Senin, 24 Desember 2007

Cerpen


Pemberontakan Kecil
Oleh: Ken Ratih Indri Hapsari

Ia sisir lagi jalan itu. Bulan sabit dan jutaan bintang di langit membujuknya mengakui keesaan-Nya. Dalam malam itu ia berjalan, tubuhnya gemetar kedinginan, nyaris beku.
Ia menapak tilas pergerakan siang tadi bersama 25 kawannya yang merindukan kemenangan rakyat. Sungguh melempar diri ke jalanan bukanlah hal sulit. Hanya butuh kesadaran, keberanian, dan cinta. Karena cinta tanah ini, maka menjaganya dengan keberanian sampai ujung kematian.
Di perjalanan itu ia bertanya. Begitu sulitkah untuk mencintai pertiwi ini? Ah…tentu saja ngapain repot-repot mikir negara, lebih enak jalan-jalan di mall, terus belanja macam-macam aksesoris, supaya mirip bintang pujaan di televisi. Yeah…kapitalis memang cerdik. Kini rasa nilai-nilai yang diyakini manusia terjungkir balik. Cinta, tawa, nafsu, maut, kepedihan semuanya terbalut kehampaan luar biasa. Marx benar ‘kapital menukarkan setiap kualitas dan objek dengan setiap yang lainnya, sekalipun kualitas itu saling bertentangan. Maka kesadaran dan idealisme tidak akan dihargai, dicemooh, dibenci, karena kualitas dan obyek yang teralienasi.’
Sesaat ia berlari cepat menjauhi ceceran darah di jalanan, darah juang yang menyegarkan pertiwi lebih berharga dari air paling suci. Ia ingat siang tadi kawannya dipukul aparat berkali-kali.
Lalu ia berlari cepat dan tak perlu dibutuhkan kehati-hatian. Ia pecah gelombang udara malam yang kian menyergap dari segala arah. Ia ingin melupakan tragedi siang tadi. Melupakan memang sangat mudah, namun ia kesulitan untuk tidak mengundang kenangan dan menikmatinya.
Kenangan yang memilukan dan semakin menegaskannya pada suatu perlawanan. Rasa muak terhadap ketidakadilan, keinginan untuk memberontak sangat sulit untuk ditunda. Dan kesadaran untuk bergerak tidak butuh pengorganisasian, tapi malah mengoordinir, di sini kemurnian gerakan lahir, takkan pernah ada tawar-menawar.
Dalam perjalanan itu terlihat sesekali ia menangis. Ia merasa kasihan karena banyak teman turutserta melanggengkan kesenangan semu. Terbukti di kampus begitu banyak bersliweran robot yang pikirannya dipenuhi keinginan untuk belanja, bergaya, hura-hura. Semakin lengkap ke-robotannya ketika sekedar menjadi celengan teori-teori anti realitas yang dikotbahkan dosen yang tak lain hanya budak-budak kurikulum. Hasilnya temannya mampu memisahkan, mana yang akademis dan non akademis. Seharusnya kita menolak jika hanya menjadi celengan teori-teori, kecuali kita memang celeng, Lengjilengbeh, celeng siji celeng kabeh hua…hua…hua…hu…hu…hu…
Di sela tangisnya yang kian meraung ia bertanya, bagaimana mungkin hal yang manusiawi dan kegiatan akademis dapat dipisahkan? Bukankah manusia dan ruhnya merupakan satu kesatuan? Kecuali pendidikan memang belum pernah menyentuh jiwa humanis kita.
Lalu tiba-tiba ia berhenti menangis dan tertawa kecil-tawa kecemasan. Kapitalisme memang bagaikan kerajaan. Bila kita memasuki kerajaan itu, maka segala sistemnya akan mengungkung dan memberi kenikmatan yang luar biasa. Kapitalisme seperti arus yang yang sangat besar.
Sejenak ia berhenti tertawa. Lalu ia bertanya, mengapa harus ikut arus itu? Tapi apakah berdaya kita melawan arus yang begitu besar? Ehm… mungkin lebih aman kita minggir saja dari arus? Ia begitu kebingungan dengan pertanyaan yang menyeruak dengan tiba-tiba. Lalu ia berhenti berjalan dan tersenyum. Ya…ya…kita ciptakan saja arus baru. Arus alternatif yang ideal, bukankah sebuah awal dari perlawanan? Arus yang mampu membawa nelayan miskin mencari ikan sebanyak-banyaknya. Ha…ha…ha…, ia tertawa tulus dan meneruskan perjalanan.
Kini ia berhenti dan memungut sesuatu dengan ruh bergetar, lebih dasyat dari gemetarnya tubuh akibat dinginnya angin yang menusuk pori-pori kulitnya. Ia pungut baju berwarna hitam, baju itu milik kawannya. Dia mencopotnya siang tadi untuk menghentikan aliran darah di kepalanya, meskipun itu mustahil. Darah terus mengalir akibat pukulan tongkat aparat yang mengatasnamakan ketertiban, tapi sesungguhnya hanya melakukan perintah atasannya.
* *
Kemarin, kawan-kawannya di Semarang membakar seragam, simbol kegagahan mereka(?). Lalu aparat marah. Dengan membabi buta, mereka mencari, manangkap, dan menganiaya, hingga 2 kawannya harus menginap di RS. Dan itu hal biasa, sama sekali tidak menyakitkan, karena Ibu pertiwi selalu membelai lembut setiap bentuk perjuangan yang murni.
Anehnya, perlawanan itu sama sekali tidak muncul di media apapun, bahkan televisi sekalipun.
Rupanya negara takut akan meluasnya gerakan yang mengkontrol pemerintahan korup. Para jendral malu terkuaknya kebenaran bahwa militer memang melanggar HAM, dan hanya mengenal satu komando ‘membunuh atau dibunuh!’.
Televisi lebih untung menyodorkan AFI dengan artis instannya yang berjingkrak, mengenakan topeng kosmetika, menyuguhkan tayangan sepak bola dengan pemainnya tak lebih seperti seonggok daging yang diperjual belikan dengan harga sangat mahal, atau menayangkan janji-janji kosong para penguasa.
Tuhan tak lagi cemburu pada jimat, demit, dukun. Tuhan cemburu pada artis, uang, penguasa negara yang setiap saat dipuja umat-Nya.
Ia buang baju hitam yang penuh darah ke tepi jalan. Tanpa rasa kehilangan, karena ia memang tidak suka mendramatisir sesuatu. Lalu ia bertanya, begitu berhargakah seragam bagi militer? Mengapa? Begitu berhargakah bendera pertiwi merah putih? Mengapa?
Siapa yang mengklaim bahwa membakar merah putih adalah makar? Mengapa? Merah putih hanyalah simbol. Jika di pertiwi ini masih berserakan anak-anak jalanan, kemiskinan, penindasan, kesinisan terhadap perempuan, pendidikan yang tidak merata, apalah arti bendera? Bakar saja! atau dibuat celana dalam untuk menutupi kemaluan anak-anak pemulung yang tidak punya pakaian. Lebih bermanfaat ketimbang dipajang pada tiang tertinggi.
* *
Ia jadi teringat teman-temannya yang senang mendiskusikan pakaian. Dari pakaian yang tidak menutup pusar pemakainya, sampai cadar yang dipakai ikwan lain. Dalam diskusi sesekali teman-teman mengejek model-model pakaian itu. Lalu muncul pertanyaan, “mengapa menghiraukan model dan varian-varian pakaian? Mengapa tidak berempati seandainya kita tidak punya pakaian yang layak? mengapa pemulung tak mampu membeli pakaian? sedangkan di sisi lain ada orang yang mampu membeli apapun, bahkan pelacur, adilkah?”
Temannya menjawab, “tentu saja adil! bukankah orang menjadi kaya karena perjuangan?dan si kaya berhak menikmati kekayaan itu!”
Lalu ia menjawab, “persis teori Weber dalam ‘Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme’. Bahwa seseorang akan meningkat klas-statusnnya dengan cara bekerja keras dan berhemat. Yang menjadi pertanyaan, Seseorang yang tak mampu membeli pendidikan, mampukan dia bekerja sesuai keinginan? Seberapa banyak sih uang yang dapat di tabung pemulung? Sedangkan untuk makan masih kurang.
Lalu temannya menyeletuk, “salah sediri kenapa miskin?!”
Dan ia balik bertanya pada temannya, kalau begitu kau menyalahkan Tuhan? Bukankah Tuhan maha benar. Kau berkata seolah Tuhan telah menjebak pemulung dengan segala kemiskinannya. Kau menginginkan Tuhan memberi pilihan? Bahwa sebenarnya manusia berhak menentukan hidupnya, termasuk apakah sebenarnya dia ingin hidup atau tidak.Tapi temannya acuh dan beralih membicarakan ponsel keluaran terbaru.
* *
Ia terus berjalan menjauh dari tempat ia membuang baju hitam dengan aroma darah kering yang lebih harum dari melati, lebih merah dari mawar. Menjauh, ia melangkah dalam kesenyapan yang begitu malam. Ini jalan yang menyediakan segala sesuatu bukan untuk dikuasai atau menguasai.
Ia tinggalkan alur perjuangan, namun ia tidak berusaha memisahkan, karena segalanya saling bertautan.
Ia mengundang kenangannya bersama kekasih, hingga memenuhi seluruh ruang pikirannya. Ia biarkan kerinduan pada kekasihnya meranum, menggeliat dalam jiwanya. Hingga hanya dapat dituntaskan dengan sebuah pertemuan. Pagar yang tertutup dan sudah karatan, harus kembali membuka diri.
Ia duduk dengan sahabatnya yang juga kekasihnya. Dalam kebisuan, karena sesungguhnya bahasa tak mampu mengapresiasikan makna kasih diantara mereka, perasaan cinta yang begitu dalam. Tanpa campur tangan alur cinta sinetron yang terlalu dibuat-buat, sehingga pemuda-pemudi menangisi hal-hal remeh.
Ia dan kekasihnya telah sepakat untuk saling memberi, demi diri masing-masing. Lalu ia bicara pada kekasihnya, namun lebih mirip ratapan. Bukankah suatu kehebatan ketika kita mengungkapkan rasa cinta dengan cara mencintai? Setiap manusia memiliki sisi romantis dan melankolis, dan itu kutumpahkan padamu. Kengiluanku, kegembiraanku, hasratku tertuju untukmu.
Dan aku yakin kau meragukan ketangguhanku, seperti akupun kepadamu. Karena semuanya adalah keraguan. Descartes benar ‘satu hal yang pasti adalah kita tak ragu bahwa kita benar-benar meragukan sesuatu’.
Lalu ia ingin memeluk kekasihnya. Cinta mampu membawa mereka pada suatu perlawanan dan menebarkan kasih secara universal. Cinta seperti perintah malaikat untuk berbagi keringatmu dengan keringat orang-orang terpingirkan yang tergilas peradaban yang tak beradab.
Mereka membisu didekap erat kegalauan, kengerian, juga kegelian atas stereotif ‘anarkis’ yang diberikan pada mereka. Seperti penipuan orba dengan awas bahaya laten komunis’ untuk membantai rakyat, yang mendukung musuh politiknya, dan dipaksa mengaku komunis.
Jika rakyat tersebut bersalah pada negara mengapa mereka dibantai tanpa proses peradilan? Bukankah negara ini negara hukum? Mengapa tragedi pembantaian sengaja dihilangkan dari sejarah? Bukankah menyembunyikan secuil sejarah, merupakan indikasi ketidakberesan suatu pemerintahan?
Malam merangkak penuh gairah, lalu ia mengatakan sesuatu pada kekasihnya, aku bukanlah venus yang mengunjungi matahari hanya sebentar. Tapi aku dan kamu adalah matahari dengan segala cahayanya yang tidak menyukai kegelapan yang sengaja disembunyikan.
Mereka berdua kemudian terdiam dan terlibat suatu petualangan. Petualangan yang mempunyai suatu perasaan dan memerlukan perasaan yang kuat untuk mengidahkan keadaan.
Sesungguhnya mereka sekedar memiliki segudang kritik dan cita-cita yang sangat mulia, namun tidak memiliki jalan yang jelas menuju destinasi mereka.
***
*Cerpen ini pernah dimuat di Majalah Prima-Fak ISIP UNEJ Juli 2004 dan dalam bentuk yang lebih sederhana dimuat di Majalah Paroki (majalah umat Kritiani-Jember) di akhir tahun 2006.
*Foto dijepret saat purnama bulan Juni 2007
*Kupersembahkan untuk kawan terbaikku yang tak pernah mau berhenti menguatkan:Na
Meski cerpen ini ku akui jauh dari apik untuk orang se-apik kamu: Selamat Natal & Tahun Baru, NA-q..

Tidak ada komentar: