Senin, 27 Agustus 2007

(Artikel) Pan Optic Anak Korban Penculikan


Tragedi penculikan Rasyah Ali (5) terjadi ketika Rasyah pulang sekolah dibonceng oleh Linda pembantunya pada tanggal 15 Agustus di Kalimalang, Jakarta Timur yang dilakukan oleh 4 orang tersangka diantaranya masih SMU. Penculik sempat menelfon kedua orang tua Rasya dan meminta uang tebusan sebesar satu miliar. Tragedi penculikan Rasya menjadi berita utama terlebih setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan dua kali jumpa pers khusus berkaitan dengan penculikan Rasyah, bahkan porsi pemberitaannya lebih besar dibanding pemberitaan mengenai kenaikkan harga bahan pokok, seperti beras, minyak goreng dan telur yang meresahkan masyarakat akhir agustus ini. Pada hari yang sama, kasus penculikan juga dialami oleh Erizka Pravitasari, siswi SMA Negeri III, Setiabudi, Jakarta Selatan dan setelah sebelummnya meminta uang tebusan 50 juta pada akhirnya dibebaskan pada hari Kamis atas bantuan pihak kepolisian.
"Indonesia itu sebenarnya sangat aman. Namun, kerena banyak contoh dari film-film Amerika Serikat dan lainnya, kejahatan terhadap anak sering terjadi, seperti penculikan dan sebagainya. Kalau seperti itu, hanya satu solusinya, guru-guru di sekolah harus intensif mengawasi lingkungan sekolah. Para murid juga diajarin mengenal orang-orang yang tak dikenalnya," kalimat-kalimat itulah yang diucapkan Wakil Presiden Muhammad Jusuf Kalla berkaitan dengan keprihatinannya terhadap kasus penculikan Raisyah Ali. Kemudian seperti yang diberitakan KOMPAS (23/08/2007), secara terpisah, Kepala Biro Operasi Kepolisian Daerah (Polda) Metro Jaya Komisaris Besar Irawan Dahlan mengatakan, setelah serangkaian kejadian penculikan belakangan ini, pihaknya pengamanan di lingkungan sekolah. "Bentuknya patroli yang lebih intensif, baik oleh petugas berseragam maupun berpakaian preman," ungkapnya.
Sangat menarik untuk menjadi bahan diskusi lebih lanjut dari kedua pernyataan di atas. Pertama, Indonesia bukanlah negara yang aman dan ramah bagi rakyatnya. Persoalan kesejahteraan menjadi persoalan yang belum terpecahkan dan menjadi terror tersediri bagi kaum miskin, mulai dari bahan-bahan pokok yang melonjak tinggi, penggusuran sepihak, hingga persoalan pendidikan yang amburadul belum lagi kasus korupsi dan pelanggaran HAM menjadikan Indonesia belum layak dikatakan negara yang aman.
Kedua, perilaku kejahatan yang kian marak lebih berasal dari persoalan hukum dan budaya. Tidak arif dan terkesan membabi buta jika film luar dijadikan kambing hitam tragedy penculikan anak yang semakin marak. Realitasnya, justru film dan sinetron produksi Indonesia yang selama ini menjerumuskan psikologis dan tidak membentuk karakter bangsa. Aksi menendang, mempekerjakan paksa, mencelakai, menculik anak dan baik aksi ekstrem kekerasan dan ekstrem "cinta kasih" maupun pemecahan mistik sangat biasa disajikan di TV tanah air untuk mengejar sekedar rating atau pun keuntungan dari iklan. Dari pada sibuk mengkritik film produksi luar negeri, sebaiknya Wapres terlebih dahulu berani mengkritik film dan sinetron dalam negeri yang jauh tidak bermutu dan cenderung merusak otak dan menghancurkan potensi generasi bangsa.
Ketiga, pernyataan Komisaris Besar Irawan Dahlan berkaitan dengan "mengkomando" untuk melakukan patroli intensif aparat di lingkungan sekolah bahkan dengan berpakaian preman, jauh dari solusi jangka panjang yang diharapkan. Aparat bagaimanapun alasannya tidak memiliki hak dan kewenangan untuk seenaknya sendiri ikut campur dan memaksa terintegrasi dengan kehidupan pribadi penduduk sipil, terlebih masuk tanpa ijin pada ranah privasi penduduk sipil, itulah sebabnya mengapa Bakorda (Badan Koordinasi Daerah) layak dibubarkan. Militer, polisi, Satpol PP dll memiliki tugas menjaga keamanan yang tidak boleh melenceng terlalu jauh justru menjadi benteng dan memata-matai rakyat untuk kepentingan kekuasaan.
Keempat, ketika aparat dengan mudah—baik disahkan secara hukum maupun mejadi kebudayaan (kekerasan) yang dilembagakan—masuk ke ruang privat masyarakat sipil, yang menjadi kekhawatiran adalah benih-benih militerisme dan totaliterianisme tumbuh subur dan lagi-lagi justru rakyat kembali menjadi tumbalnya. Karena alasan subversif, mengganggu ketertiban umum, dan pencemaran nama baik (mengkiritik/berdemonstrasi secara terbuka) kembali orang-orang kritis akan disingkirkan. Mempermainkan isu dan pemberitaan bisa menjadi skenario sempurna yang kembali memposisikan seolah menjadi mendesak akan kebutuhan aparat untuk menjaga keamanan bahkan masuk lingkungan sekolah atau kampus sekalipun.
Dampak dari penyajian berita penculikkan maupun cara pemerintah dan kepolisian meresponnya justru mengakibatkan beban dan tekanan psikologis bagi masyarakat luas. Para orang tua akan was-was dan memperketat penjagaannya pada anak-anaknya, hal tersebut tentu akan berakibat buruk pada dunia anak-anak. Anak-anak akan menderita pan optic, pan optic menurut Hannah Arendt adalah situasi psikologis di mana seseorang merasa terus-menerus diawasi, hal ini mengakibatkan kemerdekaan anak untuk melakukan aktivitas dan memajukan kreatifitas terhambat, bahkan dampak psikologis yang lebih berat anak-anak bisa mengalami schizophrenia, penderita schizophrenia sering mengalami paranoid berlebihan bahkan seolah benar-benar merasakan kehadiran orang lain. Dan celakanya akibat pemberitaan media dan respon pemerintah yang justru mengaduk-aduk psikologis massa, pan optic maupun schizophrenia bukan hanya menimpa korban penculikan langsung namun secara luas juga akan menimpa orang tua dan anak-anak.
Selain itu sikap paranoid pada orang asing dan terutama orang-orang miskin yang berpakaian compang-camping akan meningkat seiring meningkatnya ketakutan akan tertimpa tindak kejahatan dan perampasan harta benda. Hal tersebut justru akan mengakibatkan jurang ketimpangan antara si kaya dan si miskin yang lebih curam dengan konsekuensi-konsekuensi yang tiada terkira. Orang-orang miskin yang dimarjinalkan dan tidak dimanusiakan apalagi diberi kesempatan yang layak berdampak jalinan ikatan sosial yang terjalin akan rusak dan tidak memenuhi syarat terpeliharanya situasi aman dan damai.
Dari sisi modus kejahatan, faktor-faktor yang menjadi sebab aksi kriminal selama ini yang lebih mendominasi lebih bersifat ekonomis. Itu berarti, persoalan konkrit sesungguhnya atas maraknya aksi penculikan, dan sederetan aksi kejahatan lainnya di tanah air adalah persoalan seputar pemenuhan kesejahteraan yang timpang sehingga menimbulkan kecemburuan. Kecemburuan kian berlebihan ketika lembaga hukum tidak berpihak pada keadilan ditandai dengan masih bebasnya mafia aset negara dan koruptor uang rakyat.

Tidak ada komentar: