Jumat, 14 Maret 2008

Cerpen

Dada Renata
Oleh: Indiera Hapsari

“Perempuan yang ukuran dadanya besar menunjukkan gairah seks liar.”
Dokter pengasuh rubrik konsultasi seks di majalah wanita ini bodoh sekali. Menguhubungkan ukuran dada dengan kecendurangan perilaku seksual perempuan. Huh, bodoh sekali dia!
Bukan karena ukuran dadaku tidak besar makanya aku sinis pada teori pengasuh rubrik seks di majalah itu, bukan karena itu, meski memang faktanya ukuran dadaku sangat mungil, oleh karenanya bra berspon kupilih untuk menutupinya, ups..,menutupi…? lebih tepatnya untuk membuatnya lebih nampak menonjol, dada kecil tentu harus ditutupi dan dibentuk lebih menonjol, karena umumnya fantasi laki-laki tidak akan terpancing oleh dada rata. Dan sangat munafik sekali bila perempuan ingin menjadi perhatian lawan jenis maka disebut sebagai penindasan.
Tapi memang dunia kedokteran akhir-akhir ini sangat aneh, memaksa ukuran dada perempuan berhubungan erat dengan gairah seksual, sedangkan ukuraan dada dan pantat laki-laki sama sekali tidak disinggung.
Seumur hidup tiga kali aku melihat film bokep—jangan dikira aku hobby liat film begituan, ada teman kantor yang usil menyusupkan film blue ke folderku dan dengan (agak) terpaksa kuperiksa dulu sebelum dienyaahkan—yang dimainkan oleh perempuan berdada kecil yang ukurannya sama denganku, kulihat mereka rakus dan liar. Hanya satu film blue yang kutemui pemainnya perempuan berdada besar, tapi kata kawan-kawanku itupun hasil dari bedah plastik atau disuntik silikon, toh mereka pun tidak lebih liar dan buas dari perempuan berdada mungil. Bukan maksudku tidak adil karena hanya membahas tubuh perempuan, namun memang kenyataannya di film tersebut pemain laki-laki tidak kelihatan batang hidungnya, tapi hanya diwakili si Mr P-nya. Ha..ha..ha..(konyol sekali!) barangkali laki-laki hanya ingin dihargai sesederhana dalam sebentuk dan seukuran Mr P.
Lalu para ahli kedokteran itu mencoba mengilmiahkan teori mereka mengenai keterkaitan ukuran dada perempuan dan kehidupan seksualnya. Banyaknya hormon progesterone yang dihasilkan tubuh semacam kunci kesuburan, semakin banyak hormon yang dihasilkan maka akan menyebabkan perberkembangan fungsi-fungsi alat reproduksi perempuan, akan menghasilkan kelenjar payudara yang berlimpah hingga ukuran payudara besar. Pinggul melebar dan menstruasi pertama yang datang lebih cepat dari pada perempuan lain yang seumuran. Itu semua menunjukkan kematangan organ seksual. Organ seksual yang matang akan mengakibatkan desakan instink melakukan hubungan seksual.
Aneh memang, tentu saja pemahaman seks tersebut kuno, memahami fungsi organ seks sebagai pintu gerbang beranak-pinak, tapi memang seperti itulah adanya ilmu biologi yang diajarkan kepadaku semenjak kelas 5 SD. Seks dijelaskan sebagai sarana reproduksi.
Kubuang majalah wanita mahal tersebut ke bak sampah. Lalu kutengguk air putih dingin yang kuambil dari dalam kulkas di kamar apartemen mahal yang tata ruang dan tata letak perabot-perabotnya kuhafal benar.
Kemudian kunyalakan TV. Sudah hampir tengah malam tapi aku belum juga merasa mengantuk. Liputan Malam di TV menyiarkan berita tentang ramai rekaman dua bocah putra dan putri berumur 9 tahun melakukan hubungan seksual, dan rekaman tersebut sudah menyebar di beberapa Sekolah Dasar di Jawa Barat. Wali murid meragukan para guru yang tidak becus mendidik dengan baik. Para Guru tidak mau disalahkan dengan alasan HP anak-anak sekarang berteknologi canggih. Meski setiap hari senin sudah dirazia dan dibersihkan tapi dalam HP ada sistem PIN untuk menjaga memori pribadi di folder HP yang tidak mungkin bisa dipantau oleh guru. “Semua tergantung masing-masing individu, Banyak murid-murid lain yang memiliki HP tapi tidak disalahgunakan seperti itu” Begitulah komentar seorang guru yang diwawancarai.
Adegan saling menyalahkan seperti itu sudah menjadi makanan basi yang mau tidak mau menjadi santapan di keseharian. Lama-lama muak juga! Kemarin aku sarapan pagi sebuah berita basi; seorang penduduk Porong menyiasati kelangkaan minyak tanah, maka dia membawa wajan penggorengan dan mie instan ke titik api yang menjilat-jilat bebas di sekitar luberan lumpur. Masih kuingat bagaimana bapak tua itu tersenyum nyengir—persis seperti ekspresi anjing yang nyengir karena kepalanya terkena lemparan batu tangan usil—sambil menunggu mie instan di penggorengan matang. Akhir-akhir ini minyak tanah lenyap, Migor naik-naik ke puncak gunung dan susu bayi tercemar bakteri pembunuh. Siapa yang yang salah menjadi kabur oleh tradisi saling menyalahkan dan (kalau tidak mau dikatakan: ingin menang Pemilu) ingin menang sendiri.
Beberapa bulan yang lalu suatu sore aku kenyang menyantap berita seorang tukang gorengan di ibukota yang tewas gantung diri lantaran tidak sanggup menanggung beban ekonomi keluarga.
*
Huh, pikiranku jadi ngelantur. Lihatlah di TV, ternyata bocah yang melakukan adegan layaknya pasangan dewasa tersebut benar-benar bocah. Secara fisik gadis mungil itu sama sekali belum matang. Di balik seragam SD payudaranya bisa dipastikan masih rata, dan yang satu lagi, si pemuda kecil itu mungkin baru satu tahun lalu disunat, atau mungkin malah belum. Dari mana mereka bisa punya ide untuk melakukan aktivitas layaknya pasangan dewasa, sedangkan alat reproduksi mereka belum matang, mereka jelas belum menginjak usia pubertas toh?
Pernah kubaca teori psikoanalisa Sigmund Freud. Pada usia empat tahun, anak-anak mengalami fase falik. Fase falik adalah sebuah fase alamiah anak yang mulai menyadari kenikmatan berpusat pada kelamin. Teori Freud tersebut juga didukung oleh seorang ‘revolusioner mitos seks’ yang meninggal karena terjangkit penyakit AIDS, yaitu Foucault. Menurut Foucault seks oleh anak-anak tidak boleh direpresif, karena seks merupakan instink alamiah manusia yang sudah muncul semenjak manusia berusia balita. Tapi aahh…persetan dengan teori-teori itu! Sudah kuputuskan, anak-anakku tetap tidak boleh coba-coba soal seks yang tidak jelas begituan. Dan itu artinya mereka tidak boleh memakai HP mahal yang berteknologi canggih, mereka tidak boleh nonton sinetron dan kartun TV sebelum mereka habiskan membaca buku-buku yang aku belikan minggu kemarin. Mereka, anak-anakku, harus berperspektif, matang dan dewasa dulu sebelum dijejali teror-teror murahan ala TV. Memang sudah kuputuskan hal itu, sendiri.
Jam dinding berdenting satu kali, itu artinya sudah pukul satu malam. Berita tengah malam sudah habis dan berganti telenovela Marimar. Suamiku belum juga pulang. Sendiri, hingga adegan Marimar pergi dari suaminya, Sergio si tuan tanah kaya.
Haus, kerongkonganku terasa kering, kutengguk habis air dari gelasku, dan suamiku masih belum juga belum pulang.

*
Dari dulu rumahtanggaku memang sudah cacat, bersilang pendapat tidak pernah berujung pada solusi dan intropeksi. Tanpa sebab yang jelas, suamiku juga mulai cemburu pada lelaki yang bertubuh tinggi, besar (masih menurut anggapan suamiku: pasti berpenis panjang). Pada mulanya kuanggap itu hal biasa, bukankah cemburu adalah tanda perasaan sayang, pikirku. Tapi kemudian teman-teman kantorku yang bertubuh tinggi besar menjadi sasaran awal mula api cemburu berantai. Disusul cemburu pada laki-laki yang bertubuh, tinggi besar di organisasi klub melukisku. cleaning servis apartemen yang sering ngepel lantai koridor apartemen yang bertubuh tinggi, besar juga tidak lolos dari api cemburunya, Tukang kebun apartemen yang tinggi besarpun juga jadi sasaran api cemburu. Yang paling parah, suamiku juga cemburu pada Bapak kandungku sendiri. Dia memaksaku untuk mengaku pernah diperkosa bapak, aku terus menerus didesak untuk menceritakan (khayalannya tentang) tragedi pemerkosaan itu.
Setelah itu, ia tidak memperbolehkanku bergaul dengan lelaki yang bertubuh tinggi, besar (yang menurutnya juga pasti berpenis panjang). Artinya apa? Bisa ditebak. Aku tidak lagi boleh ngantor, tidak ada klub melukis, tidak boleh sekedar bertegur sapa dengan cleaning service apartemen, tidak boleh tersenyum pada tukang kebun, dan celakanya aku harus memutuskan komunikasi dengan bapak kandungku sendiri.
Kurang lebih tiga bulan, aku masih bisa bertolenransi dan menuruti saja permintaan konyol suamiku itu. Hidupku, kukonsentrasikan untuk mengurus rumah tangga, anak, dan belajar resep baru masakan ala Perancis utuk mengusir kejenuhanku dan berharap suamiku menyadari bahwa tidak ada seorang manusia pun di dunia ini yang bahagia dikurung, terpisah dari dunia luar. Karena urusan rumah tangga tidaklah memakan waktu sehari penuh, terlebih perkembangan teknologi seperti rice cooker, mesin cuci, alat penyedot debu membuat pekerjaan domestik terasa lebih enteng.
Hampir empat bulan berlalu, tapi suamiku masih melarangku bekerja bahkan mengancamku tidak boleh macam-macam (aku sendiri tidak mengerti, apa yang dimaksud macam-macam versi suamiku itu). Hingga pada suatu hari kusadari, Lima anak-anakku yang semuanya lelaki mulai tumbuh dewasa, bertubuh tinggi-besar tidak seperti suamiku.
Tak pernah sama sekali dalam pikiranku memprediksi bahwa suamiku pun akan cemburu pada anak-anakku itu. Hingga terbukti, ketika pada suatu malam, aku memergoki suamiku membawa belati masuk ke kamar anakku yang masih tertidur lelap. Tepat ketika ia akan menghunuskan belati ke tubuh anak-anakku, kurebut paksa dengan sekuat tenaga belati itu hingga jari tengah tanganku yang sebelah kiri putus dan berdarah-darah.
Marimar telah usai, dan suamiku belum juga datang. Sudah sepuluh tahun ia tidak pulang (memang lebih baik bila ia tidak pulang).
Entah mengapa ia belum juga pulang, mungkin lupa jalan pulang dan ia terus berputar-putar saja di jalanan kota tak pernah sampai rumah. Atau kini ia tersesat di dunia lain dan ia tidak menemukan pintu keluar untuk kembali ke rumah. Mistik memang, tapi aku pernah melihat film horor yang berkisah manusia-manusia yang tersedot komputer dan tersesat di saluran kabel-kabelnya, manusia-manusia itu berputar-putar di dunia jaringan komputer tak menemukan jalan pulang. Mungkin saja suamiku kini tersesat di dalam monitor sebuah komputer, pada kotak TV atau jangan-jangan ia ada di dalam tabung penyedot debu, mungkin suamiku tersesat di sana dan tidak bbisa keluar. Atau bisa saja alasan suami tidak pulang sangat sederhana sekali, yaitu memang dia tidak ingin pulang. Yah, suamiku tidak pulang karena dia memang tidak ingin pulang. Itu saja, titik.
Julia Peres yang bertubuh montok itu membuka acara gosip subuh, dan suamiku sudah sepuluh tahun lamanya pergi dari rumah belum juga pulang, anak-anakku sudah tidur pulas, mereka kini tumbuh menjadi pemuda-pemuda yang seksi (menurutku), seksi bukan karena tubuhnya yang tinggi besar, namun karena keseluruhannya, karena cara pandangnya, karena idealismenya, karena konsisten dan bertanggungjawab, karena mereka tidak masuk kelompok remaja yang sinis pada perempuan. Ah, aku jadi mirip seorang ibu yang narsis pada anak-anaknya.
Julia Peres menutup acara gosip dengan bibir sensualnya dan kini berganti kultum subuh, aku masih sendiri, suamiku belum pulang dan aku memang berharap ia tidak akan pernah pulang, meski bila suatu saat nanti ia hafal jalan menuju rumah.
Tut..tut..tut...tut, Hp-ku berbunyi, kuangkat dan kuucapkan “hallo”.
“Renata, nanti jam istirahat siang kita kencan singkat di café depan kantormu yuk sayang”, di seberang sana suara lembut merayu menyergapku hingga membuatku rindu padanya dan menjebakku untuk tidak mungkin menolak ajakannya itu.
Kami mulai pacaran sepuluh tahun yang lalu, tepatnya setelah dua bulan suamiku pergi dari apartemen ini dan hampir tiap akhir pekan dia menginap di apartemenku.
Namanya Qinanti, ia seorang perempuan berdada penuh yang baik, perhatian, pengertian, cerdas, penyayang, kami tidak pernah cekcok dan singkatannya kami sangat cocok terutama secara psikologis. Cara berfikirnya tidak sesempit suamiku yang mempermasalahkan dadaku yang mungil dan selalu cemburu pada lelaki bertubuh tinggi besar (yang menurut suamiku: pasti berpenis panjang), Qinanti juga tidak sebodoh dokter pengasuh rubrik seks di majalah wanita yang berharga mahal itu. Qinanti tidak mempermasalahkan aku bergaul dengan teman kantor laki-laki maupun perempuan, Qinanti tidak melarangku bercakap dengan cleaning service apartemen, Qinanti memperbolehkanku tersenyum pada tukang kebun, dan hubunganku dengan bapak-ibu di kampung halaman juga semakin sehat.
Adzan subuh bergema terbawa angin menelusup lirih diantara gedung-gedung tinggi ibukota. Suamiku masih belum pulang. Kuharap memang dia tidak pernah pulang, sudah sejak lama tak lagi kumiliki harapan apapun tentang dia.
Suasana ibukota berlahan terang benderang. Suamiku belum juga pulang dari sepuluh tahun yang lalu. Sementara aku tidak menyesali apapun. Siang nanti aku bertemu Qinanti di café depan kantor. Lihatlah, kini aku tersenyum. Sendiri. Dan anak-anak masih tertidur lelap di kamarnya.


03.45 wib
A1, 14 Maret 2008

2 komentar:

Raf mengatakan...

Cerpennya bagus yaa...

Benni Setiawan mengatakan...

Alhamdulillah baik, Mbak. Semoga sampeyan juga dalam lindungan Allah. Allah menrunkan ujian adalah sesuai kadarnya. Allah maha tahun kemampuan kita. Tetap Semangat. Jangan menyerah. Banyak jalan menuju Tuhan.