Sabtu, 26 Januari 2008

Cerpen

Mereka Bilang Aku Ayam Kampus !
Oleh: R. Indira Hapsari

Siang itu adalah jadwal berlangsungnya kuliah umum Sosiologi, kali ini kuliah bertempat di aula dengan dosen tamu Imam Prasodjo. Kabarnya beliau Sosiolog terkenal yang sering muncul di televisi.
Ketika kunaiki tangga menuju aula di lantai dua, sudut mataku menangkap banyak benar pandangan mata tertuju padaku. Pandangan itu seolah-olah melimpahkan rasa jijik padaku, atau tepatnya semacam benci. Tapi kubiarkan saja mereka membuatku seperti sampah.
Tangga paling akhir segera kulampaui dan kumasuki ruang aula yang tak seberapa luas. Bola mataku kuedarkan kesana-kemari mencari tempat duduk. Ternyata kursi di aula hampir semua penuh, padahal kurang lebih masih lima belas menit lagi Imam Prasodjo memberi kuliah umum.
Akhirnya aku mendapatkan bangku kosong yang letaknya di deretan paling belakang. Di sebelah kananku duduk mahasiswi berambut ion, sedang di sebelah kiriku mahasiswa berambut keriting, memakai kacamata, yang dari raut mukanya terlihat serius dan pendiam.
Segera setelah aku menyerahkan tubuhku pada kursi kayu, mahasiswi berambut ion itu mengamatiku, kemudian dia bertanya:
“Kamu Rani kan ?”
Aku menjawab dengan anggukkan kepala.
“Oooh”
Cewek itu kaget layaknya melihat barang antik. Tanpa alasan dan basa-basi ia pun meninggalkanku, sehingga kursi kayu disebelah kananku kini kosong. Aku segera mengambil kesimpulan, dia tahu aku berprofesi sebagai ayam kampus. Dan selanjutnya ia merasa jijik atau tepatnya takut duduk berdekatan dengan ayam kampus, karena konsekuensinya akan dicap macam-macam. Padahal belum tentu ia benci aku, toh ia belum mengenalku.
Yach…, lingkungan ingin menghukumku, menggunakan perlakuan diskriminatif mereka. Tapi dengan lantang aku akan bilang;
“ Kalian semua gagal, pun sebagai penggangguku, sejauh kalian mengusik hidupku, sebaliknya aku akan menertawakan kalian yang mencemoohku dengan tanpa ampun.”
Sebagai ayam kampus aku juga tetap memiliki semangat hidup, meski identitasku bukan rahasia lagi, aku tak akan malu, tentu aku tidak akan bersembunyi saja di kamar atau bahkan melarikan diri dari kota ini dan meninggalkan kuliah, apa lagi hingga memilih jalan bunuh diri karena frustasi pada hidup.
Laki-laki bangsat itu, yang ritualnya hanya menghabiskan uang, nongkrong di kafe-kafe, dan rutin satu bulan sekali belanja kebutuhan di mall demi menjaga penampilan supaya kelihatan modis daan berharap mirip artis. Merekalah segerombolan kelinci ideot yang melihat perempuan hanya dari tampilan fisik yang memukau dan senyum yang cemerlang. Dan aku memanfaatkan itu, kutukarkan tubuhku pada duit laki-laki ingusan yang tidak mengerti kesulitan dan kesunyian hidup. Mereka yang merasa memiliki kekuasaan dan kelebihan ketika mampu menakhlukan perempuan cantik, yang laki-laki yang mewarisi watak picik patriarkhi raja-raja Jawa yang kalah melawan gelegar hasrat, mereka mewarisi kutukan Prabu Pandhu Dewanatha yang meninggal karena tak kuat menahan nafsu bersetubuh hingga kutukan itu merenggut nyawanya sendiri.
Pernah suatu ketika aku salah menentukan jadwal kencan, terjadilah kekecewaan dasyat temanku yang sekaligus langgananku yang tak patut dibela itu. Dia menyebarkan informasi bahwa aku berprofesi sebagai pelacur…sebagai ayam kampus. Pertama-tama aku sangat terganggu karena semua teman kuliahku tahu aibku. Aib? Ach, aku justru menyebutnya lebih sebagai kepahitan hidup. Bahkan teman-teman kuliah yang tidak mengenalku, karena tragedi tersebut maka mereka penasaran ingin mengetahuiku dan selalu berbisik-bisik, setelah itu gunjingan-gunjingan sinis selalu mengiringi langkahku, entah di perpustakaan, entah di lorong kampus, entah di kantin atau ketika aku antri toillet. Tapi aku lega karena posisiku sebagai mahasiswa tidak akan dicabut meski profesiku kini bukan rahasia lagi. Aku tetap dipertahankan oleh dosen-dosen dan pejabat-pejabat kampus, dosen-dosen berpura-pura tidak tahu dan tidak mendengar isu-isu miring tersebut, itu semua karena profesiku sebagai ayam kampus terfavorit dalam dekade ini.
Tanpa kusadari Imam Prasodjo tengah bercuap-cuap tentang konflik, pendidikan, membangun komunitas responsive, dan lain-lain. Aku segera menulis penjelasan darinya yang sekiranya penting, sebagai tugas resume yang harus dikumpulkan minggu depan.
Kuliah umum itu diselingi pemutaran film. Ketika film sederhana itu menyuguhkan pemandangan seorang anak yang terlantar di pinggir jalan, terlentang tidur diatas koran tanpa sehelai benang yang melindunginya dari angin jahat, dan ketika anak-anak jalanan menyanyi letih di perempatan lampu merah dengan posisi aneh—yang menurut mereka mungkin terlihat lucu. Ketika itu pula aula dipenuhi suara tawa, seolah anak-anak terlantar itu adalah lelucon.
Huh…, Sungguh aku menjadi takut dengan keadaan sekitarku. Baru beberapa menit yang lalu mata mereka menusukku seolah aku ini seorang pendosa, karena melacurkan diri. Tapi secepat inikah mereka berubah, aku melihat mereka tak ubahnya seperti halnya penyihir jahat yang gemar menertawakan kegetiran serta menganggap lucu hal-hal yang menyesakkan. Mahasiswa adalah kumpulan borjuis yaang sok intelektualis, mereka sering bertengkar hanya karenaa beda bendera organisasi, mereka sekelompok orang sakit yang demam pencitraan, suka mengagumi tulisan bagus namun prakteknya mbel gedes, pantaslah kalau mereka tak menghargai ayam kampus. Padahal pelacur menjual miliknya sendiri, sedangkan ideologi yang mereka berhalakan telah mmenjadi tameng kemunafikan.
“Dasar penjilat…!!! He….he…he… borjuis kecil yang bertingkah seperti nabi.”
Dengan serta merta aku segera memberikan rasa iba pada Imam Prasodjo, karena maksud kuliah umum ini sebagai media propaganda, ternyata digagalkan oleh manusia-manusia yang cacat. Ironis.
*
Mereka bilang aku ini salah satu ayam kampus dari beberapa ayam kampus yang ada di Universitas ini. Tahukah? Menjadi ayam kampus bukanlah pilihanku. Melainkan jalan hidupku yang lahir dari kekesalan dan keputusasaan. Aku telah diwarisi sebatang dendam tanpa ukuran, hingga menuntunku pada kegilaan dengan voltase yang teramat tinggi.
Ketika berusia limabelas tahun, Bapak tiriku yang telah kuanggap sebagai bapak kandungku. Dalam keadaan mabuk dia memperkosaku pada suatu malam petaka, ketika itu Ibu kerja lembur sebagai buruh pabrik . Setelah itu aku jadi pemurung. Trauma, kesedihan dan keresahan pada akhirnya kian mendewasa.
Lalu, duka adalah yang menyapaku setiap waktu. Duka adalah yang menyapaku setiap pagi. Bagai sahabat setia yang mengucapkan salam ketika waktu dan matahari saling berpacu memburu hari.
Duka adalah yang menyapaku setiap malam. Menganggukkan kepala dan tak mau pergi, sedangkan sepi dan kelam semakin gila merasuk diriku.
Duka adalah yang menyapaku setiap waktu. Bagai laut yang senantiasa mendera dan bernyanyi mengusik diri.^
Akupun semakin tak mengerti. Aneh…, aku bertahan pada kekeliruan, namun kekeliruan itulah justru dasar bagiku menjadi manusia yang lebih berani ditempa situasi yang tidak adil ini.
Ketika aku pasrah pada kebinalanku, kurasakan keabadian adalah kekinian yang kekal. Aku berpura-pura bahagia, bahagia dengan keadaanku disini dan sekarang.
Aku hanya ingin terus kuliah dan membiayai Ibu yang tak memiliki penghasilan setelah dengan seemena-mena ditendang keluar oleh majikannya dan kini beliau mulai pesakitan.
Terbukti kan, uanglah yang menyelamatkanku, walau aku sadar mungkin saja apa yang menyelamatkanku kini, hanyalah apa yang menghancurkanku nanti, ketika aku sampai pada kondisi dimana harapan masa depan yang hancur ditelan kekejaman masa lalu.
Lagi pula dosen-dosen yang menjadi langgananku memperlakukanku sangat baik, sangat baik sekali. Selain aku dibayar sangat mahal dalam bermain-main instink purba dengan mereka, aku juga dijadikan tempat mencurahkan kekesalan mereka mengenai istrinya yang sudah mulai malas berdanndan. Atau terkadang mereka para dosen itu meminta pendapatku ketika dipromosikan menduduki jabatan birokrasi kampus. Aku mulai menyadari, tentunya aku bukanlah sekedar pelacur yang menjual daging dan tubuh belaka, tapi perhatian, pertimbangan dan kasih-sayangku ternyata tak kalah penting sebagai nilai plusku sebagai ayam kampus. Bahkan yang membuatku terkejut, pernah suatu saat, penggila tubuhku yang merupakan salah satu pejabat kunci di kampusku meminta pertimbanganku mengenai kenaikan SPP. Terang saja aku tidak menyepakatinya, di negara kita ini pendidikan mahal hanya akan semakin menyebabkan peningkatan gaya dan pola hidup koruptor-koruptor kampus sedangkan peningkatan kualitas pendidikan adalah omong kosong.
Tapi beberapa bulan kemudian ternyata SPP tetap saja jadi naik….aaach, aku pun sudah menduganya. Bukankah dari kecil kita dididik untuk mendapatkan keuntungan banyak untuk diri-sendiri? Persetan urusan orang lain! Bahkan selain SPP ada kebijakan baru yang dikeluarkan pihak rektorat, yaitu DPA (Dana Penunjang Akademik) tentu aku harus semakin sering berpindah-pindah dari pelukan satu mencari pelukan lain. Bagaimana lagi cara menghadapi tuntutan hidup yang semakin membabi-buta dan terkesan mengada-ada ini, dan aku punya aset tubuh elok dan paras cantik yang sangat di sukai laki-laki yang selalu kehausan mengobral uang mengobral hasrat.
Aku biarkan diri mengalir terbawa arus yang menguntungkan, seperti tai… seperti tai… yang diseret arus sungai sederas tsunami dan akan segera hancur oleh kemantapan deras alurnya sendiri.
Aku ini manusia biasa, perempuan biasa, pelacur biasa, ayam kampus biasa yang jauh dari sikap kedermawanan Diva dalam Supernovanya Dee. Aku juga bukan perempuan seperti Yasmin sang aktivis kekasihnya Saman, Wisanggeninya Ayu Utami. Akupun bukanlah perempuan semacam Firdaus yang intelektualis seperti yang diceritakan oleh Nawal Al-Saadawi. Pun aku tidak seperti Nidah Kirani pelacur dalam novel Muhidin M. Dahlan yang selalu kebingungan dan melakukan tawar-menawar dengan Tuhan. Aku tak serumit mereka, aku ini cuma pelacur biasa yang melacurkan diri demi uang.
Dan latar belakangku yang suram, kini hanya sebagian dari salah satu sejarah yang semakin menguatkanku. Namun selebihnya sederhana: “Aku butuh uang untuk hidup…! Dan aku akan mengendarai kesewenang-wenangannya barang brengsek tersebut. Sejak aku tahu kehormatan akan hilang demi setumpuk uang, namun dengan mudah segera kehormatan akan kembali ketika punya uang banyak.”
*
Aku segera meninggalkan aula, karena kuliah umum telah usai. Menyusuri lorong-lorong fakultas sendiri. Samar-samar terdengar nyanyian heroik mahasiswa demonstran, sepertinya mereka sedang aksi di pelantaran fakultas ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Kudengar nyanyian perjuangan di sela-sela orasi :

Indonesia negeri berdarah…
Berbagai macam peristiwa…
Aceh..Ambon…dan Timor Leste
Dan banyak tragedi lainnya…
Tragedi Trisakti…
Tragedi Semanggi…
Tragedi dua tujuh juli…
Aparat… keparat
Militer…bangsat
eSBeYe… anjing taek..kucing…
Ayo…kawan kita bersama…
………………………….
Lalu nyanyian mereka lenyap berlahan, seiring ayunan kakiku yang menjauh dari lingkungan kampus dan disponsori watak hedonku yang emoh menjamah aktivitas mereka.
Ehm …..tapi aku selalu berharap kehancuran tidak akan datang lebih cepat dari itu semua…, parlemen, undang-undang, pengadilan, teori-teori, doa-doa gumanku lirih.
Kini aku berjalan melewati kaki lima. Sesekali aku berpapasan dengan mahasiswa yang bergegas. Kemudian kulewati mini market-minimarket. Di balik kaca-kacanya, di sudut bertumpuk kue basah dan roti tawar lawas, berjamur sia-sia.
Sayang sekali makanan membusuk tak berguna dengan mahkota harga yang tak terjangkau, sedang di berbagai sudut kota, orang-orang menderita kelaparan.
Aku ini hanya pelacur biasa, dengan perasaan dan kepekaan seperti layaknya manusia biasa, tapi manusia biasa terbiasa memaksa diri menjadi aneh…makanya aku dan mereka terpisahkan oleh ruang sejarah dan kebiasaan yang berbeda sangat jauh…kami semakin jauh.
*
Khusus untuk perempuan terhebat: mbak N dan mbak P yang tak pernah menyerah pada apapun.
NB: Judul terinspirasi Mereka Bilang Saya Monyet-nya Djenar Mahesa Ayu dan ^adalah sepotong puisi yang kutemukan di bak sampah kampus, entah siapa empunya saya minta ijin mengutipnya sepotong saja.

Kamis, 17 Januari 2008

Opini Pilihan 'Gerwani'

MALAIKAT YANG BERGELAR KUNTILANAK???....

(SEBUAH FAKTA YANG TERLUPAKAN MENGENAI KONTRIBUSI GERWANI DIDALAM PERJALANAN SEJARAH DI INDONESIA YANG HARUS DIBERANGUS OLEH SEBUAH ANGKARA MURKA POLITIK 1965)

*Oleh: Sapto Raharjanto

GERWANI,….pernahkah kita semua mendengar kata-kata ini,…ya sebuah kata yang terdengar begitu menyeramkan terutama di masa Orde Baru ketika penguasa pada saat itu selalu mendoktrin kita dengan ungkapan-ungkapan “awas bahaya laten komunisme”, ya Gerwani, sebuah organisasi perempuan yang selalu diidentikkan dengan tragedi nasional tanggal 30 September 1965, dimana pada peristiwa tersebut Gerwani dikatakan telah melakukan berbagai kegiatan yang dianggap ‘telah merusak kepribadian kaum wanita Indonesia’, melakukan ‘penyelewengan moral’ dan ‘kontrarevolusioner’ . Melalui koran-koran yang telah dikontrolnya, semenjak tanggal 11 Oktober 1965 Angkatan Darat menyebarkan cerita bahwa Gerwani terlibat dalam Gerakan 30 September, melakukan pelecehan seksual (permainan cabul, dimana disebutkan bahwa sukarelawan-sukarelawan Gerwani telah bermain-main dengan para Jendral, dengan menggosok-gosokkan kemaluan mereka ke kemaluan sendiri, perempuan-perempuan anggota Gerwani dikabarkan menari-nari telanjang dihadapan para Jendral, menyilet tubuh mereka dan juga memotong kemaluan para perwira,) terhadap para perwira yang diculik, memotong kemaluan dan mencungkil bola mata mereka. Gerwani dituduh telah melakukan pesta seks liar dengan para anggota Pemuda Rakyat. Hal inilah yang kemudian menyebabkan sebuah histeria massa yang sangat marah terhadap semua yang “dianggap komunis” seperti PKI,BTI, CGMI, termasuk kepada Gerwani, sehingga tak ayal lagi pasca tragedi 65 terutama pada awal November 1965, ketika Soeharto di hadapan sekitar 30 ribu massa perempuan anggota sejumlah organisasi yang tergabung dalam Seksi Wanita Koordinasi Kesatuan Aksi Pengganyangan Gestapu mengatakan bahwa Gerwani adalah kumpulan perempuan yang ‘telah merusak kepribadian kaum wanita Indonesia’, melakukan ‘penyelewengan moral’ dan ‘kontrarevolusioner’. Mulailah pada saat itu dilakukan operasi pengganyangan terhadap aktivis-aktivis Gerwani yang dilakukan oleh kelompok-kelompok masyarakat sipil, seperti Pemuda Anshor, Banser, Pemuda Marhaen, dengan mendapat dukungan dari tentara yang kerapkalai melakukan maneuver-manuver serta show of force dalam rangka aksi-aksi pengganyangan terhadap gerakan komunis di Indonesia, seperti yang dilakukan oleh satu batalyon RPKAD yang dikirim dari Jakarta pada tanggal 17 Oktober 1965 dimana kolonel Sarwo Edhie Wibowo sebagai komandan RPKAD langsung memimpin operasi tersebut. Mulai saat itulah teror-teror mulai melanda organisasi-organisasi yang dianggap kiri termasuk terhadap Gerwani…..vandalisme ini sangatlah membabi buta sebagai imbas dari provokasi-provokasi angkatan darat yang seakan-akan menganggap Gerwani sangatlah wajib untuk diganyang dan menimbulkan efek ingatan massa yang sangat negative terhadap Gerwani sampai saat ini,…setelah 42 tahun peristiwa itu berlalu sampai saat ini saya masih sering mendengar ketika orang marah dan mengumpat orang yang dimarahinya masih sering kita dengar kata-kata “dasar PKI!!”, “dasar Gerwani!!!!”,…sungguh alangkah tragisnya dibalik umpatan-umpatan tersebut sebenarnya ada banyak hal yang kita lupakan dari organisasi yang sebelumnya bernama Gerwis (Gerakan Wanita Indonesia Sedar)ini,…
Di dalam wacana kesejarahan di Indonesia, sumbangan gerakan perempuan dalam perjuangan kemerdekaan kurang diperhitungkan sebagai sebuah kekuatan yang berarti, tercatat nama Laskar Wanita Indonesia atau Laswi yang kini dijadikan nama sebuah jalan di kota Bandung, begitupun juga Gerwis yang merupakan cikal bakal dari gerwani yang didirikan pada tanggal 4 Juni 1950 tercatat sebagian besar anggotanya adalah perempuan-perempuan yang terlibat langsung dalam perang kemerdekaan melawan Jepang dan Belanda pada 1940-an (tercatat nama S.K. Trimurti seorang tokoh kemerdekaan yang meninnggal baru-baru ini sebagai salah seorang tokoh Gerwis), hal inilah yang kemudian banyak menjadi ilham bagi para perempuan yang terlibat revolusi fisik tersebut untuk bergabung didalam Gerwis sebelum kemudian berganti nama menjadi Gerwani karena mereka ingin menyumbangkan tenaga dan pikiran mereka untuk kemajuan bangsanya. Gerwis sendiri adalah merupakan hasil dari Enam organisasi yaitu Rupindo (Rukun Putri Indonesia; Semarang); Persatuan Wanita Sedar (Surabaya), Istri Sedar (Bandung), Gerwindo (Gerakan Wanita Indonesia; Kediri), Wanita Madura (Madura), dan PPRI (Perjuangan Putri Republik Indonesia; Pasuruan).
Pada kongres Gerwis I di Semarang pada 1951 konsep ‘perempuan sedar’ sudah menjadi bahan perdebatan sengit. Perdebatan itu pada akhirnya berkait dengan apakah Gerwis tetap akan mempertahankan bentuk organisasi kader atau beralih menjadi organisasi massa Dalam Kongres Gerwis II, 1954, kata ’sedar’ akhirnya dihapus. Nama Gerwis berubah menjadi Gerwani dan garis massa menggantikan garis kader, ada alasan yang cukup kuat yang mendasari perubahan nama ini. Kata “sedar” dalam Gerwis dianggap hanya mengutamakan perempuan golongan menengah dan terdidik yang sudah sadar akan hak-haknya, sementara ada jutaan perempuan Indonesia yang dianggap belum “Sedar”dan harus dilibatkan dalam memperjuangkan kemajuan bangsa. Didasari pandangan kerakyatan inilah kemudian Gerwani ingin agar buruh, dan tani perempuan juga aktif dalam kegiatan politik untuk memperkuat republik yang baru berdiri ini. Seluruh kegiatan Gerwani bertujuan untuk mendidik anggotanya menjadi perempuan yang sadar politik. Perempuan-perempuan ini kemudian didorong untuk merawat dan mendidik rakyat. Pendidikan berlangsung melalui kegiatan yang programatik maupun kegiatan-kegiatan informal yang berlangsung dalam pergaulan keseharian antar-anggota atau dalam pergaulan anggota Gerwani dengan masyarakat. Kegiatan-kegiatan antara lain adalah anjangsana dan turba; ceramah dan pertemuan-pertemuan rutin, seperti rapat dan arisan; kursus-kursus keterampilan dan kursus pemberantasan buta huruf maupun pendirian TK Melati, juga terlibat didalam perjuangan pembebbasan irian barat dengan menjadi tenaga sukarelawati, selain itu tercatat ketika Gunung Agung meletus pada tahun 1963 Gerwani di Bali bekerja sama dengan pemerintah memberikan bantuan kepada pengungsi.
Pada 1950, Indonesia baru keluar dari situasi perang. Pemerintah menetapkan peningkatan dan perluasan pendidikan sebagai prioritas pembangunan bangsa. Pendidikan dianggap sebagai prasyarat mendasar untuk mencapai kemakmuran dan keadilan sosial di Indonesia. Gerakan perempuan yang sudah berpengalaman melakukan gerakan pemberantasan buta huruf sejak paruh pertama abad 20 segera melibatkan diri dalam proyek nasional ini dengan membangun ratusan, mungkin ribuan, taman kanak-kanak (TK) dan kursus-kursus pemberantasan buta huruf (PBH). Gerakan perempuan menambahkan kepentingan mereka, yaitu memajukan kesejahteraan perempuan dan anak-anak, di dalam tujuan gerakan pendidikan nasional. Gerwani, sebagai bagian dari gerakan perempuan, terlibat dalam gerakan pendidikan nasional ini. Gerwani juga mengklaim telah mendirikan 1.478 TK Melati di berbagai wilayah di Indonesia. Didalam pendiriannya TK Melati diserahkan pada pengurus ranting setempat. Pengurus ranting seringkali melibatkan pihak kelurahan dan anggota-anggota masyarakat lain untuk menyediakan tempat dan peralatan TK model penggalangan dana bisa dilaksanakan dengan mengadakan pertunjukan wayang dan menjualnya tiket pertunjukannya untuk mendirikan TK Melati.
Aturan tentang biaya sekolah berbeda-beda antara satu TK Melati dengan TK Melati yang lain. Seperti juga peraturan tentang biaya sekolah, aturan tentang honor guru juga berbeda-beda. Sebagian TK Melati tidak memberikan honor sama sekali pada guru. Sebagian lain memberi honor seadanya Gerwani merekrut tenaga-tenaga guru untuk kursus PBH dan TK Melati terutama dari kalangan anggotanya sendiri. Mereka juga mengambil tenaga lulusan-lulusan baru sekolah guru yang sebagian di antaranya adalah anggota Pemuda Rakyat. Syarat untuk menjadi tenaga pengajar dalam kursus PBH dan TK Melati yang diselenggarakan Gerwani tidak berat. Perempuan yang sudah pernah duduk di bangku SMP walaupun tak lulus tetap bisa menjadi guru kursus PBH dan TK Melati. Pada dasarnya Gerwani lebih memilih untuk menyelenggarakan institusi pendidikan yang murah yang bisa diakses oleh masyarakat miskin, dibanding sekolah dengan peralatan lengkap namun hanya bisa dijangkau oleh kelompok masyarakat yang mampu membayar mahal. Namun pilihan ini tidak bisa disederhanakan menjadi sekedar pilihan kualitas versus kuantitas karena TK Melati tetap bisa memenuhi tujuan pendirian TK, yaitu mempersiapkan anak untuk memasuki dunia pendidikan formal. Oleh karena itu, mendongeng, bernyanyi dan bermain menjadi penting. Dimana didalam dongeng-dongeng ini pelajaran mengenai kebersihan, kesehatan, seperti membersihkan diri, mandi, menyisir rambut, memakai alas kaki, memotong kuku, serta kebersihan tubuh terus diperhatikan. Pengenalan mengenai rasa kebangsaan dan klektifitas diantara sesama rakyat didalam diri anak kerapkali disampaikan didalam mata pelajaran Budi pekerti yang juga kerap disampaikan dalam bentuk dongeng seperti kisah gajah dan semut berikut ini : “Ada gajah, ada semut. Ada semut masuk telinga gajah. Itu gajah jadi binasa. Itu semut bikin kalang kabut. Itu cerita dari mbah buyut. Anak-anak, kalo sut itu kan gini ya, ini jempol ini gajah, ini semutnya ini. Tapi ini kok menang? Ding, ding, menang semut. Karena apa? Karena semut itu meskipun kecil banyak temannya buaaanyak sekali, membuat lubang di dalam tanah. Setelah itu, tanahnya kan di bawah itu, itu grogong atau lobang. Terus gajah lari-lari di anu, gajahnya masuk situ ndak bisa keluar karena telinganya dimasuki semut semua. Semut merubung gajah. Gajahnya gini, gini, gini, godag-godeg, akhirnya gajahnya mati. Jadi, orang yang gede itu tidak boleh sombong. Tapi rakyat kecil ya jangan diinjak-injak. Karena rakyat kecil juga mempunyai kekuatan yang besar juga. Selain melalui dongeng, kesadaran kerakyatan juga diajarkan melalui lagu-lagu, diantaranya lagu Menanam Jagung: “Ayo kawan kita bersama menanam jagung… Pak tani nanam jagung. jagung untuk apa?”
“Jagung untuk jenang (bubur), untuk ini, untuk grontol, untuk ini, Bu.”
“Jagung yang nanam siapa?”
“Pak tani.”
Acara makan bersama juga dimanfaatkan untuk memperkenalkan pada anak-anak bahan dasar makanan rakyat yang murah dan bergizi :…, “Mangan barang-bareng, engko lawuhe mung tempe, Le, kondo ibune tempe. Sego-tempe.” (“Makan sama-sama, nanti lauknya hanya tempe, Nak, bilang ibunya tempe. Nasi-tempe.”) Semua sego-tempe bawa dari rumah, ndak gurunya ndak kudu – ‘tempe asale soko dele, enak rasane, murah regane’ .
Tetapi sayang seribu sayang kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan yang banyak dilakukan oleh Gerwani harus terhenti pasca tragedi 65, selain itu sebagai imbas dari tragedi ini pencitraan Gerwani menjadi sangat negatif hal ini ditandai dengan Penghancuran TK Melati yang berjalan bersamaan dengan penghancuran Gerwani. Militer dan kelompok-kelompok massa sipil yang diorganisirnya memburu guru-guru TK Melati yang sebenarnya tidak seluruhnya anggota Gerwani. Tempat-tempat yang menjadi tempat KGTK (Kursus Guru TK) Melati dan pondokan bagi calon-calon guru dibakar oleh militer bersama-sama massa. Anggota-anggota militer melakukan pelecehan seksual terhadap para calon guru TK Melati yang ditampung di rumah itu banyak guru perempuan anggota Gerwani dan organisasi-organisasi lain maupun pengajar di TK Melati menjadi korban perkosaan komandan Buterpra yang melakukan operasi pembersihan terhadap aktivis-aktivis Gerwani.
Peristiwa 1965 yang kemudian melahirkan rezim Orde Baru memaksa sebagian mantan aktivis Gerwani untuk mengingkari sejarahnya sendiri Setelah Gerwani hancur, sebagian dari anggotanya merasa trauma dan berusaha menyelamatkan diri dan keluarganya dengan menutup jejak keterlibatan mereka dalam organisasi itu. Ada banyak aktivis Gerwani yang kemudian ditahan dan dibantai sehingga dari peristiwa ini banyak melahirkan trauma bagi mantan aktivis Gerwani mengenai apa dan bagaimana dulu dengan gagah beraninya mereka berjuang demi republik yang mereka cintai, ada banyak mantan aktivis Gerwani yang cenderung memilih diam tak bersuara,..meskipun saat ini pasca jatuhnya rezim Orde Baru sudah mulai banyak dari mantan aktivis Gerwani ini untuk berbicara mengenai apa dan bagaimana kontribusi mereka bagi republik ini,...yang kemudian harus terdzolimi oleh sebuah angkara murka yang terjadi di tahun 65-68 yang memunculkan stereotip negatif terhadap mereka.


*Peneliti Centre of Local Economy And Politics Studies, Jember

Senin, 14 Januari 2008

Wisuda Bukanlah Akhir dari Persaudaraan, Cita-cita dan Perjuangan...

Senin lalu, Pukul sembilan pagi seorang kawan akan mempertanggungjawabkan hasil penelitian tugas akhir kuliah di meja sidang ujian skripsi. Namun tiba-tiba saja hujan membasahi kota Jember. Rencanaku bertandang ke kampus kuurungkan sejenak, sambil mengutak-atik laptop menunggu barangkali sebentar lagi hujan mereda.
Setelah hujan deras mulai mereda, berganti dengan gerimis yang serupa butiran halus, cepat-cepat kupakai helm standar, motor pun segera ku-stater, kuterjang saja gerimis menuju kampus. Sekedar memberi semangat kawan yang sedang ujian apa salahnya dan berharap bisa bertemu kawan-kawan/dosen-dosen Sosiologi untuk melepas kangen.
Sebelumnya, hari Sabtu, Fresty memberitahuku kalau senin pagi dia ujian skripsi. Kamar kostku yang sempit mendadak menjadi ramai, karena selain Mita (kawan sekamar), Fresty, Sunarsih (yang juga datang mau nunut ngeprit skripsinya) ngobrol ngalor-ngidhul.
Fresty yang sedikit tegang karena akan menghadapi ujian sibuk membolak-balik skripsinya setebal kurang lebih seratus enam puluh halaman.
Pada akhirnya percakapan kami bertopik seputar 'perjuangan gender'. Ini bermula ketika
Fresty sambil melirik Sunarsih menyeletuk, "hei arek-arek, aku minta bendelan skripsi yang ngangkat masalah gender, aku mau jadi Profesor gender..he3x.." Kemudian, diskusi gender mengalir begitu saja, mungkin saja kami dimanfaatkan oleh Fresty untuk mematangkan materi skripsinya , tapi tak mengapa. Bukankah hakekat tali pertemanan adalah untuk saling memanfaatkan, saling berbagi. Toh kami memang sering saling memanfaatkan dalam konteks ilmu pengetahuan, bukan dalam hal-hal yang tidak bertanggung jawab.
Jadi ingat kata-kata seorang teoritikus Sosiologi ternama, Karl Marx: "Seseorang yang tidak memiliki energi untuk mencintai dan hanya berharap untuk dicintai, maka kehidupannya akan mengenaskan". Begitulah kurang lebih kata-kata Karl Marx yang terus kuingat, dan memang benar adanya. Dengan mencintai dan memberi keadaan psikologis rasanya menjadi lebih tenang, urusan dicintai atau balik diberi itu 'plus' belakangan.
Tak aneh jika percakapan melulu gender, karena secara kebetulan semuanya mengerjakan tugas akhir yang bersentuhan dengan isu gender (khususnya mengenai perempuan). Skripsiku yang telah lulus Juli Tahun lalu berjudul ' Perilaku KDRT: Studi Sosiologis Perempuan sebagai Korban dan atau Pelaku KDRT di Kabupaten Jember', Skripsi Sunarsih yang telah lulus bulan November tahun lalu berjudul 'Pelecehan Seksual, Studi Kasus di Fakultas FISIP-UNEJ', Skripsi Fitri berjudul 'Persepsi Waria Terhadap anak, Studi Kasus di kabupaten Jember, Nganjuk dan Banyuwangi' sudah lulus November Tahun lalu. Skripsi Fresty yang tadi pagi diujikan dan lulus dengan nilai maksimal berjudul 'Persepsi Aktivis Perempuan terhadap Pornografi dan Pornoaksi'. Skripsi Mita yang sekarang baru dikerjakan berjudul 'Persaingan Penyanyi Dangdut', Skripsi Lantika berjudul "Persepsi Kyai Pondok Pesantren Terhadap Poligami', Skripsi Giovani berjudul " Menikah Siri di Kalangan Mahasiswa" ada lagi Astri, yang mengangkat "SPG Plus-Plus". Entah, benar-benar suatu kebetulan, atau memang wacana gender menimbulkan keresahan tersendiri sehingga dihabisi oleh kawan-kawan perempuan Sosiologi FISIP-UNEJ angkatan 2003.
*
Akhirnya sampai juga di kampus, disana ternyata sudah ramai oleh kawan-kawan lainnya yang menunjukkan memberi dukungan Fresty. Sudah menjadi tradisi, jika ada yang sedang ujian skripsi, maka kami akan saling menunggui, memberi semangat dan mengirim mantra-matra(doa-doa). Semoga semua teori dan orasi-orasi pada diskusi-diskusi di kelas tidak meluntur. Semoga Peraudaraan ini berlanjut menjadi untaian kenangan indah yang abadi.
Fyuh, tak terasa, 4 tahun sudah hidup merantau di kota Jember. Di sini aku bertemu dengan kawan-kawan baru yang menyenangkan (meskipun--kuakui--terkadang aku tidak terlalu menyenangkan sebagai seorang kawan), dosen-dosen yang simpatik (meskipun ada beberapa yang cuek dan hanya mengurus proyek), ilmu pengetahuan yang lebih maju dan pengalaman berdiskusi dan berorganisasi yang sungguh proses yang teramat sangat mahal, juga pengalaman beberapa waktu bersentuhan langsung dengan gelandangan-pengemis-pengamen dan sesekali berdemo, berteriak di jalanan menuntut keadilan, menjadi kawan belajar adik-adik di belakang kampus, juga budaya Jawa-Madura-Osing yang unik...sampai-sampai aku kepikiran ingin belajar tari LAHBAKO, tarian khas Kabupaten Jember yang gerakannya yang menggambarkan pekerja petik bakau. Tapi sayang, kosa kata bahasa Madura hanya sedikit yang bisa engkok kuasai. Oiya, aku juga sedikit hafal lagu osing "usum layangan dan umpomo siro kebang..mekaro ono ing taman...."--kecuali lagu osing anyar yang berjudul "Bokong Semok", jangan dipaksa suka, emoh yo.
Banyak sekali hal-hal yang berputar-putar di kepalaku, hingga kerepotan tergesa ingin kuceritakan semua disini. Yach, aku tidak bisa mengelak, sejarahlah yang membawaku pada titik pijak pemikiranku seperti saat ini. Hidupku bukanlah kesempurnaan, karena kusadari kita hidup bukan pada sistem yang tak cacat. Namun, aku berjanji, akan melakukan yang terbaik. Aku berjanji tidak akan kutukarkan idealisme dan ideologi yang kudapatkan dengan susah payah dengan kepragmatisan. Semoga sanggup!
Tidak mungkin kehidupan seseorang adalah benar,
apabila di salah satu sisi hidupnya ia melakukan kesalahan
(Mahatma Gandhi)

PERNYATAAN SIKAP

Rasa Keadilan Rakyat harus didahulukan !!!
Tolak isu deponering kasus Soeharto !!!
Usut tuntas kasus Soeharto !!!


Salam rakyat pekerja,

Sudah 13 hari Soeharto menjalani perawatan di RSPP karena mengalami gangguan kesehatan yang sangat serius. Karena hal inilah, berdasarkan alasan kemanusiaan, banyak kalangan dari pejabat publik, mantan pejabat Orde Baru dan tokoh-tokoh politik yang menginginkan agar Soeharto sebagai Presiden RI pada masa Orde Baru dimaafkan dosa-dosanya. Artinya mereka meminta agar kasus-kasus yang terjadi pada masa Orde Baru, baik kasus pelanggaran HAM maupun kasus korupsi yang selama dituduhkan kepadanya segera dimaafkan oleh rakyat Indonesia, khususnya pemerintah.
Hal ini tentu saja segera menjadi polemik di masyarakat, karena sebagaian masyarakat, khususnya dari korban dan keluarga korban pelanggaran HAM menginginkan agar kasus pelanggaran HAM yang mereka alami tetap dijalankan proses pengunkapannya.
Hal ini tentu saja dengan argumentasi agar pelaku-pelaku pelanggaran HAM, bukan hanya Soeharto, dapat juga diadili dan meminta pertanggungjawaban mereka sebagai pelaku.
Selain kasus pelanggaran HAM, desakan agar kasus korupsi Soeharto diusut dengan tuntas pun segera merebak. Karena jika dimaafkan, maka kasus-kasus korupsi yang telah menyebabkan Negara Indonesia menderita kerugian yang sangat besar tidak akan dapat diproses. Dengan begitu pula, kasus-kasus korupsi yang berhubungan dengan kasus korupsi Soeharto, walaupun dilakukan oleh kroninya, akan sangat sulit dibuktikan di pengadilan.
Saat ini, mantan pejabat Orde Baru dan kroni Soeharto, berusaha memunculkan citra bahwa di masa kepemimpinan Soeharto merupakan masa-masa yang sangat indah dan tidak memiliki konflik sama sekali. Namun yang seharusnya jangan dilupakan adalah dengan praktek politik otoriterian Soeharto lah, maka terjadi kondisi kesenjangan- kesenjangan yang dialami saat ini. Kesejangan ekonomi dan sosial bahkan politik merupakan warisan dari masa kepemimpinan Orde Baru yang dinakhodai oleh Soeharto. Hal inilah yang ingin dihilangkan oleh para mantan pejabat dan kroni Soeharto dengan giat berpropaganda agar masyarakat Indonesia segera memaafkan dan melupakan dosa-dosa Soeharto.
Dengan dimaafkannya kejahatan kemanusiaan yang dilakukan oleh Soeharto, maka ini juga merupakan upaya sistematis agar masyarakat melupakan sejarah kelam dan memanipulasi sejarah Indonesia. Hal ini sebenarnya sudah dapat terlihat dengan terbentuknya opini dari masyarakat tentang sejarah-sejarah pelanggaran HAM, baik dari kasus 1965 sampai kasus 1998 yang menyatakan bahwa Soeharto merupakan pahlawan dan memang sudah seharusnyalah masyarakat yang menderita kerugian dari pelanggaran HAM tersebut mendapatkan ganjarannya. Artinya korban pelanggaran HAM, bukan hanya menjadi korban dari peristiwa pelanggaran HAM, namun mereka juga menjadi korban dari diskriminasi dari masyarakat yang dibentuk oleh pemerintahan Orde Baru.
Jika kata pengampunan atau pemaafan muncul dari kalangan mantan pejabat Orde Baru dan para kroninya, maka sebelum diampuni atau dimaafkan, seharunsya pemerintah terlebih dahulu menyatakan bahwa Soeharto memang bertanggungjawab terhadap kasus-kasus yang terjadi pada masa Orde Baru. Kemudian seharusnya juga dilakukan rehabilitasi dan pembersihan nama-nama korban pelanggaran HAM sehingga mereka dapat terlepas dari diskriminasi oleh masyarakat.
Yang lebih aneh lagi sebenarnya adalah para mantan pejabat Orde Baru dan kroninya, yang kita tahu bahwa mereka juga merupakan pelaku, beramai-ramai menyatakan seolah-olah hanya Soeharto lah yang bertanggungjawab terhadap kasus-kasus yang terjadi di masa lalu. Ini juga merupakan upaya sistematis dari para kroni Soeharto untuk mencuci tangan mereka dan menyatakan bahwa mereka tidak terlibat pada kasus-kasus pelanggaran HAM dan korupsi di masa lalu.
Dengan fenomena saat ini, yang beberapa mantan pejabat Orde Baru, kroni Soeharto dan pejabat pemerintahan saat ini menyatakan bahwa Soeharto harus dimaafkan, menunjukkan bahwa kekuatan mereka masih sangat besar. Bahkan beberapa pelaku yang dahulunya merupakan pejabat Orde Baru telah bergabung dengan partai-partai politik yang saat ini memiliki sangat besar. Kekuatan elemen Orde Baru telah merubah bentuknya menjadi sesuatu yang lebih bisa diterima oleh masyarakat, dan berhasil mempengaruhi sebagian masyarakat. Artinya kita juga harus mulai waspada terhadap kepentingan- kepentingan partai politik yang saat ini telah bergandengan erat dengan para pelaku pelanggar HAM dan korupsi, karena jelas hal ini akan merusak demokrasi di Indonesia.
Maka dari itu, kami dari Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP) menyatakan sikap:
Tolak isu untuk men-deponering kasus Soeharto karena hal itu akan melukai rasa keadilan rakyat Indonesia.
Pemerintah Indonesia harus tetap memproses kasus-kasus yang pernah terjadi pada masa lalu sehingga kebenaran sejarah di masa lalu dapat kita dapatkan.
Pemerintah Indonesia harus segera meluruskan sejarah Indonesia yang berkembang saat ini di masyarakat, karena jelas pelencengan terhadap sejarah Indonesia merupakan bentuk kebohongan publik yang dilakukan oleh Negara.
Pemerintah Indonesia harus tetap mengusut kasus-kasus pelanggaran HAM dan korupsi yang dilakukan oleh para pelaku di masa Orde Baru, baik yang dilakukan oleh Soeharto maupun para kroninya.
Dengan diusutnya kasus-kasus pelanggaran HAM dan korupsi yang dilakukan oleh Soeharto dan kroninya, merupakan pembelajaran demokrasi bagi rakyat Indonesia bahwa hukum dan demokrasi tetap harus dijalankan di Negara Indonesia.

12 Januari 2008
Komite Pusat Perhimpunan Rakyat Pekerja
Sekretaris JenderalIrwansyahKomite PusatPerhimpunan Rakyat Pekerja
JL Gading 9 No 12Pisangan Lama, Jakarta TimurPhone: (021) 93094075
Email: prppusat@gmail. com / prppusat@yahoo. com
Blogsite: rakyatpekerja. blogspot. comWebsite: www.prp-indonesia. org

Sabtu, 12 Januari 2008

Cerpen

Mengapa Kau Melipat Perempuan dalam Dompet, Sayangku..?
Oleh: R. Indira Hapsari

Pukul sembilan pagi itu, kereta api dari Purwokerto menuju Jember belum juga datang. Di stasiun ini, di kota Purworejo aku menunggu kereta sejak setengah jam yang lalu, Padahal tadi tergesa saat berpamitan pada ibu, menyiasati supaya sampai stasiun sesuai jadwal pemberangkatan kereta yang telah kuketahui beberapa hari lalu dari petugas informasi stasiun ini.
Laki-laki yang berumur sekitar lima puluh tahun itu sudah berdiri siaga di pinggir jalur dua, jalur kereta api menuju kota tujuannku. Lelaki bertubuh tinggi besar itu masih sangat lincah, namun raut muka itu, menunjukkan kegelisahan yang luar biasa, kegelisahan yang dia sembunyikan dalam senyuman dan kewibawaan khas seorang bapak. Dia menyangklong empat tas besar, dua dipundak kanan dan dua di pundak kiri, dua tas diantaranya berisi buku-buku ekonomi politik, budaya dan feminisme, minggu lalu aku memborong buku-buku itu di bursa buku murah di Yogya. Sama sekali dari raut mukanya tidak mengisyaratkan kelelahan. Aku tahu beliau semenjak kecil dan semenjak aku mulai bisa belajar mengingat. Dia adalah bapakku, lelaki itu memang selalu saja pandai menyembunyikan kesedihan, bahkan tiga hari yang lalu sepulang dari dokter, saat tanpa sengaja aku telah melakukan hal yang jahat kepadanya.
*
Kondisi fisikku melemah, setelah divonis terjangkiti paru-paru akut, maka dokter menyarankan supaya aku istirahat total sejenak. Boro-boro mikirin organisasi, kuliah pun sementara bolos karena kondisi tubuhku semakin membutuhkan perhatian dan perawatan khusus. Paru-paruku remuk, mungkin karena aku memang terlalu banyak begadang dan menghirup basahnya udara malam.
Masa-masa itu, ketika aku masih muda, lincah dan haus pemikiran-pemikiran baru sekedar menjawab keresahan-keresahan jiwaku yang mulai terbakar merindukan perubahan. Maka kujajali semua organisasi dan kelompok diskusi. Selanjutnya diskusi panjang dan rapat-rapat melelahkan adalah rutinitas. Dimulai dari tengah malam hingga dini hari, kadang di sekretariat, terkadang di warung kopi depan sekretasiat di jalan danau toba atau terkadang di lesehan alun-alun kota, kami memilih tempat diskusi lesehan di alun-alun yang berhadapan tepat dengan masjid agung, dimana para perempuan pelacur sedang bekerja lembur penuh resiko demi beberapa lembar puluhan ribu. Itu dulu, ketika aku masih belum terserang penyakit, ketika aku belum batuk yang dahaknya bercampur darah.
Keretaku melaju, setelah terlambat hampir dua jam. Sedangkan memoriku terus mundur, satu-persatu adegan-adegan yang telah lalu berkelebatan bercampur khayalan dan harapan, tiba-tiba muncul begitu saja tanpa bisa kucegah dan kupilah-pilah. Bapak tidur menyandarkan punggungnya, dia tertidur dengan sesekali teratuk ke kiri.
Kemudian senja yang berwarna jingga itu mulai berganti gelap. Gelap di luar tapi lebih gelap di dalam gerbong keretaku. Sampai stasiun Bangil Bapak mengajakku pindah ke gerbong depan. Kata bapak tidak aman karena gerbongku kini telah sepi dikarenakan sebagian besar penumpang turun di Surabaya. Ketika berjalan menuju gerbong depan kami memergoki sepasang manusia sedang asyik bergumul dalam kegelapan.
Ternyata gerbong depan pun tak banyak berpenumpang, lebih dari separuh kursi kosong. Bapak meletakkan tasku di pipa-pipa besi di atas tempat duduk. Kemudian dia merebahkan diri, berbantalkan tas yang berbentuk seperti tabung. Tak lama bapak tertidur mendengkur.
Aku pun mencoba untuk memenjamkan mata, aku merasa sangat lelah menempuh sepuluh jam perjalanan, ingin tidur, ingin istirahat, karena kereta sampai di stasiun Jember kira-kira masih 4 jam lagi. Entah mengapan, tiba-tiba aku ingin melihat keluar, melongok melalui jendela kereta yang melaju lamban, ingin kucari bintang atau bulan yang bersinar di hamparan langit hitam.
Semenjak kecil aku memang telah mengagumi langit, dalam keadaan apapun langit selalu terasa indah bagiku. Jika subuh langit berwarna ungu, jika siang berwarna putih kebiru-biruan, ketika petang jingga itu sangat menantang dan memberi semangat, ketika mendung akan lautan awan bergumpal-gumpal membentuk berbagai lukisan imajinasi. Bila hujan, langit akan terbelah oleh tajamnya pisau petir bersuara menggelegar. Dan langit malam adalah favoritku, karena kondisi langit—menurutku— sangat mempesona ditaburi jutaan bintang dan bulan yang menghiasinya.
Langit itu kuintip dibalik kaca memar jendela keretaku. Bapak sudah tidur dan mendengkur sangat keras. Hingga penumpang di sebelahku merasa terganggu seranya melirik dengan mata mengisyaratkan protes kepadaku. Tapi tidak sampai hati membangunkan bapak dari tidurnya, karena aku tahu dia sangat lelah, takkan kubangunkan bapakku dan menjalani lagi hidup yang sangat melelahkan ini, kubiarkan bapak tidur dan mendengkur sangat keras
Kuamati seluruh lorong kereta yang gelap, gelap yang asing, asing yang membuatku merasa sesak dan lemah. Kemudian aku melihatmu, wajahmu kulihat jelas meski gerbong ini gelap, kita saling bertatapan. Tapi kenapa kau tidak menyapaku? Mengapa pula kau tidak beranjak dan berpindah menuju kursiku. Mengapa pula aku tidak mengetahuimu semejak awal kalau kau menumpangi kereta yang sama denganku, dan sekarang kita satu gerbong. Tak taukah aku sungguh kangen ingin memelukmu dan memastikan kau dalam keadaan sehat, aku ingin segera bercerita banyak hal padamu, juga mengenai perselisihanku dengan bapak, aku telah menyakiti hatinya dan ini menyangkut kau kekasihku, tapi bukan hanya bapak saja yang tersakiti atas perselisihan itu, aku justru sebagai orang yang lebih menderita atas perselisihan tersebut. Sungguh, sayang, kemarilah, mendekatlah, ingin segera kutumpahkan kepadamu segera semua unek-unek yang mengisi penuh tempurung kepalaku, tanpa tersisa berbagi denganmu.
Tapi kau hanya memandangku dari kejauhan, dan siapa perempuan di sebelahmu itu? Siapakah dia? Aku ingat, sepertinya aku memang mengenalnya. Aku ingin mengingat-ingat siapa perempuan itu, tapi kemudian kau mengelus-elus dadanya. Apa yang kau lakukan pada perempuan itu kekasihku?
Kau mencumbuinya dengan kebanggaan luar biasa yang sengaja kau pamerkan padaku. Kemudian tanganmu yang lentik itu berlahan menyusuri pahanya yang berbalut rok berbahan katun itu berlahan. Lalu kenapa kau memasukkan tanganmu jauh…jauh kedalam, aku tak tahu pasti apa yang kau lakukan dengan tangan atau jari-jari mu, yang kutahu perempuan itu mendesis-desis seperti ular, dan tanganmu semakin tak beraturan mengeranyangi seluruh tubuhnya.
Aku melihat dengan jelas semua yang kau lakukan padanya dan aku melihat sinar mata yang penuh kemenangan meruntuhkan seluruh keberanianku untuk melarangmu. Segera kuurungkan niatku untuk menghampirimu, sayangku.
Kini aku mulai berteriak-teriak hingga seluruh gerbong bangun dari tidurnya. Aku berteriak supaya kekasihku malu bergumul di gerbongku. Mereka semua dalam kegelapan melongo dan menatapku seolah bertanya mengapa aku berteriak-teriak tidak jelas penyebabnya. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, aku langsung mengacungkan telunjukku di tempat kekasih ku bergumul bercumbu bebas. Aku ingin kau malu dan menghentikannya, sayangku. Tapi entah apa yang terjadi, semua orang-orang malah menganggapku sudah gila, mereka bertanya mengapa telunjukku menuding-nuding seperti kesurupan.
Mereka tak melihat apapun, mereka tak mampu melihatmu, mereka semua buta. Kemudian mereka, para penumpang itu tertidur lagi dalam sebuah perjalanan yang melelahkan dalam aroma udara besi yang memuakkan.
Aku yakin aku melihat semua yang kau lakukan, aku melihatmu jelas bercumbu dengannya. Bahkan kini kau menghisap buah dadanya, dan yang kau lakukan kini benar-benar keterlalukan. Kau mulai membuka resleting celanamu, kau menyibakkan rok perempuan itu, dan kau menungganginya seperti menunggangi kuda, pinggulmu naik turun seperti sedang memacu kuda supaya berlari kencang-kencangnya.
Aku tidak lagi bisa memahami apa yang kau lakukan, yang kutahu saat itu nafasku mulai sesak, dan mataku mulai panas…kemudian kedua pipiku kuyup. Di sela-sela dengkuran bapak, isakkan tangisku jelas menyanyat seperti long-longan penuh kenyerian, dan orang-orang digerbong itu semakin pulas.
Kuputuskan untuk bersembunyi di bawah kursi kereta, aku ingin kau menghilang dari penglihatanku. Aku ingin melupakan apa yang baru saja kulihat dengan mata kepalaku sendiri.
*
Pukul sebelas malam akhirnya kereta tiba di kota tujuanku. Kau dan perempuanmu itu pun turun. Aku sengaja tidak turun menunggu kau pergi dulu, aku juga tidak akan menyapamu..tidak akan, lagi pula untuk apa? setelah semua yang kau lakukan? Ingin kulupakan perlakuanmu yang tanpa perasan dan belas kasihan itu, seumur hidupku takkan kuingat lagi. Kulihat dari kaca yang remuk di gelap gerbong kereta ini, kau dan perempuan itu naik becak, mungkin kalian tidak akan pulang ke kost tapi mungkin saja kalian akan mememesan kamar hotel dan melanjutkan mencumbuinya sepuasmu, sekehendakmu, sayangku.
Setelah yakin kau menghilang, kubangunkan bapak yang tertidur pulas, kemudian kami turun. Aku tidak diperbolehkan membawa barang atau tas satu pun, semua ingin ditanggung bapak.

Aku ingin langsung pulang kos karena kecapekan, tapi tunggu… Kenapa kau menghampiriku, di mana perempuan tadi. Kenapa kau tersenyum seolah tidak terjadi apapun.
“Untuk apa kau kemari?” tanyaku.
Dan kau menjawab ringan, “Aku menjemputmu, malam ini biar bapakmu menginap di kontraanku saja”
Aku jadi semakin bingung,”lalu mana perempuan itu?” aku menanyaimu.
Kau menjawab pertanyaaku seperti biasa dengan balik bertanya”perempuan mana?”
Dari tadi aku menunggumu di sini, sudah dua jam aku menunggu datangnya keretamu, aku sedirian tidak bersama siapapun apa lagi bersama seorang perempuan”
“Tapi tadi kau dalam gerbong di kereta itu” aku menunjuk kereta yang baru saja kutumpangi.
kau tersenyum dan berkata “kamu salah lihat barang kali?”
Aku semakin bingung, tubuhku menjadi terasa semakin enteng, dan pengliahatanku menjadi kabur semuanya memutih..kemudian banyangan-banyangan itu bersliweran, kenyataan, pemgalaman, kayalan, dan cerita-cerita orang-orang bersliweran tak beraturan dalam otakku yang kian mendidih, kepalaku serasa panas, namun aku masih sempat merasakan butiran-butitan dingin menetes mengenai lengan tanganku…aku masih sempat melihat ekspresi kesedihan bapak… aku merasa bapak mulai menangis dan bingung bertanya., rumah sakit mana yang letaknya ada di dekat stasiun. Setelah itu aku lupa…karena semua serba putih…semuanya mendadak menjadi serba tidak jelas dan tapi aku masih ingat, perempuan itu kau lipat dan kau simpan dalam dompetmu.

untuk Na-ku, kemarin diam2 aq mengamatimu melihat senja itu...
23.50 WIB
Jember, 11 Januari 2008

Rabu, 09 Januari 2008

Sakit Soekarno, Soeharto, dan Bangsa Ini

Oleh: Endang Suryadinata
Peminat sejarah Indonesia- Belanda, alumnus Erasmus Universiteit Rotterdam

Setiap orang pernah sakit. Tak ada orang yang bisa lolos, termasukmereka yang pandai menjaga kesehatan sekalipun, kadang bisa sakit.Bahkan sekuat dan sehebat apa pun penguasa dunia ini, hidupnya jugabisa terancam sakit. Tak terkecuali dua presiden negeri ini, Soekarnodan Soeharto.
Kita mulai dari Soekarno. Presiden Pertama RI Soekarno positifmengidap gangguan ginjal dan pernah dirawat di Wina pada 1961 dan1964. Takut ginjal kirinya diangkat, seperti disarankan Prof Dr KFellinger dari Fakultas Kedokteran Wina, Bung Karno lebih menyukaiobat tradisional China atau melakukan akupunktur. Selama menjadiPresiden, layanan kesehatan untuk mengatasi sakit Bung Karno masihbaik-baik dan proporsional.
Namun, setelah peristiwa kudeta merangkak, yakni Supersemar 1966, dansecara perlahan tetapi pasti kekuasannya “dipreteli”, layanankesehatan kepada Bung Karno bisa dikatakan amat tidak memadai, bahkansangat minim. Bayangkan, untuk urusan sakit gigi saja, Bung Karnoharus diawasi ketat, padahal dia masih menjabat sebagai presidenhingga Maret 1967.
Kisah itu boleh jadi pernah kita baca dari buku yang ditulis drg OeiHong Kian, dokter gigi pribadi Bung Karno, seperti pernah ditulismajalah Intisari.
Kisahnya terjadi pada Januari 1967, saat drg Oei Hong Kian diminta keIstana Negara karena Bung Karno sakit gigi. Karena peralatan gigi diIstana sudah amat kuno, terpaksa alat-alat Dr Oei diangkut ke Istana.Pasalnya, saran drg Oei Hong Kian agar Bung Karno dirawat di tempatpraktiknya tidak diterima.
Lebih parah lagi, ketika Bung Karno harus terusir dari istana, pasca-Soeharto diangkat jadi Pejabat Presiden pada Maret 1967, secara resmiBung Karno menjalani karantina atau tahanan rumah di Bogor. Sejaksaat itu, layanan untuk mengatasi sakit Bung Karno bisa dikatakankurang bagus. Dunia luar, bahkan keluarga dekat Bung Karno, pun tidaktahu kondisi Bung Karno yang sebenarnya. Yang sedikit kita tahu,menurut pengakuan Mahar Mardjono, saat Bung Karno sakit, obat yangdiresepkan hanya disimpan di laci karena ada pesan demikian.
Tidak heran jika kemudian menyebar kasak-kusuk Soekarno ditelantarkanatau dibiarkan menderita sakit tanpa penanganan medis memadai. Dariucapan Mahar Mardjono kita tahu, ternyata dokter di Indonesia masihbelum bisa independen karena masih bisa ditekan oleh kekuatan politiksehingga standar pelayanan medis yang sepantasnya tidak diberikankepada pasien. Tidak heran di saat-saat akhir hidupnya, fisik BungKarno tampak sangat memprihatinkan.
Akhirnya sosok kelahiran Blitar, 6 Juni 1901, itu wafat dalamkesepian pada 20 Juni 1970, tanpa ada liputan semarak media.Kenyataan pahit akan sakitnya Bung Karno selama ini ditutupi, padahalseharusnya para saksi sejarah berani berbicara untuk mengungkap apayang sebenarnya terjadi.

Pelayanan Soeharto
Pelayanan terhadap Soekarno berbeda sekali dengan pelayanan medisuntuk Soeharto pascalengsernya pada 21 Mei 1998. Tim dokter langsungdibentuk, bahkan berasal dari dokter-dokter terbaik negeri ini.Bahkan, ketika baru-baru ini ada yang tak beres dengan usus PakHarto, operasi dengan tenaga serta alat-alat medis tercanggih pundilakukan. Para pejabat negara atau tamu-tamu lain berdatanganmembesuk. Kita gembira melihat mantan orang kuat Orba itu sembuh,seperti diberitakan Kompas (9/5).
Jadi, pelayanan medis kepada para mantan presiden seharusnya sepertiyang diberikan kepada Soeharto. Juga dengan liputan media yang luassehingga rakyat tahu akan kondisi mantan presidennya. Tidak perlu adasejarah yang ditutupi. Kita tidak perlu dendam pada Soeharto, tetapiproses hukum terhadapnya perlu dilakukan demi kejelasan sejarah.Setelah proses hukum selesai, kita semua harus rela memaafkanSoeharto, seperti disarankan Abdurrahman Wahid (Gus Dur).

Otokritik
Jika menyimak sakit Bung Karno, kemudian sakit Soeharto, ada sesuatuyang membuat kita harus berani melakukan otokritik. Ternyata, jujurharus diakui, kita sering diliputi ketakutan menatap sejarah parapemimpin kita, yang di dalamnya juga terangkum sejarah masa lalu kitasebagai bangsa. Sikap demikian jelas tidak menunjukkan kematangansama sekali.
Akibatnya, seperti dikatakan Amien Rais di berbagai kesempatan, kitasebenarnya merupakan bangsa yang sakit. Meski berbagai diagnosissudah dilakukan, di antaranya meminta bantuan IMF dan Bank Dunia,penyakitnya belum sembuh, bahkan kian parah.
Yang lebih menyedihkan, kita juga menjadi bangsa besar yang amatminim dengan rasa percaya diri. Kita sering dihinggapi rasa minder,boleh jadi karena utang kita yang 150 miliar dollar AS. Kitaberkewajiban agar bisa sembuh dari sakit dan kembali menggapaikejayaan seperti di era Majapahit. Bagaimana caranya?
Tentu ada banyak jawaban. Tetapi, dari perspektif sejarah, kita perlumenjadi bangsa yang berani menatap masa lalu. Misalnya, hingga kinimasih banyak kasus dari masa lalu yang coba ditutupi, mulai dariTragedi 1965 hingga Tragedi Mei 1998. Ada jutaan korban atau anakcucu korban yang masih terstigma oleh kasus ini atau itu.
Konyolnya, pemerintah sendiri takut menghadapi kenyataan sejarah. Inibisa dibaca dari terbengkalainya RUU Komisi Kebenaran danRekonsiliasi yang diundangkan Presiden Megawati Soekarnoputri, 6Oktober 2004. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang seharusnyaterbentuk 6 April 2005 belum bisa dibentuk di era Presiden SusiloBambang Yudhoyono (Kompas, 22/4). Konyolnya, banyak orang meremehkanrekonsiliasi. Untuk apa? tanya mereka.
Padahal, meremehkan rekonsiliasi sama dengan meremehkan masa laluatau mengabaikan sejarah sendiri. Akibatnya, kita tetap menjadibangsa yang gagal. Bukan bangsa yang unggul, seperti diharapkanSusilo Bambang Yudhoyono. Tocqueville (1805-1859) mengingatkankita, “Karena masa lalu gagal menerangi masa depan, benak manusiamengelana di tengah kabut”.

Minggu, 06 Januari 2008

Gerimis

Oleh: R. Indira Hapsari
Malam adalah kesunyian, di luar hujan gerimis. Kutinggalkan rumahku tak berpenghuni, cahaya yang menerangi rumah pun kuajak, kubiarkan saja gubuk gelap gulita.
Menyusuri jalan menunuju kali dengan langkah lamban, karena berhati-hati. Kutembus hawa sejuk yang gelap oleh siluet pohon pring ditepi jalan. Rintik air yang jatuh dari atas tak mampu menampar wajahku, mataku pun masih mampu melihat gendruwo dan wewe di seberang kali yang hening dan mencekam. Sesekali aku mendengar iblis tertawa menggelegar, biar saja...! kali ini aku takkan menghiraukan apakah iblis itu mentertawakanku atau tidak.
Lampu minyak ditangan kiriku menyala kecil seperti banaspati mungil. Senyap...langkahku tak terdengar. Sandal jepitku satu-satunya digondol asu milik tetanggga, sandal jepit dianggapnya mainan, seperti balita yang berjingkrak bersama boneka barunya.
Tapi bagaimanapun juga aku lebih menghormati asu dari pada binatang apaupun, bahkan dari pada menungso yang selalu tergantung. Paling tidak asu bisa bertahan hidup tanpa menjadi parasit. Asu biasa mencari makanan sediri, tidak pernah ditemukan asu mati karena tidak diberi makan majikannya. Asu adalah binatang setia, selalu melindungi majikkan seperti di serial komik tin-tin. Tokoh Tin-tin dan asunya yang bernama Timmy, aku selalu disuguhi cerocos petualangan Tin-tin dan Timmy yang sangat diidolakan cucuku. Cucu laki-laki satu-satunya dari anak perempuanku yang tidak bersuami, suaminya menghilang tanpa jejak, sebelum ia sempat bertanya kepada kami para perempuan, mengenai keterkaitan senggama dengan cinta dan tanggung jawab.
Kunikmati lempung lengket dan duri-duri semak yang tak sengaja terinjak oleh kakiku yang telanjang. Lalu kulangkahkan kaki untuk melampaui jembatan tua yang jika kuinjakkan kakiku di atasnya maka akan berderit, mengeluarkan bunyi “krrreeeek”.
Jembatan dari kayu kulampaui, tujuanku adalah seberang kali. Jembatan yang dibangun ketika umurku tujuh tahun. Orang-orang membangunnya beramai-ramai. Truk raksasa mengangkut potongan kayu-kayu pondasi jembatan. Yang sangat kuingat adalah sopir truk berperawaan seperti buto, berwajah masam, memakai kaca mata hitam dan handuk kumal selalu tersampir di lehernya. Handuk itu selalu dia gunakan untuk mengelap mukanya dengan kasar saat berkeringat.
Mbokku mengatakan, “Kalau kau nakal, maka akan dijadikan tumbal pembangunan jembatan. Mereka akan menculikmu dan memasukkanmu dalam karung, kemudian kepalamu dipenggal dan ditanam di dasar kali sebagai fondasi jembatan.”

*
Pekerjaan ini memang tidak mudah, tapi entah perasaan kuat selalu mendorongku untuk melakukannya. Sejak sepuluh tahun lalu desa ini mengalami bencana banjir dan tanah longsor yang mengubur hidup-hidup keluarga kecil yang kumiliki, anak perempuanku dan cucu satu-satunya terkubur tanah longsor, meratakan rumah kami yang renta, menggulung tanaman katu, kangkung, bayam, lombok, kates dan pisang disamping rumah. Kuntum mawar, melati dan kelopak bunga sepatu luluh lantak bercampur kesunyian dan harapan kami, hanyut, remuk, tertimbun bersama lumpur dan puluhan orang lainnya.
*
Sejak petang tadi hujan mengguyur deras, aku kesini hanya memastikan untuk mewaspadai terjadinya bencana banjir ataupun longsor.
Mereka memang tak memikirkan nasib wong cilik seperti kami. Seolah bencana sepuluh tahun lalu hanya berita kosong mlompong tak bermakna yang dicetak surat kabar, namun hingga sekarang tak ada keniatan untuk merimbunkan lagi hutan di lereng gunung ini. Huh, mereka semua sembrono..

**

Jember, tahun 2006

Sabtu, 05 Januari 2008

Sinetron, Penebar Cinta Palsu

*Oleh: R. Indira Hapsari

Televisi merupakan media informasi yang sangat mendominasi kehidupan masyarakat. Bukan hanya kalangan atas, TV tidak lagi barang mewah yang sulit didapatkan pada kehidupan masyarakat miskin. Bila kita jeli, di gubuk-gubuk dan perumahan kumuh di sudut-sudut kota yang hanya terdapat satu ruangan sebagai tempat tinggal sebuah keluarga, disana dengan mudah bisa kita temukan TV nangkring manis diantara kasur untuk tidur bersama (tanpa sekat antara orangtua dan anak-anak), sekaligus ruang keluarga bahkan terkadang juga ruangan seadanya tersebut mendadak menjadi dapur.
Ada hal yang aneh yang menimpa pada hampir seluruh stasiun TV di Indonesia, yaitu ketidakseimbangan prosentase acara-acara di televisi yang sangat mengejutkan. Menurut data sebuah buku yang berjudul ”Matikan TV-mu” TV di Indonesia, 60% lebih acaranya adalah hiburan, seperti gosip dan sinetron. Sisanya, dengan prosentase yang minim adalah berita, namun kualitas, substansi maupun transformasi informasi yang positif masih patut dipertanyakan. Pasalnya, berita dalam kemasan khusus pemberitaan kriminalitas justru semakin menaikkan emosi masyarakat yang sedang mengalami kesulitan hidup akibat mahalnya kebutuhan yang semakin menuntut untuk segera dipenuhi, ironisnya pada saat itu masyarakat sekaligus menjadi manusia yang gampang menyerah karena sinetron-sinetron yang bertopeng agama melemahkan keberanian dan inisiatif untuk mempertanyakan ketidakadilan yang menimpa. Selain itu tanpa ampun masyarakat terus menerus diteror oleh gaya hidup artis-selebritis, yang menebarkan budaya glamour hingga menginjeksi kesadaran manusia untuk sekedar menjadi konsumen.
Sinetron remaja yang didominasi oleh cerita cinta, akan tetapi sebatas cinta ekslusif antara sepasang kekasih yang sifatnya dangkal dan pragmatis. Yang ditonjolkan biasanya berupa fasilitas-fasilitas mewah, cara berdandan yang mencolok, saling memberikan kado sebagai pernyataan kasih-sayang, semakin mahal kado tersebut berarti semakin terbukti keseriusan cinta. Bagaimana mungkin kualitas cinta bisa direduksi oleh sogokan-sogokan materiil dan kemudahan hidup? Kenyataannya memang sinetron remaja tidak menggambarkan wajah relasi kasih yang demokratis, kreatif dan produktif, namun sebaliknya dangkal, materialistik, mengabaikan nilai-nilai kemanusiaan dan mengabaikan kapasitas berfikir manusia. Hingga pemahaman cinta yang sebenarnya memudar bahkan terkadang justru menjadi lelucon dalam sinetron. Makna cinta dan saling mengasihi terhadap lingkungan dan relasi yang lebih besar telah terabaikan.
Fenomena yang terjadi kini secara tidak sadar segala kegiatan manusia dalam beraktivitas menjalani kehidupan sehari-hari, dalam berhubungan dengan orang lain, dengan sesama manusia, dikendalikan oleh hubungan pertukaran jual-beli, di mana uang sebagai simbol pertukaran memainkan peran penting. Hubungan itu terlembagakan dalam keinginan, pikiran, nafsu, penalaran, kesadaran, dan dalam waktu yang lama terendap dalam alam bawah sadar; kemudian menjadi watak psikologis setiap manusia yang hidup dalam dunia materialistik ini.
Memang di era pasar bebas seperti sekarang ini, di mana hubungan produksi juga mengadopsi simbol berupa uang, maka watak dan pola relasi antar manusia dikendalikan oleh hubungan produksi yang disimbolkan oleh uang. Uang dan barang mengatur hubungan manusia: uang adalah alat komunikasi, dan juga pelembagaan nilai-nilai yang dianggap ideal. Pertukaran yang tidak langsung karena adanya alat uang ini, juga berakibat pada dimunculkannya kategori-kategori apa saja yang bisa digunakan untuk menghasilkan uang. Kategori ini disebut faktor produksi: di dalamnya termasuk modal (atau uang itu sendiri), tanah, tenaga kerja (manusia), dan apa saja yang bisa digunakan untuk menghasilkan uang; pada perkembangannya termasuk ide-ide, citra (image), bahkan agama dan kebohongan itu sendiri.

Menggapai Cinta Sejati
Dalam menjaga hubungan eksklusif dan cara mengekspresikan rasa sayang atau cinta seharusnya bukan hanya kata atau konsep, atau juga keindahan yang bisa diperjual-belikan. Kasih sayang tidak dianggap sebagai hubungan dan upaya menciptakan lembaga dan undang-undang yang memungkinkan hubungan itu didasari oleh pemberian dan penerimaan secara tulus tanpa klaim-klaim kepemilikan pribadi dan keunggulan antar sesama. Esensi kasih-sayang adalah pemberian tulus-ikhlas untuk menuju otentisitas manusia sebagai subjek, bukan objek. Hilangnya cinta ternyata tidak dipahami dari hilangnya komunikasi yang sehat dan keharmonisan hubungan, masyarakat yang hidup dalam warna pemberian dan penerimaan sebagai akibat hubungan dagang dan komersial dalam sistem kapitalisme ini masih menganggap bahwa cinta komersial, terutama dari sektor propaganda lewat iklan, artis dan film populer ataupun sinetron, yang diteriakkan tanpa sadar.
Sehingga berkaitan dengan konsep cinta, rekayasa nilai-nilai komersial yang telah merasuk pada kesadaran manusia telah menghilangkan elemen-elemen terdasar dari cinta sejati, yaitu relasi kasih yang tidak melupakan relasi lebih luas yang sifatnya lebih permanen serta dapat dipertanggungjawabkan. Dan untuk merekonstruksinya kembali, diperlukan ikhtiar kemanusiaan yang harus didukung oleh syarat-syarat sosial-politik untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat.


*mahasiswa Sosiologi FISIP Universitas Jember; aktivis KiPaS (Komite Independen Perempuan dan Anak untuk Aksi Sosial) Jember.