dan menggunakan kelebihan yang dimilikinya untuk memperbaiki eksistensi orang lain. Cinta, perhatian, tanggung jawab terhadap sesama merupakan dunia seorang ibu. Kasih ibu adalah benih yang tumbuh disetiap cinta altruisme. Tapi lebih dari itu, kasih ibu adalah dasar bagi perkembangan humanisme universal (hlm. 6).
Selain karena melahirkan, potensi kepekaan perempuan akan cinta juga disebabkan oleh pengalaman psikologis, terutama karena kodrat tubuhnya, menstruasi yang membuat perempuan menahan sakit hampir sepanjang hidupnya setiap bulan. Pengalaman merasakan realitas material tersebut membuat perempuan begitu tanggap akan rasa sakit dan peka untuk merasakan penderitaan yang dialami oleh orang lain. Perasaannya terlatih untuk merasa. Demikian juga, pikirannya begitu peka dan teliti dalam merespon realitas.
Sayang sekali, potensi psikologis tersebut dalam kurun sejarah tidak didukung oleh syarat-syarat material yang kondusif. Seiring dengan terjadinya perubahan menuju hubungan produksi yang eksploitatif, ternyata perempuan tergeser dari posisi produktifnya menuju ke ranah domestik atau peran-peran yang sempit. Pada hal seandainya perempuan diberikan posisi sebagai pemimpin atau tokoh publik, mungkin kemampuan hati dan otaknya akan sangat berguna. Kodrat alam dijungkirbalikkan dan, sayangnya, citra ibu yang peka akan kasih sayang tersebut telah terdistorsi oleh masyarakat yang narsis dan herois. Citra yang dilekatkan pada perempuan adalah manusia yang sentimental, lemah, dan posesif, serta stereotip negatif lainnya (hlm. 50).
Kritik paling tajam dari semua karya Fromm adalah perkembangan psikososial manusia dalam masyarakat kapitalis. Kapitalisme dituduh sebagai penyebab dari penjungkirbalikan citra perempuan tersebut, yaitu menempatkan perempuan sebagai objek pemuas dan jenis kelamin kedua (second sex) dengan menekan upah buruh perempuan atau mengeksploitasi tubuhnya di bagi pasar kecantikan, di sisi lain roda kapitalisme merujuk sistem matriarki dalam memasarkan produknya. Misalnya, kini manusia dininabobokan oleh TV, atau antar individu dilengkapi kemudahan berkomunikasi dengan adanya telephone mobile, ATM (Anjungan Tunai Mandiri). Kapitalisme memasarkan produknya untuk memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi manusia seperti ketika masa kanak-kanaknya ketika masih dalam belaian cinta kasih sang ibu. Namun pembedanya adalah kapitalisme melakukan itu semua untuk memupuk keuntungan dan terkadang mengabaikan bahkan berusaha mematikan kritik dan daya kreatif manusia.
Menempatkan perempuan di posisi yang dilemahkan menandakan berjalannya sistem yang tidak adil dan manusiawi. Seperti yang disampaikan Fromm: “Apapun yang baik dalam hubungan antar satu manusia dengan manusia lain, adalah baik dalam hubungan antara kaum laki-laki dan kaum perempuan. Dan apapun yang buruk dalam hubungan manusia adalah buruk dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan” (hlm. 144).
Seperti karya Erich Fromm yang terdahulu, buku ini layak dibaca karena bersifat reflektif dan pembacanya akan diajak berdiskusi mengenai diri-sendiri, mengenai masyarakat bahkan sistem yang melingkupinya. Sebagai penulis yang mengidealkan relasi sosial (cinta) yang sehat dan produktif, tulisan-tulisan Fromm selalu kritis, menunjukkan detail-detail ungkapan yang menarik tentang manusia dan masyarakat di era pasar bebas sekarang ini.***
Saya membayangkan seorang mahasiswa antropologi, yang berusia sembilan belas tahun datang dengan cita-cita untuk membuat field work di pedalaman Kalimantan atau Irian Barat. Atau seorang mahasiswa jurusan kimia yang berfikir untuk menemukan sejenis cairan baru yang dapat melambungkan manusia ke bulan. Atau seorang mahasiswa hukum dengan ide-ide yang sarat dengan rule of law.
Tidak ada yang lebih kejam dari pada mematahkan tunas-tunas semangat kemerdekaan berfikir dan berkreatifitas. Dalam waktu beberapa tahun, pemuda berumur sembilan belas tahun ini mengetahui tak mungkin ada ‘field work’ ke Irian Barat atau pedalaman Kalimantan. Ia harus puas dengan skripsi tentang masyarakat tukang buah-buahan di Pasar minggu. Dan alumnus Kimia benar-benar menyadari yang ada untuknya hanyalah kerja di pabrik sabun atau mentega. Pelan-pelan ia harus melupakan idealismenya tentang cairan yang dapat melontarkan manusia ke bulan. Lalu, si mahasiswa fakultas hukum mengetahui, bahwa di atas hukum terdapat hukum yang tidak tertulis. Tentara, polisi, jaksa dan garong-garong yang punya koneksi. (Soe Hok Gie)

Menjadi kaum idealis akan selalu dicemooh bahkan disobek-sobek: “Dia cerdas nan jujur, tetapi sayangnya kakinya tidak menjejak tanah!!”

Rabu, 12 September 2007

(Artikel) Makna Aksi Diam Perempuan Korban KDRT


Berdasarkan data dari Komisi Nasional Perempuan, pada tahun 2001 terdapat 3.169 kasus KDRT. Jumlah itu meningkat 61% pada tahun 2002 (5.163 kasus). Pada 2003, kasus meningkat 66% menjadi 7.787 kasus, lalu 2004 meningkat 56% (14.020) dan 2005 meningkat 69% (20.391 kasus). Pada 2006 penambahan diperkirakan 70%
Peningkatan jumlah kasus KTP yang 82 persen di antaranya adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), tentunya menjadi keprihatinan tersendiri. Terlebih dengan kenyataan adanya fenomena gunung es atau jumlah yang ada belum menunjukkan angka yang sesungguhnya. Padahal telah disahkan Undang-undang No. 23 Tahun 2004 mengenai Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang terdiri dari 10 bab dan 56 pasal, diharapkan adanya perlindungan hukum bagi anggota keluarga khususnya perempuan, dari segala tindak kekerasan dalam rumah tangga.


Diam
Perempuan Korban KDRT, biasanya menganggap persoalan keluarga adalah aib yang harus disimpan sendiri. Bahkan ada istilah “Mikhul duwur, mendem jero”, artinya perempuan seharusnya menjunjung nama baik keluarga dan menimbun hal-hal buruk yang menimpa, itulah salah satu penyebab aksi diam meskipun ia harus menanggung sakit akibat kekerasan yang menimpa dirinya.
Interaksi yang terjadi ketika istri diam setelah dilakukan kekerasan kepadanya dan disambut oleh suaminya yang seolah tidak terjadi sesuatu kata Goffman merupakan dramaturgi. Dramaturgi antara aktor yang terstigma dan yang normal (Goffman: 1963). Hal tersebut disebut sebagai stigma diskredittabel (discreditable stigma), yaitu stigma yang perbedaannya tidak diketahui oleh anggota penonton atau tidak dirasakan oleh mereka. Masalah dramaturgis mendasar bagi seseorang yang mempunyai stigma terdiskreditkan adalah pengelolaan ketegangan yang dihasilkan oleh fakta bahwa seseorang yang mempunyai stigma diskreditabel adalah pengelolaan informasi sedemikian rupa sehingga masalahnya tetap tidak diketahui oleh orang lain.
Ketergantungan (baik ekonomi, maupun status) pada suami terkadang juga menyebabkan istri memilih untuk diam meski berkali-kali menjadi sasarang kekerasan suami. Sekilas tentu perempuan menjadi subyek, karena dia melakukan pilihan, meski pilihan yang diambil adalah pilihan diam. Ada perbedaan mendasar antara memilih menjadi obyek dan berlaku pasif atau menjadi obyek yang berlaku aktif, sebagaimana dikatakan Simone de Beauvoir dalam The Second Sex, “memilih menjadi objek“ adalah tindakan seorang subjek, sementara “menjadi objek” adalah bagian dari fakta obyektifitas seseorang (Beauvoir, 1997: 400).
Kesadaran ini membuat tindakannya tidak dapat dikatakan “mengobjektivikasi diri” yang sesungguhnya, sebab itu dilakukannya sebagai subjek. Hanya saja, dengan memperhatikan pemikiran Beauvoir, tindakan ini dapat tergolong sebagai “kesadaran semu” yang menjadi objek pembebasan Diri dari tanggung jawab atas keber-Ada-annya. Artinya pilihan yang dilakukan adalah pilihan dalam kerangka kesadaran semu, bukan pilihannya sebagai manusia merdeka. Kesadaran palsu yang dikonstruk budaya patriarki.
Kesadaran semu mengakibatkan perempuan sebagai sosok yang lumpuh tanpa daya, kebebasannya hilang. Kebebasan tidak hanya berarti kebebasan dari kekuasaan eksternal, melainkan terutama kebebasan positif untuk mengutarakan pikiran, perasaan dan kehendak aslinya. Manusia modern kehilangan individualitasnya. Hak untuk mengekspresikan gagasan dan hak akan kebebasan tidak akan mengutarakan pikiran orisinilnya dan menentukan individualitasnya sendiri (Fromm, 2005: 39).


Bunuh Diri
Menurut penelitian yang pernah dilakukan penulis, hampir seluruh perempuan yang menjadi korban kekerasan dan mengalami kondisi ekonomi yang buruk pernah terlintas dibenaknya untuk mengakhiri hidupnya. Ketidaktahuan masyarakat pada penderitaan yang dialami perempuan akan mengakibatkan perempuan korban kekerasan menderita untuk yang kesekian kalinya. Selanjutnya kondisi kejiwaannya akan mengalami multitrauma dan terjadilah frustasi yang mendalam. Kondisi yang demikian ketika situasi lingkungan tidak dapat memberikan pasokan-pasokan untuk memenuhi kebutuhan jiwa dan lahiriahnya akan mengakibatkan perempuan mengambil jalan sendiri, dengan akibat dan resiko yang tidak lagi menjadi perhitungan dan bahkan terkadang hingga memilih langkah untuk mengakhiri hidupnya sebagai jalan keluar untuk mengakhiri spiral kekerasan yang melingkarinya. Perempuan yang melakukan bunuh diri disebabkan keinginan untuk membebaskan diri dari berbagai tekanan dan kekerasan yang menimpanya semasa hidup.
Perempuan bunuh diri merupakan simbolisasi, sebagai cara untuk mengkritik kemunafikan masyarakatnya. Ia menunjukkan bahwa seorang perempuan adalah individu yang independen atau individu yang otentik menurut Heidegger, lengkap dengan keinginan, tekad, minat, orientasi, integritas, martabat, cita-cita, dan hasrat. Bahwa ia memiliki hak untuk menentukan yang terbaik baginya dan bertanggung jawab atas konsekuensi dari tindakan dan pilihannya.
Karena tidak seorang pun dilahirkan menjadi budak. Tidak seorang pun berusaha untuk mengalami ketidakadilan, penghinaan dan ketidakberdayaan (restrictions). Manusia yang hidup dalam kondisi sub-human sama dengan hewan—seekor sapi atau keledai—yang berkubang dalam lumpur (Camara, 2000: 31-32). Maka tubuh dan jiwa perempuan tidak akan menerima ketika diperlakukan sewenang-wenang sehingga sakit dan kekerasan menimpa hari-hari mereka.
(dimuat di www.parasindonesia.com tgl 12 September 2007)

*Photo, bidikan Agnes Ginting

(Artikel) Nasib Pedila di Bulan Suci


Bulan Ramadhan telah tiba, bulan di mana di negeri ini yang mayoritas muslim menjalankan puasa. Puasa dimaknai sebagai ibadah, yaitu bukan sekedar menahan lapar dan haus semata, tetapi juga sebagai sarana penyucian jiwa, hijrahnya jiwa menjauh dari sikap iri, frustasi untuk mengapai kemenangan dan keoptimisan.
Memasuki bulan puasa sudah dapat diprediksi bahwa harga sembako seperti beras, terigu, minyak goreng melambung ke langit. Dan prediksi tersebut ternyata tidaklah meleset, justru harga sembako di bulan puasa kali ini kenaikkannya melebihi yang dibayangkan, selain lonjakkan harga, kelangkaan minyak tanah dan sembako di beberapa daerah di tanah air cukup meresahkan. Pasalnya, barang-barang tersebut adalah kebutuhan primer masyarakat.
Apalah daya masyarakat miskin di tanah air yang tiap harinya bekerja full timer berpeluh untuk menghidupi keluarga yang tinggal di perkampungan kumuh dan di kardus-kardus kolong jembatan ketika dihadapkan pada realitas harga sembako yang tidak masuk akal tersebut. Apa boleh buat, perut minta diisi, maka para pemulung itu jika ada kesempatan maka masuk rumah-rumah elite dan mencuri apa yang disa dicuri, pembantu rumah tangga menculik dan menjual anak-anak majikannya.
Sedangkan di sisi kehidupan yang lain, para remaja berasik-masyuk meniru artis-artis sinetron, dari gaya berpakaian sampai gaya bicaranya, generasi muda dari yang umur belasan hingga duapuluhan tahu betul memaksimalkan HP dan internet untuk mengakses adegan yang merangsang birahi, selanjutnya mereka menjadi sutradara sekaligus pemain utama adegan hubungan seksual, baik dengan sang kekasih, maupun orji.
Meskipun mengerikan dan menyesakkan tapi itulah wajah yang sebenarnya kondisi bangsa tanpa ilusi dan manipulasi ocehan elite pemerintah, tanpa polesan sinetron ataupun lagu-lagu cinta yang memabukkan. Lalu, bulan puasa ini hampir Pemerintahan Daerah di seluruh tanah air berharap bisa membawa berkah bulan yang penuh hikmah dengan cara merazia PSK (Pekerja Seks Komersial) dan Gepeng (Gelandangan dan Pengemis). Misalnya saja di Lamongan menjelang Ramadhan, razia terhadap gelandangan dan pengemis serta pekerja seks komersial pada malam 1 September kemarin. Razia dimaksudkan untuk menjaga ketertiban umum dan keindahan, serta menghindari perbuatan maksiat.


Pedila (Perempuan Yang Dilacurkan) vs istri ‘patuh’
Perempuan yang melacurkan diri selama ini dianggap penyebab maksiat dan penyebab penularan penyakit kelamin seperti AIDS. Jarang sekali pemerintah melihat perempuan pelacur sebagai korban dan persoalan sosial. Sehingga masyarakat pun pada umumnya menstereotif perempuan pelacur liar berlumur dosa dan akan mengotori bulan puasa di mana bulan penuh rahmad dan kemuliaan apabila dibiarkan berkeliaran.
Pemikiran feminis sendiri mempunyai kegamangan dalam menempatkan pelacur dan pelacuran. Beberapa bersikeras bahwa pelacuran harus dihapuskan karena pelacuran merupakan bentuk opresi terhadap perempuan. Di mana etika seks pada akhirnya menjadi patokan moralitas yang telah mengkaburkan etika moralitas sosial lainnya yang lebih penting.
Kelompok feminis lain melihat pelacuran sebagai fakta sosial yang tidak terhindari selama perempuan tidak mempunyai sesuatu di luar tubuhnya yang dapat digunakan sebagai “nilai tukar” untuk kelangsungan hidupnya. Feminisme Marxis, misalnya, menempatkan pelacur dan istri sebagai posisi yang sama: sebagai pekerja seksual, yang menawarkan sebentuk pelayanan seksual sebagai penukar untuk sebentuk imbalan atau kenyamanan ekonomi. Bedanya adalah bahwa pelacur menjual pelayanannya secara eceran kepada setiap laki-laki. Sementara istri menjualnya secara whole sale kepada satu laki-laki. Menjadi pelacur eceran atau pelacur grosiran mungkin bedanya terletak pada imbalan serta tuntutan ikutannya (Priyatna, 2006: 198).
Terlebih neoliberalisme yang merupakan jalan baru tatanan perekonomian kapitalisme selalu menginginkan, pertama-tama, perempuan beramai-ramai membeli produk dan hanya bisa mengkonsumsi, terutama agar bisa bergaya hidup seperti ‘nabi-nabi’-nya, yaitu bintang sinetron, penyanyi pop, hingga bintang porno. Kedua, neoliberalisme membayar buruh (pekerja) perempuan dengan upah yang sangat murah karena logika kapitalis adalah mencari keuntungan sebanyak-banyaknya.
Jika kaum perempuan selalu digoda untuk membeli dan membeli, sementara mereka tidak hanya mendapatkan upah rendah, tetapi juga kebanyakan tidak mendapatkan apa-apa karena dijauhkan dari proses produksi sosio-ekonomi, muncul ketertekanan, ketergantungan, dan (akhirnya) penindasan.
Menurut Charlotte Perkins Gilman, dalam salah satu tulisannya yang berjudul Women and Economic (1898), mengatakan bahwa ”apabila seorang perempuan kehilangan aktivitas ekonomi dan mengubahnya secara keseluruhan menjadi seks, menjadi semata-mata ‘kantung telur’ yaitu sebuah organisme tanpa daya untuk mempertahankan diri, namun sepenuhnya hanya untuk mempertahankan ras”. (Hollinger, 2001: 46)
Sedangkan menurut feminisme Marxis, posisi istri, selain mengharapkan imbalan kenyamanan ekonomi, perempuan sebagai istri mengharapkan imbalan lain berupa posisi sosial di masyarakat yang kekuasaannya ada di genggaman tangan laki-laki. Untuk itu, istri dituntut memberikan pelayanan sosial dalam bentuk kerja domestik, yang tidak dituntut dari para pelacur, yang memang tidak mengharapkan imbalan posisi sosial. Dengan demikian seks hanyalah komoditas, suatu alat tukar ekonomi belaka (Priyatna, 2006: 198-199).


Quo-Vadis Hak Perempuan
Bulan puasa menjadi topeng tebal persoalan sebenarnya yang menimpa perempuan apabila masih digunakan sebagai alat untuk merazia pedila meski berlandaskan alasan moral sekalipun. Pedila yang dianggap sebagai penyebab persoalan sosial, padahal selama ini merekalah yang menanggung kemiskinan, kekerasan dan teror penyakit mematikan. Sudah banyak kasus ‘garukan’/penangkapan pedila yang tujuannya untuk melindungi perempuan justru semakin memperparah kondisi perempuan pada umumnya dan pedila pada khususnya.
Semoga bulan puasa menjadi bulan yang jujur, bulan di mana masyarakat dan pemerintah berani mengoreksi diri dan persoalan sosial secara radikal. Bukan asal menyalahkan, menstereotif dan main tangkap. Jika yang menjadi persoalan adalah kesejahteraan, buat apa ditutupi bahwa hal tersebut adalah akibat kebobrokan moral? Bila seharusnya pihak yang bertanggung jawab adalah pemerintah, mengapa saling menyalahkan secara personal? Perempuan juga merindukan keadilan dan kemerdekaan berkreativitas, bukan sebatas menjadi istri taat dan dipenuhi segala kebutuhannya bukan pula menjadi buronan lantaran melacur untuk mengisi perut keluarga. Marhaban Ya Ramadhan. (dimuat koran Bhirawa, 13 September 2007)

Kamis, 06 September 2007

(Cerpen) Tentang Kegilaanya



Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup
Seribu tahun lagi
[1]

“Seribu tahun lagi…..”
Dia ingin mengenal apapun seperti ketidakpeduliannya pada hal-hal remeh, ia selalu merapalkan teori-teori ekstrem dan yang lainnya. Dia juga menyukai langit, jika malam tiba ia menikmati kesunyian dan merasakan hubungan yang begitu intim bersama bintang dan bulan. Ia selalu menghisap puting bulan sabit dengan penuh nafsu. Ditelanjanginya langit hingga ia mengerti di musim apa rasi bintang membentuk titik yang jika dihubungkan seperti perempuan dan lelaki yang bersetubuh beralaskan lautan kabut pekat dan lebatnya malam.
Orang-orang mengira dia mengindap suatu penyakit. Penyakit yang dapat menular pada siapa saja secepat kilat. Orang-orang mengira di otaknya mengendap berbagai perihal buruk tentang manusia, dari mulutnya setiap saat dapat meloncat cacian dan makian pada manusia-manusia Tuhan, manusia yang dianggapnya tak lebih buruk dari sampah-sampah peradaban yang mengotori keseimbangan alam.
Para tetangga ketakutan anak-anaknya tertular penyakit yang aneh dan menjijikkan itu. Sejak itu anak-anak dilarang bermain di lingkungan ataupun di pekarangan rumahnya, terlebih untuk sekedar berbincang dengannya.
“Dia akan menyodomi otakmu. Bisa-bisa kau tak akan pernah menghiraukan Ibumu dan keluargamu yang selama ini memberimu makan dan membiayaimu. Seperti kesetanan kau akan mencincang ayahmu yang korupsi demi membiayai sekolahmu, tanpa beban ataupun takut dosa layaknya kau memotong-motong daging kurban”, demikian nasihat para ibu terhadap anak-anaknya supaya menjauhinya.
*
Dulu dia adalah seorang yang memiliki wajah bergambar rumus ilmiah. Kuliah di perantauan dan pernah sesekali pulang dengan potongan seperti reporter berita di TV lengkap dengan kemeja dan celana yang halus dan serasi. Ketika pulang kampung maka anak-anak kampung akan mengerubutinya, dan meminta bagian permen aneka rasa buah yang tidak dijual warung di kampong ini. Karena itu memang kebiasaannya yang selalu dinanti-nantikan dan disambut meriah oleh anak-anak kecil di kampung ini: membagi-bagikan permen. Anak-anak di kampung akan mengerubutinya seperti lebah merubung bunga karena menginginkan madu. Tapi aku hanyalah seorang gadis tanggung waktu itu, yang tidak mungkin ikut mengerubutinya apalagi mencicipi oleh-olehnya yang pasti terasa manis itu.
Pemuda dan gadis remaja kampung juga sangat antusias, setiap musim kepulangan pemuda kampung di musim libur perkuliahan. Rumahnya setiap hari ramai dikunjungi, mungkin saja pemuda dan gadis remaja kampungku terobsesi menjadi sepertinya, atau barangkali mereka menganggap pemuda kuliahan tersebut dapat mewakili pemuda ideal yang sering mereka lihat, yach…hanya mampu mereka lihat dalam sinetron-sinetron di televisi: pemuda kaya, anak sekolahan, dandanannya nyentrik terkesan gaul. Tapi waktu itu aku tidak lebih dari seorang gadis yang masih bau kencur, tentu saja tidak mungkin aku menyelundup diantara remaja kampung untuk sekedar mendengar cerita-ceritanya atau mengagumi pakaiannya yang halus dan rapi. Tentu akan segera ketahuan dan disuruh pulang ke rumah karena mereka menganggapku masih bocah ingusan.
Kemudian, barangkali tiga atau bahkan empat tahun dia tak pernah pulang. Bahkan di suatu hari yang naas, ketika kedua orangtua dan adik perempuannya meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawat, pun seolah ia ikut menghilang, sama sekali tidak terlihat batang hidungnya hingga prosesi kremasi berakhir.
Lalu, tiga bulan yang lalu dia pulang. Saat itu kampung ramai mendengar kabar kepulangannya yang ganjil. Sesampai di kampung yang berlangitkan bulan sabit, dia mengumpulkan dan mengajak penduduk kampung melakukan aksi menolak pembangunan mall di lokasi pasar tradisional yang selama ini menjadi tempat berdagang sekaligus membeli kebutuhan sehari-hari penduduk kampung.
*
“Kelak, penduduk kampung ini akan mati bersama-sama hingga tidak ada upacara kematian, seperti ratusan penduduk yang bermukin di lereng gunung botak[2], mati massal terkubur hidup-hidup oleh tanah lendhud[3] yang diseret hujan deras. Seharusnya cecurut-cecurut birokrasi itu menyembah pohon dengan ritual mistis yang menyejukkan dan pantang menebang pohon besar seperti yang dilakukan leluhur tempo dulu. Namun lagi-lagi demi keuntungan, hutan di lereng gunung justru ditanami pohon perkebunan yang tidak berhasrat menyerap air dengan jumlah besar. Ya….ya…ya…penumpukan keuntunganlah penyebab manusia tercerabut paksa, keserakahanlah yang menghalalkan semua penderitaan. Bahkan konon demi mendapatkan logam mulia sebanyak-banyaknya, mereka telah membunuh jutaan umat. Sepantasnya emas dijadikan fondasi bangunan untuk tempat be-ol saja. Sebagai simbol betapa tak pantas demi benda tersebut telah mengamini penjajahan terhadap kemanusiaan orang lain.”
Seraya menengadah ke langit seolah dia memastikan keberadaan bulan sabit yang selalu diharapkan untuk menemaninya, lalu ia berkata yang lebih menyerupai longlongan:
“Lihatlah monster globalisasi telah datang mengetuk pintu rumah kita bahkan sebelum kita membukakan pintu untuknya, ia telah menodai anak-anak kita. Dengan senjatanya berupa iming-iming uang dan pekerjaan, sedangkan kalian tak satu pun yang mampu melihat wajahnya yang lebih mirip tengkorak, berotak keuntungan dan berbadan bangunan-bangunan yang fungsi pencernaannya berjalan dengan kode-kode penghisapan dan proses ekspolitatif !!!”, dia berteriak keras sehingga seluruh penduduk yang berkumpul di malam kedatangannya dapat mendengar dengan jelas.
“Yang kau bicarakan adalah salah!!!. Di dunia ini memang sudah digariskan oleh Tuhan ada laki-laki dan perempuan, barat dan timur, kaya dan miskin, memerintah dan diperintah. Kita berbeda denganmu yang memiliki banyak warisan peninggalan orang tuamu. Pemuda dikampung ini hampir semua penggangguran dan pengangguran seperti kami bukan saja tidak punya pekerjaan, tetapi juga tidak punya harga diri. Ketahuilah pemuda, kami butuh makan untuk hidup, kami butuh uang, kami butuh pekerjaan yang dapat menampung kami semua. Takdir Tuhan akan kami jalani, mereka kaya dan kami miskin jadi biarkan mereka mempekerjakan kami,” salah seorang pemuda kampung membantah dengan berteriak tak kalah keras.
“Kalian takut pada ketakutan. Mengapa harus melarikan diri pada Tuhan, menjalani hidup di dunia yang susah akan mendapat imbalan kebaikan di akhirat nanti. Dan kalian menyandarkan hanya pada keyakinan, bahwa nantinya orang-orang yang pernah memperbudak kalian dan mencekoki anak-anak kalian dengan segala makanan dan aksesoris serta hiburan yang tidak berarti dan mengilusi yang menyesatkan itu akan mendapat siksa dari-Nya, kelak di akhirat?” pemuda itu diam sejenak, kemudian melanjutkan perkataannya yang belum tuntas:
“Yang kita bicarakan bukan hanya kelangsungan hidup yang diyakini tidak lebih dari satu hanya satu generasi. Tapi kelanjutannya, yang menyambung kehidupan kita kelak, generasi yang ditiupkan dari nafas cinta dan berjiwa, bukan generasi cabul bikinan film-film porno yang dilahirkan oleh perempuan-perempuan iklan obat perangsang yang bersuara melenguh dibuat-buat. Aku tak ingin membanyangkan ibu-ibu yang hamil tua ngidam makanan ala mall, air ketubannya pecah saat berbelanja, otot rahimnya berkontraksi ketika mengerang menangis tersedu-sedu lantaran menginginkan daster hamil seperti milik artis sinetron dalam infotaimen yang rutin mereka ikuti, dan bayinya keluar lancar tanpa hambatan di escalator. Bayi-bayi itu akan diawetkan dipamerkan dan dijadikan patung-patung untuk memperagakan pakaian-pakaian bayi terbaru di mall tersebut. Lalu bayi itu terlupakan karena ibu-ibu tengah asyik berlomba memburu barang-barang diskon. Begitu sampai rumah ibu-ibu tersebut takkan pernah menyadari kalau ia telah kehilangan satu generasi dan sang ayah yang pulang dari kerja lembur di pabrik-pabrik pinggiran kampung ataupun di mall yang akan dibangun itu, ia merasa bersyukur mengira istrinya keguguran disebabkan tidak tercukupi gizi. Ketika tak dilihatnya orok padahal perut sang istri telah kempes, dan upah lemburnya dapat digunakan untuk membeli ciu[4] untuk melupakan kepekatan dunia dan kepenatan kerja”, demikian panjang lebar pemuda itu bercerita yang mengisyaratkan kegalauannya.
Tapi sia-sia saja, penduduk kampong tak lagi sanggup mengerti ucapannya. Seolah mereka kehilangan akal dan kepercayaan diri sejak orang-orang berdasi itu masuk ke kampung dan mengatakan pada penduduk: bahwa pembangunan mall adalah jawaban satu-satunya bagi persoalan pengangguran dan kelesuan pasar tradisional. Orientasi penduduk kampung adalah uang itulah kepraktisan pola fikir yang telah terbentuk, yang diprovokasi oleh keadaan serba kekurangan sedang semua kebutuhan semakin serba tidak terjangkau. Sehingga tak mampu berfikir jernih atau mempertimbangkan kemungkinan kebenaran ucapan pemuda yang saat itu melihat penduduk seraya berharap dengan mata nanar menahan air mata haru penuh kecemasan, namun ia tidak menyalahkan penduduk kampong..tidak akan pernah.
*
Kehidupan terus berjalan dengan matahari yang semakin panas di siang hari dan bintang yang semakin redup ketika malam tiba. Suatu saat sepulang sekolah, aku mengajak kawan-kawan baruku mengunjunginya. Pada awalnya mereka terkejut dengan ajakkan kerumah pemuda ‘gila’ tersebut. Mereka takut terjangkiti penyakit mengerikan seperti yang sering diperbincangkan penduduk kampung, kawan-kawanku takut jika nantinya tertular penyakit gila dan akan mencincang bapaknya yang siang malam bekerja keras dipabrik moto dan terkadang bapaknya mengeluarkan segulung moto dari celana dalamnya kemudian diserahkan pada emaknya untuk dijual esok harinya di pasar tradisional, sekedar menambah biaya hidup yang semakin sulit dan menyokong perut lapar yang melilit terus-menerus menjerit minta diisi.
“Menurutku pemuda itu tidak gila, yang menganggapnya gila adalah keadaan lingkungan dengan kesadaran buruk, perasaan tidak nyaman dan tidak senang karena kepentingan praktis mereka sehari-hari seolah diabaikan pemuda tersebut. Sesungguhnya pemuda itu tidak dalam keadaan sakit, ia tampak sakit karena menyimpang dari keadaan sosial yang dikehendaki. Penduduk menentukan bahwa pemuda itu berbeda, mengabsahkan batasan yang berlaku baginya sebagai individu yang tidak mampu memenuhi kewajiban-kewajiban sosialnya. Dan akhirnya orangtuamu juga orangtuaku memberi identitas padanya ‘gila’ karena tindakannya yang tidak dapat diterima orang lain pada umumnya. Dia dikucilkan dan tidak pantas dianggap orang yang normal. Dengan persangkaan itu berarti kita telah melakukan beberapa diskriminasi secara efektif yang akan mengurangi kesempatan bagi hidupnya.”
Kawan-kawanku sepakat dan mengiyakan pendapatku, mereka menganggukkan kepala dan tersenyum, seolah kata hati kami telah mendapatkan penjelasan yang praktis dan logis.
*
Suatu saat aku bermain kerumahnya sedirian. Karena kawan-kawanku akhir-akhir ini sangat sibuk merintis kelompok diskusi di sekolah masing-masing.
“Mengapa kau menulis puisi tentang hidup dan kenapa kau serahkan padaku?”, ia bertanya ketika kuserahkan padanya beberapa puisi yang kutulis semalam.
Seraya melangkah pergi meninggalkan dia yang lebih menyukai kesunyian dan aku pun telah berjanji setiap sore pada anggrek yang menunggu untuk disiram (kali ini mungkin akan kusiramkan air mataku yang mulai mengkilatkn warna mataku sehingga seolah dilapisi serpihan kaca-kaca rapuh) di halaman rumahku yang sederhana.
Aku jawab lirih pertanyaanya; “Karena aku tidak hanya ingin dipuji, atau dibeli lewat rayuan puisi-puisi. Sebenarnya akupun ingin terus mencipta, aku merasa mati seperti manusia kelaparan ketika hanya menerima, padahal aku juga ingin hidup seribu tahun lagi..karena aku juga mengkehendaki untuk membalas dan memberi. Aku sendiri tidak pernah mengerti mengapa terus-menerus menulis puisi meski sesungguhnya telah kusadari bahwa keterlibatan dan pembuktian takkan pernah dapat diringkus oleh kata-kata, seindah apapun memaknainya.”
***

Gerimis di Jl. Bangka, Agustus 2005


Cerpen ini hampir jadi naskah pementasan teater Fak Tekh.Pertanian bulan Maret 2007. Kutolak, karena belum Pe-Dhe.
[1] mengutip puisi yang berjudul “Aku”; Chairil Anwar.
[2] Lagunya Sujiwo Tejo “Goro-goro”: Panasan ning gunung botak/nglumpati grojogan/Ing ngrojogan sewu/jebul banyune panas/panas ngulkuli duwit/wancine wis goro-goro/geger gara-garane duwit.
[3] bahasa jawa: tanah yang bercampur air; lumpur
[4] Minuman memabukkan.

Selasa, 04 September 2007


Foto bareng sama peserta Tajemtra yang dikuti kurang lebih 12.343 peserta tanggal 1 September 2007, tapi sayang guelap...jadi kurang jelas. Bupati Jember, MZA Djalal (dengan pengawalan ketat) juga ikutan Tajemtra Lhoh! Terus waktu Djalal hampir nyampe Finish dengan senyum-senyum dan melambaikan tangannya pada rakyat Jember yang menyaksikannya. Saat itu dari pinggir jalan ada seorang cewek berkaos hitam berteriak dengan suara super keras: Pak Djalal, PENDIDIKAN DAN KESEHATAN GRATIS UNTUK RAKYAT JEMBER!! Untuk beberapa detik sang bupati mencari asal suara, namun selanjutnya beliau segera tersadar bahwa tugasnya adalah tersenyum dan melambai untuk menghibur rakyat. Tapi, ibu-ibu di sekitar cewek 'aneh' itu serentak mendukung dan berkata, "Iya, mbak teriak yang keras. Masak, minyak dan telur sepuluh ribu lebih..rakyat disuruh makan lampu di alun-alun apa?". Yach semoga Bupati tugasnya melayani bukan menghibur. Amin



MACHOISME juga menyemarakkan Tajemtra tanggal 1 September. Liat ja bentuk tubuhnya...waw! baru ja radio di kamar kostku yang kian menyempit, memberitakan klo peserta tajemtra dari kelompok fitnes melakukan pemukulan salah satu anggota TNI yang juga ikutan Tajemtra. Uih..ngeri banget! tu jadinya klo menganut ideologi machoisme ideot!
PEMODAL SELALU PINTAR MEMANFAATKAN, Liat ja peserta tajemtra (Gerak Jalan Tanggul Jember Tradisional) dengan bangganya mengibarkan bendera sponsor. Huh!