Senin, 24 September 2007

Mana Parsel Untuk Rakyat Miskin?


Dewasa ini, secara tidak sadar segala kegiatan manusia dalam beraktivitas menjalani kehidupan sehari-hari, dalam berhubungan dengan orang lain, dengan sesama manusia, dikendalikan oleh hubungan pertukaran jual-beli, di mana uang sebagai simbol pertukaran memainkan peran penting. Hubungan itu terlembagakan dalam keinginan, pikiran, nafsu, penalaran, kesadaran, dan dalam waktu yang lama terendap dalam alam bawah sadar; kemudian menjadi watak psikologis setiap manusia yang hidup dalam zaman ini.


Mendekati perayaan Hari Raya Idul Fitri, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mensosialisasikan larangan menerima parsel bagi pejabat negara di seluruh Indonesia, pada saat pelaksanaan hari raya tahun ini. Pekan lalu, Deputi Pencegahan KPK Waluyo di gedung KPK Djuanda, Jakarta mengatakan, apabila ada pejabat negara yang menerima parcel dari siapa pun, yang bersangkutan harus melaporkannya dalam jangka waktu 30 hari. "Bila tidak, dia akan terkena tindak pidana korupsi dengan pasal gratifikasi," tandasnya. Larangan pemberian parsel tersebut merajuk pada UU No 31/1999 jo UU No 20/2001 pasal 12 B ayat 1 dan 2 mengatur bahwa setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberiap suap apabila berhubungan dengan jabatan yang dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya.


Memang di era pasar bebas seperti sekarang ini, di mana hubungan produksi juga mengadopsi simbol berupa uang, maka watak dan pola relasi antar manusia dikendalikan oleh hubungan produksi yang disimbolkan oleh uang. Uang mengatur hubungan manusia: uang adalah alat komunikasi, dan juga pelembagaan nilai-nilai yang dianggap ideal. Pertukaran yang tidak langsung karena adanya alat uang ini, juga berakibat pada dimunculkannya kategori-kategori apa saja yang bisa digunakan untuk menghasilkan uang. Kategori ini disebut faktor produksi: di dalamnya termasuk modal (atau uang itu sendiri), tanah, tenaga kerja (manusia), dan apa saja yang bisa digunakan untuk menghasilkan uang; pada perkembangannya termasuk ide-ide, citra, bahkan agama dan kebohongan itu sendiri.


Di sini parsel lebaran yang dikirimkan ke kerabat atau kolega bisnis kenyataannya memang budaya kelompok-kolompok tertentu, yaitu golongan masyarakat menengah keatas. Pertanyaanya jika yang diberi atau bertukar parsel adalah seseorang yang serba kecukupan, lalu apa manfaat dan urgensinya kiriman parsel tersebut? Di saat yang sama, lebih dari separuh penduduk Indonesia masih kesulitan untuk sekedar memenuhi kebutuhan sehari-hari, dikarenakan persoalan kemiskinan yang mendera mereka.


Rakyat Miskin Lebih Membutuhkan

Dalam menjaga hubungan perkawanan dan cara mengekspresikan rasa sayang atau cinta seharusnya bukan hanya kata atau konsep, atau juga keindahan yang bisa diperjual-belikan. Kasih sayang tidak dianggap sebagai hubungan dan upaya menciptakan lembaga dan undang-undang yang memungkinkan hubungan itu didasari oleh pemberian dan penerimaan secara tulus tanpa klaim-klaim kepemilikan pribadi dan keunggulan antar sesama. Pada hal esensi kasih-sayang adalah pemberian tulus-ikhlas untuk menuju otentisitas manusia sebagai subjek, bukan objek. Hilangnya cinta ternyata tidak dipahami dari hilangnya kemesraan hubungan itu, masyarakat yang hidup dalam warna pemberian dan penerimaan sebagai akibat hubungan dagang dan komersial dalam sistem kapitalisme ini masih menganggap bahwa cinta komersial (terutama dari sektor propaganda lewat artis dan film populer ataupun sinetron) yang diteriakkan tanpa sadar adalah cinta sejati sebagaimana yang dimaksud oleh ajaran-ajaran luhur.


Faktor manusia sebagai "benda" yang bisa digunakan untuk berproduksi (menghasilkan uang) inilah yang menempatkan manusia berada dalam status (derajat) serendah-rendahnya: barangkali bisa dimaksudkan bahwa manusia disamakan dengan tanah, modal (uang), mesin, produk (besi, mobil, mesin cuci, kondom, celana dalam, pembalut wanita, obat, dan lain-lain). Dalam pemahaman yang sama, manusia masih diperbudak oleh manusia-manusia lain, keinginan-keinginannya (tanpa mampu melampiaskan, karena harus beli), saling mangsa-memangsa (dalam bentuk yang berbeda, meskipun kadang juga masih sama) seperti hewan.


Sehingga berkaitan dengan konsep cinta, rekayasa nilai-nilai komersial atas suatu objek (manusia yang menjadi faktor produksi niaga) telah menghilangkan elemen-elemen terdasar dari cinta (kepasrahan, kealamiahan, ketulusan, kerelaan, tanpa rekayasa, kebenaran). Apalagi jelas dapat dibuktikan mereka yang memiliki budaya saling berkirim parsel adalah orang yang memeliki penghasilan menengah ke atas, yang tidak benar-benar membutuhkan kiriman bantuan makanan, buah, piranti makan ketika lebaran, terlepas apakah parsel tersebut memiliki fungsi-fungsi tersembunyi semacam, pelicin kenaikan pangkat, atau mencari muka atasan bahkan memperlacar hubungan bisnis. Dan untuk merekonstruksinya kembali, diperlukan ikhtiar kemanusiaan yang harus didukung oleh syarat-syarat sosial-politik untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat. Parselnya lebih berguna bila diberikan pada rakyat yang benar-benar membutuhkan.(dimuat di http://www.parasindonesia.com/ October, 16 2006)

Tidak ada komentar: