Minggu, 12 Agustus 2007

(Cerpen) Separuh Tubuh Malam

Dulu, aku selalu membayangkan mantan pacar kekasihku, walau hanya meraba-raba dalam kekaburan, aku selalu mengkhayalkan seperti apa gerangan wajahnya, kulitnya, rambutnya, susunya,y pantatnya, jempol kakinya, bibirnya, hidungnya, matanya, giginya, tinggi tubuhnya, langsingkah perutnya? apakah benar-benar selangsing bintang Hollywood yang memainkan film-film romantis, selayak yang didongengkan kekasihku tentang dia.
Sebenarnya hari itu adalah pertama kalinya aku tidur seranjang dengan laki-laki yang tidak memiliki hubungan darah denganku. Malam, hari itu adalah pertama kali aku dirayu, dibujuk, dicium begitu mesra oleh seorang lelaki, tapi itu hal lumrah, karena dia pacarku, dia kekasihku, dia seseorang yang memiliki nama Lanang.
Pada malam itu aku sudah setengah dipaksa, sudah setengah ditindih, dan telah setengah telanjang. Malam, Lanang sangat bernafsu padaku. Tapi kini, hingga pagi datang dan sinar mentari mulai mengalahkan nyala terang lampu kamar, belum barang semenit pun aku memejamkan mata. Mana mungkin mata sanggup menutup rileks kalau dari tempat yang sama juga mengalir deras isakkan dan air mata. Hari itu aku merasa begitu rendah, aku seperti nona kosong.
Mentariku, malam itu sebenarnya Lanang tidak benar-benar untuk meneruskan menelanjangiku hingga bugil, yang dilanjutkan dengan menjilati seluruh tubuhku hingga berakhir erangan penuh keringat mengucur tuntas. Dia tidak melakukan itu semua, mentari. Ketika mencumbuku, tiba-tiba ia berteriak. Ia mengatakan: “Aku adalah perempuan yang punya karakter menyukai dipaksa dan ditindas, buktinya aku kurang agresif, tidak mau membalas cumbuannya dan lambat bergairah tidak seperti perempuan normal, tidak seperti kekasih dan peliharaannya dulu”.
Mentariku, aku masih ingat, ketika kedua bola mata Lanang merah menyala bagai kobaran api, bahkan di tengah nyala lampu terang kamarnya, sangat jelas matanya yang nyalang, kemudian tangannya bersiap memukuli dadanya sendiri hingga tubuhnya terguncang. Kulihat rambutnya yang basah dan lepek menutupi sebagian keningnya, kemudian kepalanya tertunduk dengan muka lesu.
Sang bayu, seketika dia tidak lagi berniat memaksaku bersetubuh semalam. Aku masih dalam posisi tidur di ranjang dalam keadaan yang setengah telanjang, dan dia duduk di pojok kamarnya, lalu mengejekku: “Kamu jangan berfikir yang aneh-aneh tentangku, Ranti.” Aku hanya diam, mendengarkan dan menerima saja apa yang akan dia lakukan dan kata-kata apupun yang akan berlompatan dari mulutnya. Aku sadar benar, kalau aku ada di kamarnya, aku berada dalam lingkungan ciptaannya dan di wilayah miliknya apapun mungkin saja terjadi, bahkan yang tidak dinyana-nyana sekalipun.
Sang bayu, kemudian dia berkata dengan posisi kepala diletakkan di lututnya yang ditekuk, hingga dengkulnya mampu menopang kepalanya, kulihat keningnya terhalangi oleh rambutnya yang basah dan lepek karena keringat kemarahan yang meledak. Kemudian ia berteriak lagi sambil mendongkakkan kepalanya dan memelototkan matanya secara maksimal, hingga membuatku khawatir bola matanya akan copot dan menggelinding bebas di lantai kamarnya. Ia berteriak: “Jangan kau kira aku sungguh-sungguh ingin bersetubuh denganmu, Ranti. Kalau mau sekarang aku bisa saja memperkosamu, atau diam-diam memberimu minuman yang telah kucampur obat tidur dan memperlakukan tubuhmu dalam keadaan tidak sadar sekehendakku.”
Oooh debu, wuuzzzzz……….,kutiup kau supaya kau tahu sebagaimana yang kurasa semalam. Dia memang berhenti memaksaku untuk membalas cumbuannya. Tapi dia menghempaskan dan menamparku dengan sangat kuat, melalui kata-katanyalah ia melakukannya, hingga tak ubahnya aku seperti debu, yang sangat kecil yang tidak berarti apa pun selain menambah pahit pengalaman hidupnya.
Oooh debu, kau tahu dia tidak mencintaiku. Lanang pernah mengaku, ia hanya iseng. Dia adalah laki-laki yang penasaran dengan seorang Ranti yang terlihat lebih matang, dan lebih dewasa dari perempuan seusiaku, dia hanya penasaran pada kontrandiksi yang jelas terpancar dari raut mukaku yang menyebabkan aku mirip nona kosong. Aach…! Nona kosong? Nona kosong kupikir lebih bagus daripada nona gaul atau nona nan suci! Nona kosong mempunyai daya dan kemerdekaan untuk berpindah dari gaul ke suci, dari kota ke ndeso, dari radikal ke konservatif, dari vulgar ke misterius atau sebaliknya dari suci ke norak, dari ndeso ke urban dan seterusnya..dan satu lagi nona kosong selalu kembali pada kontradiksi dan kontempelasi atau secara gampangan akhir-akhir ini oleh orang-orang disebut sebagai lelaku kosong. Entahlah, mungkin itu hanya semacam pembelaan atau lebih bagusnya semacam cita-citaku.
Semalam dia menegaskan prasangkaku, bahwa Lanang masih mencintai mantan kekasihnya yang kabur di tengah malam menuju hutan pring dan Lanang tidak pernah ingin tahu sebabnya, atau tepatnya, Lanang malas mengoreksi perilaku-perilakunya.
Ribuan debu, percayakah kau, dia masih sangat kasmaran pada mantan kekasihnya. Semalam dengan kepala tunduk terduduk, dia berteriak padaku: “Kau tak seperti kekasihku, kau perempuan jelek, dengan kulit jelek, tubuh yang jelek dan tidak proporsional, rambutmu jelek, matamu terlalu lebar, dan terutama bibirmu tidak pernah berganti warna tidak seperti kekasihku, ia memiliki bibir pelangi.”Kemudian Lanang diam, kukira dia akan berhenti berteriak padaku, tapi perkiraanku ternyata salah debu, dia masih ingin menyerangku dengan bedil yang berpeluru jutaan kata-kata panas. Lanang berteriak lagi: “Ranti, kaupun kukira bukan betul-betul seorang perempuan, kakimu menjuntai terlalu panjang seperti pemain sepak bola, kau juga tidak pernah memakai rok atau kain, aku sungguh tidak menginginkanmu yang sok tomboy, sok tomboy berarti sok kuat. Aku inginkan kau berpakaian seperti mantan kekasihku. Taukah kau Ranti, dia sangat manis, tubuhnya langsing, tinggi, berkulit mulus, dan berwajah manis, dia selalu memilih memakai pakaian yang anggun dan elegan. Oooh Ranti, sekarang ini aku benar-benar merindukannya.”
Mentari, bayu dan debu sahabatku, kalau kau tidak percaya ceritaku ini, tanyakan saja pada bulan. Petang nanti bulan janji akan datang menjengukku, tanyakan saja kepadanya. Aku yakin tadi malam bulan mengintip peristiwa itu, semalam aku sempat melihat bulan menyelinap di pojok jendela kamar kekasihku. Tanyakan semuanya padanya, karena aku yakin bulan akan menjawabnya dengan jujur tanpa dikurangi atau dilebih-lebihkan.
Bertanyalah pada bulan mengenai peristiwa semalam, bulan menyaksikan, bagaimana gugupnya Lanang yang tiba-tiba berdiri, beranjak dari pojok kamar dan menggeledah tas kerjaku secara kasar dengan tangan dan tubuhnya yang gemetar karena kemarahan yang tidak kuketahui jelas sebabnya. Apa yang dia cari, aku hanya menebak-nebak saja. Apa mungkin dia mencari spidol warna yang biasanya kugunakan menulis di white board, saat mengajar di kelas? Apakah dia akan memilih spidol berwarna merah menyala dan akan mencoretkannya di bibirku, supaya menyerupai bibir pelangi mantan kekasihnya yang telah kabur itu. Ternyata aku salah, dia tidak mengambil spidol dan mencoretkannya di bibirku, Lanang mengambil kotak kacamata milikku, Lanang membukanya dengan tergesa-gesa dan menyuruhku memakainya.
Bulan di pojok jendela kamar tahu untaian utuh peristiwa semalam, semalam aku menurut saja ketika lanang menyematkan kaca mata di wajahku, wajah yang mengisyaratkan kelimbungan hingga aku benar-benar mirip nona kosong. Aku tahu Lanang tidak akan memujiku, atau mengatakan saat berkacamata wajahku bertambah manis. Sebaliknya dia berkata: “Kekasihku dulu sangat manis, kalau memakai kacamata, tidak sepertimu yang tetap jelek. Kekasihku mirip artis sineteron terkenal, dan aku sangat mencintainya kamu harus tahu itu, Ranti.” Rasis!!Kenapa aku harus tahu, pikirku.
Bulan masih juga setia menyaksikan aku dan Lanang semalaman, bulan terpekur dan seolah ikut menderita atas apa yang menimpaku semalam. Seolah bulan membujukku supaya aku berontak. Bahkan bulan memberi usul supaya aku membunuh atau menyobek saja mulut Lanang atau memotong kemaluannya dan akan kubawa pulang, Pleky pasti gembira mendapat oleh-oleh daging segar. Tapi aku menolak usulan bulan. Lalu, kunang-kunang beterbangan memasuki kamar, menerobos melewati fentilasi kamar. Indah sekali, kunang-kunang terbang membawa lentera mini dan meliuk-liuk di langit-langit kamar yang berwarna putih. Kunang-kunang itu berisik dan mengajakku untuk meninggalkan Lanang yang terus menjajah jiwaku, hingga kini membuatku setengah gila, tapi aku menolak dan enggan mengikuti kunang keluar kamar itu.
Semalam hanya diam, aku menunggu pagi datang, hingga Lanang tertidur karena kelelahan oleh amarahnya sendiri. Kupandangi wajahnya yang bersih, ketika tidur, mimik Lanang seperti bayi, dia memiliki raut muka kosong yang indah, tapi sayang hanya nampak ketika tidur, jika terjaga, kupastikan dia akan kambuh lagi. Bila keinginannya atas tubuhku tidak terpenuhi, maka dia akan mengejek dan memakiku supaya lekas seperti mantan kekasihnya yang sempurna, kekasihnya yang memilih menghilang, kabur masuk hutan pring.
Mentari, Bayu dan Debu, aku memiliki rahasia, yang sebernarnya hanya bulan yang mengetahuinya. Bahkan Lanang belum mengetahui perihal ini. Sebenarnya tanpa sengaja, beberapa bulan yang lalu, pada masa musim layang-layang yang kemarau, aku menjelajah hutan pring. Waktu itu, aku bermaksud menemani kawan-kawan kecilku berburu layang-layang kesayangannya lantaran angin kemarau yang kuat memutus tali layang-layang dari kendali tangan-tangan mungil sehingga tersangkut pohon pring di dalam hutan. Karena cukup jauh masuk hutan, maka aku menemaninya, aku selalu mengkhawatirkan ada hewan buas yang akan memangsa kawan kecilku. Setelah melewati belukar yang membuat kulit kaki dan tangan kami baret-baret lanyang-lanyang itu akhirnya kami temukan. Layang-layang itu tersangkut di pohon yang letaknya jauh di dalam hutan. Kemudian, tanpa sengaja aku bertemu seorang gadis yang berwajah ceria seperti wajah yang penuh harapan. Gadis hutan itu bernama Lilin.
Pernah kuajak Lilin keluar hutan, tapi dia menolak, dia berkata padaku: “Aku telah hafal musim, alam, dan perilaku hewan disini, justru aku takut pada makhluk sejenis manusia Lanang, yang ketika aku yakini telah mengenalnya, tapi tak pernah kusadari diluar akal batin dia berlaku melampaui penjahat negara dan aku takkan sanggup menerima penghianatannya. Ranti, dia lebih jahat dari binatang buas di hutan ini, hingga aku pernah tak lagi hanya ingin meninggalkannya, bukan hanya berniat meninggalkan lingkungannya, bahkan aku pernah ingin meninggalkan dunia, aku pernah sengsara dan karena hal itulah aku tidak berniat untuk mengulanginya lagi.”
Kasihan sekali Lilin, aku tidak akan lagi mengajakmu keluar hutan dan meninggalkan alam yang kini menjadi kawan baikmu Lilin, demikian janjiku sebelum berpisah dan mengajak kawan-kawan kecilku segera meninggalkan hutan pring sebab senja mulai merambah hutan.
Demikianlah pertemuanku dengan Lilin, dia berwajah ceria. Hingga aku selalu membayangkan mantan pacar kekasihku dengan sangat jelas, tidak lagi hanya meraba-raba dalam kekaburan. Kini aku selalu sanggup melukiskan seperti apa gerangan wajahnya, kulitnya yang hitam kelam, rambutnya yang kusut dan sedikit berombak, susunya yang sedang, pantatnya yang wajar, jempol kakinya yang dibalut kulit kelam, bibirnya memang memakai pewarna lumayan tebal, hidungnya yang tidak mbangir, matanya yang kenes, giginya besar-besar, (kutaksir giginya kira-kira besarnya dua kali ukuran gigiku) tingginya kira-kira sedagu-ku, tubuhnya kurus, dan sama sekali tidak mirip artis sinetron apalagi bintang Hollywood yang memainkan film-film romantis. Rupa sejarah jelas tergambar jauh dari yang didongengkan Lanang tentang dia, dan ini persoalan kebenaran ucap dan kata-kata Lanang.
Mentari, bayu dan debu sahabatku, kalian kupercaya untuk menjaga rahasia cerita ini, karena hanya bulan dan kalian sahabat setiaku. Kumohon jangan ceritakan hal ini pada kunang-kunang, karena mereka pasti akan semakin merasa memiliki alasan kuat dan membujukku terbang bersama mereka. Kunang-kunang selalu menginginkanku ikut dengannya, dia ingin mengenalkanku pada bintang-bintang berkerlip di langit malam yang berbentuk lucu dan bagus. Kunang-kunang ingin mengajakku terbang meninggalkan Lanang sendirian. SShhhtttttttt…., tolong jaga Rahasia ini.

Celaka!! sepertinya aku mulai menimbang-nimbang ajakan kunang-kunang untuk meninggalkan Lanang.


00.45 WIB

Purworejo, 8 Agustus 2006



Tidak ada komentar: