Rabu, 12 September 2007

(Artikel) Makna Aksi Diam Perempuan Korban KDRT


Berdasarkan data dari Komisi Nasional Perempuan, pada tahun 2001 terdapat 3.169 kasus KDRT. Jumlah itu meningkat 61% pada tahun 2002 (5.163 kasus). Pada 2003, kasus meningkat 66% menjadi 7.787 kasus, lalu 2004 meningkat 56% (14.020) dan 2005 meningkat 69% (20.391 kasus). Pada 2006 penambahan diperkirakan 70%
Peningkatan jumlah kasus KTP yang 82 persen di antaranya adalah kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), tentunya menjadi keprihatinan tersendiri. Terlebih dengan kenyataan adanya fenomena gunung es atau jumlah yang ada belum menunjukkan angka yang sesungguhnya. Padahal telah disahkan Undang-undang No. 23 Tahun 2004 mengenai Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT) yang terdiri dari 10 bab dan 56 pasal, diharapkan adanya perlindungan hukum bagi anggota keluarga khususnya perempuan, dari segala tindak kekerasan dalam rumah tangga.


Diam
Perempuan Korban KDRT, biasanya menganggap persoalan keluarga adalah aib yang harus disimpan sendiri. Bahkan ada istilah “Mikhul duwur, mendem jero”, artinya perempuan seharusnya menjunjung nama baik keluarga dan menimbun hal-hal buruk yang menimpa, itulah salah satu penyebab aksi diam meskipun ia harus menanggung sakit akibat kekerasan yang menimpa dirinya.
Interaksi yang terjadi ketika istri diam setelah dilakukan kekerasan kepadanya dan disambut oleh suaminya yang seolah tidak terjadi sesuatu kata Goffman merupakan dramaturgi. Dramaturgi antara aktor yang terstigma dan yang normal (Goffman: 1963). Hal tersebut disebut sebagai stigma diskredittabel (discreditable stigma), yaitu stigma yang perbedaannya tidak diketahui oleh anggota penonton atau tidak dirasakan oleh mereka. Masalah dramaturgis mendasar bagi seseorang yang mempunyai stigma terdiskreditkan adalah pengelolaan ketegangan yang dihasilkan oleh fakta bahwa seseorang yang mempunyai stigma diskreditabel adalah pengelolaan informasi sedemikian rupa sehingga masalahnya tetap tidak diketahui oleh orang lain.
Ketergantungan (baik ekonomi, maupun status) pada suami terkadang juga menyebabkan istri memilih untuk diam meski berkali-kali menjadi sasarang kekerasan suami. Sekilas tentu perempuan menjadi subyek, karena dia melakukan pilihan, meski pilihan yang diambil adalah pilihan diam. Ada perbedaan mendasar antara memilih menjadi obyek dan berlaku pasif atau menjadi obyek yang berlaku aktif, sebagaimana dikatakan Simone de Beauvoir dalam The Second Sex, “memilih menjadi objek“ adalah tindakan seorang subjek, sementara “menjadi objek” adalah bagian dari fakta obyektifitas seseorang (Beauvoir, 1997: 400).
Kesadaran ini membuat tindakannya tidak dapat dikatakan “mengobjektivikasi diri” yang sesungguhnya, sebab itu dilakukannya sebagai subjek. Hanya saja, dengan memperhatikan pemikiran Beauvoir, tindakan ini dapat tergolong sebagai “kesadaran semu” yang menjadi objek pembebasan Diri dari tanggung jawab atas keber-Ada-annya. Artinya pilihan yang dilakukan adalah pilihan dalam kerangka kesadaran semu, bukan pilihannya sebagai manusia merdeka. Kesadaran palsu yang dikonstruk budaya patriarki.
Kesadaran semu mengakibatkan perempuan sebagai sosok yang lumpuh tanpa daya, kebebasannya hilang. Kebebasan tidak hanya berarti kebebasan dari kekuasaan eksternal, melainkan terutama kebebasan positif untuk mengutarakan pikiran, perasaan dan kehendak aslinya. Manusia modern kehilangan individualitasnya. Hak untuk mengekspresikan gagasan dan hak akan kebebasan tidak akan mengutarakan pikiran orisinilnya dan menentukan individualitasnya sendiri (Fromm, 2005: 39).


Bunuh Diri
Menurut penelitian yang pernah dilakukan penulis, hampir seluruh perempuan yang menjadi korban kekerasan dan mengalami kondisi ekonomi yang buruk pernah terlintas dibenaknya untuk mengakhiri hidupnya. Ketidaktahuan masyarakat pada penderitaan yang dialami perempuan akan mengakibatkan perempuan korban kekerasan menderita untuk yang kesekian kalinya. Selanjutnya kondisi kejiwaannya akan mengalami multitrauma dan terjadilah frustasi yang mendalam. Kondisi yang demikian ketika situasi lingkungan tidak dapat memberikan pasokan-pasokan untuk memenuhi kebutuhan jiwa dan lahiriahnya akan mengakibatkan perempuan mengambil jalan sendiri, dengan akibat dan resiko yang tidak lagi menjadi perhitungan dan bahkan terkadang hingga memilih langkah untuk mengakhiri hidupnya sebagai jalan keluar untuk mengakhiri spiral kekerasan yang melingkarinya. Perempuan yang melakukan bunuh diri disebabkan keinginan untuk membebaskan diri dari berbagai tekanan dan kekerasan yang menimpanya semasa hidup.
Perempuan bunuh diri merupakan simbolisasi, sebagai cara untuk mengkritik kemunafikan masyarakatnya. Ia menunjukkan bahwa seorang perempuan adalah individu yang independen atau individu yang otentik menurut Heidegger, lengkap dengan keinginan, tekad, minat, orientasi, integritas, martabat, cita-cita, dan hasrat. Bahwa ia memiliki hak untuk menentukan yang terbaik baginya dan bertanggung jawab atas konsekuensi dari tindakan dan pilihannya.
Karena tidak seorang pun dilahirkan menjadi budak. Tidak seorang pun berusaha untuk mengalami ketidakadilan, penghinaan dan ketidakberdayaan (restrictions). Manusia yang hidup dalam kondisi sub-human sama dengan hewan—seekor sapi atau keledai—yang berkubang dalam lumpur (Camara, 2000: 31-32). Maka tubuh dan jiwa perempuan tidak akan menerima ketika diperlakukan sewenang-wenang sehingga sakit dan kekerasan menimpa hari-hari mereka.
(dimuat di www.parasindonesia.com tgl 12 September 2007)

*Photo, bidikan Agnes Ginting

Tidak ada komentar: