Kamis, 06 September 2007

(Cerpen) Tentang Kegilaanya



Dan aku akan lebih tidak peduli
Aku mau hidup
Seribu tahun lagi
[1]

“Seribu tahun lagi…..”
Dia ingin mengenal apapun seperti ketidakpeduliannya pada hal-hal remeh, ia selalu merapalkan teori-teori ekstrem dan yang lainnya. Dia juga menyukai langit, jika malam tiba ia menikmati kesunyian dan merasakan hubungan yang begitu intim bersama bintang dan bulan. Ia selalu menghisap puting bulan sabit dengan penuh nafsu. Ditelanjanginya langit hingga ia mengerti di musim apa rasi bintang membentuk titik yang jika dihubungkan seperti perempuan dan lelaki yang bersetubuh beralaskan lautan kabut pekat dan lebatnya malam.
Orang-orang mengira dia mengindap suatu penyakit. Penyakit yang dapat menular pada siapa saja secepat kilat. Orang-orang mengira di otaknya mengendap berbagai perihal buruk tentang manusia, dari mulutnya setiap saat dapat meloncat cacian dan makian pada manusia-manusia Tuhan, manusia yang dianggapnya tak lebih buruk dari sampah-sampah peradaban yang mengotori keseimbangan alam.
Para tetangga ketakutan anak-anaknya tertular penyakit yang aneh dan menjijikkan itu. Sejak itu anak-anak dilarang bermain di lingkungan ataupun di pekarangan rumahnya, terlebih untuk sekedar berbincang dengannya.
“Dia akan menyodomi otakmu. Bisa-bisa kau tak akan pernah menghiraukan Ibumu dan keluargamu yang selama ini memberimu makan dan membiayaimu. Seperti kesetanan kau akan mencincang ayahmu yang korupsi demi membiayai sekolahmu, tanpa beban ataupun takut dosa layaknya kau memotong-motong daging kurban”, demikian nasihat para ibu terhadap anak-anaknya supaya menjauhinya.
*
Dulu dia adalah seorang yang memiliki wajah bergambar rumus ilmiah. Kuliah di perantauan dan pernah sesekali pulang dengan potongan seperti reporter berita di TV lengkap dengan kemeja dan celana yang halus dan serasi. Ketika pulang kampung maka anak-anak kampung akan mengerubutinya, dan meminta bagian permen aneka rasa buah yang tidak dijual warung di kampong ini. Karena itu memang kebiasaannya yang selalu dinanti-nantikan dan disambut meriah oleh anak-anak kecil di kampung ini: membagi-bagikan permen. Anak-anak di kampung akan mengerubutinya seperti lebah merubung bunga karena menginginkan madu. Tapi aku hanyalah seorang gadis tanggung waktu itu, yang tidak mungkin ikut mengerubutinya apalagi mencicipi oleh-olehnya yang pasti terasa manis itu.
Pemuda dan gadis remaja kampung juga sangat antusias, setiap musim kepulangan pemuda kampung di musim libur perkuliahan. Rumahnya setiap hari ramai dikunjungi, mungkin saja pemuda dan gadis remaja kampungku terobsesi menjadi sepertinya, atau barangkali mereka menganggap pemuda kuliahan tersebut dapat mewakili pemuda ideal yang sering mereka lihat, yach…hanya mampu mereka lihat dalam sinetron-sinetron di televisi: pemuda kaya, anak sekolahan, dandanannya nyentrik terkesan gaul. Tapi waktu itu aku tidak lebih dari seorang gadis yang masih bau kencur, tentu saja tidak mungkin aku menyelundup diantara remaja kampung untuk sekedar mendengar cerita-ceritanya atau mengagumi pakaiannya yang halus dan rapi. Tentu akan segera ketahuan dan disuruh pulang ke rumah karena mereka menganggapku masih bocah ingusan.
Kemudian, barangkali tiga atau bahkan empat tahun dia tak pernah pulang. Bahkan di suatu hari yang naas, ketika kedua orangtua dan adik perempuannya meninggal dalam sebuah kecelakaan pesawat, pun seolah ia ikut menghilang, sama sekali tidak terlihat batang hidungnya hingga prosesi kremasi berakhir.
Lalu, tiga bulan yang lalu dia pulang. Saat itu kampung ramai mendengar kabar kepulangannya yang ganjil. Sesampai di kampung yang berlangitkan bulan sabit, dia mengumpulkan dan mengajak penduduk kampung melakukan aksi menolak pembangunan mall di lokasi pasar tradisional yang selama ini menjadi tempat berdagang sekaligus membeli kebutuhan sehari-hari penduduk kampung.
*
“Kelak, penduduk kampung ini akan mati bersama-sama hingga tidak ada upacara kematian, seperti ratusan penduduk yang bermukin di lereng gunung botak[2], mati massal terkubur hidup-hidup oleh tanah lendhud[3] yang diseret hujan deras. Seharusnya cecurut-cecurut birokrasi itu menyembah pohon dengan ritual mistis yang menyejukkan dan pantang menebang pohon besar seperti yang dilakukan leluhur tempo dulu. Namun lagi-lagi demi keuntungan, hutan di lereng gunung justru ditanami pohon perkebunan yang tidak berhasrat menyerap air dengan jumlah besar. Ya….ya…ya…penumpukan keuntunganlah penyebab manusia tercerabut paksa, keserakahanlah yang menghalalkan semua penderitaan. Bahkan konon demi mendapatkan logam mulia sebanyak-banyaknya, mereka telah membunuh jutaan umat. Sepantasnya emas dijadikan fondasi bangunan untuk tempat be-ol saja. Sebagai simbol betapa tak pantas demi benda tersebut telah mengamini penjajahan terhadap kemanusiaan orang lain.”
Seraya menengadah ke langit seolah dia memastikan keberadaan bulan sabit yang selalu diharapkan untuk menemaninya, lalu ia berkata yang lebih menyerupai longlongan:
“Lihatlah monster globalisasi telah datang mengetuk pintu rumah kita bahkan sebelum kita membukakan pintu untuknya, ia telah menodai anak-anak kita. Dengan senjatanya berupa iming-iming uang dan pekerjaan, sedangkan kalian tak satu pun yang mampu melihat wajahnya yang lebih mirip tengkorak, berotak keuntungan dan berbadan bangunan-bangunan yang fungsi pencernaannya berjalan dengan kode-kode penghisapan dan proses ekspolitatif !!!”, dia berteriak keras sehingga seluruh penduduk yang berkumpul di malam kedatangannya dapat mendengar dengan jelas.
“Yang kau bicarakan adalah salah!!!. Di dunia ini memang sudah digariskan oleh Tuhan ada laki-laki dan perempuan, barat dan timur, kaya dan miskin, memerintah dan diperintah. Kita berbeda denganmu yang memiliki banyak warisan peninggalan orang tuamu. Pemuda dikampung ini hampir semua penggangguran dan pengangguran seperti kami bukan saja tidak punya pekerjaan, tetapi juga tidak punya harga diri. Ketahuilah pemuda, kami butuh makan untuk hidup, kami butuh uang, kami butuh pekerjaan yang dapat menampung kami semua. Takdir Tuhan akan kami jalani, mereka kaya dan kami miskin jadi biarkan mereka mempekerjakan kami,” salah seorang pemuda kampung membantah dengan berteriak tak kalah keras.
“Kalian takut pada ketakutan. Mengapa harus melarikan diri pada Tuhan, menjalani hidup di dunia yang susah akan mendapat imbalan kebaikan di akhirat nanti. Dan kalian menyandarkan hanya pada keyakinan, bahwa nantinya orang-orang yang pernah memperbudak kalian dan mencekoki anak-anak kalian dengan segala makanan dan aksesoris serta hiburan yang tidak berarti dan mengilusi yang menyesatkan itu akan mendapat siksa dari-Nya, kelak di akhirat?” pemuda itu diam sejenak, kemudian melanjutkan perkataannya yang belum tuntas:
“Yang kita bicarakan bukan hanya kelangsungan hidup yang diyakini tidak lebih dari satu hanya satu generasi. Tapi kelanjutannya, yang menyambung kehidupan kita kelak, generasi yang ditiupkan dari nafas cinta dan berjiwa, bukan generasi cabul bikinan film-film porno yang dilahirkan oleh perempuan-perempuan iklan obat perangsang yang bersuara melenguh dibuat-buat. Aku tak ingin membanyangkan ibu-ibu yang hamil tua ngidam makanan ala mall, air ketubannya pecah saat berbelanja, otot rahimnya berkontraksi ketika mengerang menangis tersedu-sedu lantaran menginginkan daster hamil seperti milik artis sinetron dalam infotaimen yang rutin mereka ikuti, dan bayinya keluar lancar tanpa hambatan di escalator. Bayi-bayi itu akan diawetkan dipamerkan dan dijadikan patung-patung untuk memperagakan pakaian-pakaian bayi terbaru di mall tersebut. Lalu bayi itu terlupakan karena ibu-ibu tengah asyik berlomba memburu barang-barang diskon. Begitu sampai rumah ibu-ibu tersebut takkan pernah menyadari kalau ia telah kehilangan satu generasi dan sang ayah yang pulang dari kerja lembur di pabrik-pabrik pinggiran kampung ataupun di mall yang akan dibangun itu, ia merasa bersyukur mengira istrinya keguguran disebabkan tidak tercukupi gizi. Ketika tak dilihatnya orok padahal perut sang istri telah kempes, dan upah lemburnya dapat digunakan untuk membeli ciu[4] untuk melupakan kepekatan dunia dan kepenatan kerja”, demikian panjang lebar pemuda itu bercerita yang mengisyaratkan kegalauannya.
Tapi sia-sia saja, penduduk kampong tak lagi sanggup mengerti ucapannya. Seolah mereka kehilangan akal dan kepercayaan diri sejak orang-orang berdasi itu masuk ke kampung dan mengatakan pada penduduk: bahwa pembangunan mall adalah jawaban satu-satunya bagi persoalan pengangguran dan kelesuan pasar tradisional. Orientasi penduduk kampung adalah uang itulah kepraktisan pola fikir yang telah terbentuk, yang diprovokasi oleh keadaan serba kekurangan sedang semua kebutuhan semakin serba tidak terjangkau. Sehingga tak mampu berfikir jernih atau mempertimbangkan kemungkinan kebenaran ucapan pemuda yang saat itu melihat penduduk seraya berharap dengan mata nanar menahan air mata haru penuh kecemasan, namun ia tidak menyalahkan penduduk kampong..tidak akan pernah.
*
Kehidupan terus berjalan dengan matahari yang semakin panas di siang hari dan bintang yang semakin redup ketika malam tiba. Suatu saat sepulang sekolah, aku mengajak kawan-kawan baruku mengunjunginya. Pada awalnya mereka terkejut dengan ajakkan kerumah pemuda ‘gila’ tersebut. Mereka takut terjangkiti penyakit mengerikan seperti yang sering diperbincangkan penduduk kampung, kawan-kawanku takut jika nantinya tertular penyakit gila dan akan mencincang bapaknya yang siang malam bekerja keras dipabrik moto dan terkadang bapaknya mengeluarkan segulung moto dari celana dalamnya kemudian diserahkan pada emaknya untuk dijual esok harinya di pasar tradisional, sekedar menambah biaya hidup yang semakin sulit dan menyokong perut lapar yang melilit terus-menerus menjerit minta diisi.
“Menurutku pemuda itu tidak gila, yang menganggapnya gila adalah keadaan lingkungan dengan kesadaran buruk, perasaan tidak nyaman dan tidak senang karena kepentingan praktis mereka sehari-hari seolah diabaikan pemuda tersebut. Sesungguhnya pemuda itu tidak dalam keadaan sakit, ia tampak sakit karena menyimpang dari keadaan sosial yang dikehendaki. Penduduk menentukan bahwa pemuda itu berbeda, mengabsahkan batasan yang berlaku baginya sebagai individu yang tidak mampu memenuhi kewajiban-kewajiban sosialnya. Dan akhirnya orangtuamu juga orangtuaku memberi identitas padanya ‘gila’ karena tindakannya yang tidak dapat diterima orang lain pada umumnya. Dia dikucilkan dan tidak pantas dianggap orang yang normal. Dengan persangkaan itu berarti kita telah melakukan beberapa diskriminasi secara efektif yang akan mengurangi kesempatan bagi hidupnya.”
Kawan-kawanku sepakat dan mengiyakan pendapatku, mereka menganggukkan kepala dan tersenyum, seolah kata hati kami telah mendapatkan penjelasan yang praktis dan logis.
*
Suatu saat aku bermain kerumahnya sedirian. Karena kawan-kawanku akhir-akhir ini sangat sibuk merintis kelompok diskusi di sekolah masing-masing.
“Mengapa kau menulis puisi tentang hidup dan kenapa kau serahkan padaku?”, ia bertanya ketika kuserahkan padanya beberapa puisi yang kutulis semalam.
Seraya melangkah pergi meninggalkan dia yang lebih menyukai kesunyian dan aku pun telah berjanji setiap sore pada anggrek yang menunggu untuk disiram (kali ini mungkin akan kusiramkan air mataku yang mulai mengkilatkn warna mataku sehingga seolah dilapisi serpihan kaca-kaca rapuh) di halaman rumahku yang sederhana.
Aku jawab lirih pertanyaanya; “Karena aku tidak hanya ingin dipuji, atau dibeli lewat rayuan puisi-puisi. Sebenarnya akupun ingin terus mencipta, aku merasa mati seperti manusia kelaparan ketika hanya menerima, padahal aku juga ingin hidup seribu tahun lagi..karena aku juga mengkehendaki untuk membalas dan memberi. Aku sendiri tidak pernah mengerti mengapa terus-menerus menulis puisi meski sesungguhnya telah kusadari bahwa keterlibatan dan pembuktian takkan pernah dapat diringkus oleh kata-kata, seindah apapun memaknainya.”
***

Gerimis di Jl. Bangka, Agustus 2005


Cerpen ini hampir jadi naskah pementasan teater Fak Tekh.Pertanian bulan Maret 2007. Kutolak, karena belum Pe-Dhe.
[1] mengutip puisi yang berjudul “Aku”; Chairil Anwar.
[2] Lagunya Sujiwo Tejo “Goro-goro”: Panasan ning gunung botak/nglumpati grojogan/Ing ngrojogan sewu/jebul banyune panas/panas ngulkuli duwit/wancine wis goro-goro/geger gara-garane duwit.
[3] bahasa jawa: tanah yang bercampur air; lumpur
[4] Minuman memabukkan.

Tidak ada komentar: