Rabu, 26 Maret 2008

Opini

Tulisan Ini hari Senin, 24 Maret 2008 sempat nampang di Koran SURYA. terima kasih pada redaksi SURYA. Semoga Bermanfaat.


Refleksi World Water Day, 22 Maret 2008:
Mewaspadai Teror Krisis Air
*Oleh: Ratih Indri Hapsari

Masyarakat Indonesia secara luas, banyak yang belum mengetahui bahwa tanggal 22 Maret setiap tahunnya diperingati sebagai World Water Day atau Hari Air Dunia. Sejarah adanya Hari air dimulai dari kesepakatan pada Sidang Umum ke-47 PBB pada tanggal 22 Desember 1992 di Rio De Janeiro, Brasil.
Pada perkembangannya, setiap tahunnya pada tanggal 22 Maret, dunia memperingatinya sebagai Hari Air. Namun sangat disayangkan karena Hari Air belum tersosialisasi secara massif pada masyarakat luas, terutama di kalangan kaum miskin. Padahal keberadaan sebuah momentum sangat berguna secara budaya maupun politis dalam artian sebagai hari dimana terjadi refleksi, kampanye maupun tuntutan-tuntutan mengenai isu seputar air dan lingkungan. Air bersih kini keberadaanya kian langka karena telah dikomersilkan oleh perusahaan korporasi bisnis demi keuntungan segelintir orang, hingga yang tersisa adalah air-air kotor akibat pencemaran limbah pabrik yang merusak ekosistem maupun sanitasi yang salah urus hingga sangat mengancam kehidupan umat manusia.
Hari Air sedunia justru dimanfaatkan oleh perusahaan-perusahaan besar air minum, seperti Coca-cola, Danone. Perusahaan-perusahaan besar tersebut pada umumnya mengambil momentum Hari Air Sedunia sebagai ajang kampanye ‘kemanusiaan’. Pada Hari Air mereka beramai-ramai menjadi sponsor Universitas Terkemuka untuk melakukan penelitian mengenai kadar pencemaran air sungai. Selanjutnya, mengadakan kampanye, supaya masyarakat mengkonsumsi air bersih, air yang layak minum. Pada Akhirnya dapat disimpulkan, Hari Air versi perusahaan air minum bukanlah murni semangat kemanusiaan namun juga membawa kepentingan-kepentingan pasar.
Logika pemodal adalah meraih keuntungan sebanyak-banyaknya dengan menggunakan berbagai macam cara agitasi dan propagada, bahkan jika perlu dibungkus topeng hingga nampak suci dan humanis. Padahal, privatisasi air dan komersialisasi air bersih yang dilakukan oleh investor perusahaan air minum yang didukung penuh oleh pemerintah mengakibatkan masyarakat miskin semakin sulit untuk mendapatkan akses air bersih .
Bagaimana mungkin, persoalan air akan selesai hanya dengan penelitian yang capaiannya adalah mengidentifikasi yang jauh dari solusi konkret. Pada kenyataannya persoalan air bersih tidak akan tuntas hanya dengan melakukan kampanye supaya masyarakat tidak membuang sampah sembarangan, masyarakat tidak diperkenankan membangun rumah-rumah kumuh di sepanjang tepian sungai, sedangkan di sisi lain ribuan pabrik dengan bebas setiap tahunnya masih membuang berton-ton zat beracun ke-sungai. Jelas bukanlah solusi, ketika menuntut masyarakat dengan propaganda berwajah humanis: “Untuk hidup sehat hendaknya konsumsilah air yang bersih dan sehat seperti air produksi perusahaan kami.” Mengapa air yang merupakan hasil alami keseimbangan siklus alam dan keberadaannya menjadi bagian dari alam kini hanya menjadi milik orang-orang berduit dan kemudian mereka memonopoli, menjadi makelar air tanpa malu dan menjualnya dengan mahkota harga pada masyarakat yang bagaimanapun juga adalah kelompok yang paling berhak atas air bersih tersebut.

Krisis Air yang Mendunia
Kondisinya kini memang semakin gawat, dunia menghadapi musibah Krisis Air. Yang dimaksudkan dengan krisis air adalah situasi bukan hanya ketika volume air menipis, namun juga menyangkut pencemaran air, komersialisasi air, akses terhadap air yang sulit maupun regulasi dan sanitasi yang rusak. Seluruh persoalan mengenai air dapat diartikan krisis air, yaitu keberadaan air yang secara berhadap-hadapan merusak alam yang disebabkan oleh human error (intervensi manusia).
Di Indonesia krisis air menjadi persoalan besar yang tidak kunjung terselesaikan. Jutaan penduduk telah menjadi korban tapi hingga saat ini pemerintah belum proaktif, namun sebaliknya justru kini pemerintah dan DPR beberapa waktu lalu mengeluarkan kebijakan baru berupa UU Penanaman Modal (UU PM) yang meliberalkan regulasi penanaman modal, yang substansinya justru akan berdampak buruk bagi kepentingan masyarakat luas maupun lingkungan.
Misalnya UU PM, dalam salah satu pasalnya, memperbolehkan suatu perusahaan menutup dan merelokasi industri dan modal (capital flight). Pada pasal tersebut tidak dijelaskan mengenai ganti rugi perusahaan terhadap kerusakan lingkungan yang diakibatkan ketika perusahaan masih beroperasi. Secara vulgar dan sepihak jelas bahwa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah telah condong pada kepentingan pemodal dan mengabaikan kondisi kesehatan, sosiologis, maupun ekologis masyarakat luas. Contoh kasus, terjadi pada pencemaran sungai karena luberan lumpur Porong, Sidoarjo. Pemerintah tidak berani mengambil langkah tegas mengadvokasi masyarakat Porong menuntut keadilan dan ganti rugi moril materiil pada perusahaan PT Lapindo Brantas.
Krisis air telah mengakibatkan krisis harapan untuk hidup. Krisis air telah menyumbang angka kematian sebesar 34,6% terhadap anak-anak khususnya pada negara dunia ketiga. Setiap tahunnya 5.000.000 anak meninggal karena terkena penyakit diare. Bekurangnya persediaan air bersih selain dikarenakan privatisasi air, pengalihan sumber air bagi AC bagi hotel-hotel mewah, industri perkotaan, air untuk coolant (cairan untuk pendingin mesin), atau terpolusinya air karena timbunan sampah-sampah industri, hingga tidak terelakkan kebutuhan air bersih bagi masyarakat luas dan anak-anak terperosok menjadi tumbal atas nama pembangunan. Di Jepang, para nelayan mandiri di Teluk Minamata tidak memakan ikan karena air terkontaminasi oleh merkuri yang dibuang oleh pabrik kimia Chissio di teluk tersebut selama lebih dari 30 tahun. Menurut laporan Indian Council of Medical Research, pada tahun 1984 di Bhopal, kebocoran pestisida dari Union Carbide telah menyebabkan ribuan orang tewas secara mendadak dan ribuan perempuan mengalami gangguan reproduksi
Ancaman berbagai macam zat beracun seperti di atas antara lain disebabkan oleh limbah industri yang tidak bertanggung jawab terhadap ekologi akan menghancurkan kehidupan manusia. Dalam hal ini anak-anak sebagai korban pertama yang akan terkena dampaknya, karena anak-anaklah yang paling peka terhadap kontaminasi bahan kimia, selanjutnya pencemaran air yang disebabkan bahan kimia termanifestasi dalam kondisi kesehatan mereka. Misalnya, penyakit polio, diare, kolera akan semakin mudah menyerang anak, pada kondisi mereka hidup dalam situasi persediaan air yang tercemar.

1 komentar:

korban lapindo mengatakan...

Tentu saja pemerintah tidak berupaya mengadvokasi dan memberdayakan rakyat korban untuk menuntut perusahaan yang bertanggungjawab. Sama saja dengan memelihara anak macan, tho. Karena sekarang, lapindo = pemerintah dan pemerintah = lapindo.


korbanlapindo