Kamis, 20 September 2007

(cerpen)Lubang Kecemasan

Perempuan terhormat akan meninggal di usia senja dengan senyuman bahagia karena ditunggui oleh anak-anak, cucu dan cicit tercinta.
**
Aku lupa siapa namaku, dan darimana asal-usulku. Tapi kemudian aku mengetahuinya, bahwa aku seorang perempuan. Sebelumnya aku tidak mengetahui bahwa aku adalah perempuan. Tapi di tempat yang penuh pohon rindang dan juntaian buah-buahan segar ini kami memang dibedakan menjadi dua jenis, mereka yang di lehernya terdapat benjolan kecil yang keras, seluruh tubuhnya ditumbuhi bulu-bulu dan di pangkal pahanya terdapat seperti belalai huna yang lunglai terkadang menegang seperti tongkat diberi nama lelaki. Sedangkan aku termasuk kaum perempuan karena di dada kami tumbuh daging yang di ujungnya menyerupai buah vee matang merekah, di pangkal paha kami terdapat lubang yang lentur dan kencang di mana dari dalamnya asal cairan bening keluar, terkadang sedikit terkadang deras seperti air liur.
Entahlah, apa benar cerita bahwa dalam tempurung kepalaku yang ditumbuhi rambut panjang hitam, mengkilat dan harum ini terdapat syaraf-syaraf rumit yang membuatku bisa berfikir. Tapi kami tahu bahwa kami berada di sini karena kami adalah orang-orang dari golongan terhormat. Orang tidak terhormat bertempat tinggal di api panas yang berkobar-kobar. Raja di negeri kami sangat pengasih, meski kami tidak pernah sedetikpun bertatap muka dengannya, tapi kami selalu mematuhi semua perintahnya. Misalnya, tidak boleh kami memakan buah-buahhan secara berlebihan terlebih sampai memiliki keinginan untuk menimbunnya, kami tidak diperkenankan menghambur-hamburkan air susu yang bersumber dari mata air ajaib yang tiada habis-habisnya memenuhi danau, kalau hal itu dilanggar, maka bencana kekeringan dan kehausan akan melanda.
Kami benar-benar ketakutan, ya mungkin kami patuh karena kami ketakutan, semua kata-kata raja selalu kami ingat. Raja memberlakukan tatacara tersebut karena raja menyanyangi kami. Dan menurutku, hal itu memang masuk akal. Masuk akal, kataku? Yah, mungkin memang tempurung kepalaku berisi sesuatu ajaib yang sejauh ini memiliki kemampuan memilih mana yang baik-baik dan tidak merugikan.
Kami para perempuan, memiliki pakaian yang indah dan selalu ngetrend, pakaian yang kami kenakan diproduksi langsung oleh karyawan raja yang sakti hingga kami hanya tahu barang sudah jadi. Sepatu, sandal jinjit, bra, baju tidur, baju bercinta, baju mancing, baju bersenang-senang, jepit rambut semuanya sudah tersedia secara ajaib di dalam lemari kaca kami. Hei, bukan hanya aku yang mendapatkan keistimewaan ini, semua perempuan juga mendapatkannya.
Di negeri kami terdapat sebuah sinar yang lembut dari arah langit. Sinar bulat keemasan yang tiada berhenti bercahaya redup tersebut bernama mentari. Sinar itu yang membuat tubuhku merasa nyaman, tidak kepanasan ataupun merasa kedinginan.
*
Suatu ketika, kami yang semuanya berjumlah kurang lebih tujuh perempuan molek, berjalan-jalan memutari danau air susu yang sangat luas, namun kaki kami tidak pernah merasa kecapekan hingga kami merasa bosan sendiri untuk mengitarinya maka kami akan menghentikan acara jalan santai tersebut dan duduk-duduk santai di tepi danau, untuk memancing atau bermain layang-layang.

Di tepi danau, di bawah pohon rinas yang rindang itu seorang perempuan seperti sedang mengulum belalai huna milik lelaki. Lelaki yang terhormat tentunya, karena dia tinggal di negeri ini, negeri kami adalah tempat tinggal bagi orang-orang yang terpilih. Lalu, beberapa saat belalai lelaki tersebut menegang dan memuncratkan sesuatu tepat di wajah perempuan molek itu. Lalu tubuh telanjang perempuan itu ditinggalkan begitu saja oleh lelaki telanjang yang belalainya melunglai, ketika lelaki itu berjalan belalai lunglainya mengayun kesana-kemari, dan dari unjungnya masih menetes sisa-sisa muncratan air yang tadi disemprotkan ke wajah perempuan bertubuh molek yang ditinggal pergi begitu saja tanpa ekspresi apapun, seolah seperti kewajaran yang aneh.
Perempuan itu menangis, sesenggukkan. Aku tidak mengenalnya, seperti aku juga tidak pernah mengenal kawan-kawan perempuan yang berjalan-jalan santai bersamaku tadi, namun demikian kami akrab begitu saja. Nah, kini aku sudah tertinggal jauh oleh mereka, entah mengapa tiba-tiba aku mendekati perempuan yang wajahnya berlumuran air mata dan cairan belalai tegang milik lelaki tadi.
“Hai, bagaimana keadaanmu?”, kusapa dia dan perempuan itu memperhatikanku yang mendekatinya.
Lalu aku duduk disebelahnya. Saat itu kuamati dengan jelas kemolekan tubuhnya, dia duduk dengan posisi seperti hampir tersungkur, hingga raambutnya tergerai lembut menutupi sebagian tubuhnya, dan itu menambah kemolekannya. Ada beberapa daun kering pohon naris yang mungkin tertiup angin dan kini terselip di sela rambutnya. Menurutku, dia terlihat kian erotis dengan geraian rambut yang sedemikian rupa. Wajahnya yang sendu dengan make up permanen yang takkan hilang meski terbasuh lengket keringat, terbasuh air mata ataupun muncratan cairan belalai tegang. Ya, kami para perempuan di sini, berwajah molek dengan make up permanen yang akan berubah genre dari make up natural, energik, eksotik atau make up ala bangsawan sekehendak perintah hati kita, dan kunfayakun! maka akan berubah begitu saja. Mau tidak mau harus percaya, karena memang demikianlah adanya tanpa kutambah-tambahi.
Matanya yang coklat menatapku, seperti mengadu sesuatu yang sangat menyedihkan yang takkan bisa diungkapkan walau menggunakan bahasa yang memiliki kosa-kata paling lengkap sekalipun. Tapi Aku mengetahuinya, aku berhasil menangkap pesan itu. Lalu seperti sepasang lelaki dan perempuan di puncak rangsangan ketertarikan, aku mendekapnya, membiarkan tubuhnya yang telanjang menghambur ke dalam pelukkan. Dia, perempuan itu mulai melucuti pakaian yang membungkus tubuhku, satu-persatu dengan sangat sopan, lembut dan romantis. Ada sesuatu dalam hatiku yang melonjak, entahlah bernama apa, dan akupun tidak sempat untuk sekedar menamai sensasi itu. Walau sudah berkali-kali melayani lelaki di negeri ini, akan tetapi tak pernah sekalipun aku mendapatkan perlakuan yang semanis ini.
Lalu wajahnya yang molek itu kutahan, kedua tanganku menyentuh pipinya yang halus kemerahan dengan tulang pipi yang tegas serasi, sungguh cantik pikirku.
“Hai, perempuan molek, apakah kau melakukan ini karena kekecewaanmu pada lelaki yang baru saja meninggalkanmu, hingga kau lebih menyerupai seonggok tanah tempat kita membuang sampah perut yang mulai membusuk yang akan kita tinggalkan begitu saja setelah perut kita lega. Sabarlah, memang para lelaki itu tidak pernah benar-benar mengetahui, bahwa kita juga memiliki lubang rahasia yang selalu merindukan beberapa detik denyutan kenikmatan di tengah mengejangnya tubuh karena sensasi yang masih kita tabukan untuk sekedar menamainya, meskipun tanpa atau dengan sedikit malu kita selalu melakukannya.” Aku seperti mengguruinya dan kusadari itu setelah kata-kataku meluncur begitu saja di sela-sela birahinya.
“Kalaupun lubang yang ada di pangkal paha perempuan ini adalah kutukan yang lebih menyerupai kecemasan, maka aku akan mengambil sikap atas penciptaan lubang yang mirip seperti pecundang, jangan pernah beranggapan lubang ini menyerupai bunga karnivora yang akan menjebak binatang bodoh tidak bertulang belakang itu untuk memasukinya lalu menghisap seluruh cairan dari belalai bodoh itu. Maka, mulai sekarang bunga karnivoraku akan menolak menghisap binatang bodoh itu, alih-alih menginginkan cairan yang tidak berguna itu. Binatang bodoh itu tidak tahu menahu mengenai apapun, seperti cairan yang justru memperburuk suasana. Maka aku pun juga mengingikanmu, tubuh indah yang tidak pernah memberi waktu menikmati karunia lubang kenikmatan adalah dosa besar yang takkan termaafkan.”
lalu, kubiarkan saja ia membelai tubuhku teramat mesra, dengan cara yang sama sekali tidak pernah kuketahui, kenikmatan yang tidak pernah diajarkan oleh aturan raja. Kukira raja akan senang mengenai pengalaman kami, karenanya nanti perempuan penghuni kerajaannya menemukan cara baru menghargai tubuh perempuan. Ini akan menjadi berita besar, karena tidak seorangpun telah mengetahuinya, tak terkecuali raja kami. Perempuan memiliki lubang kebahagiaan, karena anatominya saling berhimpitan yang memungkinkan merasai kenikmatan tanpa bantuan gagal belalai tegang milik lelaki yang hanya ingin menyemprotkan cairan. Hanya sesama perempuan yang mengerti cara memperlakukan lubang kenikmatan mencapai keberkahan maksimal, padahal selama ini lubang itu lebih diposisikan seperti pecundang.
“karena lubang perempuan bukan seperti bunga karnivora yang haus cairan belalai tegang yang bodoh”
Lalu kami saling memeluk, dua tubuh molek yang telanjang, senyuman di hati, sungguh negeri yang sempurna.
**
“Nenek hidup lagi! Papa….papa, jari tangan nenek bergerak” Aku mendengar suara polos anak kecil yang berteriak kaget sekaligus kengerian. Beberapa wajah yang kukenal akrab, berdiri mengelilingiku, sedangkan aku…..oh..oh…oh, aku berada di peti mati.
Bersyukur, ternyata aku adalah perempuan terhormat, karena di kematian singkatku ditunggui oleh anak-anak, cucu, dan cicit yang menyanyangiku. Tidak seperti kematian suamiku dua tahun lalu, dia meninggal di rumah istri mudanya yang gila harta dan kehormatan, tanpa ditunggui siapapun selain pembantu setia. Suamiku memang bukan lelaki terhormat.
Tapi mengapa aku hidup kembali? Apakah karena aku bukan benar-benar perempuan terhormat, hingga tak layak hidup di negeri yang demikian sempurna? Entahlah, mengapa harus kupikirkan dalam-dalam tentang status terhormat, aku hanya sering mengobsesikanya, padahal hingga detik inipun aku tidak benar-benar yakin mengerti maknanya. Tetapi aku menyakini kesungguhan cintaku pada perempuan bermata coklat dengan rambut panjang yang tergerai keemasan tertusuk cahaya mentari redup..ah, sungguh membahagiakan, hingga aku merasa muda dan tangkas kembali. Ah, di usiaku yang kian senja, pantaskah jika masih mengkhayalkan kisah cinta yang molek setelah kegagalanku membangun hubungan rumah tangga? Siapa yang akan melarangnya?

Untuk kawanku yang berulangtahun di akhir September
Jember, 20 September 2007

Tidak ada komentar: