Sabtu, 08 Desember 2007

Opini Pilihan:

ERTSBERG MENGGUGAT
(SEBUAH REFLEKSI SEJARAH PROSES PENAMBANGAN DI DAERAH ERTSBERG PAPUA OLEH PT FREEPORT GOLD AND COPPER)

*Oleh: Sapto Raharjanto

Sistem kapitalisme global yang terjadi saat ini yang cenderung mengikis rasa kemanusiaan dan frame kebangsaan karena yang terpenting dari sistem ini ialah bagaimana sebuah penguasaan negara bahkan bagaimana penguasaan dunia yang tanpa batas oleh sebuah dominasi pasar,…dalam perspektif Marxisme yang mengungkap bahwasannya hal yang melekat terhadap kapitalisme ialah adanya meerwarde/nilai lebih yang hanya dinikmati oleh beberapa kelompok kartel besar layaknya sebuah sistem oligarkhi, proses ini bisa dilakukan dengan berbagai cara, seperti penjajahan, baik klasik maupun modern.
Secara teoritik, bentuk negara di bawah kekuasaan Orde Baru adalah sebuah negara otoriter birokratis yang juga berperan sebagai subordinat dari kepentingan ekonomi dan politik AS yang sangat berperan didalam proses pergantian kekuasaan di Indonesia pasca Soekarno. Pada fase ini berkembang jargon-jargon yang sifatnya Top down, seperti ide pembangunanisme. Dengan segenap instrument-instrument pendukungnya seperti militer dan juga berbagai macam budaya kekerasan pendukungnya seperti berlakunya label dan proses stigmatisasi dengan mengembangkan jargon politik: anti pembangunan, anti ideologi negara (Pancasila) dan berpaham komunis, OTB (Organisasi Tanpa Bentuk), GPK (Gerakan Pengacau Keamanan) dan lain sebagainya. Karena itu bukanlah kebetulan jika bentuk negara otoriter birokratis ini didukung penuh oleh kekuatan militer. Derasnya arus investasi modal asing beserta berbagai produk dan imbasnya ikut meramaikan Orde ini dikarenakan adanya sebuah legitimasi serta perlindungan dari penguasa seperti adanya UUPMA 1967 serta berbagai penandatanganan kontrak karya yang merupakan contoh mutlak dari adanya sebuah legitimasi negara terhadap investasi modal asing.
Berbagai macam produk perundang-undangan di atas adalah merupakan sebuah legalitas bagi masuknya investasi asing. Tidak dapat dipungkiri bahwa Negara-negara yang melakukan investasi tersebut pastinya mempunyai hidden motive. PT. Freeport Indonesia yang beroperasi di Papua adalah perusahaan multinasional milik Amerika Serikat dimana pada tahun 1967 setelah jatuhnya pemerintahan Soekarno yang anti Barat, Freeport Gold and Copper melakukan penjajakan investasi ekonomi. Penjajakan investasi itu dilakukan Freeport untuk menambang tembaga terbesar di dunia yang terdapat di Ertsberg, daerah pegunungan tengah Papua.
Kepastian mengenai adanya tambang tembaga terbesar itu dibuktikan oleh Forbes Wilson, seorang geolog AS, melalui sample geologis Ertsberg yang ditelitinya pada tahun 1960. Berawal dari sinilah muncul kepentingan ekonomi politik AS. Dan untuk menjaga eksistensinya, pada tahun 1962 AS mengadakan sebuah pertemuan rahasia di Roma yang dihadiri wakil-wakil Indonesia dan Belanda dan berhasil dibuat The Secret Rome Agreement. Dimana salah satu isi dari perjanjian tersebut disebutkan bahwa AS berkewajiban melakukan investasi melalui badan usaha di Indonesia bagi eksplorasi mineral dan sumber daya alam lainnya. Hal ini yang kemudian menjadi inti dari semua masalah yang melatarbelakangi kepentingan ekonomi politik AS mengenai Papua. Emas dan batubara yang merupakan hasil penambangan dari Freeport sudah puluhan ton dieksplorasi dan di bawa untuk kepentingan AS.
Imbas dari penambangan besar-besaran di wilayah ini ialah adanya pencemaran dan pengrusakan Sungai Ajkwa oleh limbah B3 (Bahan Beracun Berbahaya) yang telah mencapai Laut Arafura. Akibatnya, sejumlah spesies telah punah karena keracunan. Penduduk Papua yang sebenarnya dapat menikmati hasil dari eksplorasi sumber alamnya, malah tetap dalam kondisi yang stagnan. Sehingga tak ayal lagi kemiskinan semakin melilit ditambah lagi dengan kerusakan dan kehancuran lingkungannya. Selain hal tersebut daerah Papua menjadi sebuah wilayah yang rawan konflik, dimana sampai saat ini belum ditemukan jalan terbaik mengenai penyelesaian konflik tersebut dikarenakan permasalahan di Papua bukan hanya sekedar masalah politik, tetapi merupakan konflik multidimensi di segala aspek kehidupan sosial masyarakat. Masalah-masalah tersebut seperti pelanggaran HAM yang kronis, kemiskinan penduduk yang merupakan peringkat pertama di Indonesia, pengembangan sumber daya manusia yang stagnan, operasi dan agresi militer yang tiada henti, korupsi, pembalakan liar, perusakan lingkungan yang parah, dan pencurian sumber-sumber ekonomi rakyat.
Dapat disimpulkan, AS sendiri memiliki hidden motive dari semua peristiwa politik di Indonesia pasca kejatuhan Soekarno (termasuk bagaimana AS melakukan intervensi dalam masalah-masalah yang sedang terjadi di Indonesia seperti keterlibatan AS didalam pergantian kekuasaan di Indonesia pada pertengahan dekade 60-an) karena sejak awal dekade 60-an AS sudah berminat untuk mengeksploitasi tembaga dan emas di Papua.

Namun kerjasama ekonomi antara pemerintah dan PT Freeport ini malah semakin memperparah masalah, karena kerjasama yang dilakukan oleh elite pemerintah yang terkenal dengan budaya KKN-nya dengan PT. Freeport yang adalah milik AS lebih membawa keuntungan bagi kepentingan segelintir elite pemerintah karena ada dugaan bahwa PT Freeport menyuap beberapa pejabat sipil dan militer Indonesia demi kelangsungan investasinya. Sedangkan nasib rakyat Papua yang semakin terpuruk akibat dari kemiskinan, pengembangan sumber daya manusia yang stagnan, operasi militer yang tiada henti, korupsi, pembalakan liar, perusakan lingkungan yang parah, dan pencurian sumber-sumber ekonomi rakyat sering berujung pada pertikaian dan konflik sosial, di mana rakyat Papua berusaha menuntut apa yang menjadi hak milik mereka sebagai reaksi dari ketidakadilan yang dilakukan oleh Freeport dan pemerintah Indonesia yang tidak melakukan tindakan hukum apapun maupun perbaikan dari kerusakan dan kehancuran ekonomi rakyat serta lingkungan hidup di tanah Papua.

*Peneliti
Centre of Local Economy And Politics Studies, Jember

Tidak ada komentar: