Rabu, 07 Mei 2008

ResensiResensiBukuBukuMasaMasa SMU

Uih! akhirnya punya waktu ngenet juga. Sial banget memang lakon hidupku akhir-akhir ini. Seolah semakin jauh dari harapan suatu saat nanti aku bakalpunya buku yang yang diterbitkan, tapi kenyataannya?Memang sih sama penerbit disarankan merevisi (mengubah kale yak? abiz banyak amat yang harus direvisi) naskah "X"-ku. Tapi malasnya minta ampun. ditambah lagi laptop usang-ku yang selama ini memang sering rewel n terus-menerus merengek minta di-servis pada akhirnya KO juga. Mau ga mau akhirnya pake komputer rumah yang lemotnya minta ampun(Itu-pun klo pas aku pulang liburan ke rumah). Benernya bisa sich ke rental..tapi lagi-lagi MALAS! Kerja rutin memang bikin aku semakin malas nulis (duh, jangan2 alasan malas tu cuma mekanisme pertahananku aja yang memang sebenarnya...sebenarnya apa ya? sebenarnya memang malas poll see. Plizz, siapapun jangan ditiru n' mudah-mudahan ga nurun ke anak cucu nanti).

Nah, waktu buka-buka file masa-masa SMU di komputer lama nie aku nemuman beberapa tulisan lama. Diantaranya tugas Mapel Bahasa Indonesia, Bikin Cerpen dan meresensi buku. Resensi2 nya memang banyak, abis waktu itu aku jualan tugas resensi jadi ke kawan-kawan. Dan, buku-buku yang kuresensi kupinjam dari om yang waktu itu lagi studi pasca sarjana Humaniora dapat beasiswa di UGM. Karena buku-buku yang tersedia buku nonfiksi (padahal pada waktu itu aku lagi gandrung-gandrungnya novel sastra lama&Modern Indonesia yang sedikit tersedia di perpus SMU-ku), jadi akhirnya kubaca juga (secara serampangan tentunya) buku-buku tersebut. Tapi memang pada dasarnya memang aku sudah mulai tertarik buku nonfiksi, pasalnya semenjak kakakku beraktivis ria di bangku kuliah (UNEJ),beliaunya sering bawa pulang buku-buku politik dan majalah tegalboto n ga cukup itu, dia juga nyuruh aku baca buku-buku yang dia bawa (uik!, pdahal dia ndiri belum tentu baca. Yakin dah). Majalah tegalboto merupakan satu hal yang membuatku akrab dengan kota Jember & kampus UNEJ, isu2 di sekitar kerajaan UNEJ,aktivisme di UNEJ jauh sebelum pada akhirnya kuputuskan mengambil PMDK di Unej..bukan UNSOED, UNS, UNY ataupun UGM. Aneh.

Yo weslah ora opo-opo,semua ada hikmahnya. Oiya, kayaknya ga da salahnya menampilkan resensi-resensi (amburadul) semasa SMU itu he..3x.

=======================================

PEMBANTAIAN PASKA GESTAPU

Judul Buku : Palu Arit di Ladang Tebu
Penulis : Hermawan Sulistyo
Penerbit : KPG (Kapustakaan Populer Gramedia)
Tahun Terbit : 2001, cetakan ke 2
Tebal Buku : xv + 292 halaman
Ukuran Buku : 14 cm x 21 cm

Belum lama terbit sebuah buku dengan judul “ Aku Bangga Menjadi Anak PKI” yang ditulis oleh anak seorang PKI, sebelumnya pun ada sebuah buku yang ditulis oleh kumpulan anak-anak pahlawan revolusi. Tentu kedua buku tersebut isinya sangat bertentangan, karena yang satu melihat dari sudut pandang PKI, dan yang satu melihat dari sudut pandang anak-anak jenderal yang diculik dan dibunuh. Di dalam buku ini menyajikan peristiwa G 30 S/PKI atau GESTAPU dan pembasmiannya atau GESTOK, secara gamblang.
Cover buku sederhana dan tidak menarik, namun yang menjadi daya tarik buku ini adalah judulnya yaitu “Palu Arit di Ladang Tebu”. Isi buku menginterpretasikan Gestapu dan Gestok yang sebagian besar tidak diketahui atau sengaja ditutupi oleh rejim Orba. Dimana penulis dalam menyampaikannya menggunakan sudut pandang secara seimbang dan sesuai dengan wawancara terhadap saksi, pelaku, maupun data-data yang diperoleh melalui penelitian terlebih dahulu.
Penulis menjelaskan bahwa pada masa Demokrasi terpimpin, Soekarno membawa Indonesia ke kiri. Di dalam negeri, ia menerapkan Kebijaksanaan Nasakomisasi untuk melebur tiga kelompok sosial politik yang dianggapnya sebagai akar-akar seluruh kekuatan politik. Ketiga kelompok tersebut adalah Nas-ionalis, A-gama, Kom-unis. Soerkarno memimpikan ketiga kelompok ini bersatu untuk menjadi kekuatan progresif revolusioner demi memajukan Indonesia raya (halaman 35).
Akan tetapi golongan muslim menentang dan tidak menyukai kaum komunis yang tidak mengenal agama. Ribuan anggota NU dan Ansor yang bersenjata tajam, memulai kerusuhan dengan membakar rumah dan membunuh beberapa anggota PKI yang diartikan umat muslim sebagai perang suci atau jihad. Kejadian ini diikuti aksi pembalasan oleh simpatisan PKI, peristiwa serupa yang sama besarnya (halaman 84).
PKI yang tak mengenal agama menyerang dan mengambil Al-Qur’an dan menyobeknya, lalu melemparnya ke lantai dan kemudian menginjak-injaknya sambil mengatakan “Iki sing marakke gudikan!” (halaman 140).
Peristiwa Gestapu terjadi pada Kamis malam, tepatnya Jumat legi subuh. Malam Jumat diprcaya oleh sebagian kalangan masyarakat sebagai malam yang angker. Departemen AD menjelaskan melalui surat kabar yang terlebih dahulu ditandatangani oleh Soeharto “bahwa peristiwa Gestapu adalah peristiwa yang kontra revolusioner”. Namun pada hari yang sama, Harian Rakjat (surat kabar komunis) menerbitkan artikel dengan judul “ Letnan Untung, komandan Tjakrabirawa, telah menyalammatkan presiden RI dari kudeta Dewan Jenderal”, dengan sub judul Gestapu adalah peristiwa internal AD”(halaman 154).
Gestapu berhasil ditumpas dengan serangkaian serangan balasan yang dikenal dengan istilah Gestok (gerakan serangan tiga oktober) yang dilakukan oleh tentara, kelompok ronda, maupun algojo-algojo. Diperkirakan sekitar 1.000.000 anggota dan simpatisan PKI yang tidak tahu-menahu dibantai secara kejam. Tak jarang beberapa bagian anggota tubuh (telinga, jari, alat kelamin) diambil dari korban dan dibawa pulang oleh pembunuh sebagai oleh-oleh atau sebagai bukti keberanian…(halaman 166)
Menurut penelitian yang dilakukan penulis yang menyebabkan militer berani menangkap anggota PKI, karena militer merasa PKI dalam keadaan terpojok, sehingga mereka menangkap 40.000 orang yang dituduh sebagai anggota PKI. Perwira militer mengeluh tentang kesulitan-kesulitan memberi makan kepada tawanan. Kemudian militer mendiskusikan hal itu.
“ Disekolahkan saja”, salah seorang mengusulkan.
“Kirimkan saja mereka ke sukabumi…ya, bunuh mereka!”
(halaman 173)
Dengan bantuan daftar anggota PKI, para algojo menyeret anggota PKI dari rumah mereka dan mengeksekusi mereka di mana saja, tetapi analisis paska pembunuhan mencurigai militer sengaja membuat daftar ini. Alasannya, hanya militerlah yang mempunyai kemampuan untuk mengetik dan menyusun daftar yang jelas dan lengkap; dan dikatakan militer berusaha memicu kemarahan massa(halaman 188).
Hasil wawancara menunjukkan bahwa di daerah pedalaman Jombang, tak terhitung jumlah guru Sekolah Dasar yang dibawa ke kuburan dan dibunuh di sana. Pada suatu kejadian, Kiai Ich (inisial) dari Mojowarno, berusaha menghentikan pembantaian. Ia katakan kepada anggota kelompok ronda supaya menyeret anggota PKI ke pengadilan saja. Tetapi, hanya sedikit anggota ronda yang mau mendengarkannya. Sehingga banyak anggota PKI yang melarikan diri dan meminta perlindungan kepada kiai. Setelah ditelusuri para anggota PKI dalam kenyataannya tidak mengerti afiliasi politiknya. Banyak di antara mereka shalat secara teratur (halaman 198).
Ada kabar tentang seorang perwira yang baru saja pindah dari dari Pandegilling, Jawa Barat. Perwira ini dengan ganas menembaki anggota PKI. Tetapi belakangan, ia sendiri diketahui ialah simpatisan PKI. Anggota kelompok ronda percaya ia ingin menutupi masa lalunya dengan melakukan tindakan seperti itu, dengan harapan tak seorangpun yang mencurigainya (halaman 226).
Sebelum dan selama pembantaian, ada dua orang kiai yang sangat berpengaruh--K.H. SM dan K.H. MA--yang mempunyai hubungan erat dengan kelompok ronda kediri. Keduanya memiliki pandangan yang berbeda tentang pembantaian. Kiai MA menyatakan membunuh orang komunis dibenarkan. Tetapi seharusnya dilakukan secara baik-baik, tetapi jika yang akan dibunuh sudah mengucapkan kalimat syahadat maka pembunuhan harus dibatalkan, kiai MA juga pernah menyatakan bahwa “pembunuhan merupakan kehendak Tuhan”. Sedangkan kiai SM berbeda ia mengatakan Gestapu adalah konfik antara pemerintah dengan pemberontak, suatu bentuk konflik yang berbeda pada masa Nabi, meskipun mereka bukan seorang kafir mereka harus dibunuh. Pembangkangan terhadap negara harus dibalas dengan hukuman yang setimpal, yaitu dibantai (halaman 234).
Beberapa dekade setelah Gestapu terjadi, masih sedikit yang dapat menceritakan tentang peristiwa itu, apalagi pembantaian massal paska gestapu. Ada beberapa kendala yang bermain di sini, termasuk emosi politik. Melalui ketetapan MPRS (TAP MPRS No.XXV/MPRS/1996) yang berisi dilarang untuk mempelajari ajaran marxisme-leninisme, PKI dan seluruh topik yang berkaitan dengan peristiwa Gestapu (halaman 236).
Ada beberapa teori, interpretasi, dan spekulasi mengenai aktor-aktor dalam peristiwa Gestapu. Dalam konteks ini, setidaknya terdapat lima fersi sebagai berikut. Pertama, PKI sebagai dalang. Kedua, Penyebab Gestapu adalah masalah internal angkatan Darat. Ketiga, Soekernolah yang bertanggung jawab. Keempat, Soehartolah dibalik peristiwa Gestapu. Kelima, Jaringan intelejen dan CIA yang mendalangi Gestapu. Sampai sekarangpun masih samar, siapa sebenarnya dalang dalam peristiwa penculikan dan pembunuhan para jenderal (halaman 237)
Dalam politik nasional, Orba melakukan konsolidasi guna mempersiapkan Pemilu 1971. Pemerintah pada saat itu mengatakan “sekarang adalah saatnya untuk nglumpukake balung pisah” yang artinya mencari anggota keluarga besarnya yang terpisah, dan melupakan masa lalunya. Konsolidasi rejim yang baru dipermudah oleh depolitisasi masyarakat (halaman 239).
Pada bab VII penulis membuat rangkuman yang menginterpretasikan bahwa dalam potret resmi, peristiwa Gestapu hanya terpusat di Jakarta, disajikan di atas kanvas putih tanpa cela. Sedangkan pembantaian massal paska gestapu tidak ditorehkan di atas kanvas itu, karena lukisannya akan mengganggu lanskap resmi. Karena itulah tidak mengherankan bila peristiwa kemanusiaan dengan ribuan korban jiwa hampir dilupakan hanya dalam waktu kurang dari satu generasi. Namun, banyak luka yang masih tertoreh. Luka-luka yamg berada di bawah permukaan sejarah resmi ini merupakan bagian dari pengalaman kolektif negara Iandonesia. Seperti halnya sejarah resmi, luka-luka ini juga akan turut membentuk generasi yang akan datang.
Sebagai buku terjemahan, buku ini mengandung beberapa “kelemahan”. Pertama, karena teks aslinya dibaca oleh kalangan akademis, maka dalam menterjemahkan sulit menguraikan persoalan yang menyangkut kerangka teori dan kesimpulan. Kedua, terdapat beberapa kesalahan dalam penulisan. Misalnya, kata namu (halaman 35) seharusnya tertulis namun, kata tampa (halaman 148) seharusnya tertulis tanpa, kata utang (halaman 150) seharusnya tertulis hutang.
Kelebihan buku yaitu, buku disertai indeks, dan penjelasan dari kata-kata yang sulit. Kelebihan lainnya penulis melakukan penelitian lapangan dan mengumpulkan data-data yang akurat sehingga kebenaran isi tidak diragukan.
Buku nonfiksi ini sangat bermanfaat karena menambah cakrawala pandang pembaca, selain itu buku ini juga mengandung pesan, “janganlah menghilangkan suatu fakta sejarah, meskipun sejarah tersebut menyakitkan. Buku ini layak dibaca siapapun, terlebih generasi muda.

(Resensator : Ratih Indri Hapsari)

-------------------

FEODALISME DALAM MODERNITAS

Judul Buku : Serpihan Budaya Feodal
Penulis : Suhartono W. Pranoto
Penerbit : Agastya Media
Tahun Terbit : 2001, cetakan ke 1
Tebal Buku : xiv + 249 halaman
Ukuran Buku : 14 cm x 21 cm

Jika kita melihat cover buku ini maka akan berpendapat bahwa isi buku nonfiksi ini menarik, cover buku ini bergambar wayang. Buku ini membahas mengenai penyimpangan sosial-budaya yang sebenarnya merupakan warisan feodal yang sampai sekarang masih hidup di masyarakat, bahkan sulit untuk direduksi apalagi dihilangkan semuanya secara drastis. Perlu diakui bahwa memang sulit, sebab semuanya adalah warisan budaya. Pemahaman buku ini dapat dipakai sebagai bekal untuk menapak ke masa depan, yaitu ke arah pemerintahan bersih dan transparan demi tercapainya masyarakat sejahtera.
Buku ini memuat tentang banyaknya tanah yang bermasalah karena ulah kepala desa. Kepala desa berhak dhedhel garapan petani kalau ketahuan kether (lamban bekerja), bertindak asosial, dan kriminal di desa. Sementara itu petani tidak dapat membela dan mempertahankan hak-haknya hingga ia diturunkan dari petani keceng menjadi petani gundhul, kalau perlu dikeluarkan dari desa (halaman 92)
Di dalam masyarakat Jawa dikenal prentah alus. Perintah yang keras dan mengandung sanksi diwujudkan dalam dalam bentuk prentah alus. Istilah kapocot atau kadhedhel sanggannya sangat menghantui petani, sebab mereka dilepas dari kehidupan desa. Ini semua merupakan realisasi dari prentah alus yang harus diterima dengan tulus dan sebagai suatu kenyataan (halaman 110)
Buku ini juga membandingkan perbedaan feodalisme yang terjadi di Eropa dan Jawa. Menurut Penulis perbedaan yang mencolok ialah bahwa para pemegang tanah apanage hanya bersifat sementara, yaitu selama memangku jabatan sebagai birokrat kerajaan. Tanah-tanah apanage di Eropa bersifat permanen, sedangkan di Jawa merupakan tanah gadhuhan, yaitu pemberian tanah dari raja untuk sementara waktu yang menikmati hasil tanah selama menjabat. Persamaan kedua jenis feodalisme adalah semua beban feodal ditanggung oleh tani baik berbagai pajak langsung dan tidak langsung, tenaga kerja, dan berbagai sumbangan yang dalam hal itu upeti termasuk di dalamnya (halaman 128)
Buku ini juga mencatat hubungan birokrasi kerajaan yang terjalin dari puncak sampai ekor birokrasi di pedesaan, ternyata peran lurah tidak dapat ditinggalkan. Lurah tidak lain adalah broker yang menjembatani dunia yang terpisah antara bangsawan dan pemegang lungguh dengan tani. Para bangsawan mengangkat lurah itu untuk mengkoordinasikan tani sebagai tenaga kerja agar mengerjakan siti palenggahan. Lurah mewakili bangsawan di pedesaan dan otoritasnya yang besar itu sangat aksensif dan bahkan menekan tani. Ia dianggap sebagai ratu cilik yang mengimitasi kekuasaan penguasa di atasnya.
Bab 8 merupakan bab yang menarik, bab ini berjudul “Pajang-pasisiran dan Pajendralan : Beban Rakyat”. Di dalamnya mengkaji istilah pajang-pasisiran dan pajendralan. Baik pajang-pasisiran maupun pajendralan terkombinasi menjadi salah satu ciri kekuatan feodal yang menunjukkan kewenangan kedudukan para pembesar dan penguasa feodal yang menunjukkan kewenangan kedudukan para pembesar dan penguasa feodal kerajaan untuk mengadakan kunjungan ke daerah-daerah dan bagi birokrat kolonial melakukan tourne sehubungan dengan kepentingan dinas. Apakah tourne ini memang tugas yang dilakukan rutin ataukah direkayasa sehingga pembesar memenuhi interes tertentu di suatu daerah.
Buku ini juga menyebutkan aspek budaya Jawa bawah tanah, yang menjelaskan bahwa apabila panen gagal dan dibarengi tekanan dari pihak onderneming maka keadaan ini merupakan peluang bagi timbulnya berbagai upaya untuk menolak. Di sini kecu merupakan salah satu jawabannya. Selain itu timbul pula bara, koplakan, bohong, laying booding, kebal, benggol ( halaman 233 )
Kelebihan buku ini adalah penulis dalam dalam memaparkan isi mudah dimengerti oleh pembaca walaupun di dalamnya tertapat kata-kata asing dang banyak pula yang menggunakan bahasa Jawa, sedangkan kelemahannya adalah terdapat beberapa kesalahan dalam penulisan.
Buku ini sangat bermanfaat serta menambah pengetahuan kita. Buku ini layak dikonsumsi siapapun.

------------------

MASALAH SEJARAH DAERAH
DAN KESADARAN SEJARAH


Judul Buku : Sejarah lokal di Indonesia
Penulis (Editor) : Taufik Abdullah
Penerbit : Gadjah Mada University Press
Tahun Terbit : 1996, cetakan ke 4
Tebal Buku : xiii +323 halaman
Ukuran Buku : 16 cm x 21 cm

Buku ini merupakan kumpulan tulisan-tulisan sejarahwan. Sehingga taufik Abdullah mengambil tulisan-tulisan yang masing-masing “mewakili” suatu daerah atau suku-suku tertentu. Dengan begini penulis (editor) mengharapkan suatu “paranoma” tulisan tentang tanah air kita dari kaca mata asing. Dalam penyusunan ini maka yang diambil patokan ialah proses pengerjaan sejarah itu sendiri. Bermula dari bahan yang dianggap paling awal, yaitu arsip, berakhir dengan uraian sejarah yang bersifat interpretatif.
Buku ini menjelaskan bahwa penanaman “sejarah nasional” atau “sejarah Indonesia” yang mencakup zaman dari seluruh daerah yang kini disebut Republik Indonesia haruslah diterima tak lebih daripada nama berdasarkan konsensus saja. Konsesus tak pula terlepas dari patokan normatif dan bukan ditentukan oleh keharusan logis dari “subject matter” atau sasaran studi, tetapi oleh tuntutan ideologis. Maka pencampuran konsensus dengan pengujian berdasarkan disiplin ilmu sejarah akan menimbulkan kekacuan saja (halaman 14)
Di dalam kata pengantar Taufik Abdullah mengatakan bahwa kesulitan sesungguhnya terletak pada kenyataan bahwa daerah sebagai unit administratif, sering tidak sesuai dengan “daerah” dalam pengertian etnis-kultural (halaman 37)
Dalam buku dipakai istilah yang netral dan diharapkan berarti tunggal, yaitu “sejarah lokal”. Pengertian kata lokal tidak berbelit-belit, hanyalah “tempat, ruang”. Jadi “sejarah lokal” hanyalah berarti sejarah dari suatu “tempat”, suatu “locality”, yang batasannya ditentukan oleh “perjanjian” ( halaman 67)
Buku ini menjelaskan bahwa perhatian utama dari sejarah sosial ialah bagaimana masyarakat mempertahankan dirinya, mengatur hubungan sesamanya (seperti status dan wibawa) dan bagaimana pula memecahkan masalah dalam berhadapan dengan lingkungan (alamiah ataupun sosial), dan dengan tetangga (halaman 146)
Maka editor menyimpulkan bahwa sejarah sosial itu menunjukkan perhatian pada aktivitas sosial dalam kaitannya dengan perkembangan dunia-sosial secara keseluruhan (halaman 167)
Buku ini menjelaskan bahwa dalam hal ini kategori-kategori masalah yang diuraikan oleh H.J. Perkin tampaknya bisa menolong. Jika masyarakat sebagai sasaran penelitian historis secara analogi dapat dianggap sebagai suatu organisme, maka yang menjadi sasaran perhatian ialah ekologi, antomi, fisiologi, patologi, dan psikologi (halaman 266)
Penulisan sejarah sosial tidak berhenti pada kisah dan proses tetapi melanjutkan pada uraian tentang struktur yang tidak sekedar terpukau pada peristiwa dan tokoh besar tetapi mencoba “menangkap” hal kecil dan orang kecil; tidak hanya romantika kehidupan yang kwalitatif, tetapi juga data yang dapat dihitung secara tepat. Tetapi apakah ini artinya kita harus mempunyai suatu total history, yang merekam segala sesuatu dan memperlakukannya secara “adil”? jawabannya ada pada halaman 320
Editor menjelaskan betapa idealnya, sejarah-total bukanlah yang harus dicapai. Kalau begitu, meskipun sejarah sosial bersifat menyeluruh, secara praktis dalam pengerjaannya si sejarahwan semestinya dibimbing oleh dua hal pokok. Pertama ialah “batas’yang jelas pada sasaran penelitian, kedua “faktor pemersatu” atau unifing factor dalam studi (halaman 321)
Bagian penutup buku mengkaji bahwa pendekatan sejarah sosial, yang menekankan keharusan adanya bentuk struktural sebagai konteks dalam nama peristiwa yang terjadi, tidak memberikan kisah, narrative, tetapi uraian deskriptifnya tak kurang mengasyikkan. Mukin pula tidak ada pahlawan heroik yang dikisahkan, tetapi sejarah sosial mencoba untuk merekam sepenuhnya romantika kehidupan masyarakat (halaman 323)
Fungsi utama dari tulisan editor yang mengawali kumpulan tulisan terjemahan ini yaitu menginterpretasikan sejarah lokal di Indonesia. Buku ini sangat bermanfaat sebab dapat menambah pengetahuan.
Kelebihan buku adalah editor dalam menyusun buku mengambil tulisan yang bersifat tematis—ekonomi, politik. Kelebihan lain adalah editor dalam usaha penyusunan mengambil patokan yang bermula dari bahan yang paling awal, yaitu arsip, dan berakhir dengan uraian sejarah yang bersifat interpretative. Sedangkan kelemahan buku terletak pada penulisan isi yang menggunakan ukuran huruf terlalu kecil sehingga mata akan cepat lelah dalam membaca buku. Buku ini sangat bermanfaat dan layak dibaca siapapun.

--------------------

INTERPRETASI
POLITIK PEDESAAN


Judul Buku : Perlawanan Kaum Tani
Penulis : James C. Scott
Penerbit : Yayasan Obor Indonesia
Tahun Terbit : 1993, cetakan ke 1
Tebal Buku : xvii + 384 halaman
Ukuran Buku :16 cm x 21 cm

Seperti halnya buku nonfiksi lainnya cover buku ini kurang menarik. Berwarna hijau tua dengan lukisan yang menyerupai kerucut, merupakan sebuah cover buku jika kita melihatnya sepintas, maka kurang tertarik untuk membacanya. Akan tetapi isi buku ini menarik dan sangat berguna untuk menambah pengetahuan kita dan menjadikan kita sebagai insan yang lebih peka terhadap ketidakadilan dan dapat menjadikan suatu keragaman (prulalitas) sebagai pendorong persatuan tanpa mempermasalahkan keragaman tersebut. Dalam buku ini membahas khusus pada masyarakat yang bermata pencaharian sebagai petani.
Buku ini mengkaji melemahnya ikatan patron-klien antar petani gurem/buruh tani (klien) dan petani kaya (patron). Scott menyebut beberapa faktor, diferensiasi sosial yang menjadi pengaruh ke mana elit pertanian di desa menaruh harapan. Scott menampilkan pokok-pokok argumentasi yang ringkas tentang hubungan petani dan elit agraris, mengenai legitimasi patron bukan hanya fungsi linier serta stratifikasi pedesaan makin terpolarisasi antara produsen bebas dan terikat (halaman 4-7)
Kesenjangan dalam pemilikan tanah yang terjadi di desa Jawa dapat memperkuat pula ikatan patron-klien, dimana klien (buruh tani) makin tergantung pada hubungan kerja. Di delta Tokin, misalnya, penyewaan yang tidak menentu, paling tidak menyediakan akses terhadap sepetak tanah kredit yang cukup bagi hidup penggarap. Demikian pula banyak penggarapan skala kecil di Jawa Tengah dan Jawa Timur dinilai terutama untuk keamanan subsistensi yang umumnya diberikan oleh pemiliknya (halaman 36)
Buku ini memuat pula kesenjangan berpolitik di masyarakat tani desa, akses partai-partai kepada kaum tani tampaknya kebanyakan terjadi melalui jalur-jalur patronasi, kekerabatan dan kepatuhan tradisional. Pemimpin-pemimpin partai sadar akan masalah ini dan secara berkala mencela deviasi paternalisme atau bapakisme. Pada tahun 1955 ketika para petani menjadi mayoritas keanggotaan partai, pemimpin partai bahkan mengeluh bahwa unsur-unsur lokal yang kaya menghambat keputusan-keputusan partai. Jadi struktur lokal PKI -- makna desanya -- telah menciptakan hambatan besar bagi militansi kelas (halaman 134)
Di samping itu buku ini juga mencatat bahwa buruh tani yang masih berakar pada dusun mengenal ikatan guyub, di mana daya swakarsa secara perorangan atau kolektif mampu mempertahankan ketahanan mereka. Juga diamati bahwa keterlibatan buruh tani di luar dusun umumnya tidak terlepas dari perantaraan “patron” baru.
Bentuk-bentuk perlawanan sehari-hari para petani dimuat pada bab 4, teknik-teknik perlawanan yang digunakan untuk menghindari pajak, zakat yang tidak wajar (halaman 362-366)
Perlawanan sebagai tindakan revolusioner adalah aksi pembelaan diri yang sifatnya dramatis. Hal ini dapat saja bersifat senjata makan tuan, atau dapat mengurangi eksploitasi, tapi yang jelas memaksa negoisasi kembali pada hubungan kelas, dan mungkin kadang-kadang, membantu meruntuhkan sistem. Namun hal tersebut merupakan akibat yang mungkin terjadi. Sebaliknya, niatnya hampir selalu kelangsungan hidup dan keteguhan.
Sebagaimana karangan James C. Scott lainya, buku ini mengungkapkan ketidak adilan atau konflik kelas dan teknik-teknik perlawanan kaum tani yang tidak berarti mengabaikan konteks kepastian dari politik kaum tani.
Buku ini cukup tebal dan banyak terdapat kata asing, tetapi jangan khawatir karena terdapat penjelasan tentang kata-kata asing tersebut. isinyapun sungguh merupakan suatu fakta yang dilengkapi dengan data-data yang valid.
Buku ini jelas akan memperkaya bacaan kita di Indonesia mengenai masyarakat tani dan hubungannya dengan petani kaya. Buku ini layak dibaca siapa saja, terutama generasi muda.

------------------

DILEMMA BIROKRASI

Judul Buku : Politik, Birokrasi dan pembangunan
Penulis : Dr. Mohtar Mas’oed
Penerbit : Pustaka pelajar
Tahun Terbit : 1999, cetakan ke-3
Tebal Buku : x + 185
Ukuran Buku : 13 cm x 21 cm

Jika melihat cover dan ukuran buku secara sepintas maka orang akan menganggapnya buku fiksi. Tetapi oponi itu akan hilang bila membaca judul buku. Buku ini bermula sebagai makalah yang ditulis untuk keperluan yang berbeda-beda.
Tema sentral tulisan yang dilaporkan dalam kumpulan ini adalah masalah pemberdayaan rakyat sebagai tujuan pokok pembangunan dan tantangan serta dilemma yang dihadapinya. Sikap normative penulis ini sangat jelas tercermin dalam berbagai arguman bahwa proses politik dan kebijakan yang berurusan dengan pembangunan seharusnya didasarkan pada pertimbangan pemberdayaan rakyat.
Penulis menyampaikan bahwa, sebagian dari kemerosotan politik di Indonesia disebabkan oleh kegagalan partai-partai atau kaum sipil umumnya untuk merangsang proses ke arah terwujudnya suatu sistem politik yang sehat sewaktu mereka mempunyai kesempatan untuk bisa berbuat ke jurusan itu karena kekuatan politik pada waktu itu boleh dikatakan berada di tengah mereka (halaman 7).
Hasil membaca dan menyelidiki beberapa sumber, penulis dapat mengemukakan, tema sentral kebijakan pembangunan Indonesia sejak pertengahan 1980-an adalah “structural adjustment”, yang merupakan tanggapan pemerintah terhadap tantangan berat yang dihadapi ekonomi Indonesia akibat kemerosotan penerimaan devisa dari ekspor minyak bumi pada awal tahun 1980-an. Dalam literature dikenal empat jenis kebijakan penyesuaian…(halaman 55).
Ada dua generalisasi sahih yang mendasari tulisan ini. Pertama, birokrasi tidak pernah beroprasi dalam “ruang hampa politik “ dan bukan aktor netral dalam politik. Kedua, negara-negara Dunia Ketiga lebih sering dipengaruhi oleh sistem internasional, daripada sebaliknya (halaman 68).
Tulisan ini didasarkan pada argumen bahwa sebagian besar dari kegagalan memahami persoalan birokrasi di Dunia Ketiga adalah akibat dari dominannya konsepsi Weberian dalam studi mengenai birokrasi (halaman 69).
Subsidi pemerintah yang besar-besaran dibahas meliputi pangan murah bagi konsumen kota, harga tinggi untuk produk pertanian, harga murah untuk input pertanian, subsidi ekspor, dan harga murah untuk sektor publik memenuhi kepentingan industrialistik (halaman 112).
Penulis menyajikan fakta bahwa para pemimpin memang berusaha memenuhi kepentingan politiknya melalui penerapan kebijakan publik dan pola-pola intervensi negara seringkali mencerminkan kepentingan kelas-kelas dominan. Ini adalah sebuah pemikiran yang berguna. Berkembangnya minat terhadap peran negara dalam pembangunan sangat menggembirakan. Namun ada dua tantangan intelektual yang harus kita hadapi. Pertama, adalah adanya bahaya kecenderungan kerah reduksionisme “ tidak langsung”. Yaitu peran negara kelihatannya dianggap penting tetapi dianalisis melalui perspektif yang pada dasarnya reduksionis. Bahaya analitis kedua adalah sebaliknya, yaitu membuang reduksionisme determinasi politik (halaman 121).
Siapa yang miskin? Pertanyaan ini berkenan dengan bagaimana mengidentifikasikan kemiskinan. Pada dasarnya, ada dua pendekatan : yang pertama menekankan pengertian substensi ; sedang kedua memahami kemiskinan dalam pengertian relative. Bagaimana mengukur kemiskinan menurut kelompok ilmuwan? Berapa banyak orang miskin di Indonesia? Mengapa mereka miskin? Pertanyaan ini ada dan dijawab pada halaman 136-156.
Tulisan ini dapat memberi jawaban terhadap pertanyaan bagaimana mencegah kemiskinan? Bagaimana mencegah korupsi? Yaitu strategi politik perwakilan yang lebih terbuka dan membiarkan masyarakat menyuarakan kepentingannya melalui saluran yang sah. Selain itu buku ini dilengkapi bagan yang lebih memperjelas isi. Itulah salah satu kelebihan buku. Sedangkan kelemahan gagasan ini perlu dilengkapi dengan daftar istilah, indeks, sehingga pembaca tidak bingung. Buku ini layak dibaca untuk semua umur, baik tua maupun muda.

--------------------
PERBANDITAN SEBAGAI
MANIFESTASI PROTES SOSIAL

Judul Buku : Bandit-bandit Pedesan di Jawa
Penulis : Suhartono
Penerbit : Aditya Media
Tahun Terbit : 1995, cetakan ke 1
Tebal Buku : xii + 180 halamanUkuran Buku : 15 cm x 21 cm

Cover buku ini berwarna merah darah, serta pagar dengan kawat berduri. Merah darah dan kawat berduri merupakan sebuah gambaran abstrak tentang kehidupan petani pedesaan yang tertindas.
Dengan melihat covernya saja kita akan tertarik untuk membaca buku ini. Buku nonfiksi ini merupakan studi historis yang sengaja dibukukan. Prof. Dr. Sortono telah banyak menulis buku nonfiksi dengan bobot ilmiah dan validitas yang tak perlu diragukan karena disertai berbagai penelitian yang panjang dan melelahkan dari berbagai sumber, baik dalam negeri maupun luar negeri.
Buku ini menginterpretasikan masalah perbanditan. Dalam kasus di daerah Jawa di masa lalu, bandit muncul dari kelompok yang tertindas yang membela diri untuk mempertahankan eksistensi kehidupan di pedesaan yang terdesak oleh perkebunan. Perbanditan sosial di pedesaan adalah suatu gerakan kesadaran masyarakat dan mempunyai motivasi politik yang sebenarnya skalanya masih sangat lokal dan sifat geraknya antara arkais dan modern…(halaman 11) Proses lahirnya perbanditan berasal dari petani yang terdesak dan tertekan oleh beratnya pajak dan kerja wajib. Perbanditan pedasaan sebenarnya tidak lain adalah etos kultural pedesaan yang dinyatakan dalam tradisi masyarakat…(halaman 107) Dipandang dari ideologinya, perbanditan pedesaan lebih menitik beratkan hal-hal yang bersifat riil dan ekonomis, artinya menghadapi kepentingan primer yang merupakan hajad hidup bersama dalam masyarakat pedesaan. Dengan demikian perbanditan sosial lebih merupakan kombinasi antara everyday forms of peasant resistance dan peasant revolt. Sasaran dalam perbanditan pada umumnya dapat dibedakan menjadi dua bagian…(halaman 111) Korban perampokan atau pengecuan adalah pihak-pihak yang merugikan petani dan mendukung ekstraksi yang dilakukan tanah partikelir. Bandit-bandit yang dikenal sebagai “Robin Hood” antara lain Entong tolo dan Entong Gendut mereka dikenal sebagai pemimpin bandit sosial yang bercampur motivasi politik meskipun sangat terbatas disalah satu distrik Jatinegara…(halaman 134)
Kesimpulan dari buku ini yang dimuat pada bab 6 adalah, pada dasarnya perbanditan tidak akan hilang selama masih ada kehidupan dalam masyarakat. Perbanditan pedesaan yang muncul merupakan bentuk manifestasi protes terhadap ketidakadilan sosial…(halaman 159) dan perbanditan pedesaan tetap saja ada selama masih terjadi eksploitasi yang merugikan petani.
Keunggulan isi buku adalah penulis dalam penyampaian masalah mengenai perbanditan melalui penelitian terlebih dahulu sehingga kebenarannya tidak pelu diragukan. Sedangkan kelemahannya adalah penulis tidak memberi solusi bagaimana cara menanggulangi atau mengurangi perbanditan sebagai protes sosial ketidakadilan.
Buku ini menarik untuk disimak karena sejarah sering berulang, dan manusia sering alpa terhadap hakekat kemanusiaan. Di samping itu buku ini sangat bermutu dan menunjang bagi pendidikan yang mengacu pada kompetensi, dan layak dibaca siapa saja lebih-lebih generasi muda.

-------------------

SEJARAH PERKEMBANGAN NASIONALISME INDONESIA

Judul Buku : Sejarah pergerakan Nasional
Penulis : Dr. Suhartono
Penerbit : Pustaka pelajar
Tahun Terbit : 1994, cetakan ke 1
Tebal Buku : xi + 171 halamanUkuran Buku : 16 cm x 21 cm

Desain cover buku ini sungguh sederhana. Cover buku berwarna hijau tua serta tulisan judul berwarna kuning jingga. Terbitnya buku Sejarah Pergerakan Nasional (SPN) ini melalui proses panjang setelah penulis menjalani “masa dinas” yang cukup lama. Sebenarnya secara ringkas ide pokok SPN ini telah diterbitkan berupa diktat oleh Fakultas Fisipol pada waktu penulis memberikan kuliah di fakultas tersebut. Diktat itu dikeluarkan pertama pada tahun 1975 dan ternyata sampai dengan awal tahun 90-an masih terus dikeluarkan. Indikator inilah yang mendorong penulis untuk menyempurnakannya dan baru pada tahun 1990 penulis membuat revisi seperlunya dan dalam waktu yang relatif singkat dapat diwujudkan dan layak disebut buku.
Buku yang ditulis Dr. Suhartono ini menginterpretasikan pergerakan Nasional dari Budi Utomo (1908) sampai proklamasi (1945). Kata “pergerakan” Mencakup semua macam aksi yang dilakukan dengan organisasi modern ke arah kemerdekaan Indonesia, sedang nasionalisme sendiri mengacu pada faham yang mementingkan perbaikan dan kesejahteraan rasio atau bangsanya (halaman 4)
Kebutuhan aparatur birokrasi dan administrasi kolonial ternyata juga makin meningkat dan umtuk itu semua diperlukan pendidikan yang lebih tinggi sesuai dengan spesialisasi dan keahliannya. Edukasi menghasilkan elite baru yang makin lama makin tahu kedudukannya yang dibedakan dalam masyarakat kolonial. Dari golongan inilah muncul pembaharuan yang direalisasikan dalam bentuk pergerakan yang modern. Untuk mereallisasikan cita-citanya golongan elite menggunakan kesempatan emas, yaitu dengan keluarnya sabda Ratu Belanda pada tahun 1901 yang menghendaki “diangkatnya “ orang bumi putra dari lembah kemiskinan. Peluang dalam politik etis ini dimanfaatkan sungguh-sungguh oleh para elite untuk meningkatkan kesejahteraan dan dalam perkembangan yang lebih jauh untuk memmbebaskan diri dari dominasi kolonial (halaman 17)
Keadaan wanita Indonesia pada saat itu masih ada dalam konservatisme dan sangat terikat oleh adat. Pengajaran di sekolah-sekolah hanya diperuntukkan bagi anak laki-laki, sedangkan anak perempuan hanya mendapatkan pendidikaan di rumah atau di lingkungan keluarga dan pendidikan yang diperolehnya tidak lebih dari persiapan untuk menjadi seorang ibu rumah tangga yang baik. Pengertian emansipasi yang terkandung dalam jiwa wanita pada waktu itu ialah keinginan untuk mendapatkan persamaan hak dan kebebasan dari kungkungan adat. Mengenai keinginan wanita Indonesia dalam mengejar kemajuan telah diutarakan oleh surat kabar Bintang Hindia sebagai berikut: “Peradapan rokhani perlu bagi gadis Indonesia, agar supaya kemudian kalau sudah menjadi ibu dapat menunjukkan anak-anaknya kearah kemajuan. Kalau ibu menjadi pengasuh utama anak-anak dan mempunyai pengaruh penting masyarakat kita di kemudian hari, mengapa mereka dibelakangkan dari kaum laki-laki”. Kunci gerakan emansipasi yang dipelopori oleh RA Kartini (1879-1904) ialah idialisme yang tinggi dan suci terhadap bangsanya. Oleh karena itu kaum muda harus harus berpartisipasi dalam kemajuan dan menolak konservatisme dan untuk mencapai itu semua Kartini minta “ agar bangsa Jawa diberi pendidikan” (halaman 26-28)
BU (Budi Utomo) lahir di Jakarta pada tanggal 20 Mei 1908, corak baru yang diperkenalkan BU adalah kesadaran lokal yang diformulasikan dalam wadah organisasi modern. Reaksi kurang enak dengan berdirimya BU datang dari orang Belanda, mereka tidak senang atas kelahiran “si molek” dan mengatakan bahwa orang Jawa makin banyak “cingcong”. Setelah organisasi BU didirikan selanjutnya disusul berdirinya organisasi-organisai lain di tanah air (halaman 32)
Perkembangan nasionalisme Indonesia terjadi secara stimulan, bukan saja menjangkau partai-partai politik tetapi juga organisasi-organisasi pemuda. Bersamaan dengan pembentukan PNI dan PPPKI, organisasi-organisasi pemuda ada dalam proses politisasi yang makin meningkat. Manifestasi persatuan pemuda diwujudkan dalam Kongres Pemuda II pada tanggal 26-28 Oktober 1928 (halaman 78)
Buku ini juga mengemukakan proklamator dalam Sejarah Pergerakan Nasional. Dalam bab XIII ini Dr. Suhartono menggungkapkan biografi para proklamator Indonesia. Penulis menceritakan secara singkat perjalanan hidup Ir Sukarno (6 Juni 1901-21 Juni1970) dan Drs. Mohammad Hatta (12 Agustus 1902-14 Maret 1980). Pembahasan tersebut dimuat pada halaman 147-151.
Kelebihan buku adalah dapat menambah pengetahuan kita, selain itu penulis dalam menyampaikan isi sangat jelas sehingga mudah dimengerti. Sedangkan kelemahannya adalah buku tidak dilengkapi daftar istilah sehingga jika pembaca menemukan kata-kata asing, sulit untuk mengerti.
Buku ini sebenarnya dimaksudkan sebagai salah satu bacaan dan pegangan mahasiswa. Tetapi tidak ada salahnya jika siswa SMU membacanya.

------------------
BuruhMenuntut Hak

Judul Buku : Pemogokan Buruh
Penulis : Bambang Sulistyo sebuah Kajian Sejarah
Penerbit : PT Tiara Wacana Yogya
Tahun Terbit : 1995, cetakan ke-1
Tebal Buku : xi + 202 halaman
Ukuran Buku : 15,5 cm x 21cm

Buku non fiksi ini cukup tebal, cover buku cukup menarik, tidak seperti buku nonfiksi lainnya, tanpaknya keelokan cover buku sangat diperhatikan. Seluruh data yang dipergunakan dalam penyusunan buku adalah sumber tertulis yang berupa surat kabar, arsip, majalah, dan karya-karya historiografi.
Variabel yang dibahas dalam buku ini adalah pabrik gula, petani, elit politis, manager pabrik gula, dan pemerintahan kolonial. Pada tahun 1920 terjadi pemogokan di berbagai pabrik gula yang tersebar di seluruh daerah industri gula di Jawa. Pemogokan dilakukan oleh serikat buruh Indonesia ai pabrik gula…(halaman 1).
Kondisi sosial ekonomi Indonesia pada masa kolonial bersifat tidak sinkronis. Kehidupan ekonomi hanya menguntungkan satu sub-kelas kecil yaitu bangsa Belanda 9Eropa); sedangkan bangsa Indonesia (penduduk bumiputra) yang merupakan bagian terbesar dari masyarakat kolonial menderita karena hidup dalam kondisi kemiskinan. Kekayaan dan keuntungan yang dimiliki golongan minoritas Belanda diperoleh dengan cara melakukan eksploitasi ekonomi atas golongan mayoritas penduduk bumiputra. Kondisi sosial dan ekonomi itu dimungkinkan oleh dukungan kebijakan ekonomi kolonial (halaman 9).
Yang paling menderita akibat depresi ekonomi di akhir perang dunia I adalah penduduk bumiputra, terutama petani kecil dan buruh. Golongan yang menderita itu dalam jumlah ribuan bahkan jutaan orang bersedia bekerja apa saja agar dapat menyambung hidup, meskipun dibayar dengan upah yang sangat rendah. Oleh karena itu, depresi ekonomi juga ditandai dengan permintaan yang melimpah atas lapangan kerja oleh penduduk bumiputra (halaman 60).
Pada bab V berisi tentang gerakan buruh menuntuk kenaikan upah tidah hanya dilakukan oleh buruh bumiputra, tetapi juga oleh buruh pabrik gula bangsa Eropa yang tergabung dalam Suikerbond. Beberapa sasaran perjuangannya adalah, menuntut perbaikan gaji, menentang politik kolonial dan menungkatkan aksi dan kekuatan organisasi. Selajutnya pada beberapa artikel yang menyatakan bahwa gerakan buruh yang minta kenaikan upah adalah wajar dan bersifat universal. Oleh karena itu gerakan buruh bumiputra sudah sepantasnya mendapat pengakuan (halaman 139).
Gerakan protes di daerah industri gula pada masa kolonial terjadi karena kondisi sosial dan ekonomi yang tidak sinkronis. Dalam memajukan perusahaan dan memperoleh keuntungan pengusaha melakukan eksploitasi tenaga kerja semaksimal mungkin tanpa memperbaiki kondisi kerja dan kondisi ekonomis pekerja. Pengusaha semakin kaya, tetapi buruh dan petani menjadi miskin. Kondisi yang tidak sinkronis itu diperburuk oleh kegagalan panen padi pada akhir perang dunia I (halaman 177).
Kelebihan buku adalah, buku berperspektif sejarah ini tidak hanya memberikan wawasan tentang persoalan hubungan industrial di awal abad ke-20, tetapi juga sarat dengan trik-trik politik para pemimpin bangsa dalam membela rakyat dari eksploitasi Pemeritah kolonial. Kelebihan lain buku ini memberi motivasi untuk menentang penindasan. Kelemahan Buku adalah, terdapat sedikit penulisan.
Buku ini sangat bermanfaat, isi buku ini cukup berat namun dan sulit dipahami. Walaupun begitu cocok sekali untuk semua kalangan, tua maupun muda.

-------------------------

Mobilisasi Organisasi dan Partisipasi

Judul Buku : Partisipasi politik di Negara Berkembang
Penulis : Samuel P. Hungtinton dan Joan M. Nelson
Penerbit : PT RINEKA CIPTA
Tahun Terbit : 1994, cetakan ke-2
Tebal Buku : X + 239 halaman
Ukuran Buku : 16 cm x 21 cm

Studi ini bermula dari suatu program riset yang diselenggarakan sejak tahun 1969 sampai tahun 1973 di Pusat Pengkajian Masalah Internasional, Universitas Harvard. Cover buku ini tidak menarik sama sekali sehingga kurang memikat pembaca. Tetapi isi buku sangat menarik dan bermanfaat.
Buku ini dalam penulisannya menggunakan program, yang programnya meliputi studi-studi kasus di empat negara, dengan menjajagi pola-pola partisipasi politik di Kolombia, Kenya, Pakistan dan Turki. Juga tercakup di dalam studi-studi silang-nasional mengenai pola-pola partipasi dua golongan masyarakat berpenghasilan rendah : kawula tani dan kaum tani perkotaan. Buku ini dilengkapi dengan analisis yang intensif mengenai partisipasi kelompok itu di negara-negara tertentu : peduduk kota miskin di Meksiko dan penduduk desa Vietnam. Akhirnya, buku ini mencakup dukungan bagi pengembangan dua model partisipasi yang bersifat teoritis dan kuantitatif.
Memobilisasikan suatu kelompok baru ke dalam politik seringkali menimbulkan pengaruh yang merugikan bagi kekuasaan dan peranan partisipasi kelompok-kelompok lain. Biasanya kelompok-kelompok itu memberikan tanggapan dengan jalan menarik diri dari politik, seperti yang dilakukan oleh kaum tuan tanah, atau mengadakan organisai lawan, mengubah teknik-teknik dan sumber-sumber daya yang digunakan di dalam arena itu (halaman 46).
Pada bab 3 penulis mengemukakan, model pembangunan liberal berasumsi bahwa dalam semua tahap pembangunan tingkat pembangunan sosio- ekonomi yang lebih tinggi, Di dalam tahap-tahap pembangunan yang pertama, tingkat partisipasi politik yang lebih tinggi mendorong menurunnya tingkat pemerataan sosio-ekonomi (model borjuis lawan model otokratik), sedangkan dalam tahap-tahap pembangunan kemudian, tingkat partisipasi politik yang lebih tinggi cenderung menghasilkan laju pertumbuhan ekonomi yang lebih rendah (model populis lawan model teknokratik)…(halaman 59).
Penulis mengungkapkan, walaupun partisipasi dalamkegiatan ekonomi yang lebih luas tidak akan mengarah kepada partisipasi politik yang lebih besar mungkin dapat mengarah kepada pembagian hasil negara secara merata. Di mana pemilihan berdasarkan persaingan merupakan salah satu saluran bagi partisipasi politik, maka hal itu juga cenderung untuk menghasilkan distribusi yang lebih luas dari manfaat-manfaat material pemerintah (halaman 100).
Manfaat-manfaat politik partai yang dapat diperoleh di samping manfaat-manfaat kolektif yang dapat dihasilkan bagi lingkungan-lingkungan tempat tinggal tertentu di dalam kota, pemungutan suara juga dapat digunakan sebagai pendistribusian yang lebih meluas dari keuntungan-keuntungan ekonomi di kalangan perorangan. Umpamanya, pemimpi-pemimpin partai memberikan jasa-jasa pendukung, seperti memberikan kredit mencarikan pekerjaan (halaman 101).
Di dalam bab 4 dikemukakan argumentasi bahwa, satu asumsi dari model pembangunan liberal pada umumnya tetap berlaku. Peningkatan pembangunan sosio-ekonomi berkaitan pola-pola politik yang lebih beraneka- ragam dan lebih otonom. Selain itu mempelajari dan menjajagi operasi hubungan tersebut, dan kaitan sebab-akibatnya yang diandaikan, pada tingkat individu. Bagaimana tingkat pembangunan sosio-ekonomi yang lebih tinggi di dalam masyarakat mengakibatkan tingkat-tingakat partisipasi politik yang lebih tinggi oleh individu-individu dan kelompok-kelompok tertentu di masyarakat itu (halaman 107).
Bagi kebanyakan orang miskin dalam kondisi-kondisi paling lazim, partisipasi politik, baik dulu maupun sekarang, secara obyektif merupakan satu cara yang sulit dan mungkin tidak efektif untuk menanggulangi masalah-masalah atau memperjuangkan kepentingan-kepentingan. (halaman 164).
Pada halaman isi buku terakhir penulis menyampaikan bahwa, kekuatan-kekuatan ekonomi dan sosial menyababkan perluasan partisipasi politik nampaknya bersifat global dan dalam jangka panjang tidak akan terbendung lagi. Akan tetapi fluktuasi-fluktuasi jangka pendek yang mendadak dalam tingkat partisipasi biasanya merupakan akibat-akibat langsung dari golongan elit (halaman 239).
Kelemahan buku adalah, karena buku ini terjemahan maka dalam arti sesungguhnya buku asli ada beberapa yang hilang ini dikarenakan kosa kata bahasa Indonesia kurang lengkap (Kata Pengantar). Kelebihan buku adalah penulis menggunakan metode penulisan yang seimbang dan bersifat dinamis.
Buku ini dapat menambah pengetahuan dan cakrawala pandang pembaca. Buku ini layak dibaca siapa saja baik orang dewasa, orang tua terlebih pelajar.

-------------------

MEREBAKNYA FENOMENA KOLUSI KEKUASAAN

Judul Buku : Menyingkap Kejahatan Krah Putih
Penulis : Adrianus Melilia
Penerbit : PT Midas Surya Grafindo
Tahun terbit : 1993, cetakan ke-1
Tebal Buku : 190 halaman
Ukuran Buku : 15,5 cm x 21 cm

Salah satu yang menarik dari buku ini adalah Judulnya, sebagian besar akan bertanya apa yang dimaksud dengan “KRAH PUTIH atau WHITE COLLAR CRIME ?” arti dari krah putih adalah, orang yang pekerjaannya di kantor, dan biasanya tidak menggunakan otot tetapi kerja menggunakan otak.
Buku ini berisi 30 tulisan pendek (artikel) yang ditulis dalam kurun waktu Agustus 1991 hingga Agustus 1992. Itulah kurun waktu setelah penulis meninggalkan profesi sebagai wartawan di sebuah majalah berita di Jakarta. Tema tulisan ini cukup beragam. Ada yang mengulas persoalan substansial dan, lebih banyak lagi, yang mengulas kasus-kasus penyimpangan atau kejahatan.
Yang paling menaril dari 30 artikel adalah, artikel yang berjudul “Mengatasi Pencoleng Karya Intelektual” Pencoleng professional juga seringkali memiliki kaitan erat dengan pejabat setempat. Sebuah skandal terbongkar pada tahun 1985, melibatkan pejabat konsulat Indonesia di New York. Skandal terbuka ketika diplomat Indonesia menyerahkan video kaset bajakan kepada seorang pensiunan FBI yang disewa RIAA untuk berlagak sebagai seorang distributor rekaman. Dengan terungkapnya jaringan pembajakan musik di Indonesia, dunia rekaman AS kaget bukan main melihat besarnya nilai uang yang masuk ke kantor pemerintah Indonesia. Tak kurang dari 13 juta dollar diraih lewat pajak ekspor kaset palsu. Kemarahan publik akibat pencurian kaset tersebut, dan diteruskan dengan ancaman sanksi dagang, akhirnya memaksa Indonesia meringkus para pembajak kaset. Indonesia memang memiliki kepentingan untuk lebih akomodatif terhadap ibauan (jika tidak mau dikatakan tekanan) dari negara-negara lain maupun Intellectual Property Alliance, guna memberi proteksi lebih baik bagi ciptaan orang asing(halaman 15).
Artikel lain yang tak kalah menarik adalah artikel ke-11 yang berjudul “Fenomena Penyimpangan Dalam Penjaminan Bank” Banyaknya keluhan tentang kredit macet akibat disalahgunakannya personal guarantee mengundang pertanyaan sementara kalangan di seputar masalah penjaminan bank ini. Pada umumnya fenomena yang terlihat adalah betapa mudahnya seseorang menyatakan diri menjadi penjamin tanpa menyadari sifatnya yng menikat. Yang juga mengusik adalah kasus digugatnya beberapa guarantor dari PT Bentoel oleh kreditur pabrik rokok tersebut. Walaupun masih penuh kontroversi, setidak-tidaknya kasus hukum ini menarik perhatian para praktisi bisnis akan posisi guantor yang sebenarnya cukup sulit menurut hukum Indonesia (halaman 72).
Selain artikel-artikel tersebut, ada juga artikel yang cukup menggelitik untuk dibaca. Artikel ini berjudul “Kolusi Manajemen dan Potensi Kriminogeniknya” Manajemen yang kohesif, integrative dan efektif, adalah dambaan kita semua. Tapi bagaimana bila muncul fenomena manajemen yang kolusif ? hal tersebut dibahas pada halaman 77-82.
Kelebihan buku adalah, penulis memilih artikel-artikel yang sering terjadi berulang-ulang sepanjang sejarah. Selain menyampaikan artikel penulis mengemukakan solusi dari masalah tersebut sehingga pembaca tidak akan bingung pemecahan masalah dan upaya pencegahannya. Sedang kelemahannya, terdapat beberapa kesalahan penulisan.
Buku ini sangat baik jika dibaca oleh kaum KRAH PUTIH, karena dapat dijadikan sebagai bahan pertimbangan bila kaum tersebut akan melakukan kegiatan yang bertentangan dengan peraturan. Tetapi Generasi muda juga dapat mengkonsumsi buku ini, karena dapat menambah cakrawala pandang.

-----------------

BANGSAKU DI TANAH SEBERANG

Judul Buku : Orang Indonesia di Malaysia
Penulis : M. Arif Nasution
Penerbit : Pustaka Pelajar
Tahun Terbit : 2001, cetakan 1
Tebal Buku : xvii + 153 halaman
Ukuran Buku : 15 cm x 21 cm

Cover buku ini sangat menarik yaitu seorang laki-laki berwajah Jawa (dengan latar belakang peta negara Malaysia) sedang merokok di jendela seraya melamun dan matanya menggambarkan kerinduan pada kampung halaman. Belum lama Malaysia memberlakukan UU baru untuk menanggulangi tenaga kerja ilegal. Apa sebenarnya yang mendorong calon TKI lebih memilih jalur ilegal untuk sampai ke negeri Jiran? M.Arif Nasution membahas beberapa faktor pendorong mengapa calon TKI lebih memilih jalur ilegal di buku nonfiksi yang berjudul “Orang Indonesia di Malaysia”.
Seperti halnya negara-negara yang berkembang lainnya, salah satu kebijakan yang dikembangkan oleh pemerintah Indonesia untuk mengatasi masalah ketenagakerjaan ialah dengan mengirimkan tenaga kerja ke luar negeri. Untuk mengimplementasikan kebijakan ini dibentuk Lembaga Antar Kerja Antar Negara (AKAN) oleh Departemen Tenaga Kerja Republik Indonesia. Dalam penyelenggaraan kegiatan, AKAN bekerja sama dengan berbagai perusahaan Pengerah Tenaga Kerja Indonesia (PPTKI) yang didirikan oleh swasta yang tergabung dalam Indonesia Manpower Suplier Association (IMSA)
Sulit ditentukan dengan pasti jumlah tenaga kerja yang bekerja di luar negeri, karena banyak dari mereka yang bekerja di luar negeri berangkat tanpa melalui prosedur resmi. Mereka menganggap bahwa jalur formal (resmi) yang dikoordinir oleh AKAN Departemen Tenaga Kerja dianggap terlalu birokratis dan sangat berbelit-belit, menghabiskan biaya dan waktu yang tidak sedikit (halaman 12)
Migran tanpa izin biasanya masuk ke Malaysia menggunakan bot pom-pom ataupun pancung yang dikendalikan seorang tekong berpengalaman. Menurut keterangan beberapa orang tekong yang kerap berulang-alik dari kepulauan Riau ke Malaysia. Setelah berlayar lebih kurang 5 jam, sampan yang membawa mereka biasanya telah berada disekitar pantai Malaysia (kira-kira pukul 12 malam). Namun karena takut diketahui oleh Polisi Perairan Malaysia (Polis Marin) yang sering meronda sepanjang pantai tersebut, terpaksa tekong tersebut menunda pendaratannya hingga pukul 3 pagi. Hal ini dilakukan karena pada pada jam tersebut Polisi Perairan Malaysia biasanya agak lengah dan jarang mengawasi pantai secara cermat (halaman 35)
Menurut survei yang dilakukan penulis umumnya migran yang menggunakan “jalan haram”, proses perjalanan pulangnya tersebut dibantu pula oleh para tekong. Dalam prakteknya hal ini dapat dijumpai ketika beberapa hari menjelang Hari Raya, tekong biasanya mengunjungi migran tanpa izin di lokasi rumah kongsi dengan maksud menawarkan jasa transpotrasi bagi yang berminat. Selanjutnya proses perjalanan pulang dengan cara tidak resmi ini biasanya bergerak dari beberapa kawasan yang memang dikenal sebagai lokasi pendaratan pendatang tanpa izin di Malaysia. Begitu pula tempat pendaratan di Indonesia cenderung bertumpu di sekitar pulau Riau saja. Dari kepulauan ini migran meneruskan perjalanannya lagi menuju tempat asal masing-masing dengan menggunakan bus atau jenis pengangkutan lainnya (halaman 56)
Setelah sampai kampung biasanya keluarga migran mengadakan kenduri. Pada masa kenduri ini keluarga migran lazimnya menunjukkan segala barang-barang yang dibawanya seperti uang, pakaian, emas, radio, video, dan barang-barang pecah belah lainnya (halaman 97)
Berdasarkan survei didapati bahwa lebih dari 50% responden menyatakan pernah mengirim uang secara rutin ke Indonesia dan jumlah kiriman tersebut sangat bergantung pada status pekerjaan dan frekuensi pengiriman. Para subkontraktor adalah pengirim uang paling besar ke Indonesia karena pendapatan yang mereka peroleh lebih tinggi dari yang lainnya. Sebaliknya kongsikong mempunyai kemampuan lebih kecil (halaman 106)
Penulis menyampaikan menurut hasil survei menunjukkan sekitar 26% saja responden yang merasa mereka telah memperoleh pengetahuan yang baru. Selebihnya ada yang berpendapat tidak memperoleh pengetahuan sama sekali, malahan ada pula yang bertambah bodoh (table 6.5). Stahl (1986) dalam penelitiannya di beberapa negara Asia berkesimpulan , kurangnya peningkatan pengetahuan para migran , karena jenis pekerjaan yang dimasuki adalah jenis “pekerjaan kasar” yang kurang memerlukan pengetahuan dan keahlian khusus (halaman 120)
Penulis mengungkapkan fakta yang ditemukan umumnya menunjukkan ada dua kecenderungan di kalangan migran Indonesia dalam memenuhi keperluan seksualnya. Pertama mereka melakukan hubungan seks sesama migran asal Indonesia yang berada di kawasan “kongsi” yang sama. Kedua banyak juga migran Indonesia memenuhi keperluan seksualnya di tempat-tempat pelacuran. Berdasarkan keterangan dari “bapak ayam” (mucikari) dan beberapa migran lelaki diketahui bahwa, jumlah bayaran pelacur turunan Cina lebih tinggi dari pelacur yang berasal dari Indonesia, Filipina dan India (Halaman 126)
Menurut tabel yang ada pada buku ini keberhasilan pekerja Indonesia di luar negeri tentu juga sangat bermanfaat sebagai penambah penghasil devisa negara. Penerimaan pemerintah Indonesia yang berasal dari warganya yang bekerja di luar negeri di masa depan diperkirakan akan terus mengalami peningkatan yang cukup berarti (halaman 133)
Buku ini dilengkapi tabel-tabel dari berbagai sumber dan dilengkapi data-data hasil survei, sehingga menambah nilai lebih buku. Sedang kelemahannya adalah terdapat beberapa penulisan kata yang salah, misalnya “atao” seharusnya ditulis atau.
Buku ini sangat menarik dan sangat bermanfaat. Buku ini perlu dicetak ulang sehingga pembaca tidak mengalami kesulitan apabila ingin membeli. Buku ini layak dibaca siapa saja.

---------------

KONSEKUENSI PENETRASI KOLONIAL DI INDONESIA

Penulis : A. M. Djuliati Suroyo
Penerbit :Yayasan Untuk Indonesia (YUI)
Judul Buku : Eksploitasi Kolonial Abad XIX
Tahun terbit :2000, cetakan ke 1
Tebal Buku : xxiv + 352
Ukuran Buku : 16 cm x 20 cm

Buku ini lahir dari kebutuhan untuk meninjau kembali penulisan sejarah Indonesia oleh para sejarahwan asing yang lebih menggunakan sudut pandang Eropasentris. Cover Buku ini sungguh menarik, dua orang berwajah bangsa kolonial dengan latarbelakang rumah dabak dan orang pribumi yang berbadan kurus. Cover tersebut sangat sesuai dengan isi buku.
Buku ini memuat sejarah kolonialisme di Indonesia. Salah satu masalah kolonialisme yang penting adalah bentuk eksploitasi ekonomis yang dilakukan bangsa kolonial. Salah satu bentuk eksploitasinya adalah tanam paksa, tanam paksa mengakibatkan terjadinya kesenjangan yang semakin besar dalam strata masyarakat desa. Di satu pihak para kepala desa yang mendapat kekuasaan semakin besar dalam pembagian tanah dan tenaga kerja untuk tanam paksa semakin kaya, sedang pihak lain petani warga desa yang bertanah sempit menanggung segala beban kerja wajib. Akibat lain khususnya dari tanam paksa tarum yang diproses menjadi indigo. Selain merusak kesuburan sawah dan sangat banyak waktu dan tenaga dituntut kerja wajib tanam serta pemrosesan indigo, upah tanam yang mereka terima sangat kecil…(halaman 4)
Keadaan rakyat makin diperburuk oleh harga bahan pangan pokok, karena panen gagal akibat meletusnya gunung Merapi pada tahun 1622. Rakyat membenci orang Belanda yang menjadi penyebab tingginya pajak dan beratnya kerja wajib. Sasaran kebencian rakyat juga ditujukan pada orang-orang Cina. Rakyat menganggap Cina pachter Bandar sebagai pemeras uang rakyat di pintu gerbang cukai dan di pasar-pasar. Keadaan rakyat yang demikian kritis menjadi sangat responsife menerima ajakan untuk memberontak…(halaman 91)
Wajib kerja juga diberlakukan oleh kolonial pada petani kopi, walaupun masih banyak tanah belukar yang belum dibuka, karena letaknya jauh dari pemukiman penduduk. Pemerintah tidak berani memaksa rakyat membuka kebun kopi, karena hal itu berarti menuntut kerja wajib di atas batas kemampuan yang dapat ditoleransi petani. Petani akan menolak dengan caranya sendiri, menelantarkan kebun atau melarikan diri. Selanjutnya baik kekuasaan pejabat kolonial yang teryata bersifat otoriter, maupun kekuasaan pelaksana para kepala pribumi yang bersifat feodalistik mendorong pemerintahan kolonial berusaha secara bertahap untuk menjadikan kerja wajib umum menjadi suatu lembaga kerja dengan peraturan-peraturan yang lebih terperinci, yang lebih menjamin pemerataan beban kepada sebanyak mungkin lapisan petani sesuai kemampuan ekonomis masing-masing…(halaman 152)
Ekspansi persawahan teryata terus bertambah arealnya namun hal ini tidak diimbangi dengan meningkatnya produksi padi, produksi rata-rata per-kapita menunjukkan menurunnya hasil padi…(halaman 234)
Penulis dalam memaparkan sejarah tidak menggunakan sudut pandang Eropasentris yang lebih menekankan pada bangsa Barat sebagai pemeran utama yang aktif menentukan arah dan jalan sejarah. Sementara bangsa yang dieksploitasi, lebih melihat kolonialisme sebagai kegiatan politik bangsa-bangsa Barat dalam usahanya menguasai otoritas kerajaan-kerajaan dan upayanya mengeruk keuntungan ekonomis secara maksimal. Tetapi dalam penulisan buku ini penulis menempatkan secara berimbang bangsa dan masyarakat Indonesia sebagai pusat perhatian, sehingga menambah nilai lebih buku. buku ini juga dilengkapi indeks serta daftar istilah sehingga memudahkan kita untuk memahami isi. Sedangkan kelemahannya adalah penulis dalam melakukan penelitian hanya terbatas pada keresidenan Kedu, sehingga hasil penelitian kurang mantap dan kurang variasi.
Buku ini layak dibaca siapapun baik usia tua maupun muda, karena buku ini sangat bermanfaat dan kita dapat belajar agar dalam memandang suatu sejarah harus menempatkan diri secara berimbang tidak berat pada salah satu sudut pandang.

-----------------------

POLITIK PEMERINTAHAN KOLONIAL

Judul Buku : Apanage dan Bekel
Pengarang : Suhartono
Penerbit : PT. Tiara Wacana Yogya
Tahun terbit : 1991, cetakan ke 1
Tebal buku : xxii + 220 halaman
Ukuran buku : 16 cm x 21 cm

Dr.Suhartono merupakan penulis buku-buku berbobot. Karya-karya tulisannya tersebar di surat kabar dan majalah ilmiah. Salah satu buku yang laris terjual dan dikonsumsi oleh banyak orang berjudul “Apanage dan Bekel” cover buku ini berwarna hijau muda, serta lukisan kursi sebagai abstraksi dari jabatan atau kekuasaan. Di dalam buku ini Dr.Suhartono berhasil menelusuri bagaimana perubahan penguasaan tanah apanage dan perubahan peranan bekel bisa terjadi serta implikasinya bagi kehidupan sosial, juga di bidang politik dan ekonomi.
Buku ini menyampaikan, bahwa dalam pemerintahan kerajaan terdapat sistem apanage yang mengatur pola kehidupan masyarakat pedesaan dan hubungan-hubungan sosial politik secara vertikal dan horizontal. Sistem apanage menciptakan peranan seorang bekel yang berfungsi sebagai penebas pajak untuk para patuh. Untuk menambah efisiensi pemasukan pajak, bekel diberi peranan baru sebagai pengawas desa yang sekaligus sebagai penguasa desa (halaman 61)
Pada tanggal 1 Januari 1918 telah dilakukan penghapusan semua apanage di daerah Kasunanan meliputi daerah-daerah Klaten, Boyolali, Sragen, dan Surakarta. Para patuh yang apanagenya dihapus diberi ganti rugi setiap bulannya (halaman 103)
Perubahan kedudukan tanah apanage dilakukan karena lemahnya hak-hak perseorangan atas tanah dalam sistem apanage. Oleh karena itu untuk memperkuat kembali kedudukan hak-hak perorangan, tanah-tanah apanage harus dihapus, dan diubah menjadi tanah individual. Perubahan kedudukan tanah apanage akan mengakibatkan terjadinya proses defeodalisasi di satu pihak dan memperkuat kebebasan, kepastian hukum, dan perlindungan hak perseorangan di pihak lain. Penghapusan tanah apanage memudahkan proses komersialisasi tanah dan tenaga kerja guna meningkatkan produksi agro-industri. Liberalisasi petani mulai mendobrak apanage sistem karena dalam sistem ini tanah dan tenaga kerja merupakan kesatuan. Lepasnya tenaga kerja dari ikatan feodal memungkinkan dimasukkannya dalam pasaran tenaga kerja. Walaupaun demikian, tenaga kerja ini belum berarti meringankan ekstraksi petani karena petani tidak mempunyai “kekuatan menawar” sehingga nilai tukar tenaganya tidak memadai atau terlalu rendah (halaman108)
Manakah yang lebih ekstraktif, sistem kerja tradisional ataukah sistem kerja upah? Hambatan apa yang terdapat dalam sistem kerja upah, dan sejauh mana dampak kerja upah itu bagi masyarakat pedesaan?…(halaman 109) pertanyaan tersebut dapat terjawab dengan menbaca buku ini.
Dengan diterimanya upah kerja oleh petani dari perusahaan perkebunan dan pabrik, terjadilah proses monetisasi di pedesaan. Erat kaitannya dengan proses ini sampai seberapa jauh tetes ke bawah atau trickle down yang berupa keuntungan ekstraksi yang diperoleh perusahaan perkebunan itu memberi kesejahteraan petani? Ini merupakan masalah penting . Apakah hasil ekstraksi itu kembali pada petani? (halaman 116)
Dilihat dari perbandingan ekstraksi jelaslah bahwa kehidupan ekonomi petani justru lebih buruk di tanah-tanah perkebunan. Selain itu, pemerintah menyerap kembali upah tanam dan upah kerja , serta sewa tanah itu melalui pembayaran pajak, penjualan candu,garam, dan barang-barang impor lainnya (halaman 118)
Pengaruh monetisasi yang terjadi pada akhir abad XIX dan awal abad XX meresap ke masyarakat pedesaan. Akan tetapi, meresapnya pengaruh itu tidak menyejahterakan petani karena sumber daya pedesaan yang tereksploitasi itu tidak tersalurkan hasilnya sehingga petani tetap terbelakang dalam subsistensi ( halaman 122)
Mobilitas vertikal masyarakat biasanya ditempuh dengan cara ngenger para priyayi. Pola mobilitas modern ditempuh melalui lembaga pendidikan untuk menunjang kelancaran birokrasi dan administrasi kolonial. Jadi, tranformasi struktural memperluas cakrawala dan dimensi perubahan sosial di pedesaan (halaman 138)
Timbulnya gerakan sosial keagamaan tidak lepas dari faktor kepemimpinan yang mesianistik, orientasi gerakan yang mesianistik milenaristik, dan situasi kultural yang mendukungnya. Baik gerakan sosial keagamaan maupun perbanditan sosial mempunyai kaitan erat dengan dengan proses perubahan sosial di satu pihak dan proses adaptasi di pihak lain. Pengungkapan gerak sosial ternyata merupakan salah satu cara penggalian mikrohistori dengan berbagai dimensinya yang membuktikan bahwa peranan masyarakat pedesaan cukup besar dalam menanggapi perubahan sosial. Praktek pemerintah kolonial dengan ekstraksinya, seperti pengerahan tenaga kerja wajib dan penarikan pajak teratur, dan okasional telah meluas di masyarakat pedesaan. Jadi gerakan sosial timbul dalam rangka perubahan sosio-kultural sebagai reaksi terhadap westerniasi (halaman 165)
Kelebihan buku adalah, dapat membantu kita dalam mempelajari sejarah sosial yang berimplikasi politik dan ekonomi kawasan Surakarta sejak awal abad ke-19 sampai 1920, selain itu buku ini disertai daftar istilah dan indeks. Sedangkan kelemahannya adalah, pengarang dalam menulis kutipan yang berbeda dalam satu paragraph, sehingga tidak mustahil pembaca akan sulit dalam memahami. Buku ini sangat bermanfaat dan layak dibaca siapapun.

------------------

Tidak ada komentar: