Jumat, 14 September 2007

(resensi buku) Mengurai Altruisme Cinta Perempuan

Judul : Cinta, Seksualitas dan Matriarki: Kajian
Komprehensif tentang Gender
Penulis : Erich Fromm
Penerbit : Jalasutra, Yogyakarta
Cetakan : I, April 2007
Halaman : xx + 284 hlm


Masyarakat kapitalis banyak mendapatkan kritik tajam dari berbagai ilmuwan (sosial). Sejak Marxissme ortodoks dianggap tidak mampu memberikan penjelasan terhadap masyarakat (kapitalis) dan rekomendasi praktisnya, mazhab Frankfurt muncul sebagai sebuah aliran kritis yang cukup meluas. Mereka dikenal sebagai kaum neo-Marxis.
Nama Erich Fromm adalah salah satu dari tokoh mazhab Frankfurt yang memiliki perhatian besar terhadap arah masyarakat kapitalis dan pengaruhnya terhadap kajian massa rakyat. Perhatiannya dalam ilmu psikologi sosial membuahkan banyak karya yang menunjukkan pemikirannya yang kaya dan tajam. Bahkan bukan psikologi saja yang dibedah, tapi juga gagasan sosial-humanis. Hampir semua karya fromm telah diterjemahkan di seluruh penjuru dunia. Yang telah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia dan terjual laris di toko-toko buku di antaranya: The Art of Loving (1956); Man, Beyond the Chains of Illusion (1956); Akar Kekerasan (1941); Konsep Manusia Menurut Marx (1960); Lari dari Kebebasan (1941; Revolusi Harapan (1968).
Buku yang berjudul Cinta, Seksualitas, dan Matriarki: Kajian Komprehensif tentang Gender, yang merupakan buku terjemahan dengan judul asli Love, Sexuality and Matriarchy about Gender (Fromm International, 1997) seakan menyempurnakan pandangan Erich Fromm mengenai permasalahan cinta sebagai aspek sosial dalam kehidupan manusia . Di buku ini Fromm menganalisa aspek-aspek psikologi laki-laki dan perempuan, ia mengacu pada karya terbesar Bachofen atas Mother Right (Hak Ibu) sekaligus mengkrtitik Freud mengenai fase libidal dan oedipus kompleks, yang justru merupakan teori yang mewakili pandangan patriarkhal Freud, dimana menurut Freud “Perempuan adalah manusia yang belum sempurna”.
Melengkapi pemikiran Freud dan Marx memang menyita perhatian besar dalam hidup Fromm. Buku ini mencoba mengurai benang merah antara cinta, seksualitas, dan matriarki. Menurutnya, perempuan secara seksualitas memiliki fungsi reproduksi untuk melahirkan anak. Sehingga perempuan lebih dahulu belajar menebarkan cinta dan kasih sayang terhadap makhluk melampaui batas ego, dan menggunakan kelebihan yang dimilikinya untuk memperbaiki eksistensi orang lain. Cinta, perhatian, tanggung jawab terhadap sesama merupakan dunia seorang ibu. Kasih ibu adalah benih yang tumbuh disetiap cinta altruisme. Tapi lebih dari itu, kasih ibu adalah dasar bagi perkembangan humanisme universal (hlm. 6).
Selain karena melahirkan, potensi kepekaan perempuan akan cinta juga disebabkan oleh pengalaman psikologis, terutama karena kodrat tubuhnya, menstruasi yang membuat perempuan menahan sakit hampir sepanjang hidupnya setiap bulan. Pengalaman merasakan realitas material tersebut membuat perempuan begitu tanggap akan rasa sakit dan peka untuk merasakan penderitaan yang dialami oleh orang lain. Perasaannya terlatih untuk merasa. Demikian juga, pikirannya begitu peka dan teliti dalam merespon realitas.
Sayang sekali, potensi psikologis tersebut dalam kurun sejarah tidak didukung oleh syarat-syarat material yang kondusif. Seiring dengan terjadinya perubahan menuju hubungan produksi yang eksploitatif, ternyata perempuan tergeser dari posisi produktifnya menuju ke ranah domestik atau peran-peran yang sempit. Pada hal seandainya perempuan diberikan posisi sebagai pemimpin atau tokoh publik, mungkin kemampuan hati dan otaknya akan sangat berguna. Kodrat alam dijungkirbalikkan dan, sayangnya, citra ibu yang peka akan kasih sayang tersebut telah terdistorsi oleh masyarakat yang narsis dan herois. Citra yang dilekatkan pada perempuan adalah manusia yang sentimental, lemah, dan posesif, serta stereotip negatif lainnya (hlm. 50).
Kritik paling tajam dari semua karya Fromm adalah perkembangan psikososial manusia dalam masyarakat kapitalis. Kapitalisme dituduh sebagai penyebab dari penjungkirbalikan citra perempuan tersebut, yaitu menempatkan perempuan sebagai objek pemuas dan jenis kelamin kedua (second sex) dengan menekan upah buruh perempuan atau mengeksploitasi tubuhnya di bagi pasar kecantikan, di sisi lain roda kapitalisme merujuk sistem matriarki dalam memasarkan produknya. Misalnya, kini manusia dininabobokan oleh TV, atau antar individu dilengkapi kemudahan berkomunikasi dengan adanya telephone mobile, ATM (Anjungan Tunai Mandiri). Kapitalisme memasarkan produknya untuk memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi manusia seperti ketika masa kanak-kanaknya ketika masih dalam belaian cinta kasih sang ibu. Namun pembedanya adalah kapitalisme melakukan itu semua untuk memupuk keuntungan dan terkadang mengabaikan bahkan berusaha mematikan kritik dan daya kreatif manusia.
Menempatkan perempuan di posisi yang dilemahkan menandakan berjalannya sistem yang tidak adil dan manusiawi. Seperti yang disampaikan Fromm: “Apapun yang baik dalam hubungan antar satu manusia dengan manusia lain, adalah baik dalam hubungan antara kaum laki-laki dan kaum perempuan. Dan apapun yang buruk dalam hubungan manusia adalah buruk dalam hubungan antara laki-laki dan perempuan” (hlm. 144).
Seperti karya Erich Fromm yang terdahulu, buku ini layak dibaca karena bersifat reflektif dan pembacanya akan diajak berdiskusi mengenai diri-sendiri, mengenai masyarakat bahkan sistem yang melingkupinya. Sebagai penulis yang mengidealkan relasi sosial (cinta) yang sehat dan produktif, tulisan-tulisan Fromm selalu kritis, menunjukkan detail-detail ungkapan yang menarik tentang manusia dan masyarakat di era pasar bebas sekarang ini.***

Tidak ada komentar: