Jumat, 14 Desember 2007

Waria Tuntut HAM


*Oleh: Ken Ratih Indri Hapsari S.Sos

Ada yang menarik dari demonstrasi pada momentum hari HAM (Hak Asasi Manusia) yang diperingati secara internasional pada tanggal 10 Desember lalu. Demostrasi di Ibukota Negara yang dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat, mulai dari sektor tani, kaum miskin perkotaan, buruh, aktivis gerakan, juga turut serta sekelompok waria yang menuntut ditegakkannya keadilan HAM di bumi Indonesia.
Tuntutan waria (atau wanita-pria) antara lain, diakuinya mereka sebagai manusia seutuhnya, sehingga tidak ada alasan untuk men-subalternkan/menyingkirkan kaum waria dari hak berpolitik, berorganisasi, bekerja, dan bersosialisasi maupun membangun relasi. Dan yang terpenting mereka menolak tegas Perda yang telah melarang dan membatasi waria untuk beraktifitas di tengah-tengah masyarakat.
Dalam pandangan masyarakat pada umumnya, waria merupakan penyakit seks atau kiondisi yang patologis sehingga harus diperangi sering dengan cara membabi buta. Waria distereotifkan negatif sama halnya dengan kaum gay, lesbian dan pelacur. Titik tolak penilaian yang sangat ditentutan oleh orientasi seksual ini yang menjadi sebab, sehingga apapun aktivitasnya, selalu waria terlihat aneh—bahkan terkadang seolah sangat menjijikkan.
Menurut Suzanne Staggenborg (Gender, Keluarga, dan Gerakan-Gerakan Sosial, 2003) dalam perjalanan sejarah dan dalam lintas budaya, ditemukan bahwa hubungan-hunbungan sesama jenis sudah lama ada. Identitas homoseksual yaitu, gay dan lesbian semakin pesat seiring dengan perkembangan kapitalisme dan peralihan dari masyarakat desa ke kota.
Pada awal abad dua puluh, di dunia barat, di kota-kota besar seperti Paris, Berlin, dan New York subbudaya homoseksual mulai tumbuh subur. Selama tahun 1920-an, kelompok Prohibition melakukan pembukaan kelab malam secara besar-besaran dan tempat nongkrong yang menjual minuman keras secara ilegal. Hal tersebut menarik perhatian laki-laki maupun perempuan kelas menengah ke atas dan kelas pekerja untuk mengunjunginya. Dalam kenyataanya, anggota kelas menengah di kota-kota mengambil bagian dalam menyebarluaskan hiburan-hiburan komersial lebih dari satu generasi, tapi orang-orang biasa membiarkan adanya eksperimen lebih jauh terhadap norma-norma publik dalam tingkah laku.
Pada perkembangannya, keingintahuan publik terhadap kaum homoseksualitas sangat besar di tahun 1920-an. Laki-laki gay sangat dicari untuk menjadi penghibur di kelab-kelab malam New York, seperti dalam acara “Heboh Waria”. Beberapa waria berakting di jalam dan tentu saja kehebohan merambat ke kota-kota lain. Kehebohan waria mendorong kelas menengah yang suka kelab menunjukkan “kelebihan” mereka dan mengambil jarak dari reformis moral “berfikiran sempit”. Hingga tema homoseksualitas menjadi tema populer pada tahun 1920-an fiksi diantaranya novel karya Ernest Hemingway.
Namun dalam konteks liberalisme seksual di tahun 1920-an terdapat ambivalensi besar dalam seksualitas sesama jenis, seperti terlihat, waria sering ditertawakan, ini menunjukkan pengkhianatan karena ada sebuah kesenangan dengan subbudaya gay sekaligus kecemasan terhadap masalah-masalah yang timbul sehubungan dengan peraturan-peraturan heteroseksual.
Arus balik menentang homoseksual pertama kali muncul selama masa depresi, yakni ketika banyak laki-laki yang dikeluarkan dari pekerjaan dan angka rata-rata perkawinan turun drastis sebagai akibat orang-orang muda banyak yang menunda perkawinan karena alasan-alasan finansial. Pada waktu itu para pendidik dan Rohaniawan cemas jikalau hal ini akan menimbulkan “penyelewengan” seksual, dan hilangnya sifat kelaki-lakian.
Fenomena tersebut relevan dengan analisa sang teroritikus revolusioner Foucault, yang menegaskan bahwa femininitas, maskulinitas dan seksualitas adalah “akibat praktek disiplin”, “the effect of discourse”. Maksudnya, menjadi perempuan atau laki-laki adalah murni kontruksi sosial—merujuk Foucault, adalah pendisiplinan yang ditegakkan oleh norma, agama dan hukum—dan tidak ada hubungannya dengan jenis kelamin.
Secara sosiologis, waria adalah suatu bentuk transgender. Maksudnya adalah mereka adalah kaum yang menentang konstruksi gender yang diberikan oleh masyarakat pada umumnya, yaitu laki-laki atau perempuan saja. Transgender disini mempunyai pengertian; perempuan yang terperangkap ke dalam tubuh laki-laki. Waria menentang konstruksi tersebut, yaitu secara fisik dia laki-laki namun dia berpenampilan perempuan. Peran-peran yang diambil pun peran-peran perempuan.
Menurut sejarah, maraknya waria sangat dipengaruhi oleh konteks peralihan sistem ekonomi, seperti contoh di atas, jadi transgender merupakan fenomena yang tidak lepas dari konteks sosial. Pada posisi ini waria, gay dan lesbian bahkan pelacur tidak boleh jika ditempatkan dan dipandang secara misoginis(jijik) serta menjadi bulan-bulanan segudang stereotif negatif yang pada akhirnya merampas hak asasi mereka sebagai manusia pada umumnya.

Tidak ada komentar: