Sabtu, 12 Januari 2008

Cerpen

Mengapa Kau Melipat Perempuan dalam Dompet, Sayangku..?
Oleh: R. Indira Hapsari

Pukul sembilan pagi itu, kereta api dari Purwokerto menuju Jember belum juga datang. Di stasiun ini, di kota Purworejo aku menunggu kereta sejak setengah jam yang lalu, Padahal tadi tergesa saat berpamitan pada ibu, menyiasati supaya sampai stasiun sesuai jadwal pemberangkatan kereta yang telah kuketahui beberapa hari lalu dari petugas informasi stasiun ini.
Laki-laki yang berumur sekitar lima puluh tahun itu sudah berdiri siaga di pinggir jalur dua, jalur kereta api menuju kota tujuannku. Lelaki bertubuh tinggi besar itu masih sangat lincah, namun raut muka itu, menunjukkan kegelisahan yang luar biasa, kegelisahan yang dia sembunyikan dalam senyuman dan kewibawaan khas seorang bapak. Dia menyangklong empat tas besar, dua dipundak kanan dan dua di pundak kiri, dua tas diantaranya berisi buku-buku ekonomi politik, budaya dan feminisme, minggu lalu aku memborong buku-buku itu di bursa buku murah di Yogya. Sama sekali dari raut mukanya tidak mengisyaratkan kelelahan. Aku tahu beliau semenjak kecil dan semenjak aku mulai bisa belajar mengingat. Dia adalah bapakku, lelaki itu memang selalu saja pandai menyembunyikan kesedihan, bahkan tiga hari yang lalu sepulang dari dokter, saat tanpa sengaja aku telah melakukan hal yang jahat kepadanya.
*
Kondisi fisikku melemah, setelah divonis terjangkiti paru-paru akut, maka dokter menyarankan supaya aku istirahat total sejenak. Boro-boro mikirin organisasi, kuliah pun sementara bolos karena kondisi tubuhku semakin membutuhkan perhatian dan perawatan khusus. Paru-paruku remuk, mungkin karena aku memang terlalu banyak begadang dan menghirup basahnya udara malam.
Masa-masa itu, ketika aku masih muda, lincah dan haus pemikiran-pemikiran baru sekedar menjawab keresahan-keresahan jiwaku yang mulai terbakar merindukan perubahan. Maka kujajali semua organisasi dan kelompok diskusi. Selanjutnya diskusi panjang dan rapat-rapat melelahkan adalah rutinitas. Dimulai dari tengah malam hingga dini hari, kadang di sekretariat, terkadang di warung kopi depan sekretasiat di jalan danau toba atau terkadang di lesehan alun-alun kota, kami memilih tempat diskusi lesehan di alun-alun yang berhadapan tepat dengan masjid agung, dimana para perempuan pelacur sedang bekerja lembur penuh resiko demi beberapa lembar puluhan ribu. Itu dulu, ketika aku masih belum terserang penyakit, ketika aku belum batuk yang dahaknya bercampur darah.
Keretaku melaju, setelah terlambat hampir dua jam. Sedangkan memoriku terus mundur, satu-persatu adegan-adegan yang telah lalu berkelebatan bercampur khayalan dan harapan, tiba-tiba muncul begitu saja tanpa bisa kucegah dan kupilah-pilah. Bapak tidur menyandarkan punggungnya, dia tertidur dengan sesekali teratuk ke kiri.
Kemudian senja yang berwarna jingga itu mulai berganti gelap. Gelap di luar tapi lebih gelap di dalam gerbong keretaku. Sampai stasiun Bangil Bapak mengajakku pindah ke gerbong depan. Kata bapak tidak aman karena gerbongku kini telah sepi dikarenakan sebagian besar penumpang turun di Surabaya. Ketika berjalan menuju gerbong depan kami memergoki sepasang manusia sedang asyik bergumul dalam kegelapan.
Ternyata gerbong depan pun tak banyak berpenumpang, lebih dari separuh kursi kosong. Bapak meletakkan tasku di pipa-pipa besi di atas tempat duduk. Kemudian dia merebahkan diri, berbantalkan tas yang berbentuk seperti tabung. Tak lama bapak tertidur mendengkur.
Aku pun mencoba untuk memenjamkan mata, aku merasa sangat lelah menempuh sepuluh jam perjalanan, ingin tidur, ingin istirahat, karena kereta sampai di stasiun Jember kira-kira masih 4 jam lagi. Entah mengapan, tiba-tiba aku ingin melihat keluar, melongok melalui jendela kereta yang melaju lamban, ingin kucari bintang atau bulan yang bersinar di hamparan langit hitam.
Semenjak kecil aku memang telah mengagumi langit, dalam keadaan apapun langit selalu terasa indah bagiku. Jika subuh langit berwarna ungu, jika siang berwarna putih kebiru-biruan, ketika petang jingga itu sangat menantang dan memberi semangat, ketika mendung akan lautan awan bergumpal-gumpal membentuk berbagai lukisan imajinasi. Bila hujan, langit akan terbelah oleh tajamnya pisau petir bersuara menggelegar. Dan langit malam adalah favoritku, karena kondisi langit—menurutku— sangat mempesona ditaburi jutaan bintang dan bulan yang menghiasinya.
Langit itu kuintip dibalik kaca memar jendela keretaku. Bapak sudah tidur dan mendengkur sangat keras. Hingga penumpang di sebelahku merasa terganggu seranya melirik dengan mata mengisyaratkan protes kepadaku. Tapi tidak sampai hati membangunkan bapak dari tidurnya, karena aku tahu dia sangat lelah, takkan kubangunkan bapakku dan menjalani lagi hidup yang sangat melelahkan ini, kubiarkan bapak tidur dan mendengkur sangat keras
Kuamati seluruh lorong kereta yang gelap, gelap yang asing, asing yang membuatku merasa sesak dan lemah. Kemudian aku melihatmu, wajahmu kulihat jelas meski gerbong ini gelap, kita saling bertatapan. Tapi kenapa kau tidak menyapaku? Mengapa pula kau tidak beranjak dan berpindah menuju kursiku. Mengapa pula aku tidak mengetahuimu semejak awal kalau kau menumpangi kereta yang sama denganku, dan sekarang kita satu gerbong. Tak taukah aku sungguh kangen ingin memelukmu dan memastikan kau dalam keadaan sehat, aku ingin segera bercerita banyak hal padamu, juga mengenai perselisihanku dengan bapak, aku telah menyakiti hatinya dan ini menyangkut kau kekasihku, tapi bukan hanya bapak saja yang tersakiti atas perselisihan itu, aku justru sebagai orang yang lebih menderita atas perselisihan tersebut. Sungguh, sayang, kemarilah, mendekatlah, ingin segera kutumpahkan kepadamu segera semua unek-unek yang mengisi penuh tempurung kepalaku, tanpa tersisa berbagi denganmu.
Tapi kau hanya memandangku dari kejauhan, dan siapa perempuan di sebelahmu itu? Siapakah dia? Aku ingat, sepertinya aku memang mengenalnya. Aku ingin mengingat-ingat siapa perempuan itu, tapi kemudian kau mengelus-elus dadanya. Apa yang kau lakukan pada perempuan itu kekasihku?
Kau mencumbuinya dengan kebanggaan luar biasa yang sengaja kau pamerkan padaku. Kemudian tanganmu yang lentik itu berlahan menyusuri pahanya yang berbalut rok berbahan katun itu berlahan. Lalu kenapa kau memasukkan tanganmu jauh…jauh kedalam, aku tak tahu pasti apa yang kau lakukan dengan tangan atau jari-jari mu, yang kutahu perempuan itu mendesis-desis seperti ular, dan tanganmu semakin tak beraturan mengeranyangi seluruh tubuhnya.
Aku melihat dengan jelas semua yang kau lakukan padanya dan aku melihat sinar mata yang penuh kemenangan meruntuhkan seluruh keberanianku untuk melarangmu. Segera kuurungkan niatku untuk menghampirimu, sayangku.
Kini aku mulai berteriak-teriak hingga seluruh gerbong bangun dari tidurnya. Aku berteriak supaya kekasihku malu bergumul di gerbongku. Mereka semua dalam kegelapan melongo dan menatapku seolah bertanya mengapa aku berteriak-teriak tidak jelas penyebabnya. Aku tidak menyia-nyiakan kesempatan itu, aku langsung mengacungkan telunjukku di tempat kekasih ku bergumul bercumbu bebas. Aku ingin kau malu dan menghentikannya, sayangku. Tapi entah apa yang terjadi, semua orang-orang malah menganggapku sudah gila, mereka bertanya mengapa telunjukku menuding-nuding seperti kesurupan.
Mereka tak melihat apapun, mereka tak mampu melihatmu, mereka semua buta. Kemudian mereka, para penumpang itu tertidur lagi dalam sebuah perjalanan yang melelahkan dalam aroma udara besi yang memuakkan.
Aku yakin aku melihat semua yang kau lakukan, aku melihatmu jelas bercumbu dengannya. Bahkan kini kau menghisap buah dadanya, dan yang kau lakukan kini benar-benar keterlalukan. Kau mulai membuka resleting celanamu, kau menyibakkan rok perempuan itu, dan kau menungganginya seperti menunggangi kuda, pinggulmu naik turun seperti sedang memacu kuda supaya berlari kencang-kencangnya.
Aku tidak lagi bisa memahami apa yang kau lakukan, yang kutahu saat itu nafasku mulai sesak, dan mataku mulai panas…kemudian kedua pipiku kuyup. Di sela-sela dengkuran bapak, isakkan tangisku jelas menyanyat seperti long-longan penuh kenyerian, dan orang-orang digerbong itu semakin pulas.
Kuputuskan untuk bersembunyi di bawah kursi kereta, aku ingin kau menghilang dari penglihatanku. Aku ingin melupakan apa yang baru saja kulihat dengan mata kepalaku sendiri.
*
Pukul sebelas malam akhirnya kereta tiba di kota tujuanku. Kau dan perempuanmu itu pun turun. Aku sengaja tidak turun menunggu kau pergi dulu, aku juga tidak akan menyapamu..tidak akan, lagi pula untuk apa? setelah semua yang kau lakukan? Ingin kulupakan perlakuanmu yang tanpa perasan dan belas kasihan itu, seumur hidupku takkan kuingat lagi. Kulihat dari kaca yang remuk di gelap gerbong kereta ini, kau dan perempuan itu naik becak, mungkin kalian tidak akan pulang ke kost tapi mungkin saja kalian akan mememesan kamar hotel dan melanjutkan mencumbuinya sepuasmu, sekehendakmu, sayangku.
Setelah yakin kau menghilang, kubangunkan bapak yang tertidur pulas, kemudian kami turun. Aku tidak diperbolehkan membawa barang atau tas satu pun, semua ingin ditanggung bapak.

Aku ingin langsung pulang kos karena kecapekan, tapi tunggu… Kenapa kau menghampiriku, di mana perempuan tadi. Kenapa kau tersenyum seolah tidak terjadi apapun.
“Untuk apa kau kemari?” tanyaku.
Dan kau menjawab ringan, “Aku menjemputmu, malam ini biar bapakmu menginap di kontraanku saja”
Aku jadi semakin bingung,”lalu mana perempuan itu?” aku menanyaimu.
Kau menjawab pertanyaaku seperti biasa dengan balik bertanya”perempuan mana?”
Dari tadi aku menunggumu di sini, sudah dua jam aku menunggu datangnya keretamu, aku sedirian tidak bersama siapapun apa lagi bersama seorang perempuan”
“Tapi tadi kau dalam gerbong di kereta itu” aku menunjuk kereta yang baru saja kutumpangi.
kau tersenyum dan berkata “kamu salah lihat barang kali?”
Aku semakin bingung, tubuhku menjadi terasa semakin enteng, dan pengliahatanku menjadi kabur semuanya memutih..kemudian banyangan-banyangan itu bersliweran, kenyataan, pemgalaman, kayalan, dan cerita-cerita orang-orang bersliweran tak beraturan dalam otakku yang kian mendidih, kepalaku serasa panas, namun aku masih sempat merasakan butiran-butitan dingin menetes mengenai lengan tanganku…aku masih sempat melihat ekspresi kesedihan bapak… aku merasa bapak mulai menangis dan bingung bertanya., rumah sakit mana yang letaknya ada di dekat stasiun. Setelah itu aku lupa…karena semua serba putih…semuanya mendadak menjadi serba tidak jelas dan tapi aku masih ingat, perempuan itu kau lipat dan kau simpan dalam dompetmu.

untuk Na-ku, kemarin diam2 aq mengamatimu melihat senja itu...
23.50 WIB
Jember, 11 Januari 2008

Tidak ada komentar: