Rabu, 12 September 2007

(Artikel) Nasib Pedila di Bulan Suci


Bulan Ramadhan telah tiba, bulan di mana di negeri ini yang mayoritas muslim menjalankan puasa. Puasa dimaknai sebagai ibadah, yaitu bukan sekedar menahan lapar dan haus semata, tetapi juga sebagai sarana penyucian jiwa, hijrahnya jiwa menjauh dari sikap iri, frustasi untuk mengapai kemenangan dan keoptimisan.
Memasuki bulan puasa sudah dapat diprediksi bahwa harga sembako seperti beras, terigu, minyak goreng melambung ke langit. Dan prediksi tersebut ternyata tidaklah meleset, justru harga sembako di bulan puasa kali ini kenaikkannya melebihi yang dibayangkan, selain lonjakkan harga, kelangkaan minyak tanah dan sembako di beberapa daerah di tanah air cukup meresahkan. Pasalnya, barang-barang tersebut adalah kebutuhan primer masyarakat.
Apalah daya masyarakat miskin di tanah air yang tiap harinya bekerja full timer berpeluh untuk menghidupi keluarga yang tinggal di perkampungan kumuh dan di kardus-kardus kolong jembatan ketika dihadapkan pada realitas harga sembako yang tidak masuk akal tersebut. Apa boleh buat, perut minta diisi, maka para pemulung itu jika ada kesempatan maka masuk rumah-rumah elite dan mencuri apa yang disa dicuri, pembantu rumah tangga menculik dan menjual anak-anak majikannya.
Sedangkan di sisi kehidupan yang lain, para remaja berasik-masyuk meniru artis-artis sinetron, dari gaya berpakaian sampai gaya bicaranya, generasi muda dari yang umur belasan hingga duapuluhan tahu betul memaksimalkan HP dan internet untuk mengakses adegan yang merangsang birahi, selanjutnya mereka menjadi sutradara sekaligus pemain utama adegan hubungan seksual, baik dengan sang kekasih, maupun orji.
Meskipun mengerikan dan menyesakkan tapi itulah wajah yang sebenarnya kondisi bangsa tanpa ilusi dan manipulasi ocehan elite pemerintah, tanpa polesan sinetron ataupun lagu-lagu cinta yang memabukkan. Lalu, bulan puasa ini hampir Pemerintahan Daerah di seluruh tanah air berharap bisa membawa berkah bulan yang penuh hikmah dengan cara merazia PSK (Pekerja Seks Komersial) dan Gepeng (Gelandangan dan Pengemis). Misalnya saja di Lamongan menjelang Ramadhan, razia terhadap gelandangan dan pengemis serta pekerja seks komersial pada malam 1 September kemarin. Razia dimaksudkan untuk menjaga ketertiban umum dan keindahan, serta menghindari perbuatan maksiat.


Pedila (Perempuan Yang Dilacurkan) vs istri ‘patuh’
Perempuan yang melacurkan diri selama ini dianggap penyebab maksiat dan penyebab penularan penyakit kelamin seperti AIDS. Jarang sekali pemerintah melihat perempuan pelacur sebagai korban dan persoalan sosial. Sehingga masyarakat pun pada umumnya menstereotif perempuan pelacur liar berlumur dosa dan akan mengotori bulan puasa di mana bulan penuh rahmad dan kemuliaan apabila dibiarkan berkeliaran.
Pemikiran feminis sendiri mempunyai kegamangan dalam menempatkan pelacur dan pelacuran. Beberapa bersikeras bahwa pelacuran harus dihapuskan karena pelacuran merupakan bentuk opresi terhadap perempuan. Di mana etika seks pada akhirnya menjadi patokan moralitas yang telah mengkaburkan etika moralitas sosial lainnya yang lebih penting.
Kelompok feminis lain melihat pelacuran sebagai fakta sosial yang tidak terhindari selama perempuan tidak mempunyai sesuatu di luar tubuhnya yang dapat digunakan sebagai “nilai tukar” untuk kelangsungan hidupnya. Feminisme Marxis, misalnya, menempatkan pelacur dan istri sebagai posisi yang sama: sebagai pekerja seksual, yang menawarkan sebentuk pelayanan seksual sebagai penukar untuk sebentuk imbalan atau kenyamanan ekonomi. Bedanya adalah bahwa pelacur menjual pelayanannya secara eceran kepada setiap laki-laki. Sementara istri menjualnya secara whole sale kepada satu laki-laki. Menjadi pelacur eceran atau pelacur grosiran mungkin bedanya terletak pada imbalan serta tuntutan ikutannya (Priyatna, 2006: 198).
Terlebih neoliberalisme yang merupakan jalan baru tatanan perekonomian kapitalisme selalu menginginkan, pertama-tama, perempuan beramai-ramai membeli produk dan hanya bisa mengkonsumsi, terutama agar bisa bergaya hidup seperti ‘nabi-nabi’-nya, yaitu bintang sinetron, penyanyi pop, hingga bintang porno. Kedua, neoliberalisme membayar buruh (pekerja) perempuan dengan upah yang sangat murah karena logika kapitalis adalah mencari keuntungan sebanyak-banyaknya.
Jika kaum perempuan selalu digoda untuk membeli dan membeli, sementara mereka tidak hanya mendapatkan upah rendah, tetapi juga kebanyakan tidak mendapatkan apa-apa karena dijauhkan dari proses produksi sosio-ekonomi, muncul ketertekanan, ketergantungan, dan (akhirnya) penindasan.
Menurut Charlotte Perkins Gilman, dalam salah satu tulisannya yang berjudul Women and Economic (1898), mengatakan bahwa ”apabila seorang perempuan kehilangan aktivitas ekonomi dan mengubahnya secara keseluruhan menjadi seks, menjadi semata-mata ‘kantung telur’ yaitu sebuah organisme tanpa daya untuk mempertahankan diri, namun sepenuhnya hanya untuk mempertahankan ras”. (Hollinger, 2001: 46)
Sedangkan menurut feminisme Marxis, posisi istri, selain mengharapkan imbalan kenyamanan ekonomi, perempuan sebagai istri mengharapkan imbalan lain berupa posisi sosial di masyarakat yang kekuasaannya ada di genggaman tangan laki-laki. Untuk itu, istri dituntut memberikan pelayanan sosial dalam bentuk kerja domestik, yang tidak dituntut dari para pelacur, yang memang tidak mengharapkan imbalan posisi sosial. Dengan demikian seks hanyalah komoditas, suatu alat tukar ekonomi belaka (Priyatna, 2006: 198-199).


Quo-Vadis Hak Perempuan
Bulan puasa menjadi topeng tebal persoalan sebenarnya yang menimpa perempuan apabila masih digunakan sebagai alat untuk merazia pedila meski berlandaskan alasan moral sekalipun. Pedila yang dianggap sebagai penyebab persoalan sosial, padahal selama ini merekalah yang menanggung kemiskinan, kekerasan dan teror penyakit mematikan. Sudah banyak kasus ‘garukan’/penangkapan pedila yang tujuannya untuk melindungi perempuan justru semakin memperparah kondisi perempuan pada umumnya dan pedila pada khususnya.
Semoga bulan puasa menjadi bulan yang jujur, bulan di mana masyarakat dan pemerintah berani mengoreksi diri dan persoalan sosial secara radikal. Bukan asal menyalahkan, menstereotif dan main tangkap. Jika yang menjadi persoalan adalah kesejahteraan, buat apa ditutupi bahwa hal tersebut adalah akibat kebobrokan moral? Bila seharusnya pihak yang bertanggung jawab adalah pemerintah, mengapa saling menyalahkan secara personal? Perempuan juga merindukan keadilan dan kemerdekaan berkreativitas, bukan sebatas menjadi istri taat dan dipenuhi segala kebutuhannya bukan pula menjadi buronan lantaran melacur untuk mengisi perut keluarga. Marhaban Ya Ramadhan. (dimuat koran Bhirawa, 13 September 2007)

Tidak ada komentar: