Rabu, 22 Agustus 2007

(Artikel) LUKA PEREMPUAN INDONESIA

Masih ada dalam ingatan kita, beberapa waktu lalu seorang Ibu di Malang, Jawa Timur yang membunuh ke 4 anaknya dengan memberikan racun, ia pun kemudian bunuh diri. Menurut surat terakhir yang ditulisnya sebelum ia bunuh diri, alasan ia melakukan aksi meracun anaknya dan bunuh diri adalah akibat tekanan ekonomi yang mendalam.
Beberapa hari kemudian setelah peristiwa tersebut, seperti yang diberitakan di Pamekasan seorang perempuan nekat membakar diri. Perempuan tersebut bunuh diri setelah mengetahui suaminya melakukan selingkuh.
Perilaku seoarang ibu yang membunuh anaknya tentu akan mengundang pertanyaan besar dan sebagian besar masyarakat bahkan dengan serta merta menyalahkannya, karena tega membunuh darah dagingnya sendiri, membunuh anak-anak kecil yang tidak berdosa.
Dom Camara dalam bukunya yang berjudul “Spiral Kekerasan” mengatakan, sudah umum diketahui bahwa kemiskinan membunuh secara sama pastinya dengan perang yang paling brutal. Namun kemiskinan lebih dari sekedar membunuh; ia menyebabkan kerusakan fisik, kerusakan psikologis (terdapat banyak kasus subnormalitas mental akibat kelaparan), dan kerusakan moral (mereka yang dalam situasi perbudakan, sesuatu yang tidak tampak tetapi sungguh nyata, hidup tanpa kepastian akan masa depan dan harapan sehingga jatuh ke dalam fatalisme dan merosot ke dalam mental pengemis).
Kemiskinan bangsa yang diawali oleh krisis ekonomi dan menyebar diikuti dengan krisis multidimensi mengakibatkan psikologis rakyat tertekan. Di saat rakyat mengalami kesulitan untuk sekedar memenuhi kebutuhan hidup, akses pendidikan semakin sulit. sedangkan sistem hukum dan pemerintahanan semakin kacau dan tidak bisa dijadikan sandaran. Maka, pada sistuasi tersebut jiwa masyarakat sangat rentan dan merasa bahwa dunia telah menyangkalnya, bahwa dunia membencinya dengan cara yang amat keji.
Seorang perempuan yang mendapati suaminya selingkuh akan melakukan aksi-aksi fatal yang mengancam hidupnya, karena ia tidak memiliki ‘capital’ yang membuatnya tidak akan pernah sanggup menghadapi persaingan. Seorang perempuan Indonesia yang secara kultur feudal patriarki mengalami diskriminasi untuk mendapatkan akses informasi, keahlian dan pendidikan yang maju dan menghasilkan, tentu akan kelabakan ketika mendapati relasinya yang selama ini menjadi arena pengabdian diri secara total telah menghianati komitmen. Sehingga perasaan tidak memiliki apapun di dunia segera menjadi momok yang menakutkan. Apa yang akan perempuan lakukan jika ia merasa tidak siap menghadapi dunia sesungguhnya seandainya perpisahan dengan suaminya, yang selama ini tidak ia duga menjadi kenyataan, padahal secara nyata ia telah tergantung sepenuhnya pada suaminya.

Hingga saat ini dalam praktik kehidupan berbangsa dan bernegara perempuan masih saja menjadi kaum yang termarginalkan, karena memang kenyataannya perempuan masih duduk pada posisi lemah secara ekonomi, pendidikan dan retan penyakit sehingga harapan hidupnya lebih rendah. Namun perempuan tidak ada bedanya dengan laki-laki, penguasa negara yang menciptakan ideology palsu atau ilmuwan-ilmuwan yang memiliki pengetahuan luas, perempuan adalah manusia seutuhnya yang memiliki akal budi, sehingga tidak ada alasan untuk misoginis (jijik) terhadap perempuan.
Bahkan para filsuf dan ilmuwan yang berkonspirasi dengan penguasa dan kaum pemodal seringkali menciptakan kebenaran-kebenaran ilmiah semu guna mendukung kepentingan patriarkinya. Teori-teori yang dicetuskan mencoba menjelaskan gerakan-gerakan evolusioner perempuan sebagai akibat dari penyimpangan-penyimpangan dalam jiwa orang-orang yang terlibat di dalamnya, ketimbang sebagai akibat penyimpangan struktur ekonomi dan social masyarakat itu sendiri. Teori tersebut tidak lebih dari pengembangan teori Freud yang menjelaskan bahwa pemberontakan melawan otoritas Negara tidak lebih dari sekedar ungkapan luar ketidakmampuan rakyat untuk mengatasi pergolakan emosional di dalam diri mereka sendiri yang terkubur ke dalam alam bawah sadar mereka.
Di era serba modern, dimana kemajuan tekhnologi mengalami perkembangan yang sangat pesat masih saja penindasan terhadap perempuan bercokol kuat dibawah sistem budaya feodal dan system ekonomi kapitalis patriarki. Dalam sinetron di TV maupun propaganda iklan, perempuan terus menerus diciptakan sebagai obyek untuk ditonton dan dinikmati karena paras molek dan lekukan-lekukan tubuhnya. Sebagai manusia yang juga memiliki otak, kapasitas berfikirnya tidak diperhitungkan. Bukannya mengembalikan kualitas pribadi perempuan secara keseluruhan, sebaliknya perempuan menjadi bulan-bulanan peraturan daerah, maupun RUU yang diskriminatif dan cenderung bahkan mengkriminalkan kaum perempuan. Tidak cukupkan memposisikan perempuan sebagai obyek kenikmatan pragmatis, kemudian dengan munafik diciptakannya peraturan yang menyerang perempuan yang sebenarnya mereka hanya korban dari system ekonomi dan social yang tidak adil?
Kebijakkan yang dihasilkan pemerintah pun cenderung semakin menjerumuskan rakyat ke dalam jurang kesengsaraan yang dalam. Dapat dipastikan, perempuan dan anak yang paling menderita akibat kebijakkan kenaikan harga BBM, akibat kelangkaan minyak tanah, akibat mahalnya harga beras, akibat lumpur panas Lapindo-Sidoarjo, akibat perusakan alam, bencana kekeringan dan bencana banjir, atau pelayanan kesehatan yang tidak memadai serta pendidikan yang kian mahal.
Ibu-ibu kebingungan mengatur anggaran belanja ketika harga BBM naik, Ibu akan gelisah ketika minyak tanah sebagai sarana dia memasak makanan untuk keluarga kosong di pasar, ketika keringan melanda, ibu-ibu dan anak perempuanlah yang akan hiruk pikuk kewalahan mencari sumber air bersih dan mengangkutnya untuk keperluan keluarga, ketika harga beras melonjak hingga Rp. 6.000/kg perempuan lah yang akan menderita.
Terlebih perempuan memiliki rahim yang dari rahimnya, anak-anak penerus masa depan kehidupan dilahirkan. Jika perempuan mengalami gizi buruk, maka anak yang dilahirkannya akan mengalami hal yang sama. Bila jaminan kesehatan reproduksi bagi perempuan tidak memadai, maka keselamatan bayi yang dikandung juga akan terancam. Jadi sangat jelas, isu-isu sensitif gender dan persoalan-persoalan perempuan sangat penting, karena persoalan tersebut menyangkut masa depan kehidupan manusia.
Sayangnya beberapa waktu lalu presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono dalam pidatonya sudah merasa berhasil karena capaian-capaian kerjanya mengenai perdamaian konflik Aceh, embargo militer AS terhadap TNI, pelanggaran HAM timor-Timur, Konflik di Papua, utang luar negeri yang berkurang, arbitrase Cemex, Blok Cepu, dan Texmakco. Padahal banyak sekali persoalan lain yang mendesak menunggu giliran untuk ditangani secara adil dan cepat demi kesejahteraan bersama. Persoalan tersebut antara lain, perusakan alam seperti kasus Lapindo yang belum juga menuai jalan terang, jumlah angka kemiskinan yang semakin melonjak, kasus pelanggaran HAM yang belum terselesaikan, peradilan bagi koruptor kelas kakap, persoalan kesehatan, pendidikan dan upah buruh,dll, yang semuanya akan berdampak buruk pada rakyat dan terutama perempuan dan anak.
“Jangankan masyarakat yang berkesejahteraan sosial, menyusun masyarakat yang normal sajapun tidak mungkin, sebelum selesainya soal nasional. Tidak mungkin sebelum selesainya soal politik.” Demikian kalimat yang dikatakan bung Karno dalam buku yang berjudul “Sarinah”. Bila hingga saat ini pemerintah justru melarikan diri dari kebenaran sejarah bangsa bukannya menyelesaikan kasus pelanggaran HAM berat, berarti negara ini meneruskan rezim yang lalu, dapat dipastikan pemerintah sekarang adalah kepajangan dari rezim yang lalu. Jangalah berharap pada sistem pemerintah yang telah mewarisi kebobrokan-kebobrokan rejim lama yang korup, militeristik dan berpihak pada kaum pemodal karena suara rakyat tidak akan pernah dipertimbangkan namun sebaliknya sebisa mungkin akan dibungkam—meskipun dengan cara yang lebih halus dengan mengatasnamakan agama maupun kepentingan bersama.
Dimuat Majalah OPSI Jakarta Minggu Ke-3 Maret 2007

Tidak ada komentar: