Jumat, 15 Februari 2008

coretan

Valentine dan Semangat Mencintai yang Salah Urus
Oleh: Indira Hapsari

(kukira) cinta itu hanyalah ciptaan para penjual coklat dan bunga yang serakah.....

Ada yang unik hari kamis tanggal 14 Februari tempo hari. Pasalnya hari itu aku mendapatkan kejutan tas bertekstur bulu-bulu lembut menggemaskan dari sobatku. Jadi ingat bulunya si Pleky (guguk kesayanganku di rumah). Kado tas bulubulu tersebut, menurut kawanku hanya kebetulan saja memberikannya padaku tanggal 14, "Sumpah tih..itu bukan valentine-valentinan koq. Kemarin waktu ke Malang waktu jalan-jalan pas kuliat tas bulubulu trus ingat kamu.." gitu katanya pake sumpah segala dan aku cuma mengangguk-anggukkan kepala, coz sampe sekarang aku belum juga mengerti memangnya apa hubungannya aku sama bulubulu? koq ada bulu jadi ingat aku, memang dia orang ga jelas ding he3x. Key, mudur ke belakang, tiga tahun yang lalu, tepatnya tahun 2005 aku diberi bunga bagus banget yang terbuat dari kertas krep warna-warni oleh anak-anak—murid-murid lesku di kampung belakang kampus jawa tujuh. ”Mbak Ratih & Mbak Mitha ni bunga bikinan kami loh, ini khus buat mbak, kado valentine dari kita” gitu celoteh anak-anak kecil yang masih polos itu. Wow, anak-anak 'sepolos' itupun ternyata semangat meranyakan valentine juga.
Memang Klo diamati perayaan valentine semakin marak dari tahun ke-tahun, hingga seolah menjadi budaya yang identik dalam rangka pengungkanpan kasih-sayang pada sang pacar dikalangan remaja Indonesia. Anak-anak kecil yang latah ikut-ikutan seolah bunga atau barang-barang itu memang penting untuk membuktikan rasa sayang.
Hari Valentine dijadikan ajang sebagai hari di mana sepasang kekasih saling menunjukkan kesungguhan dan keseriusan menjalin komitmennya pada pasangan maupun pada orang-orang yang disayangi. Ketika Valentine’s Day tiba maka akan membanjir menggungkapkan perasaan kasih melalui telfon maupun sms, hingga saling bertukar kado, memberikan bunga, coklat serta cenderamata yang unik dan biasanya berwarna serba pink. Demikianlah adanya, perayaan Valentine’s Day menjadikan suasana hari tersebut seolah riuh mendadak dengan berlimpah ruah ’cinta’, karena lebih merasuk pada pola pikir dan menjadi agenda yang ditunggu-tunggu oleh sebagian besar remaja Indonesia.
Kemudian menjadi catatan tersendiri, di era pasar bebas seperti sekarang ini, di mana hubungan produksi mengadopsi simbol berupa uang, maka watak dan pola relasi antar manusia dikendalikan oleh hubungan produksi yang disimbolkan oleh uang. Maka kemudian uang dan barang/komoditilah yang mengatur hubungan manusia. Posisi uang menjadi hal sangat krusial dalam pada posisi sebagai alat komunikasi, dan penggunkapan kasih sayang. Pertukaran yang tidak langsung karena adanya alat uang ini, juga berakibat pada dimunculkannya kategori-kategori apa saja yang bisa digunakan untuk meng-hasilkan uang. Kategori ini disebut faktor produksi: di dalamnya termasuk modal (atau uang itu sendiri), tanah, tenaga kerja (manusia), dan apa saja yang bisa digunakan untuk menghasilkan uang; pada perkembangannya termasuk ide-ide, citra (image), bahkan agama dan kebohongan itu sendiri.
Pada wilayah ini, bunga, coklat—atau bakhkan penyerahan diri secara bodoh, dan kado Valentine yang diberikan pada sang kekasih atau orang-orang terdekat kenyataannya memang budaya kelompok-kolompok tertentu, yaitu golongan muda yang pada kesadarannya memang tidak dilatih mengurai sitem ekonomi dunia yang rumit dan timpang. Pertanyaanya jika kasih sayang, bunga, coklat, kado hanya sebatas ritual karena pengaruh budaya dan tren semata tanpa bisa menjelaskan secara meyakinkan alasan kita merayakannya, lalu apa manfaat dan urgensi Valentine’s Day yang disa dipetik secara nyata? Alih-alih, para pemuda-pemudi itu justru terjebak berasyik masyuk dalam kungkungan cinta eksklusif yang berkedok kasih sayang. Padahal, makna cinta dan saling mengasihi terhadap lingkungan dan relasi yang lebih besar telah diabaikan. Sementara kesadaran kemanusiaan kita telah menjadi korban para pemodal penjual bunga, coklat dan boneka yang serakah.
Dalam menjaga hubungan eksklusif dan cara mengekspresikan rasa sayang atau cinta seharusnya bukan hanya kata atau konsep, atau juga keindahan yang bisa diperjual-belikan. Kasih sayang suci tidak boleh dicurangi sebagai hubungan dan upaya menciptakan lembaga dan undang-undang yang memungkinkan hubungan itu didasari oleh pemberian dan penerimaan secara tulus tanpa klaim-klaim kepemilikan pribadi dan keunggulan antar sesama. Bukankah esensi kasih sayang adalah pemberian tulus-ikhlas untuk menuju otentisitas manusia sebagai subjek, bukan objek. Hilangnya cinta seharusnya diukur dari hilangnya keharmonisan, kesetaraan dan keadilan.
Cinta yang diwakili oleh pemberian-pemberian material, terutama benda yang tidak memiliki daya pakai utama dalam perikehidupan sama saja bahwa manusia disamakan dengan modal (uang) atau produk (bunga plastik, boneka, sepatu, ponsel, laptop, dll). Situasi tersebut merupakan cermin bahwa manusia masih diperbudak oleh manusia-manusia lain, bagaimana caranya supaya keinginannya terpenuhi tanpa harus membeli—yang lebih vulgar kemudian terjadilah saling mangsa-memangsa tak ubahnya seperti binatang.
Rekayasa nilai-nilai komersial yang telah merasuk pada kesadaran manusia telah menghilangkan elemen-elemen mendasar dari cinta sejati, yaitu relasi kasih yang tidak relasi lebih luas yang sifatnya lebih bermartabat dan dapat dipertanggungjawabkan. Sungguh, untuk merekonstruksinya kembali, diperlukan ikhtiar kemanusiaan yang harus didukung pula oleh syarat-syarat ekonomi-sosial-politik kondusif.
Valentine’s Day kali ini berbagi kasihlah pada masyarakat lebih luas, karena itulah hakekat cinta sejati.

Tidak ada komentar: