Senin, 24 Desember 2007

Cerpen


Pemberontakan Kecil
Oleh: Ken Ratih Indri Hapsari

Ia sisir lagi jalan itu. Bulan sabit dan jutaan bintang di langit membujuknya mengakui keesaan-Nya. Dalam malam itu ia berjalan, tubuhnya gemetar kedinginan, nyaris beku.
Ia menapak tilas pergerakan siang tadi bersama 25 kawannya yang merindukan kemenangan rakyat. Sungguh melempar diri ke jalanan bukanlah hal sulit. Hanya butuh kesadaran, keberanian, dan cinta. Karena cinta tanah ini, maka menjaganya dengan keberanian sampai ujung kematian.
Di perjalanan itu ia bertanya. Begitu sulitkah untuk mencintai pertiwi ini? Ah…tentu saja ngapain repot-repot mikir negara, lebih enak jalan-jalan di mall, terus belanja macam-macam aksesoris, supaya mirip bintang pujaan di televisi. Yeah…kapitalis memang cerdik. Kini rasa nilai-nilai yang diyakini manusia terjungkir balik. Cinta, tawa, nafsu, maut, kepedihan semuanya terbalut kehampaan luar biasa. Marx benar ‘kapital menukarkan setiap kualitas dan objek dengan setiap yang lainnya, sekalipun kualitas itu saling bertentangan. Maka kesadaran dan idealisme tidak akan dihargai, dicemooh, dibenci, karena kualitas dan obyek yang teralienasi.’
Sesaat ia berlari cepat menjauhi ceceran darah di jalanan, darah juang yang menyegarkan pertiwi lebih berharga dari air paling suci. Ia ingat siang tadi kawannya dipukul aparat berkali-kali.
Lalu ia berlari cepat dan tak perlu dibutuhkan kehati-hatian. Ia pecah gelombang udara malam yang kian menyergap dari segala arah. Ia ingin melupakan tragedi siang tadi. Melupakan memang sangat mudah, namun ia kesulitan untuk tidak mengundang kenangan dan menikmatinya.
Kenangan yang memilukan dan semakin menegaskannya pada suatu perlawanan. Rasa muak terhadap ketidakadilan, keinginan untuk memberontak sangat sulit untuk ditunda. Dan kesadaran untuk bergerak tidak butuh pengorganisasian, tapi malah mengoordinir, di sini kemurnian gerakan lahir, takkan pernah ada tawar-menawar.
Dalam perjalanan itu terlihat sesekali ia menangis. Ia merasa kasihan karena banyak teman turutserta melanggengkan kesenangan semu. Terbukti di kampus begitu banyak bersliweran robot yang pikirannya dipenuhi keinginan untuk belanja, bergaya, hura-hura. Semakin lengkap ke-robotannya ketika sekedar menjadi celengan teori-teori anti realitas yang dikotbahkan dosen yang tak lain hanya budak-budak kurikulum. Hasilnya temannya mampu memisahkan, mana yang akademis dan non akademis. Seharusnya kita menolak jika hanya menjadi celengan teori-teori, kecuali kita memang celeng, Lengjilengbeh, celeng siji celeng kabeh hua…hua…hua…hu…hu…hu…
Di sela tangisnya yang kian meraung ia bertanya, bagaimana mungkin hal yang manusiawi dan kegiatan akademis dapat dipisahkan? Bukankah manusia dan ruhnya merupakan satu kesatuan? Kecuali pendidikan memang belum pernah menyentuh jiwa humanis kita.
Lalu tiba-tiba ia berhenti menangis dan tertawa kecil-tawa kecemasan. Kapitalisme memang bagaikan kerajaan. Bila kita memasuki kerajaan itu, maka segala sistemnya akan mengungkung dan memberi kenikmatan yang luar biasa. Kapitalisme seperti arus yang yang sangat besar.
Sejenak ia berhenti tertawa. Lalu ia bertanya, mengapa harus ikut arus itu? Tapi apakah berdaya kita melawan arus yang begitu besar? Ehm… mungkin lebih aman kita minggir saja dari arus? Ia begitu kebingungan dengan pertanyaan yang menyeruak dengan tiba-tiba. Lalu ia berhenti berjalan dan tersenyum. Ya…ya…kita ciptakan saja arus baru. Arus alternatif yang ideal, bukankah sebuah awal dari perlawanan? Arus yang mampu membawa nelayan miskin mencari ikan sebanyak-banyaknya. Ha…ha…ha…, ia tertawa tulus dan meneruskan perjalanan.
Kini ia berhenti dan memungut sesuatu dengan ruh bergetar, lebih dasyat dari gemetarnya tubuh akibat dinginnya angin yang menusuk pori-pori kulitnya. Ia pungut baju berwarna hitam, baju itu milik kawannya. Dia mencopotnya siang tadi untuk menghentikan aliran darah di kepalanya, meskipun itu mustahil. Darah terus mengalir akibat pukulan tongkat aparat yang mengatasnamakan ketertiban, tapi sesungguhnya hanya melakukan perintah atasannya.
* *
Kemarin, kawan-kawannya di Semarang membakar seragam, simbol kegagahan mereka(?). Lalu aparat marah. Dengan membabi buta, mereka mencari, manangkap, dan menganiaya, hingga 2 kawannya harus menginap di RS. Dan itu hal biasa, sama sekali tidak menyakitkan, karena Ibu pertiwi selalu membelai lembut setiap bentuk perjuangan yang murni.
Anehnya, perlawanan itu sama sekali tidak muncul di media apapun, bahkan televisi sekalipun.
Rupanya negara takut akan meluasnya gerakan yang mengkontrol pemerintahan korup. Para jendral malu terkuaknya kebenaran bahwa militer memang melanggar HAM, dan hanya mengenal satu komando ‘membunuh atau dibunuh!’.
Televisi lebih untung menyodorkan AFI dengan artis instannya yang berjingkrak, mengenakan topeng kosmetika, menyuguhkan tayangan sepak bola dengan pemainnya tak lebih seperti seonggok daging yang diperjual belikan dengan harga sangat mahal, atau menayangkan janji-janji kosong para penguasa.
Tuhan tak lagi cemburu pada jimat, demit, dukun. Tuhan cemburu pada artis, uang, penguasa negara yang setiap saat dipuja umat-Nya.
Ia buang baju hitam yang penuh darah ke tepi jalan. Tanpa rasa kehilangan, karena ia memang tidak suka mendramatisir sesuatu. Lalu ia bertanya, begitu berhargakah seragam bagi militer? Mengapa? Begitu berhargakah bendera pertiwi merah putih? Mengapa?
Siapa yang mengklaim bahwa membakar merah putih adalah makar? Mengapa? Merah putih hanyalah simbol. Jika di pertiwi ini masih berserakan anak-anak jalanan, kemiskinan, penindasan, kesinisan terhadap perempuan, pendidikan yang tidak merata, apalah arti bendera? Bakar saja! atau dibuat celana dalam untuk menutupi kemaluan anak-anak pemulung yang tidak punya pakaian. Lebih bermanfaat ketimbang dipajang pada tiang tertinggi.
* *
Ia jadi teringat teman-temannya yang senang mendiskusikan pakaian. Dari pakaian yang tidak menutup pusar pemakainya, sampai cadar yang dipakai ikwan lain. Dalam diskusi sesekali teman-teman mengejek model-model pakaian itu. Lalu muncul pertanyaan, “mengapa menghiraukan model dan varian-varian pakaian? Mengapa tidak berempati seandainya kita tidak punya pakaian yang layak? mengapa pemulung tak mampu membeli pakaian? sedangkan di sisi lain ada orang yang mampu membeli apapun, bahkan pelacur, adilkah?”
Temannya menjawab, “tentu saja adil! bukankah orang menjadi kaya karena perjuangan?dan si kaya berhak menikmati kekayaan itu!”
Lalu ia menjawab, “persis teori Weber dalam ‘Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme’. Bahwa seseorang akan meningkat klas-statusnnya dengan cara bekerja keras dan berhemat. Yang menjadi pertanyaan, Seseorang yang tak mampu membeli pendidikan, mampukan dia bekerja sesuai keinginan? Seberapa banyak sih uang yang dapat di tabung pemulung? Sedangkan untuk makan masih kurang.
Lalu temannya menyeletuk, “salah sediri kenapa miskin?!”
Dan ia balik bertanya pada temannya, kalau begitu kau menyalahkan Tuhan? Bukankah Tuhan maha benar. Kau berkata seolah Tuhan telah menjebak pemulung dengan segala kemiskinannya. Kau menginginkan Tuhan memberi pilihan? Bahwa sebenarnya manusia berhak menentukan hidupnya, termasuk apakah sebenarnya dia ingin hidup atau tidak.Tapi temannya acuh dan beralih membicarakan ponsel keluaran terbaru.
* *
Ia terus berjalan menjauh dari tempat ia membuang baju hitam dengan aroma darah kering yang lebih harum dari melati, lebih merah dari mawar. Menjauh, ia melangkah dalam kesenyapan yang begitu malam. Ini jalan yang menyediakan segala sesuatu bukan untuk dikuasai atau menguasai.
Ia tinggalkan alur perjuangan, namun ia tidak berusaha memisahkan, karena segalanya saling bertautan.
Ia mengundang kenangannya bersama kekasih, hingga memenuhi seluruh ruang pikirannya. Ia biarkan kerinduan pada kekasihnya meranum, menggeliat dalam jiwanya. Hingga hanya dapat dituntaskan dengan sebuah pertemuan. Pagar yang tertutup dan sudah karatan, harus kembali membuka diri.
Ia duduk dengan sahabatnya yang juga kekasihnya. Dalam kebisuan, karena sesungguhnya bahasa tak mampu mengapresiasikan makna kasih diantara mereka, perasaan cinta yang begitu dalam. Tanpa campur tangan alur cinta sinetron yang terlalu dibuat-buat, sehingga pemuda-pemudi menangisi hal-hal remeh.
Ia dan kekasihnya telah sepakat untuk saling memberi, demi diri masing-masing. Lalu ia bicara pada kekasihnya, namun lebih mirip ratapan. Bukankah suatu kehebatan ketika kita mengungkapkan rasa cinta dengan cara mencintai? Setiap manusia memiliki sisi romantis dan melankolis, dan itu kutumpahkan padamu. Kengiluanku, kegembiraanku, hasratku tertuju untukmu.
Dan aku yakin kau meragukan ketangguhanku, seperti akupun kepadamu. Karena semuanya adalah keraguan. Descartes benar ‘satu hal yang pasti adalah kita tak ragu bahwa kita benar-benar meragukan sesuatu’.
Lalu ia ingin memeluk kekasihnya. Cinta mampu membawa mereka pada suatu perlawanan dan menebarkan kasih secara universal. Cinta seperti perintah malaikat untuk berbagi keringatmu dengan keringat orang-orang terpingirkan yang tergilas peradaban yang tak beradab.
Mereka membisu didekap erat kegalauan, kengerian, juga kegelian atas stereotif ‘anarkis’ yang diberikan pada mereka. Seperti penipuan orba dengan awas bahaya laten komunis’ untuk membantai rakyat, yang mendukung musuh politiknya, dan dipaksa mengaku komunis.
Jika rakyat tersebut bersalah pada negara mengapa mereka dibantai tanpa proses peradilan? Bukankah negara ini negara hukum? Mengapa tragedi pembantaian sengaja dihilangkan dari sejarah? Bukankah menyembunyikan secuil sejarah, merupakan indikasi ketidakberesan suatu pemerintahan?
Malam merangkak penuh gairah, lalu ia mengatakan sesuatu pada kekasihnya, aku bukanlah venus yang mengunjungi matahari hanya sebentar. Tapi aku dan kamu adalah matahari dengan segala cahayanya yang tidak menyukai kegelapan yang sengaja disembunyikan.
Mereka berdua kemudian terdiam dan terlibat suatu petualangan. Petualangan yang mempunyai suatu perasaan dan memerlukan perasaan yang kuat untuk mengidahkan keadaan.
Sesungguhnya mereka sekedar memiliki segudang kritik dan cita-cita yang sangat mulia, namun tidak memiliki jalan yang jelas menuju destinasi mereka.
***
*Cerpen ini pernah dimuat di Majalah Prima-Fak ISIP UNEJ Juli 2004 dan dalam bentuk yang lebih sederhana dimuat di Majalah Paroki (majalah umat Kritiani-Jember) di akhir tahun 2006.
*Foto dijepret saat purnama bulan Juni 2007
*Kupersembahkan untuk kawan terbaikku yang tak pernah mau berhenti menguatkan:Na
Meski cerpen ini ku akui jauh dari apik untuk orang se-apik kamu: Selamat Natal & Tahun Baru, NA-q..

Minggu, 23 Desember 2007

Kisah Perempuan Buruh Tambang yang Menolak Dilecehkan


North Country (film)



North Country adalah sebuah film tahun 2005 garapan sutradara Niki Caro. Film ini erdasarkan kisah nyata kasus Jenson v. Eveleth Taconite Co. dan terinspirasi dari buku Class Action karangan Clara Bingham dan Laura Leedy Gansler. Syuting dilakukan sejak Februari 2005 bertempat di Minnesota bagian utara (termasuk kota Eveleth), Minneapolis, dan New Mexico

Ikhtisar cerita:
Film ini menceritakan perjuangan seorang wanita yang bekerja di tambang, yang mengalami pelecehan seksual dan melancarkan tuntutan class-action (tuntutan hukum oleh seseorang atau sekelompok orang yang memiliki masalah yang sama terhadap orang/lembaga tertentu) terhadap atasannya karena mereka tidak mampu melindungi dirinya dan karyawan wanita lainnya.

Sinopsis:
Film ini menggunakan plot maju-mundur. Seluruh cerita adalah kesaksian di pengadilan di mana Josey melancarkan tuntutan terhadap atasannya.
Tokoh utama film ini adalah Josey Aimes (Charlize Theron), seorang orang tua tunggal dari dua anak, yang kembali ke kampung halamannya di Minnesota. Untuk mencukupi kebutuhannya, ia bekerja di tambang (meski sebenarnya ayahnya tidak setuju). Pekerja di tambang tersebut nyaris semuanya laki-laki, dan ternyata nyaris semua pekerja wanita di sana mengalami pelecehan seksual, dan mereka tidak bisa apa-apa karena tidak ada perlindungan hukum dari perusahaan. Josey pun mengalaminya, karena mantan kekasihnya saat SMU, Bobby Sharp (Jeremy Renner), berusaha dengan segala cara untuk mendekatinya secara seksual, meski Bobby sebenarnya sudah menikah. Josey pun melaporkan hal ini kepada atasannya, yang semula dikira akan membantunya, tapi ternyata mereka tidak bisa (atau tidak mau) melakukan apa-apa.
Di lain pihak, kedatangan Josey di kampung halamannya juga dicibir oleh sebagian orang. Mereka membicarakan masa lalu Josey, karena Josey tidak pernah memberi tahu siapakah ayah Sammy (anak pertamanya) sebenarnya.
Sementara itu keadaan semakin memburuk. Josey pun mengundurkan diri dari pekerjaannya. Ia dan pengacaranya, Bill White (Woody Harrleson) bermaksud mengajukan tuntutan kepada perusahaan. Namun ketika ia meminta rekan-rekan kerjanya yang sesama wanita untuk bersaksi melawan perusahaan, mereka semua menolak, karena mereka sangat membutuhkan pekerjaan. Persoalan semakin bertambah ketika istri Bobby beteriak-teriak di depan umum pada pertandingan hoki anak-anak, meminta agar Josey menjauhi suaminya. Hal ini membuat marah Sammy (Thomas Curtis) yang memutuskan untuk kabur dari rumah. Namun setelah dinasihati oleh Kyle (Sean Bean) ia pun kembali ke rumah.
Di pengadilan pun terungkap bahwa ternyata Josey diperkosa oleh guru SMU-nya sampai ia hamil. Dan setelah didesak oleh Bill, Bobby pun mengakui bahwa sesungguhnya ia melihat perkosaan tersebut, namun ia tidak melakukan apa-apa. Pada akhirnya, Josey memperoleh dukungan dari rekan sesama perkerja wanitanya, dimulai dari sahabatnya, Glory (Frances McDormand). Mereka mendapatkan sejumlah uang ganti rugi, dan yang terpenting adanya kebijakan yang melindungi mereka — dan wanita-wanita lain setelah mereka — dari pelecehan seksual.
Di film ini sekali lagi Charlize Theron bermain apik. Kegetirannya terekspresikan lewat gestur dan wajahnya yang nyaris tanpa senyum di sepanjang film. Ia berhasil menampakkan citra seorang wanita pekerja keras dan seorang ibu yang protektif karena masyarakat yang ‘kejam’.

Penghargaan:
Charlize Theron dan Frances McDormand masing-masing dinominasikan dalam kategori Aktris Terbaik dan Aktris Pendukung Terbaik pada beberapa ajang penghargaan, di antaranya Academy Awards, Golden Globe, BAFTA Awards dan Screen Actors Guild Awards.

Sabtu, 22 Desember 2007

Pernyataan Sikap:

Jaringan Nasional Perempuan Mahardhika
Catatan Perempuan dalam Peringatan Hari Ibu 22 Desember 2007
CUKUP SUDAH PENDERITAAN PEREMPUAN;
LAWAN PENJAJAHAN MODAL ASING TANPA SISA-SISA ORDE BARU DAN REFORMIS GADUNGAN
Empat puluh enam tahun sudah Hari Ibu ditetapkan1 , atau tujuh puluh tujuh tahun sesudah Kongres Wanita Indonesia pertama dilangsungkan2. Tiga puluh sembilan tahunnya berbuah kesengsaraan3 , dan delapan tahunnya berbuah krisis ekonomi dan politik yang tak berkesudahan. Memang, gerakan demokratik 1998 telah membuka jalan bagi peningkatan kesadaran dan meluasnya organisasi perempuan, hingga tak lagi sekedar kumpulan ibu-ibu PKK atau Dharma Wanita pendamping suami. Tuntutan kesetaraan meluas, walau belum berbuah gerakan yang berkarakter kerakyatan. Gerakan demokratik yang menumbangkan kediktatoran adalah kunci bagi peningkatan kesadaran perempuan saat ini.
Namun celakanya, 8 tahun sejak reformasi, para aktivis dan partai-partai yang mengaku reformis, kini berhenti berjuang menegakkan reformasi. Partai-partai sisa-sisa Orde Baru dan mantan tentara malah beramai-ramai menumpang bendera reformasi. Para aktivis yang sempat berpanas-panas di jalanan, kini juga ramai berteduh di bawah bendera-bendera reformis gadungan dan sisa-sisa Orde Baru. Termasuk aktivis perempuannya. Sementara kesengsaraan terus bergelayut di pundak perempuan, walau kuota perempuan (di bawah bendera partai-partai sisa Orde Baru dan reformis gadungan) meningkat di parlemen.
Semuanya takluk, tak berkutik dihadapan penjajahan modal asing. Bahkan banyak yang berlomba menjadi agen barunya, dengan berpura-pura anti modal asing di parlemen, tapi tak sungguh-sungguh memobilisasi kekuatan partainya dan massa rakyat untuk melawan penjajahan modal asing. Padahal penjajahan modal asing adalah sumber pokok kesengsaraan perempuan Indonesia saat ini, yang mematikan potensi kemajuannya; menghinakan martabatnya; menghancurkan masa depannya sebagai manusia. Penjajahan modal asing mematikan produktivitas rakyat dan lebih banyak menghancurkan tenaga produktif perempuan; menghancurkan produktivitas industri nasional, sehingga menyebabkan kemiskinan berkepanjangan, yang paling banyak mengorbankan perempuan.
Dampak penjajahan yang paling membebani pundak perempuan (yang mayoritas miskin di negeri ini) adalah kenaikan harga dan turunnya daya beli rakyat, terutama di sektor pertanian yang tak tersentuh modal―kecuali sektor agribisnis besar (seperti sawit, karet dan beberapa perkebunan besar negara). Dari 108 juta rakyat miskin yang hidup di bawah Rp. 19.000/hari, porsi kaum perempuan lebih dari setengahnya. PHK sepihak oleh berbagai industri manufaktur yang bangkrut mengorbankan angkatan kerja perempuan lebih banyak ketimbang laki-laki. Kaum perempuan lah yang menjadi korban terbesar dari kemiskinan dan kehancuran tenaga produktif (feminisasi kemiskinan) akibat penjajahan ini.
Deindustrialisasi juga menyebabkan terus meningkatnya angkatan kerja buruh migran perempuan, hingga mencapai 72% dari jumlah laki-laki dalam 10 tahun ini, di mana setiap tahunnya Indonesia mengirimkan 400.000 buruh ke luar negeri tanpa ada status hukum dan perlindungan yang jelas. Tingginya angka pengangguran perempuan juga dimanfaatkan oleh bisnis prostitusi dan pornografi, termasuk peningkatan jumlah pelacur. Jumlah pelacur anak saja mencapai 30%, dan setiap tahun 100.000 anak diperdagangkan.
Tak cukup sampai disitu, pendidikan dan kesehatan, yang merupakan landasan bagi kemajuan sumber daya manusia dan kemajuan suatu bangsa, semakin tak menjangkau perempuan. Semakin sulit pula bagi mayoritas kaum ibu untuk mendapatkan pelayanan kesehatan berkualitas yang murah, karena rumah-rumah sakit besar yang berteknologi tinggi, mayoritas dimiliki asing dan tidak bisa diakses oleh rumah tangga miskin. Program-program semacam Askeskin dan Gakin, selain tak mudah diakses perempuan, juga syarat pengurusannya semakin dipersulit; rumah sakit tetap meminta kontribusi; PT. Askes menunggak membayar klaim; obat-obatan yang diberikan adalah obat kelas dua yang lebih lama menyembuhkan daripada obat-obatan untuk pasien kaya. Menteri kesehatan, yang berjenis kelamin perempuan, tak punya keberanian untuk mengatasi persoalan ini, selain menyuruh masyarakat untuk bersabar dan memaklumi.
Perempuan juga merupakan lapisan masyarakat dengan tingkat melek huruf dan rata-rata sekolah paling rendah. Namun pendidikan berkualitas hanya menjadi milik rumah tangga-rumah tangga kaya. Sehingga masuk akal lah jika perempuan terjerumus ke dalam pekerjaan-pekerjaan yang rentan eksploitasi, kekerasan, pelecehan seksual, termasuk rela dipoligami karena tergantung secara ekonomi. Celakanya, bukan akar persoalannya yang diatasi (yaitu kemiskinan perempuan), tapi perempuannya yang dihukum. Perempuan menjadi objek yang disalahkan, dikejar-kejar, digaruk, bahkan dilecehkan dalam perda-perda syariah dan RUU pornografi.
Memang, beberapa kemajuan politik sudah ada, seperti kuota 30%, UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), UU kewarganegaraan dan sebagainya, yang menjadi pembuka jalan bagi perjuangan kesetaraan perempuan (affirmative action) selanjutnya. Namun, tanpa mengatasi persoalan feminisasi kemiskinan yang bersumber dari rendahnya kualitas tenaga produktif perempuan, maka pekerjaan legislasi pun hanya akan menguntungkan segelintir elit perempuan yang bermimpi bisa merubah nasib perempuan tanpa gerakan massa perempuan.
Bangun Gerakan Massa Perempuan; Lawan Penjajahan Modal Asing
Hal yang paling menggembirakan adalah, kesengsaraan ini tidak lagi diterima dengan lapang dada. Itulah mengapa perlawanan (gerakan) spontan mulai merebak dan meningkat di mana-mana, bahkan kwalitasnya pun mulai meningkat―peningkatan GOLPUT, penjatuhan pimpinan daerah, dan sebagainya (apapun alasannya, GOLPUT adalah cermin tak adanya harapan akan alternatif).
Kaum perempuan Indonesia yang sedang melawan, mulai sadar, bahwa pemerintah dan seluruh partai-partai di parlemen tak bisa diharapkan lagi. Sehingga dengan sadar pula memulai berjuang untuk membangun kekuasaan baru; alat politik alternatif baru; yang bersih dari unsur-unsur sisa Orde Baru dan reformis gadungan. Hanya kekuatan seperti itulah yang lebih berkemampuan menjalankan kebijakan untuk mengangkat harkat dan kesetaraan sejati perempuan. Kekuasaan tersebut akan dibentuk bersama seluruh elemen rakyat yang juga sedang berjuang melawan penjajahan modal asing, yang akan bekerja untuk:
1. MEMENUHI TUNTUTAN-TUNTUTAN DARURAT RAKYAT, seperti kenaikan upah; harga murah; kesehatan dan pendidikan gratis; perumahan murah; makanan bergizi; pelayanan administrasi gratis; modal dan teknologi untuk pertanian; lapangan kerja, mencabut semua produk hukum yang menindas harkat perempuan, dan pembaruan lingkungan.
2. MENGAMBIL ALIH PERUSAHAAN TAMBANG, dan industri yang vital lainnya; MENOLAK PEMBAYARAN HUTANG LUAR NEGERI; mengadili dan menyita harta-harta koruptor sejak berdirinya Orde Baru, sebagai sumber-sumber pendapatan utama bagi kesejahteraan rakyat serta pembangunan industri nasional.
3. MEMBANGUN INDUSTRI NASIONAL YANG MODERN SEBAGAI LANDASAN MENINGKATKAN HARKAT KAUM PEREMPUAN. Alih teknologi, kenaikan upah, kesehatan dan pendidikan gratis, serta kontrol rakyat atas kerja-kerja produksi adalah landasan terbangunnya industri nasional. Dengan industrialisasi nasional, kaum perempuan menjadi pandai dan meningkat harkatnya. Lapangan pekerjaan yang membangkitkan produktivitas kaum perempuan akan bisa disediakan, sehingga ketergantungan ekonomi kaum perempuan terhadap laki-laki juga akan berkurang, dengan demikian, kadar kesetaraan yang lebih sejati dapat tercapai, sehingga akan mengurangi praktek poligami, perdagangan perempuan, kekerasan rumah tangga, hingga pelacuran. Anak-anak pun tidak akan terlantar dijalanan karena negara akan produktif dan memiliki uang untuk membangun tempat-tempat penitipan anak gratis di tempat kerja, dan taman-taman bermain untuk meningkatkan kreativitas anak.
Bila mobilisasi kekuatan politik gerakan yang spontan-ekonomis-fragmentatif bisa disatukan, yang statistik aksinya sudah puluhan per bulannya (dimana perempuan sering berada di garis terdepan dan paling militan), maka pergantian kekuasaan tidaklah mustahil dilakukan. Perjuangan pergantian kekuasaan di Bolivia dan Venezuela memberikan pelajaran pada kita, bahwa berjuang untuk sebuah kekuasaan baru dengan persatuan dan mobilisasi rakyat, tanpa kekuatan lama dan reformis gadungan, tidak mustahil dilakukan dan akan menguntungkan bagi perjuangan kaum perempuan.

Selamat Hari Ibu; bagi Kaum Ibu yang tak Lelah-lelahnya Berjuang!
Selamat Hari Raya Idul Adha, Natal, dan Tahun Baru 2008.

Jakarta, 19 Desember 2007

Vivi Widyawati
Koordinator

1 Oleh Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden No 316 tahun 1959.
2 di Yogyakarta, 22 Desember 1928.
3 Sejak berkuasanya Soeharto, dengan disyahkannya UU penanaman modal Asing 1967, dimulailah penjajahan modal asing di Indonesia; dan agar jangan ada gangguan terhadapnya maka gerakan politik perempuan diberangus hanya sebatas pendamping suami yang patuh. -- Komite NasionalJaringan Nasional Perempuan MahardhikaMobile. [62] [815-8946404] -- Komite NasionalJaringan Nasional Perempuan MahardhikaJl. Tebet Dalam 2G No.1Telp/Fax. 021-8354513Mobile. [62] [815-8946404]

Sabtu, 15 Desember 2007

Selalu Lirik-lirik lagu siptaan Piyu-Padi Menggetarkan dan reflektif,bukan melulu soal cinta yang biasa(h)!

Sang Penghibur
Ciptaan: Piyu

Setiap perkataan yang menjatuhkan
Tak lagi kudengar dengan sungguh
Juga tutur kata yang mencela
Tak lagi kucerna dalam jiwa
Aku bukanlah seorang yang mengerti
Tentang kelihaian membaca hati
Ku hanya pemimpi kecil yang berangan
Tuk merubah nasibnya
Oh..bukankah ku pernah melihat bintang
Senyum menghiasi sang malam
Yang berkilau bagai permata
Menghibur yang lelah jiwanya,
yang sedih hatinya
Yang lelah jiwanya,
yang sedih hatinya

Kugerakkan langkah kaki
Dimana cinta akan bertumbuh
Kulayangkan jauh mata memandang
Tuk melanjutkan mimpi yang terputus
Masih kucoba mengejar rinduku
Meski peluh membasahi tanah
Lelah, penat tak menghalangiku
Menemukan bahagia
Oh..bukankah ku pernah melihat bintang
Senyum menghiasi sang malam
Yang berkilau bagai permata
Menghibur yang lelah jiwanya,
yang sedih hatinya
Yang lelah jiwanya,
yang sedih hatinya
Yang lelah jiwanya…

Oh..bukankah ku bisa melihat bintang
Senyum menghiasi sang malam
Yang berkilau bagai permata
Menghibur yang lelah jiwanya…
Bukankah hidup ada perhentian
Tak harus kencang terus berlari
Kuhelakan nafas panjang
Tuk siap berlari kembali…
berlari kembali
Melangkahkan kaki…
menuju cahaya
(Bagai bintang yang bersinar, menghibur yang lelah jiwanyaBagai bintang yang berpijar, menghibur yang sedih hatinya)

Jumat, 14 Desember 2007

Waria Tuntut HAM


*Oleh: Ken Ratih Indri Hapsari S.Sos

Ada yang menarik dari demonstrasi pada momentum hari HAM (Hak Asasi Manusia) yang diperingati secara internasional pada tanggal 10 Desember lalu. Demostrasi di Ibukota Negara yang dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat, mulai dari sektor tani, kaum miskin perkotaan, buruh, aktivis gerakan, juga turut serta sekelompok waria yang menuntut ditegakkannya keadilan HAM di bumi Indonesia.
Tuntutan waria (atau wanita-pria) antara lain, diakuinya mereka sebagai manusia seutuhnya, sehingga tidak ada alasan untuk men-subalternkan/menyingkirkan kaum waria dari hak berpolitik, berorganisasi, bekerja, dan bersosialisasi maupun membangun relasi. Dan yang terpenting mereka menolak tegas Perda yang telah melarang dan membatasi waria untuk beraktifitas di tengah-tengah masyarakat.
Dalam pandangan masyarakat pada umumnya, waria merupakan penyakit seks atau kiondisi yang patologis sehingga harus diperangi sering dengan cara membabi buta. Waria distereotifkan negatif sama halnya dengan kaum gay, lesbian dan pelacur. Titik tolak penilaian yang sangat ditentutan oleh orientasi seksual ini yang menjadi sebab, sehingga apapun aktivitasnya, selalu waria terlihat aneh—bahkan terkadang seolah sangat menjijikkan.
Menurut Suzanne Staggenborg (Gender, Keluarga, dan Gerakan-Gerakan Sosial, 2003) dalam perjalanan sejarah dan dalam lintas budaya, ditemukan bahwa hubungan-hunbungan sesama jenis sudah lama ada. Identitas homoseksual yaitu, gay dan lesbian semakin pesat seiring dengan perkembangan kapitalisme dan peralihan dari masyarakat desa ke kota.
Pada awal abad dua puluh, di dunia barat, di kota-kota besar seperti Paris, Berlin, dan New York subbudaya homoseksual mulai tumbuh subur. Selama tahun 1920-an, kelompok Prohibition melakukan pembukaan kelab malam secara besar-besaran dan tempat nongkrong yang menjual minuman keras secara ilegal. Hal tersebut menarik perhatian laki-laki maupun perempuan kelas menengah ke atas dan kelas pekerja untuk mengunjunginya. Dalam kenyataanya, anggota kelas menengah di kota-kota mengambil bagian dalam menyebarluaskan hiburan-hiburan komersial lebih dari satu generasi, tapi orang-orang biasa membiarkan adanya eksperimen lebih jauh terhadap norma-norma publik dalam tingkah laku.
Pada perkembangannya, keingintahuan publik terhadap kaum homoseksualitas sangat besar di tahun 1920-an. Laki-laki gay sangat dicari untuk menjadi penghibur di kelab-kelab malam New York, seperti dalam acara “Heboh Waria”. Beberapa waria berakting di jalam dan tentu saja kehebohan merambat ke kota-kota lain. Kehebohan waria mendorong kelas menengah yang suka kelab menunjukkan “kelebihan” mereka dan mengambil jarak dari reformis moral “berfikiran sempit”. Hingga tema homoseksualitas menjadi tema populer pada tahun 1920-an fiksi diantaranya novel karya Ernest Hemingway.
Namun dalam konteks liberalisme seksual di tahun 1920-an terdapat ambivalensi besar dalam seksualitas sesama jenis, seperti terlihat, waria sering ditertawakan, ini menunjukkan pengkhianatan karena ada sebuah kesenangan dengan subbudaya gay sekaligus kecemasan terhadap masalah-masalah yang timbul sehubungan dengan peraturan-peraturan heteroseksual.
Arus balik menentang homoseksual pertama kali muncul selama masa depresi, yakni ketika banyak laki-laki yang dikeluarkan dari pekerjaan dan angka rata-rata perkawinan turun drastis sebagai akibat orang-orang muda banyak yang menunda perkawinan karena alasan-alasan finansial. Pada waktu itu para pendidik dan Rohaniawan cemas jikalau hal ini akan menimbulkan “penyelewengan” seksual, dan hilangnya sifat kelaki-lakian.
Fenomena tersebut relevan dengan analisa sang teroritikus revolusioner Foucault, yang menegaskan bahwa femininitas, maskulinitas dan seksualitas adalah “akibat praktek disiplin”, “the effect of discourse”. Maksudnya, menjadi perempuan atau laki-laki adalah murni kontruksi sosial—merujuk Foucault, adalah pendisiplinan yang ditegakkan oleh norma, agama dan hukum—dan tidak ada hubungannya dengan jenis kelamin.
Secara sosiologis, waria adalah suatu bentuk transgender. Maksudnya adalah mereka adalah kaum yang menentang konstruksi gender yang diberikan oleh masyarakat pada umumnya, yaitu laki-laki atau perempuan saja. Transgender disini mempunyai pengertian; perempuan yang terperangkap ke dalam tubuh laki-laki. Waria menentang konstruksi tersebut, yaitu secara fisik dia laki-laki namun dia berpenampilan perempuan. Peran-peran yang diambil pun peran-peran perempuan.
Menurut sejarah, maraknya waria sangat dipengaruhi oleh konteks peralihan sistem ekonomi, seperti contoh di atas, jadi transgender merupakan fenomena yang tidak lepas dari konteks sosial. Pada posisi ini waria, gay dan lesbian bahkan pelacur tidak boleh jika ditempatkan dan dipandang secara misoginis(jijik) serta menjadi bulan-bulanan segudang stereotif negatif yang pada akhirnya merampas hak asasi mereka sebagai manusia pada umumnya.

Sabtu, 08 Desember 2007

Opini Pilihan:

ERTSBERG MENGGUGAT
(SEBUAH REFLEKSI SEJARAH PROSES PENAMBANGAN DI DAERAH ERTSBERG PAPUA OLEH PT FREEPORT GOLD AND COPPER)

*Oleh: Sapto Raharjanto

Sistem kapitalisme global yang terjadi saat ini yang cenderung mengikis rasa kemanusiaan dan frame kebangsaan karena yang terpenting dari sistem ini ialah bagaimana sebuah penguasaan negara bahkan bagaimana penguasaan dunia yang tanpa batas oleh sebuah dominasi pasar,…dalam perspektif Marxisme yang mengungkap bahwasannya hal yang melekat terhadap kapitalisme ialah adanya meerwarde/nilai lebih yang hanya dinikmati oleh beberapa kelompok kartel besar layaknya sebuah sistem oligarkhi, proses ini bisa dilakukan dengan berbagai cara, seperti penjajahan, baik klasik maupun modern.
Secara teoritik, bentuk negara di bawah kekuasaan Orde Baru adalah sebuah negara otoriter birokratis yang juga berperan sebagai subordinat dari kepentingan ekonomi dan politik AS yang sangat berperan didalam proses pergantian kekuasaan di Indonesia pasca Soekarno. Pada fase ini berkembang jargon-jargon yang sifatnya Top down, seperti ide pembangunanisme. Dengan segenap instrument-instrument pendukungnya seperti militer dan juga berbagai macam budaya kekerasan pendukungnya seperti berlakunya label dan proses stigmatisasi dengan mengembangkan jargon politik: anti pembangunan, anti ideologi negara (Pancasila) dan berpaham komunis, OTB (Organisasi Tanpa Bentuk), GPK (Gerakan Pengacau Keamanan) dan lain sebagainya. Karena itu bukanlah kebetulan jika bentuk negara otoriter birokratis ini didukung penuh oleh kekuatan militer. Derasnya arus investasi modal asing beserta berbagai produk dan imbasnya ikut meramaikan Orde ini dikarenakan adanya sebuah legitimasi serta perlindungan dari penguasa seperti adanya UUPMA 1967 serta berbagai penandatanganan kontrak karya yang merupakan contoh mutlak dari adanya sebuah legitimasi negara terhadap investasi modal asing.
Berbagai macam produk perundang-undangan di atas adalah merupakan sebuah legalitas bagi masuknya investasi asing. Tidak dapat dipungkiri bahwa Negara-negara yang melakukan investasi tersebut pastinya mempunyai hidden motive. PT. Freeport Indonesia yang beroperasi di Papua adalah perusahaan multinasional milik Amerika Serikat dimana pada tahun 1967 setelah jatuhnya pemerintahan Soekarno yang anti Barat, Freeport Gold and Copper melakukan penjajakan investasi ekonomi. Penjajakan investasi itu dilakukan Freeport untuk menambang tembaga terbesar di dunia yang terdapat di Ertsberg, daerah pegunungan tengah Papua.
Kepastian mengenai adanya tambang tembaga terbesar itu dibuktikan oleh Forbes Wilson, seorang geolog AS, melalui sample geologis Ertsberg yang ditelitinya pada tahun 1960. Berawal dari sinilah muncul kepentingan ekonomi politik AS. Dan untuk menjaga eksistensinya, pada tahun 1962 AS mengadakan sebuah pertemuan rahasia di Roma yang dihadiri wakil-wakil Indonesia dan Belanda dan berhasil dibuat The Secret Rome Agreement. Dimana salah satu isi dari perjanjian tersebut disebutkan bahwa AS berkewajiban melakukan investasi melalui badan usaha di Indonesia bagi eksplorasi mineral dan sumber daya alam lainnya. Hal ini yang kemudian menjadi inti dari semua masalah yang melatarbelakangi kepentingan ekonomi politik AS mengenai Papua. Emas dan batubara yang merupakan hasil penambangan dari Freeport sudah puluhan ton dieksplorasi dan di bawa untuk kepentingan AS.
Imbas dari penambangan besar-besaran di wilayah ini ialah adanya pencemaran dan pengrusakan Sungai Ajkwa oleh limbah B3 (Bahan Beracun Berbahaya) yang telah mencapai Laut Arafura. Akibatnya, sejumlah spesies telah punah karena keracunan. Penduduk Papua yang sebenarnya dapat menikmati hasil dari eksplorasi sumber alamnya, malah tetap dalam kondisi yang stagnan. Sehingga tak ayal lagi kemiskinan semakin melilit ditambah lagi dengan kerusakan dan kehancuran lingkungannya. Selain hal tersebut daerah Papua menjadi sebuah wilayah yang rawan konflik, dimana sampai saat ini belum ditemukan jalan terbaik mengenai penyelesaian konflik tersebut dikarenakan permasalahan di Papua bukan hanya sekedar masalah politik, tetapi merupakan konflik multidimensi di segala aspek kehidupan sosial masyarakat. Masalah-masalah tersebut seperti pelanggaran HAM yang kronis, kemiskinan penduduk yang merupakan peringkat pertama di Indonesia, pengembangan sumber daya manusia yang stagnan, operasi dan agresi militer yang tiada henti, korupsi, pembalakan liar, perusakan lingkungan yang parah, dan pencurian sumber-sumber ekonomi rakyat.
Dapat disimpulkan, AS sendiri memiliki hidden motive dari semua peristiwa politik di Indonesia pasca kejatuhan Soekarno (termasuk bagaimana AS melakukan intervensi dalam masalah-masalah yang sedang terjadi di Indonesia seperti keterlibatan AS didalam pergantian kekuasaan di Indonesia pada pertengahan dekade 60-an) karena sejak awal dekade 60-an AS sudah berminat untuk mengeksploitasi tembaga dan emas di Papua.

Namun kerjasama ekonomi antara pemerintah dan PT Freeport ini malah semakin memperparah masalah, karena kerjasama yang dilakukan oleh elite pemerintah yang terkenal dengan budaya KKN-nya dengan PT. Freeport yang adalah milik AS lebih membawa keuntungan bagi kepentingan segelintir elite pemerintah karena ada dugaan bahwa PT Freeport menyuap beberapa pejabat sipil dan militer Indonesia demi kelangsungan investasinya. Sedangkan nasib rakyat Papua yang semakin terpuruk akibat dari kemiskinan, pengembangan sumber daya manusia yang stagnan, operasi militer yang tiada henti, korupsi, pembalakan liar, perusakan lingkungan yang parah, dan pencurian sumber-sumber ekonomi rakyat sering berujung pada pertikaian dan konflik sosial, di mana rakyat Papua berusaha menuntut apa yang menjadi hak milik mereka sebagai reaksi dari ketidakadilan yang dilakukan oleh Freeport dan pemerintah Indonesia yang tidak melakukan tindakan hukum apapun maupun perbaikan dari kerusakan dan kehancuran ekonomi rakyat serta lingkungan hidup di tanah Papua.

*Peneliti
Centre of Local Economy And Politics Studies, Jember

Minggu, 02 Desember 2007

Pedagang Pasar Tradisional Tolak Carrefour


TANGERANG -- Sekitar 500 pedagang Pasar Cileduk, Kota Tangerang, berunjuk rasa di halaman Gedung Pusat Pemerintah Kota Tangerang, Kamis (15/11). Mereka menolak keberadaan Carrefour di CBD Cileduk. Pasalnya, pusat belanja tersebut terletak tepat di depan pasar tradisional Cileduk, Jalan Raya Cileduk, Kota Tangerang.
"Kami menolak keberadaan Carrefour di CBD," kata Ketua Koperasi Pasar Cileduk, H Tb Hasan. Carrefour dinilai para pedagang hanya akan mematikan pendapatan pedagang pasar tradisional tersebut. Hasan mengungkapkan, jika pasar tersebut tetap dipaksakan dibuka, maka para pedagang di Pasar Cileduk akan gulung tikar.
Seorang pedagang, Ngadiran, menyatakan, keberadaan Carrefour tersebut menyalahi beberapa aturan. Menurut Ngadiran, salah satunya, yaitu Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Perindustrian dan Perdagangan 145/MPP/Kep/5/1997 dan nomor 57 tahun 1997 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar dan Pertokoan.
Aturan tertanggal 12 Mei 1997 tersebut, ujarnya, menyebutkan, jika keberadaan supermarket harus berjarak 2,6 kilometer dari pasar tradisional. Tetapi, letak supermarket ini tepat berada di depan lokasi pasar tradisional dan hanya berjarak sekitar 24 meter. Untuk itu, Ngadiran juga mempertanyakan pemberian izin. "Ko' bisa dikasih izin?" tanyanya.
Dia mengungkapkan, pihaknya bukannya tidak pernah menempuh jalur diplomatis guna menyelesaikan masalah ini. Para pedagang, sebut Ngadiran, sudah melakukan upaya perundingan dengan pihak CBD sejak Maret lalu. Bahkan, pihak DPRD Kota Tangerang juga memfasilitasi pertemuan tersebut. "Tapi, enggak ada solusinya."
Jika Carrefour ngotot tetap beroperasi, maka pedagang minta beberapa syarat. Carrefour harus menutup akses masuk melalui Jalan Raya Cileduk atau di depan Pasar Cileduk. "Harus lewat jalan lain, entah dari mana," imbuhnya. Jika persyaratan tersebut tidak juga dipenuhi, maka para pedagang akan melakukan penyegelan dan menduduki Carrefour jika tetap diresmikan pada 1 Desember mendatang.
"Itu upaya terpahit. Kami masih membuka jalur komunikasi," imbuh Ngadiran. Selain itu, para pedagang juga akan melakukan upaya hukum atau gugatan terhadap pihak Carrefour. Para pengunjuk rasa berdemo mulai pukul 11.00 WIB. Mereka membentangkan spanduk dan beberapa karton. Mereka berorasi selama lebih dari satu jam. Setelah itu, beberapa perwakilan mereka diterima Komisi C DPRD Kota Tangerang. Wawan Tavip Budiawan mengatakan, pihaknya akan melakukan memfasilitasi mediasi dengan Carrefour. "Akhirnya, menyepakati akan melakukan mediasi dengan Carrefour," kata anggota DPRD dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.

Mengejar Mas-Mas



Jenis Ulasan: Film
Isi Ulasan:
Genre: Drama/KomediDurasi: 105 Menit
Sutradara: Rudi Sudjarwo
Cerita & Penulis Skenario: Monty Tiwa
Pemain Dinna Olivia sebagai Ningsih, Dwi Sasono sebagai Parno, Poppy Sovia sebagai Shanaz, Ira Wibowo sebagai Linda (Mama Shanaz), Roy Marten sebagai Ridwan (Papa Shanaz), Elmayana Sabrenia sebagai Wardah, Eddie Karsito sebagai ToyoMarcell, Anthony sebagai Mika

Sutradara Rudi Sudjarwo kembali berduet dengan Monty Tiwa untuk film terbarunya yang berjudul Mengejar Mas-Mas. Seperti biasa, Monty Tiwa bertanggung jawab untuk urusan penulisan skenario, sementara Rudi Sudjarwo memegang posisi sutradara. Sama seperti film Rudi dan Monty sebelumnya yang berjudul Mendadak Dangdut, begitupun juga dalam Mengejar Mas-Mas, dimana kesamaan cerita mengenai benturan kelas sosial ekonomi dalam masyarakat Indonesia, ditonjolkan cukup lugas dalam film ini.
Berkisah mengenai Shanaz (Poppy Sovia), gadis remaja ibukota yang melarikan diri ke Jogjakarta setelah bertengkar keras dengan Linda, mamanya (Ira Wibowo) mengenai rencana keinginan Linda untuk menikah kembali. Shanaz merasa bahwa sang mama tidak menghormati papanya (Roy Marten) yang baru saja meninggal delapan bulan yang lalu.
Merasa tidak ada tempat untuk mencurahkan isi hatinya, Shanaz memilih lari dari rumah untuk menyusul Mika (Marcell Anthony), sang kekasih yang sudah berada di Jogjakarta untuk mendaki gunung. Sial bagi Shanaz, ketika sampai di Jogja, Mika telah naik ke gunung sehari lebih cepat dari yang dijadwalkan.
Terlunta-lunta di Jogja, Shanaz tanpa sengaja memasuki daerah pelacuran Pasar Kembang, dimana Shanaz bertemu dengan Ningsih (Dinna Olivia), seorang pelacur asal Madiun. Ningsih yang baik hati merelakan Shanaz untuk tinggal di tempat kost-nya, yang berbeda lokasi dari tempat pelacuran. Di tempat kost ini, Ningsih mengaku dosen kepada suami istri pemilik kost yaitu Pak Toyo (Eddie Karsito) dan Wardah (Elmayana Sabrenia).
Tinggal di tempat kost tersebut, memperkenalkan Shanaz dengan beberapa orang di lingkungan tersebut, termasuk Parno (Dwi Sasono), seorang pengamen campur sari yang selama ini menaruh hati terhadap Ningsih. Parno pada dasarnya adalah pemuda yang baik, namun lambat laun mulai menaruh hati terhadap Shanaz. Terlebih juga Shanaz yang cuek diam-diam mulai terajut rasa suka terhadap diri Parno. Persoalan menjadi cukup rumit karena ternyata Ningsih juga masih menyimpan hati kepada Parno. Sehingga kisah cinta antara mereka, tampil cukup menarik dalam film ini.
Mengomentari Mengejar Mas-Mas, film ini mempunyai nilai lebih yang kuat ketika berkutat pada budaya lokal, sebut saja budaya Jogjakarta yang menjadi tempat utama film ini. Pujian dapat dilayangkan kepada Monty Tiwa yang berhasil menghadirkan ide cerita yang orisinil serta dialog-dialog yang sering kita temui dalam kehidupan kita bermasyarakat. Kata-kata berbahasa Jawa yang terdapat di beberapa adegan film terasa menambah daya tarik dalam film ini, ditambah selipan budaya lokal yang coba diangkat lewat sosok beberapa tokoh dalam film yang sangat kental dengan kelokalan budaya Jawa, khususnya Jogjakarta.
Sutradara Rudi Sudjarwo yang klop dengan Monty Tiwa, berhasil mentransformasikan skenario Monty Tiwa menjadi film yang sangat menarik untuk ditonton. Walaupun tidak semuanya, namun aroma khas Jogjakarta cukup terwakili lewat beberapa shoot-shoot yang menampilkan tempat-tempat khas Jogjakarta mulai dari adegan dimana Shanaz berjalan di pelataran Malioboro serta mengambil gambar Benteng Vrederbug. Terlebih Rudi Sudjarwo juga berhasil menampilkan area gang lokalisasi pelacuran pasar kembang.
Selain itu, Rudi juga dapat dikatakan cukup selektif dalam memilih karakter-karakter pemain dalam film ini. Peran Ningsih yang dimainkan oleh Dinna Olivia cukup kuat pas, Peran Parno sebagai penyanyi campur sari yang diemban Dwi Sasono juga cukup pas, serta pemilihan Poppy Sovia yang cuek, cerminan remaja ala MTV, terlihat cocok dalam memerankan sosok Shanaz.
Mengomentari akting para pemain, porsi pujian terbesar rasanya pas dialamatkan kepada Dinna Olivia yang berhasil tampil menawan dalam film ini dibandingkan pemain lainnya. Dinna berhasil mengubah dirinya layaknya seorang PSK/pelacur dengan cukup gemilang. Tidak hanya itu, ucapan-ucapan serta bahasa Jawa yang seringkali keluar dari mulutnya dalam adegan film terasa tidak kaku. Walaupun sebelumnya Dinna Olivia, mengaku bahwa menggunakan bahasa jawa merupakan salah satu hal tersulit dalam perannya sebagai Ningsih.
Benturan kelas sosial yang terjadi dalam film ini, memang tdak jauh berbeda seperi kisah dalam film Mendadak Dangdut yang juga dibuat oleh Rudi Sudjarwo dan Monty Tiwa. Bedanya, kalau Mendadak Dangdut serang penyanyi Pop terkenal harus hidup miskin dengan menjadi penyanyi dangdut antar kampung, kali ini dalam Mengejar Mas-Mas seorang remaja yang berasal dari kelas atas harus terdampar pada tempat masyarakat kelas bawah dan terlebih berada tidak di Ibukota.
Realita sosial tersebut berhasil tergambar dengan baik dalam film ini. Indonesia yang dalam kondisi terpuruk berhasil digambarkan oleh Rudi dan Monty. Mulai dari bagaimana Parno seroang pemuda dewasa yang sulit mencari pekerjaan sehingga harus rela hanya menjadi seorang pengamen campur sari dan juga terlihat dalam sosok Ningsih yang terhimpit kondisi ekonomi harus mengalami kenyataan pahit, yaitu menghidupi dirinya sebagai pelacur. Sosok Parno dan Ningsih dapat kita temui dengan mudah di lapisan masyarakat bawah pada saat ini.
Cukup menarik adalah penggambaran perilaku masyarakat kita yang dangkal, yang memilih menghujat atau mengucilkan orang-orang seperti Ningsih yang hidup sebagai pelacur. Mengambil contoh Ningsih, Masyarakat seringkali berpikir bahwa hidup sebagai pelacur adalah pilihan. Padahal yang sebenarnya, hal tersebut terjadi karena kemisikinan yang tidak berhasil diselesaikan oleh Negara yang kaya-raya ini, sehingga munculah pelacuran. Seperti yang kita ketahui bahwa, pelacuran merupakan salah satu anak kandung dari kemisikinan. Dari kaca mata saya sebagai penonton film Mengejar Mas-Mas, Rudi Sudjarwo serta Monty Tiwa berhasil menggambarkan realita tersebut dalam film ini.
Berbicara kelebihan film yang telah diutarakan di atas, tentunya film ini tidak luput dari beberapa kekurangan. Beberapa adegan cukup menganggu lewat cukup kuatnya goyangan-goyangan kamera dalam beberapa adegan. Walaupun hal tersebut dapat kita temui dalam film-film Rudi Sudjarwo sebelumnya, sehingga bisa saja Rudi menjadikan itu salah satu ciri khas-nya dalam membuat film. Kelemahan lain dalam film ini, beberapa dialog bahasa Jawa tidaklah diberikan teks bahasa Indonesia. sehingga hal tersebut tentunya dapat menyulitkan penonton yang tidak mengerti bahasa Jawa.
Secara keseluruhan, film ini tampil segar untuk para penonton Indonesia yang cukup bosan dengan tema horror “itu-itu saja” yang mendominasi film nasional. Ide cerita yang orisinil serta cukup kuatnya budaya lokal yang tersaji dalam film ini cukup baik. Yang tak kalah menarik beberapa lagu soundtrack yang dinyanyikan langsung oleh Monty Tiwa, serta alunan lagu bahasa Jawa yang dinyanyikan oleh penyanyi Geng Kobra asal Jogja, menambah menarik film ini. Selamat Menyaksikan !!!

Jumat, 30 November 2007

Narsisme Tubuh Perempuan Dan Hipermarket


Oleh Ken Ratih Indri Hapsari


Pada Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan di seluruh dunia yang jatuh pada tanggal 25 November, masyarakat dan NGO yang peduli persoalan perempuan memperingatinya dengan cara melakukan pawai atau melakukan kampanye serta menyampaikan tuntutan-tuntutan yang memperjuangkan seputar isu-isu perempuan. Penindasan terhadap perempuan memang masih terpupuk dan tumbuh subur, meski saat ini adalah era yang mengagung-agungkan modernitas dan kemajuan tekhnologi.
Penindasan perempuan bukan hanya melalui tindakan pelecehan dan kekerasan fisik, lebih daripada itu penindasan itu juga berbentuk kesadaran semu yang diinjeksikan kepada perempuan secara terus menerus oleh berbagai instrument-instrumen kekuasan demi kepentingan segelintir orang. Perempuan dengan mudah akan terhipnotis oleh semarak tawaran-tawaran pasar globalisasi, yaitu berupa berbagai macam aksesoris untuk memperindah penampilan, yang sebernarnya merupakan salah-satu usaha pemalsuan kesadaran perempuan menuju ideologi narsis.Bila kita cermati semakin hari, kian menjamurlah mall, pusat-pusat perbelanjaan dan swalayan di berbagai sudut-sudut kota besar. Seolah tidak mau ketinggalan, mini market juga telah merambah di kota-kota pinggiran. Hingga nasib mengenaskan melanda toko-toko kelontong milik masyarakat yang berbasis ekonomi keluarga.
Pasar tradisional mengalami penurunan keuntungan penjualan dengan jumlah yang cukup signifikan. Padahal toko kelontong dan pasar tradisional adalah penyangga perekonomian mikro rakyat kecil, berbeda dengan swalayan dan jaringan mini market yang didesain dan dioperasikan oleh segelintir orang yang secara finansial memiliki kemampuan materiil lebih mapan.Ketika awal tahun 2006 hingga mendekati pertengahan tahun 2007 penambahan jumlah mall, swalayan dan mini market yang menjual kebutuhan hidup, cinderamata, pakaian-pakaian mode baru—yang hanya akan bertahan sebatas diiklankan produk tersebut, permainan elektronik, photo box, jumlahnya bertambah pesat jika dibandingkan jumlah toko buku di Indonesia. Jumlah buku yang diterbitkan di Indonesia juga masih tertinggal jauh dari negara lain, setiap tahunnya hanya 10.000 judul buku yang diterbitkan di Indonesia, bandingkan dengan Inggris yang menerbitkan 110.000 buku setiap tahunnya. Hal itu mengindikasikan budaya masyarakat Indonesia yang masih minim untuk menyampaikan pemikiran dan gagasan baru, mereka telah terbiasa menonton dan mengkonsumsi dibanding mencipta dan melakukan proses kreatif.
Mall dan swalayan juga menjadi tujuan rekreasi pemuda-pemudi, dalam hal ini perempuanlah yang lebih mendominasi karena memiliki kepentingan untuk terus berbelanja dan melakukan perbaikan-perbaikan pada setiap detail tubuhnya supaya semakin mendekati stradarisasi-stadarisasi cantik menurut ukuran pasar.
Perempuan akan kebingungan dan merasa kurang percaya diri ketika pakaiannya ketinggalan mode, perempuan akan mengalami krisis yang tidak terelakkan dalam hidupnya ketika ia tidak memakai lipstik dan pada akhirnya jiwa mereka akan tetap mengalami kegelisahan karena telah memutuskan untuk ikut arus yang sebenarnya tidak bisa ia mengerti dan menuruti aturan-aturan, standar-standar kecantikan yang dipaksakan pada mereka.Kesadaran perempuan diremehkan dan ditempatkan pada posisi serendah-rendahnya, perempuan berfikir dengan metode dangkal, mereka disibukkan berhias diri di depan kaca, menyempurnakan penampilannya, terkagum-kagum pakaian terbaru artis sinetron, berpose dengan senyuman dibuat-buat di dalam box foto, memandang dan mengevaluasi hasil foto kemudian siklusnya diulang lagi. Seolah eksistensinya sudah terpenuhi hanya dengan aktivitas-aktivitas pasif itu.
Kalau perempuan terus-menerus hanya mempedulikan diri-sendiri dan akan memperhatikan orang lain yang lebih glamour sebagai referensi, ketika perempuan menganut ideologi narsistik atau ideologi yang memuja-muja tubuh sendiri, lantas kapan mereka menyempatkan untuk melakukan sesuatu pada orang lain yang mengalami kesulitan hidup? Kapan perempuan akan menuntut ketidakadilan yang menimpa mereka? Kapan perempuan memiliki perspektif maju tentang persoalan kehidupan?Sebagaimana manusia seutuhnya, perempuan memiliki hak untuk bebas dari lingkaran narsis yang akan menenggelamkan mereka menuju lubang gelap imajinasi dan kepuasan-kepuasan semu yang tidak memberikan efek positif apapun selain kesia-siaan.
Perempuan memiliki hak sekaligus kewajiban untuk berorganisasi dan memberi kontribusi terhadap lingkungan sosial. Perempuan berhak belajar dan lebih memiliki ruang untuk mengelola ide-ide kreatifnya, perempuan berhak bebas dari intimidasi serta tindak kekerasan. Perempuan berhak bebas dari pelacuran hubungan seksual—maupun yang dibungkus pernikahan— yang semata-mata bertujuan untuk memperoleh uang atau berbagai keuntungan materi dan keamanan, karena bentuk hubungan seperti itu terjadi pada situasi dimana perempuan mengorbankan perasaan kasih-sayang sejati, persahabatan dan kemurnian cinta.
Lalu, apakah terlarang ketika perempuan merawat tubuhnya? Tentu saja jawabannya tidak! Yang menjadi persoalan adalah ketika seluruh waktunya dihabiskan untuk mengejar tubuh 'ideal' versi 'pasar' yang menyesatkan itu. Kecantikan muncul dari tubuh dan pikiran yang sehat, kecantikan bukan pemalsuan kepribadian yang telah mengubah konsep kebahagiaan diri guna memuaskan norma masyarakat dengan tujuan untuk memikat laki-laki dan supaya orang-orang sekitar menganggapnya normal. Sesungguhnya pada saat itulah terbukti penyebab tersingkirkannya perempuan untuk hidup mandiri dan tidak tergantung bukan disebabkan oleh kodrat maupun ajaran agama, namun sistem ekonomi dan sistem sosial-lah yang menyebabkannya.


Dimuat di Radar Jember, 29 November 2007

Jumat, 23 November 2007

Mempedulikan Hak Kesehatan Perempuan


Oleh: Ken Ratih Indri Hapsari



Pada Tanggal 25 November 2007, kembali dunia memperingatinya sebagai Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan. Anti kekerasan terhadap perempuan dimaknai sebagai sikap yang menjunjung tinggi hak perempuan. Antara lain hak perempuan untuk hidup sehat. Kesehatan bagi perempuan merupakan hal yang sangat krusial, terutama di negara dunia ketiga dimana angka kematian ibu sangat tinggi.
Siapa yang tahu mengenai sebab kematian R.A. Kartini yang pedih itu? Dalam buku sejarah tidak pernah dibahas bahwa Kartini menghembuskan nafas terakhirnya ketika melahirkan. Kematian seorang ibu ketika melahirkan dianggap perihal wajar sebagai perjuangan demi melanjutkan generasi selajutnya, bukan dipandang sebagai persoalan proses reproduksi dan persoalan hak kesehatan reproduksi perempuan, demikianlah adanya budaya Jawa yang berkembang bahkan masih bertahan hingga di masa modern seperti sekarang ini.
Saat ini, seiring dengan meningkatnya jumlah kemiskinan perempuan yang mengalami nasib seperti Kartini kian banyak. Namun, pihak pemerintah belum bergeming dan memprioritaskan mensejahterakan perempuan. Karena kesejahteraan perempuan dengan akses kesehatan yang mudah untuk dijangkau dan murah, dengan pendidikan yang murah dan tidak diskriminatif, dengan kondisi alam yang kondusif untuk berlangsungnya kehidupan dan tidak membahayakan serta berlimpahnya bahan pangan akan mengurangi resiko perempuan mengalami persoalan kesehatan dan gizi buruk.
Hak kesehatan reproduksi adalah menjadi salah satu bagian hak asasi manusia yang dijamin oleh berbagai perjanjian internasional, diantaranya seperti Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap perempuan (CEDAW). Namun hingga saat ini negara yang seharusnya pihak yang bertanggung jawab untuk memberi perlindungan tapi justru sebaliknya, lebih berpihak pada kaum pemodal dan pengusaha. Rakyat dibiarkan menjadi korban pencemaran limbah beracun pabrik-pabrik, rakyat dibiarkan menderita karena bencana kekeringan, bencana pemanasan global, atau pemerintah terkesan melindungi perusahaan yang mengakibatkan bencana Lumpur panas Sidoarjo.
Persoalan kerusakan alam seperti krisis air telah menyumbang angka kematian sebesar 34,6% terhadap anak-anak khususnya pada negara dunia ketiga. Setiap tahunnya 5.000.000 anak meninggal karena terkena penyakit diare. Bekurangnya persediaan air bersih selain dikarenakan privatisasi air, pengalihan sumber air bagi AC bagi hotel-hotel mewah, air bagi industri perkotaan, air untuk coolant (cairan untuk pendingin mesin), atau terpolusinya air karena timbunan sampah-sampah industri, hingga tidak terelakkan mengorbankan kebutuhan air bersih bagi masyarakat luas dan anak-anak yang tak ubahnya sebagai tumbal atas nama pembangunan.
Ancaman berbagai macam zat beracun yang disebabkan oleh limbah industri yang tidak bertanggung jawab terhadap kelangsungan ekologis akan menghancurkan kehidupan penduduk miskin. Dalam hal ini anak-anak sebagai korban pertama yang akan terkena dampaknya, karena anak-anaklah yang paling peka terhadap kontaminasi bahan kimia, selanjutnya pencemaran air yang disebabkan bahan kimia termanifestasi dalam kondisi kesehatan mereka. Misalnya, penyakit polio, diare, kolera akan semakin mudah menyerang anak, dimana mereka hidup pada situasi persediaan air yang tercemar.
Maka, pada momentum Hari Anti Kekerasan Terhadap perempuan Sedunia ini, mari kita memaknainya dengan semangat untuk terus memperjuangkan kehidupan yang layak bagi masyarakat dan menuntut diberlakukannnya peraturan hukum yang memadai yang pro kepentingan perempuan dan kepentingan rakyat secara keseluruhan.

Selasa, 20 November 2007

Remaja Indonesia Diteror!


Oleh: Ken Ratih Indri Hapsari

Masalah seks bebas dikalangan remaja memang sudah menggejala di negeri ini. Di kabupaten Indramayu beberapa waktu lalu, diketemukan lagi rekaman adegan persetubuhan remaja SMP yang tersebar luas melalui internet maupun HP milik siswa. Maraknya rekaman adegan hubungan seks luar nikah yang dilakukan oleh para pelajar sebelumnya direspon bupati Indramayu. Untuk mengatasi hal tersebut bupati Indramayu menganjurkan supaya sekolah melakukan pemeriksaan keperawanan pada siswi SMU dan hasilnya harus disampaikan kepada orang tua murid yang bersangkutan. Tentu rencana tersebut langsung disambut protes keras masyarakat dan LSM perempuan. Pemeriksaan keperawanan yang—dipaksakan—sepihak oleh sekolah merupakan tindakan pelanggaran HAM berat dan justru melecehkan perempuan serta membuat kondisi kejiwaan para siswi tertekan dan malu.
Menurut Giddens dalam Transformation of intimacy, keterbukaan seksual tidak seluruhnya sama dengan pembebasan. Keterbukaan seksualitas belum tentu sebuah kondisi yang membebasakan, tapi lebih merupakan cerminan gaya hidup liberal yang dipengaruhi oleh sistem ekonomi pasar bebas dikampanyekan secara halus melalui tanyangan televisi. Televisi layak diperhitungkan sebagai salah satu aktor yang bertanggung jawab, karena sebagai media yang secara intens dikonsumsi oleh masyarakat luas.
Kaum remaja adalah kalangan yang paling banyak terkena imbas dari maraknya gaya hidup liberal. Kaum muda yang dalam fase pencarian jati diri akan mudah sekali terbawa arus. Terlebih dengan semakin menjamurnya tempat hiburan malam yang tak lain adalah dunia hedon dan rawan pergaulan bebas, juga gaya hidup yang diimitasi dari media TV yang sering menyuguhkan kehidupan para selebritis dimana gaya hidupnya berganti-ganti pasangan serta kawin cerai. Menurut Louis Althusser, seorang filsuf Prancis, media termasuk termasuk dalam kelompok institusi ideologis tertentu, selain tempat ibadah sekolah, dan lembaga keluarga.
Yang terakhir misalnya konfrontasi tidak sehat yang diekspos secara vulgar oleh tayangan infoteimen. Misalnya, konflik yang terjadi antara Ahmad Dani dan Maya Ratu, sang istri, Maya tidak diijinkan pulang malam, dihukum dengan tidak diijinkan pulang ke rumah. Belum lagi penyataan Dani yang terkesan otoriter dan patriarkis meski dibungkus dogma agama, misalnya: “Istri itu harus cantik dan nurut, percuma kalau cantik tapi tidak nurut suami”. Sayangnya sikap arogan Dani sama sekali tidak mempengaruhi kedigdayaannya dalam bermusik. Remaja-remaja putri justru berebut minta dicium oleh Dani yang saat itu posisinya sebagai komentator dalam acara Mamia.
Sikap selalu ingin benar, sempurna dan dipuja merupakan karakter khas selebritis, meski dengan cara menjatuhkan dan melecehkan orang lain. Fenomena tersebut sedana dengan karya Fromm dalam bukunya yang berjudul akar kekerasan, bahwa watak masyarakat modern yang teralienasi dari dunia riil ditandai dengan sadisme dan narsisme akut. Manusia yang terjangkiti sadisme sulit konformis dengan mudahnya melecehkan untuk mempermalukan orang lain. Sedangkan narsisme adalah keyakinan subyektif mengenai kesempurnaan dirinya, keunggulannya atas orang lain, dan perasaan bangga atas citra dirinya, maka ia secara terus-menerus berusaha mempertahankan citra dirinya. Jika orang lain melukai perasaan narsistiknya dengan meremehkannya, mengkritik dan meralat ucapannnya yang salah maka akan direspon dengan kemarahan yang amat sangat dengan atau tanpa memperlihatkan kemarahannya itu.
Selain TV, media cetak juga mengambil peran penting dalam pembentukan arah kesadaran masyarakat. Tidak diperhatikannya target konsumen oleh para penjual dan distributor majalah-majalah dewasa, membuat para remaja dengan mudahnya mendapatkan bahan bacaan yang tidak cocok dengan kebutuhan usia. Berbeda kondisi di Amerika, batasan umur konsumen bacaan, dikontrol secara ketat.
Belum lagi cara penyampaian berita di tanah air pun tidak sesuai UU penyiaran. Seksisme dalam media yang tertuang dalam bentuk peyoratif, aturan semantik dan penamaan. Pada pemberitaan kriminal, melulu perempuan yang menjadi korban adalah suguhan di halaman utama dengan judul besar. Misalnya, Janda Muda Imut-Imut Digagahi Sopir. Memperkosa sebagai tindakan asusila justru terdistorsi maknanya dengan kata-kata digagahi, seolah pelakunya adalah sosok yang kuat dan gagah, kemudian kata janda dan imut-imut sendiri menempatkan perempuan seolah hanyalah objek. Pemberitaan tersebut sama sekali tidak berpihak pada perempuan. Maka bukan mustahil, jika di kesehariannya semakin tinggi saja angka kekerasan terhadap perempuan.
Mungkin perfilman tanah air mengalami kebangkitan secara kuantitas maupun substansi alur dan jalan cerita yang dimotori oleh sineas muda seperti Nia dinata, Mira Lesmana, Riri Reza dan sutradara muda lainnya melalui Soe Hok Gie, Berbagi Suami, Jablai dll. Namun berkebalikannya, lagu yang dipolulerkan oleh agen-agen industri musik tanah air akhir-akhir ini secara kualitas merosot tajam. Mafia dunia intertamen secara licik menancapkan kesadaran liberal, cuek, dan pasif di tempurung kepala masyarakat—terutama remaja—Indonesia. Misalnya lirik lagu yang diciptakan oleh Eros Sheila On 7: ‘…..hak manusia untuk berpesta..berpesta hinggga jadi gila...ampuni aku DJ di tengah lautan pesta..ampuni aku DJ di tengah para wanita’, Matta yang menyanyikan Ketahuan dan Lobow lagunya yang berjudul Salah, Kangen Band dengan lirik lagunya yang cengeng. Seolah-oleh di dunia ini kebutuhan yang paling mendesak di dunia remaja adalah pacaran, perselingkuhan dan balas dendam, Juga Jadikan Aku Yang Kedua yang dinyanyikan Astrid dimana perempuan dengan kerelaan hati mau saja dimadu, sama sekali tidak punya posisi tawar selain mengabdikan diri pada cinta buta.
Sedangkan dangdut remix pasca Kucing Garong diramaikan oleh Lolita yang menyanyikan Emang Gue Pikirin, dengan liriknya: ‘emang gua pikirin elu ga setia..elu punya gebetan baru gua juga bisa gitu, emang gua pikirin elu mau apa…elu punya cewek sepuluh..gua punya cewok seribu…e..ge pe- e ge pe.. emang gua pikirin..emang elu siapa…’ Keke dengan Capek Dech, dengan liriknya: ‘Capek dech ngurusin kamu… capek dech terserah kamu…capek dech bete bete aku, capek dech aku ga kuku..’ . Sepintas lirik lagu yang dinyanyikan Lolita dan Keke menunjukkan kemampuan perempuan untuk tegar meski dikecewakan dan diabaikan, namun jika jeli maka lirik lagu tersebut tak ubahnya ekspresi kefrustasian (capek dech mikirin kamu) dan balas dendam (elu punya cewek sepuluh…gua punya cowok seribu).
Yang menandakan digandrungi, lagu-lagu tersebut duduk di tangga lagu teratas, sebagai ringtone HP bahkan anak-anakpun pandai menyanyikannya, bukan hanya karena kosa katanya yang dangkal dan mudah dihafalkan, namun juga karena komposisi nada-nadanya yang dibuat sangat sederhana. Sedangkan lagu bertemakan cinta milik Iwan Fals yang lounching albumnya hampir bersamaan dengan lagu-lagu tersebut kalah populer. Kalah populer belum tentu karena kalah secara kualitas, namun lebih dipengaruhi pada pertarungan modal untuk mempromosikannya.
Lirik-lirik lagu yang diciptakan dan dilantunkan sendiri oleh Iwan fals yang bertemakan cinta antara lain berjudul Masih Bisa Cinta, berikut cuplikan liriknya: ‘hari ini kau patahkan semangatku..entah mengapa ku masih bisa cinta..bisa cinta padamu..kumaafkan salahmu..berjanjilah..berjanjilah untuk datang padaku..lihat mataku..akan kucoba perhatikan kamu..datang padaku..rasa hatiku..akan kucoba terus cinta kamu. Air mata tak akan kuuraikan..hanya mengelus dada kumaafkan salahmu..berjanjilah untuk datang padaku. Relasi cinta yang tidak mungkin sempurna dan tanpa konflik dihadapi dengan sikap saling memaafkan, ketabahaan (air mata tak akan kuuraikan), dan yang terpenting instropeksi diri jelas tersirat dalam lirik lagu tersebut.
...Kumaafkan..berjanjilah...’ demikian cuplikan lagu Iwan Fals yang berjudul Masih Bisa Cinta. Kata berjanjilah memiliki makna penting untuk mempererat relasi, karena janji adalah awalan baru setelah relasi mengalami goncangan kepercayaan. Seperti yang diungkapkan Hannah Arendt, Bahwa lewat ke-awalan-baru itu diletakkan sebuah kemungkinan bagi manusia. Kemudian manusia akan membuahkan lagi awal baru-awal baru lainnya. Maksudnya, dengan menerjunkan diri ke dalam dunia, manusia akan selalu menjadi pemula, atau menjadi ”yang memulai”. Jadi, keterlahirannya selalu mengokohkan sebuah kelahiran berikutnya. Dalam hal ini kelahiran atau keterlahiran adalah sebuah keajaiban yang senantiasa datang untuk sejenak menyela perjalanan umat manusia. Maka keterlahiran adalah pengandaian ontologis yang harus ada, sehingga perbuatan atau tindakan manusia dapat terjadi. Karena kelahiran, tindakan manusia adalah unik dan istimewa. Sebab dengan kelahiran itu, tindakan manusia itu berarti memulai sesuatu yang baru, dan menggarisbawahi bahwa manusia itu adalah makhluk yang bisa menyatakan dirinya karena ia mengawali atau memulai kebaruan.
Seperti album Iwan Fals sebelumnya, lagu yang berjudul Negara mengkritik dengan keras kelalaian negara, berikut cuplikan liriknya: negara haru bebaskan biaya pendidikan.. negara harus bebaskan biaya pendidikan., negara harus ciptakan pekerjaan negara harus adil tidak memihak.. itulah tugas negara.. itulah gunanya negara.. itulah artinya negara tempat kita bersandar dan berharap.. kenapa tidak..orang kita kaya raya baik alamnya maupun manusianya..hanya saja kita tidak pandai megolahnya.
Sayang lagu-lagu Iwan Fals tersebut tergusur, kalah populer oleh lagu-lagu cinta yang cengeng dan memabukkan. Padahal usia remaja adalah usia puncaknya energi bersemayam, sangat percuma bila energi terbuang sekedar mengakomodasi watak sadis dan narsistik. Meskipun narsisme pada kondisi tertentu terpenuhi dengan pujian maupun usaha diri, namun jauh dari hakikat kemanusiaan—bahkan cenderung fasis, seperti yang dialami Himmler, Stalin, Hitler, terakhir penembakan massal oleh pelajar yang terobsesi paham nazi. Produktifitas yang jauh dari hakikat kemanusiaan adalah karya semu tak ubahnya seperti patung berhala yang disembah-sembah.
Narsisme kelompok dikalangan remaja ditandai dengan maraknya geng, klub sepeda motor dan tawuran antar pelajar yang kian marak terjadi akhir-akhir ini, selain itu ketertekanan pelajar menghadapi UN ditandai dengan histeria massal. Perilaku pembebasan dari keterasaingan dan ketertekanan remaja selama ini belum memiliki wadah dan mekanisme yang sehat. Tentu bukan hal mustahil remaja Indonesia sehat jasmani dan rohani, kemenangan siswa-siswi di berbagai lomba olimpiade sains internasional adalah bukti konkrit bahwa manusia bukan diciptakan untuk menjadi buruk, tidak memiliki potensi dan kecakapan.

Kamis, 15 November 2007

SihirsihirTenungTenungJampiJampi MasaKini

Kekuasan Setan sehari-hari:

kekuasan ilmu pengetahuan sihir alibi dan pembelaan intelektualnya,

kekuasaan ekonomi adalah sihir kemakmuran,

kekuasaan massa adalah sihir jumlah,

kekuasaan politik adalah sihir agensi pemaksaan,

kekuasaan birokrasi adalah sihir jaringan hierarki,

kekuatan militer adalah sihir ketakutan akan dor-dor-dor.

Kekuasaan cenderung menjadi sihir, menjadi tenung, menjadi guna-guna, menjadi jampi-jampi..

(Topeng Kayu, naskah drama Kuntowijoyo)

Senin, 12 November 2007

”SAYA TIDAK TERIMA DIPUKULI & DITELANJANGI !!!”


Ibu dua anak ini tak terima dihinakan mantan kekasihnya di depan umum. Dengan kondisi kesakitan karena terus dihajar, ia berusaha melawan. Sangkur yang dibawa mantan kekasihnya itu pun makan tuannya. Hari masih gelap, tiba-tiba Nila Fitria (26) yang tengah berada di dalam kamar kosnya di Jl. Dukuh Kupang Barat, Surabaya mendengar pintu kamarnya diketuk eseorang. Nila yang tengah sendirian di dalam kamar sudah menduga, yang mengetuk pintu adalah M. Agus Hariyanto. Sengaja ia tidak segera membuka pintu. Akibatnya, Agus yang bertugas di TNI AL dengan pangkat Kelasi Kepala marah. “Kalau tidak kamu buka, pintu ini akan saya jebol dengan sangkur,” cerita Nila Fitria menirukan ancaman Agus.

Dengan perasaan berdebar, dengan terpaksa Nila membuka pintu. Setelah berhasil masuk, lelaki bertubuh tinggi besar dengan bau alkohol di mulut nyerocos bicara kepadanya. Dalam percakapan itu, intinya ia meminta Nila kembali berhubungan kepadanya, ”Tentu saja saya tidak mau karena saya sudah berkeluarga,” kata wanita berwajah manis ini.

Agus yang bertempat tinggal di Jl. Sepanjang Tani, Taman, Sidoarjo, tersebut semakin kalap. Ia menghajar wajah Nila bertubi-tubi. Ibu dua anak bertubuh mungil ini sempat beberapa kali terjatuh di dalam kamar kos yang sempit. Tak puas dengan tangan, Agus mengeluarkan sangkur dari balik bajunya. Sebisanya Nila berusaha merebut sangkur, tapi tidak berhasil. “Akibatnya, sangkur itu mengenai dua jari tangan kiri saya,” kata Nila sambil menunjukkan kedua jarinya yang masih terbungkus verban setelah dijahit.

Melihat Nila mengadakan perlawanan Agus yang masih lajang itu makin kalap. Agus menyeret tubuh Nila keluar kamar. Kembali ia menghajar wajah Nila bertubi-tubi. “Rasanya, saya tidak bakal hidup lagi,”papar Nila menceritakan tragedi memilukan itu.

Menurut Nila di depan polisi maupun kesaksian tetangga Nila, ia diseret hingga bagian lengannya lebam-lebam. “Ini bekas lukanya,” kata Nila sambil menunjukkan kulit bekas luka di pangkal lengan kirinya. Nila yang saat ditemui NOVA Sabtu (27/10) tengah dirawat di Rumah Sakit Bhayangkara, Surabaya, mengungkapkan, Agus makin membabi buta. Pangkal lengannya dicengkeram dan dihempaskan sampai beberapa kali membentur tembok rumah kos. Meski ia menangis kesakitan, mantan kekasihnya itu tidak iba. Bahkan, rambut Nila yang panjangnya sebahu itu dijambak. Dan, membenturkan kepalanya ke tembok. “Muka dan kepala saya kemarin benar-benar bonyok. Kulit kepala kalau dipegang lembek, seperti ada gumpalan darah,” ucap Nila.

Penganiayaan ini sempat diredakan tetangga Nila, antara lain Ngatemin dan Mulyono. Sejenak memang damai. Setelah para tetangga kembali masuk rumah, lanjut Nila, Agus kembali brutal. Pakaian Nila bagian atas yang sudah koyak, kembali ditarik Agus. Bahkan, Agus kembali menyeret Nila ke jalan umum. Agus juga menarik seluruh pakaian atasannya. ”Itu yang saya benar-benar tidak bisa terima. Betapa malunya saya ditelanjangi dan di seret-seret di jalanan. Dia memang ingin membuat saya malu di depan orang banyak,” kata Nila dengan mata menerawang ke langit-langit kamar rumah sakit. Didera rasa sakit dan malu karena dihinakan, Nila mengaku seolah mendapat kekuatan untuk melawan. Ketika tangan kiri dipegang dan dipontang-pantingkan dengan tubuh atas tak pakai busana, Nila berusaha berontak. Ia berhasil merebut sangkur yang terselit di pinggang Agus. Dengan cepat pula Nila menancapkan tepat mengenai ulu hati Agus. Beberapa menit kemudian, Agus meninggal di tempat. Nila sendiri segera lari masuk kamar, yang berjarak 50 meter dari tempat kejadian.

PINDAH TUJUH KALI

Didampingi kuasa hukumnya Atet Sumanto, SH, dari Biro Bantuan HukumUniversitas Wijaya Kusuma (BBH UWK) Surabaya, Nila tertunduk lesu. Ia menceritakan hubungannya dengan Agus yang bagaikan lakon sinetron. Nila kenal Agus sekitar tahun 2002 di kawasan hiburan malam di Jl. Tunjungan Plasa Surabaya. Perkenalan itu membuat mereka memadu kasih. Belakangan Nila tahu, ”Dia tidak serius. Bahkan, Agus selaau plin-plan kalau diajak menuju perkawinan.”Akhirnya, setelah sembilan bulan pacaran, Nila meninggalkan Agus. Nila bertemu dengan Zamroni. ”Lalu, kami menikah. Saya memilih Mas Roni karena dia lebih bertanggungjawab,” ujarnya.

Mengetahui Nila menikah, Agus jadi murka. Sejak itu, kehidupan pribadi Nila tidak tenang. Nila berusaha menghindari Agus dengan beberapa kali pindah rumah kontrakan. Yang membuat Nila frustrasi, Agus selalu menemukan tempat tinggalnya. Sebenarnya, oleh mertuanya Nila dibelikan rumah sekaligus usaha bahan bangunan. ”Tapi, saya terpaksa harus pindah ke tempat kos karena Agus berhasil menemukan rumah saya dan membuka aib saya di tetangga sekitar rumah,” papar Nila yang sudah tujuh kali pindah. ”Saya heran, dia selalu berhasil menemukan saya.”Agus juga tak segan berhadapan dengan suami Nila. Hari itu sebelum kejadian, Agus sempat menemui Nila dan suaminya. ”Saat itu, ia melempar sangkur di depan kami. Sungguh rumah tangga kami dibuat tak tenang,” tambahnya. ”Terang-terangan dia bilang tidak terima karena Zamroni merebut saya.”

Sama sekali Nila tak berharap, kisahnya berakhir begitu tragis. Sangkur Agus telah makan tuannya sendiri. Nila pun harus jadi tersangka. ”Saya berharap ini adalah peristiwa buruk terakhir dalam hidup saya. Kelak saya ingin menata hidup dengan baik dan tenang,” ujar Nila yang berharap tidak mendapat hukuman berat.
(Nova, 12 November 2007)

Jumat, 19 Oktober 2007

Pemuda Miskin Dilarang Menikah!

Terkuaknya skandal seks beberapa anggota dewan membuat wajah wakil rakyat semakin memburuk. Hal ini sekaligus menambah citra negatif orang-orang yang katanya adalah wakil rakyat. Lebih dari itu moralitas para pemimpin bangsa dan politik kita menjadi diragukan.
Sangat ironis, para anggota DPR yang pernah melontarkan diberlakukannya UU APP (Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi) sekarang justru ketahuan sebagai pelaku pornografi dan pornoaksi. Gaya hidup bebas nampaknya justru menjadi keseharian wakil rakyat kita, bukan dimiliki oleh rakyat yang hidup dalam situasi serba kekurangan dan tertekan oleh kebutuhan-kebutuhan ekonomi, juga pemuda-pemudi kita yang berbaris dalam sejarah pengangguran. Jadi kalau selama ini banyak lontaran-lontaran tentang terjadinya seks bebas di kalangan kaum muda, ternyata hal ini sudah terbantahkan dengan terkuaknya kasus skandal seks wakil rakyat kita

Sementara kita tahu anggota dewan selama ini memiliki gaji yang berlimpah beserta tunjangan-tunjangan yang lebih terkesan mengada-ada yang memungkinkan mereka untuk dapat hidup bersenang-senang. Rakyatpun tidak tahu apa yang dilakukan oleh wakil rakyat dalam kesehariannya, di luar kerjanya sebagai pejabat publik yang mewakili rakyat. Sangat mungkin, dalam kesehariannya semakin banyak pejabat publik kita yang menjalani gaya hidup yang tidak bermoral. Tetapi perlu diingat bahwa wakil rakyat itu dapat bersenang-senang setelah mendapatkan gaji yang didapat setelah mereka menjual nama rakyat yang konon diperjuangkan.

Hal itu sekaligus menggambarkan budaya politik kita yang kian jauh dari nilai kerakyatan. Pada masa pemilu, rekrutmen politik dilakukan dan wakil rakyat seakan menjadi tumpuan harapan bagi nasib rakyat yang kian sengsara. Ternyata, sistem politik yang didominasi oleh kepentingan kaum modal (pengusaha) juga telah membuat wakil rakyat lupa setelah sekian lama duduk di atas kursi yang mendatangkan banyak uang. Uang didapat dari lobi-lobi dengan berbagai kepentingan kaum modal yang berusaha masuk melalui keputusan politik di DPR.

“Wakil rakyat” yang kompromis dengan kepentingan faksi-faksi modal itu memang akan banyak mendapatkan uang, selain mereka sudah dibayar oleh negara atas jabatannya. Inilah yang membuat gaya hidup para “wakil rakyat” mulai berubah. Mereka bukan hanya sering berinteraksi dengan para pengusaha dalam kesehariannya, tetapi juga mulai berkenalan dengan para penghibur, penyanyi, artis-selebritis, dan kalangan-kalangan kelas atas lainnya.Para pejabat publik ini juga semakin lupa diri. Mereka tidak lagi mendasarkan tindakan politiknya untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang dialami rakyat. Padahal permasalahan kesjahteraan yang tidak pernah diperjuangkan akan membuat kehidupan rakyat semakin diwarnai dengan permasalahan-permasalahan kebudayaan. Masalah seks bebas memang sudah menggejala di negeri ini. Penyebabnya antara lain terjadinya gaya hidup liberal yang dipengaruhi oleh sistem ekonomi pasar bebas. Kaum adalah kalangan yang paling banyak terkena imbas dari maraknya gaya hidup liberal. Kaum muda yang dalam fase pencarian jati diri akan mudah sekali terbawa arus. Terlebih dengan semakin menjamurnya café-café yang tak lain adalah dunia malam yang rawan pergaulan bebas juga tersebar melalui media TV yang sering menyuguhkan kehidupan para selebritis, dimana gaya hidupnya berganti-ganti pasangan serta kawin cerai merupakan wacana-wacana yang merangsang kebutuhan seksual dan kesenangan yang sifatnya pragmatis. Belum lagi permainan para selebritis dalam film biru yang sekarang dengan mudah dapat diakses oleh para remaja—bahkan anak di bawah umur—berkat kemajuan teknologi yang jauh dari kontrol lembaga keluarga semacam internet dan ponsel yang dilengkapi kamera serta video yang bisa diputar dimanapun.

Sebenarnya tidak semua mahasiswa melakukan seks bebas, namun jika tayangan-tayangan budaya terus meneror setiap detik, jam, hari dan setiap waktu dengan berbagai macam cara dan budaya yang mendukung, walhasil kondom menjadi terbeli dan dibutuhkan, karena mental kita diubah, kita dibujuk dan dikondisikan melalui penyebaran benda-benda tersebut untuk kepentingan mereka, supaya untung dan modalnya bertumpuk. Kebutuhan kita bukanlah kebutuhan fungsional, kita beli bukan hanya karena butuh. Kebutuhan kita—menurut Herbert Marcuse—adalah kebutuhan palsu, semu (false need) yang direkayasa orang lain.

Yang paling menderita adalah kaum miskin yang sama sekali tidak siap untuk memenuhi ekonominya, juga kaum muda yang menganggur. Jika pemuda dari kalangan kaya mampu merayakan hidup bebas dan melakukan berbagai pesta seks yang kadang tak lagi disembunyikan, kaum muda miskin seringkali hanya menjadi korban kebudayaan dengan tanggungan psikologis yang cukup besar. Ketika TV-TV, media cetak, dan bahkan film-film porno (secara diam-diam) bertebaran di kalangan kaum muda melampaui batas kelas, maka sebenarnya ideologi seks bebas telah menjadi landasan masyarakat dalam memandang orang lain. Kaum perempuan biasanya menjadi korban, karena tayangan di film porno, TV, dan gambar-gambar (foto-foto) di media-media itu justru menempatkan perempuan sebagai objek seksual.Kita seringkali munafik terhadap persoalan seksualitas ini. Kita tidak bisa melarang orang untuk tidak menjalin hubungan sebagaimana hakikat mereka sebagai homo seksualis (makhluk seksual). Di kalangan kaum miskin (pemulung, pengemis, gelandangan) di sudut-sudut kota yang hidup secara bersama di bawah jembatan layang atau di rumah-rumah pinggir rel kereta api, mereka banyak yang melakukan hubungan seksual dan melahirkan anak tanpa pernikahan karena untuk mengurus pernikahan (legal) mereka tidak memiliki biaya. Namun bagaimanapun mereka tak ubahnya seperti keluarga umumnya karena saling berbagi atap (rumah), meja makan, makanan, uang, bahkan emosi. Kita tidak bisa melarang mereka sebagaimana kita juga tidak pernah mampu menggugat gaya hidup artis-selebritis yang dengan mudah berganti-ganti pasangan, kumpul kebo, dan melakukan pernikahan hanya sekedar untuk memamerkan baju-baju bagus dan pesta besar. Ada kemunafikan di otak dan hati kita dalam melihat masalah seks bebas ini.***
Dimuat di Hatian Batam Pos tanggal 11 Desember 2006

Kamis, 18 Oktober 2007

ReuNi


Lebaran di kampung halaman kali ini sangat menyenangkan. Selain berjumpa orang tua dan sanak saudara juga yang bertemu dan melepas rindu dengan kawan-kawan semasa SD, SLTP maupun beberapa kawan SMU. Kawan-kawan SD yang saat ini kebanyakan bekerja sebagai buruh kontrak di pabrik-pabrik di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung dan Tanggerang maen ke rumah. Wah, kangen banget, pasalnya hampir 2 tahun tidak jumpa. Maka perjumpaan itu kami bertukar cerita, bertukar pengalaman dan yang terpenting kami saling menguatkan.
Bekerja sebagai buruh, tinggal di kota yang asing dan jauh dari keluarga...aaah siapa yang lebih mandiri dan dewasa dibanding mereka kawan-kawanku dari kampung halaman 'Desa Dewi'. Bagaimanapun aku menaruh kekaguman yang luar biasa, aku sadar bahwa pengalaman hidupku tidak seheroik mereka yang betul-betul dihadapkan pada kenyataan hidup untuk mati-matian bekerja dan bahkan menghidupi keluarga di desa. Itu semua harus dibayar dengan peluh kerja keras berangkat subuh pulang petang dan was-was jika tiba waktu masa kontrak kerja habis.
Yach, aku bukanlah siapa-siapa..aku memang sering bersedih dan menangis, tapi kualitas sedih dan airmataku tak mungkin sedasyat mereka. Aku mungkin memang berkesempatan berteori dan berteriak-teriak tentang ketidakadilan, tapi penderitaanku kusadari lebih remeh dibanding penderitaan mereka. Dan tersadarlah aku...bahwa aku lebih bodoh mengerti tentang hidup, karena kenyataannya mereka telah merasai lebih banyak asin, manis dan pahit kehidupan dengan takaran yang jutaan lebih banyak dibandingkan denganku.
Lalu, tanggal 16 Oktober 2007 tepatnya hari selasa alumni SLTP N 1 Kutoarjo mengadakan reuni di rumah Agung. Kami semua tambah endut..ha...3x. Dan kawan-kawan juga tidak terlalu serius seperti waktu SMP (konon SLTP berstandar Internasional loh.Hiiingeri3x!). Acara reuni berjalan santai, ada beberapa yang sudah menikah, tapi dominan masih lajang. Kawan-kawan SMP ngeri-ngeri, beberapa ada yang kuliah dengan biaya sendiri. Mereka antara lain studi di STAN (Sekolah Tinggi Ilmu Akuntansi), IPB, UNJ, UNY, UNS, UNDIP, UNSOED dll. Klo dihitung jarak, aku yang paling jauh memilih tempat kuliah.
Setelah acara reuni selesai, kami beramai-ramai mengunjungi alm. Heni (kawan sebangku ketika kelas 1&2). Kunjungan tersebut bertujuan menjalin tali persaudaraan dengan keluarga Heni. 3 tahun lalu Heni menggal dengan cara bunuh diri menengguk beberapa botol baygon cair..entah apa alasan ia melakukan hal tersebut, kami berdoa (berharap) dimanapun Heni berada semoga kini ia merasa lebih tenag dan bahagia. Amin.
Ah, aku tersadar bahwa kami sudah harus memupuk masa remaja yang ambisius semasa SMP kini harus menjadi pemuda yang besemangat dan sadar lebih dini tentang hidup dan bagaimana menjalani hidup sebagaimana mestinya manusia yang bertanggung jawab. Semoga kenangan manis ini akan terus berlanjut:ReuNi yang lebih indah dan mengesankan.

Rabu, 10 Oktober 2007

Opini Pilihan

OPERATOR SELULER DAN PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL:

MEMBANGUN KARAKTER OPERATOR SELULER

SEBAGAI AGEN PEMBANGUNAN BANGSA


Oleh: Eko Prasetyo Dharmawan

Latar Belakang
Dalam khasanah ilmu sosial, dikenal konsep agen sosial. Yang dimaksud dengan ‘agen sosial’ itu ialah individu atau kelompok sosial yang sadar akan interaksi dirinya dengan dunia sosialnya, dan kemudian secara sadar bertindak secara tertentu agar konsekuensi yang diinginkannya bisa tercipta. Konsep ‘agen sosial’ ini dihadirkan sebagai pembeda dari individu-individu atau kelompok-kelompok sosial yang tak sadar dan tak memahami kaitan antara tindakannya dengan konsekuensinya terhadap dunia sosial. Golongan yang kedua ini tak sadar betapa setiap tindakannya senantiasa memiliki dampak atau konsekuensi terhadap dunia sosialnya, dan dengan demikian tak sadar akan kemampuannya untuk menciptakan realitas sosial yang tertentu. Karena lupa akan kemampuannya untuk menciptakan realitas sosial itu, maka kemampuannya untuk menciptakan realitas sosial menjadi tak berkembang, menjadi kerdil. Sementara ‘agen sosial’, karena sadar akan kemampuannya untuk turut mempengaruhi berlangsungnya proses sosial, maka secara sadar pula dia akan terus-menerus mengembangkan kemampuannya untuk bisa semakin efektif membentuk dunia sosial seperti yang diinginkannya. Karena kemampuan yang semakin efektif itu selalu menciptakan karakter diri yang kuat, maka otomatis ‘agen sosial’ selalu punya karakter pribadi dan kerja yang kuat. Itulah sebabnya, bangsa-bangsa yang maju selalu terdiri atas individu-individu maupun lembaga-lembaga yang punya karakter kuat. Termasuk lembaga-lembaga usahanya. Karakter yang kuat ini menjadikan bangsa-bangsa yang maju bisa tumbuh menjadi bangsa yang digerakkan oleh sedemikian berlimpah agen-agen sosial yang terus-menerus secara sinergis membangun dunia sosialnya. Mereka sadar bahwa keruntuhan sosial-ekonomi masyarakat adalah juga keruntuhan sosial-ekonomi seluruh bagian di dalamnya, termasuk unsur dunia usaha. Sebaliknya, kemajuan sosial-ekonomi masyarakat akan juga berarti kemajuan dari seluruh bagiannya, termasuk dunia usaha. Tak ada dunia usaha yang bisa lestari berdiri jika daya beli masyarakatnya terus merosot.
Hukum sosial yang sama juga berlaku di seluruh dunia. Bangsa yang besar selalu berisikan agen-agen sosial yang dinamis dan sinergis, sementara bangsa-bangsa yang terbelakang selalu berisikan individu dan kelompok sosial yang saling parasit dan menghambat satu sama lain. Pertanyaannya ialah: termasuk bangsa yang manakah bangsa Indonesia?
Dalam proses pembangunan sekian lama, tak bisa diingkari masih ada persoalan pembangunan di negeri ini. Di antaranya ialah masih adanya daerah-daerah tertinggal, yang jika dibandingkan dengan dinamika kehidupan kota-kota besar, seolah-olah tertinggal sekian puluh tahun jaraknya. Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) sendiri menggunakan enam kriteria untuk mengukur ketertinggalan suatu daerah (kabupaten) dengan daerah lain, yaitu kondisi ekonomi, sosial masyarakat, infrastruktur, keuangan, pemerintahan, dan geografis wilayah. Dari kriteria tersebut digunakan indikator-indikator kemiskinan, indeks pembangunan manusia, infrastruktur, celah fiskal, aksesibilitas, dan karakteristik wilayah. Berdasarkan kriteria dan indikator di atas, KPDT menetapkan 199 kabupaten yang tergolong tertinggal di 31 provinsi. Penyebaran daerah tertinggal terutama masih di Kawasan Timur Indonesia (KTI) sebanyak 123 kabupaten (62%), Sumatra 58 kabupaten (29%), dan Jawa Bali 18 kabupaten (9%).
Aspek infrastruktur sendiri meliputi di antaranya ketersediaan jalan, alat komunikasi, pasar, listrik, perbankan dan sebagainya. Dengan kata lain, daerah-daerah tertinggal adalah daerah yang menghadapi permasalahan di bidang ketersediaan infrastruktur. Salah satu infrastruktur yang vital bagi dinamika pembangunan ekonomi di daerah tentu saja ialah jaringan telekomunikasi. Jika hubungan komunikasi antara daerah tersebut dengan daerah lain begitu sulit, bagaimana mungkin pengusaha-pengusaha dari luar daerah akan tertarik untuk berbisnis di daerah tersebut? Selain itu, jika hubungan komunikasi begitu sulit, bagaimana mungkin wawasan dan aktivitas masyarakat di daerah tersebut akan bisa dinamis dan berkembang?
Di era dimana aktivitas ekonomi telah begitu menyatukan berbagai ruang dan waktu, daerah-daerah tertinggal seperti ketinggalan kereta. Hanya tergagap dan menjadi penonton pasif dari arus ekonomi yang luas. Berharap menunggu tetesan kue ekonomi. Situasi ini tentu tak sehat bagi kemajuan ekonomi bangsa secara keseluruhan. Kesenjangan yang begitu besar akan mudah melahirkan begitu banyak problem sosial dan ekonomi. Bahkan politik dan keamanan. Karena itu, sudah saatnya situasi ini diubah.
Membangun ketersediaan jaringan telekomunikasi merupakan salah satu kerja yang bisa dilakukan untuk mempercepat pembangunan daerah tertinggal. Di sinilah peran operator seluler sebagai penyedia jasa layanan komunikasi seluler sangat vital. Tulisan ini akan membahas secara garis besar strategi apa yang bisa dilakukan oleh operator seluler dalam perannya sebagai agen sosial dalam pembangunan bangsa, terutama dalam hal percepatan pembangunan daerah tertinggal. Selain strategi, juga dirumuskan filosofi apa yang mungkin bisa diadopsi oleh operator seluler dalam menjalankan perannya sebagai agen pembangunan bangsa.

Filosofi dan Strategi Operator Seluler dalam Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal
“Bambang Riyadhi Oemar, Ketua Asosiasi Telepon Seluler Indonesia (ATSI), mengatakan sampai akhir Maret 2007 pengguna ponsel di Indonesia telah mencapai 75 juta. Hal ini, ujarnya, adalah peningkatan dari perhitungan terakhir di 2006 yang mencapai 70 juta,” demikian isi berita di situs Detikinet.com Rabu 27 Juni 2007. Jumlah itu sungguh luar biasa besar. Apa yang bisa kita tangkap dari besarnya jumlah pengguna ponsel itu, terutama jika dikaitkan dengan proses pembangunan ekonomi bangsa, dan terutama dengan proses pembangunan daerah tertinggal?
Dalam iklim ekonomi yang sedemikian cepat dan dinamis ini, penggunaan sarana komunikasi yang memungkinkan orang saling berhubungan secara cepat dan mobile sungguh amat vital. Telepon seluler bukan saja memungkinkan orang untuk bisa berkomunikasi secara cepat dan mobile, namun juga bisa terus-menerus memonitor, bahkan mengontrol usahanya dari manapun dan kapan pun. Ruang kantor dan waktu kerja tiba-tiba saja meluas. Tak terbatas dinding gedung kantor maupun jam kerja kantor. Kekuatan yang dimiliki oleh penggunaan telepon seluler sungguh mengagumkan, sehingga siapapun yang berusaha berbisnis dengan meninggalkan telepon seluler akan dengan perlahan atau cepat akan kalah bersaing dengan pesaing-pesaingnya yang menggunakan fasilitas telepon seluler. Mengapa? Karena orang semakin tak sabar untuk menunggu. Orang semakin membutuhkan layanan yang cepat dan mungkin setiap saat. Bisnis berbasis kantor dan jam kerja yang konvensional, kini telah bergeser ke arah bisnis berbasis komunikasi yang mobile dan 24 jam. Meski ini tidak berarti bahwa bisnis berbasis kantor dan jam kerja kemudian akan lenyap, namun kekuatan bisnis saat ini tidaklah terutama terletak pada kestatisannya, namun pada kedinamisannya. Pada unsur mobile dan layanan tiada hentinya. Mereka yang mengandalkan kekuatannya pada kantor dan jam kerja, akan dengan segera kalah bersaing merebut konsumen-konsumen baru, dan bahkan mungkin akan ditinggalkan oleh konsumen-konsumen lamanya jika tak segera memutakhirkan basis kerjanya. Inilah dampak budaya berbisnis yang diciptakan oleh telepon seluler. Sebuah dampak yang bukan hanya mengubah budaya kerja, namun juga menentukan nasib sebuah usaha.
Dengan memahami dampak teknologi terhadap budaya bisnis dan konsekuensi ekonominya, maka kita akan bisa memahami mengapa daerah tertinggal yang tidak memiliki ketersediaan fasilitas komunikasi seluler sungguh merana ekonominya. Bahkan, usaha-usaha yang sejak lama berdiri pun bisa runtuh dengan cepat saat gagal mengintegrasikan diri dengan budaya bisnis yang baru, yang berbasis komunikasi seluler.
Ada 75 juta pengguna ponsel di negeri ini. Anggap saja 1%-nya adalah pebisnis, jadi ada sekitar 7,5 juta pebisnis yang menjalankan usahanya berbasis komunikasi seluler. Namun, bagaimana dengan sekian banyak pengusaha lain, terutama di daerah-daerah yang masih belum tersedia fasilitas komunikasi selulernya, atau setidaknya fasilitas komunikasi selulernya masih buruk kualitasnya? Kekalahan maupun ketakberkembangnya bisnis dan ekonomi di daerah-daerah tertinggal bisa dikatakan merupakan konsekuensi salah satunya dari ketiadaan fasilitas komunikasi seluler yang memadai.
Dalam konteks inilah, peran operator seluler sungguh amat penting. Peran operator seluler sesungguhnya tidaklah sekedar pasif dalam artian hanya sekedar memberikan jasa layanan komunikasi seluler kepada pengguna telepon seluler, namun juga bersifat aktif-konstruktif karena seperti yang telah dijelaskan di atas, teknologi seluler telah turut mengubah budaya bisnis dan nasib ekonomi yang ada. Kemampuan operator seluler untuk turut membentuk budaya bisnis yang mobile itulah yang sungguh bernilai. Pembangunan ekonomi daerah tertinggal tak akan berhasil manakala budaya bisnis yang ada tak adaptif dengan kompleksitas dan dinamika bisnis lokal, regional bahkan global. Hanya ketika budaya bisnis berubah mengikuti irama dunia bisnis yang lebih luas, ada harapan cerah bahwa suatu daerah akan dengan cepat terintegrasi dengan arus ekonomi dan bisnis yang lebih luas dan dengan demikian mampu mencapai taraf kemakmuran dan kesejahteraan seperti yang dicitakan. Peran konstruktif dalam membangun budaya bisnis inilah yang dimiliki oleh operator seluler, dan kemampuan konstruktif ini pula yang patut menjadi filosofi dasar dari operator seluler dalam turut membangun daerah tertinggal.
Selama ini secara sadar atau tak sadar, sengaja atau tak sengaja, operator seluler telah turut membantu kemajuan proses pembangunan budaya bisnis yang baru di negeri ini. Bahkan, operator-operator seluler juga telah menunjukkan kepeduliannya pada pembangunan masyarakat lewat program-program corporate social responsibility (CSR). Hanya saja, program-program CSR itu seringkali terkesan lebih bersifat kuratif sebagai penyeimbang dari aktivitas bisnis perusahaan. Dengan kata lain, seolah-olah ada dua aktivitas yang punya tujuan masing-masing. Satunya bertujuan mencari laba, sementara yang lain untuk membagikan sebagian laba tersebut. Meski hal tersebut patut dipuji, namun sesungguhnya antara CSR dan aktivitas bisnis tak perlu dipahami sebagai sesuatu yang berjalan di lajurnya masing-masing jika kita memahami kekuatan konstruktif yang dimiliki oleh operator-operator seluler dalam membangun budaya bisnis dan ekonomi bangsa. Manakala filosofi “Turut Membangun Budaya Bisnis dan Ekonomi Bangsa Ke Arah Kemajuannya” telah disadari dan diadopsi, maka tak akan ada kesan keterpisahan di antara aktivitas mencari laba dan aktivitas sosial. Filosofi tersebut memahami bahwa pencarian laba yang benar ialah yang turut membangun kemajuan dan kekuatan bisnis dan ekonomi bangsa yang hebat, dan sekaligus pembangunan sosial hanya akan bisa dicapai secara sejati lewat profesionalisme usaha dan kerja.
Filosofi itu pula yang ada baiknya menjadi filosofi operator seluler dalam turut membangun percepatan kemajuan daerah tertinggal. Dengan filosofi tersebut, operator seluler akan bisa melihat bahwa aktivitasnya turut membangun daerah tertinggal sesungguhnya bukan merupakan aktivitas kuratif, namun merupakan investasi. Tentu dengan syarat bahwa pihak operator seluler paham bahwa jika kehidupan bisnis dan ekonomi di daerah tertinggal tersebut berkembang, maka siapa pula yang akan menikmati pertambahan pelanggan bisnis baru? Investasi yang dijalankan dengan strategi yang benar, niscaya akan menghasilkan buah bagi penanamnya.

Bagaimana strateginya?
Secara sederhana, strateginya meliputi 3 (tiga) hal, yaitu:
Strategi penyediaan dan penyempurnaan BTS. Strategi ini jelas bersifat teknis, namun amat penting demi kepuasan dan kenyamanan pelanggan di daerah tertinggal. Bagaimana mungkin pelanggan akan senang jika setiap kali sinyal yang didapatnya putus-putus? Menciptakan pelanggan yang loyal memang penting, namun lebih penting lagi untuk menciptakan pelanggan yang advokatif. Pelanggan yang loyal barangkali memang puas, namun cukup sekedar puas. Sementara pelanggan yang advokatif bukan hanya puas, namun menyebarluaskan kepuasannya itu ke sekelilingnya, dan dengan demikian turut mempromosikan operator seluler yang dianggapnya memuaskan. Pelanggan advokatif ini akan tercipta manakala kualitas hubungan seluler yang didapatnya begitu unggul sehingga mendorongnya ingin orang lain mengikuti jejaknya menggunakan operator seluler yang sama. Penyediaan dan penyempurnaan BTS merupakan salah satu cara terbaik untuk menciptakan pelanggan-pelanggan yang advokatif. Jadi, dengan strategi pertama ini, pelanggan punya insentif untuk mengadopsi budaya bisnis baru, di sisi lain operator seluler bisa menjaring pelanggan-pelanggan baru, yang seiring dengan kemajuan ekonomi daerah, akan semakin membesar jumlahnya. Kedua pihak sama-sama senang.
Strategi pengayaan layanan pelanggan. Pelanggan advokatif juga bisa diciptakan dengan cara penyediaan layanan pelanggan yang bermutu dan simpatik. Sikap responsif dan komunikatif, apalagi terhadap kebutuhan kalangan pebisnis dari daerah-daerah tertinggal, sungguh amat bernilai artinya guna menciptakan pelanggan yang advokatif. Usulan, kritik maupun pengaduan dari pelanggan haruslah menjadi alat evaluasi yang berguna untuk semakin menyempurnakan diri menjadi perusahaan yang lebih efektif dan komunikatif. Sikap komunikatif dan bersahabat ini akan bisa menjadi insentif lain bagi pelanggan untuk semakin mantap berbisnis dengan mengandalkan kepercayaan dukungan dari pihak operator seluler.
Strategi pembangunan kemasyarakatan. Karena membangun budaya bisnis dan ekonomi daerah tertinggal itu bukan saja harus diarahkan pada kalangan pengusaha saja, namun pada seluruh lapisan masyarakat sebagai bagian dari mata rantai ekonomi, maka strategi pembangunan kemasyarakatan sangatlah penting juga artinya. Budaya bisnis dan ekonomi yang maju didasarkan pada kualitas-kualitas kecerdasan dan kreativitas. Karena itulah, pihak operator seluler juga perlu turut serta berpartisipasi membangun tradisi berprestasi dan kreatif dari seluruh lapisan masyarakat di daerah tertinggal, terutama kalangan generasi muda. Ketika kualitas kecerdasan dan kreativitas masyarakat daerah berkembang, kualitas kecerdasan dan kreatif itu juga akan merembes ke dalam aktivitas berekonomi mereka, termasuk dalam aktivitas konsumsi. Ketika aktivitas berekonomi semakin cerdas dan kreatif, maka aktivitas itu akan berlangsung dinamis dan progresif. Kebutuhan-kebutuhan baru akan muncul. Agar kebutuhan-kebutuhan baru ini bisa terpenuhi, maka dibutuhkan alat komunikasi untuk bisa berhubungan dengan peyedia-penyedia kebutuhan baru tersebut. Komunikasi seluler jelas jadi pilihan utamanya karena sifatnya yang mobile dan praktis. Jadi, secara tak langsung muncullah kebutuhan komunikasi baru di masyarakat daerah tertinggal. Lagi-lagi, baik pihak masyarakat daerah tertinggal maupun pihak operator seluler senang.

Penutup
Tentu saja, kenyataan tak semudah dan seindah gagasan. Namun, membangun daerah tertinggal sekaligus meletakkan dasar kelestarian bisnis perusahaan operator seluler bukanlah suatu hal yang tak mungkin diwujudkan. Keduanya bahkan harus selalu berjalan sinergis satu sama lain. Perusahaan-perusahaan besar di negara-negara maju telah lama memahami hal ini dengan membangun masyarakat dan bangsanya, lantas mengapa kita tak mulai meneladaninya?