Rabu, 10 Oktober 2007

Opini Pilihan

OPERATOR SELULER DAN PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL:

MEMBANGUN KARAKTER OPERATOR SELULER

SEBAGAI AGEN PEMBANGUNAN BANGSA


Oleh: Eko Prasetyo Dharmawan

Latar Belakang
Dalam khasanah ilmu sosial, dikenal konsep agen sosial. Yang dimaksud dengan ‘agen sosial’ itu ialah individu atau kelompok sosial yang sadar akan interaksi dirinya dengan dunia sosialnya, dan kemudian secara sadar bertindak secara tertentu agar konsekuensi yang diinginkannya bisa tercipta. Konsep ‘agen sosial’ ini dihadirkan sebagai pembeda dari individu-individu atau kelompok-kelompok sosial yang tak sadar dan tak memahami kaitan antara tindakannya dengan konsekuensinya terhadap dunia sosial. Golongan yang kedua ini tak sadar betapa setiap tindakannya senantiasa memiliki dampak atau konsekuensi terhadap dunia sosialnya, dan dengan demikian tak sadar akan kemampuannya untuk menciptakan realitas sosial yang tertentu. Karena lupa akan kemampuannya untuk menciptakan realitas sosial itu, maka kemampuannya untuk menciptakan realitas sosial menjadi tak berkembang, menjadi kerdil. Sementara ‘agen sosial’, karena sadar akan kemampuannya untuk turut mempengaruhi berlangsungnya proses sosial, maka secara sadar pula dia akan terus-menerus mengembangkan kemampuannya untuk bisa semakin efektif membentuk dunia sosial seperti yang diinginkannya. Karena kemampuan yang semakin efektif itu selalu menciptakan karakter diri yang kuat, maka otomatis ‘agen sosial’ selalu punya karakter pribadi dan kerja yang kuat. Itulah sebabnya, bangsa-bangsa yang maju selalu terdiri atas individu-individu maupun lembaga-lembaga yang punya karakter kuat. Termasuk lembaga-lembaga usahanya. Karakter yang kuat ini menjadikan bangsa-bangsa yang maju bisa tumbuh menjadi bangsa yang digerakkan oleh sedemikian berlimpah agen-agen sosial yang terus-menerus secara sinergis membangun dunia sosialnya. Mereka sadar bahwa keruntuhan sosial-ekonomi masyarakat adalah juga keruntuhan sosial-ekonomi seluruh bagian di dalamnya, termasuk unsur dunia usaha. Sebaliknya, kemajuan sosial-ekonomi masyarakat akan juga berarti kemajuan dari seluruh bagiannya, termasuk dunia usaha. Tak ada dunia usaha yang bisa lestari berdiri jika daya beli masyarakatnya terus merosot.
Hukum sosial yang sama juga berlaku di seluruh dunia. Bangsa yang besar selalu berisikan agen-agen sosial yang dinamis dan sinergis, sementara bangsa-bangsa yang terbelakang selalu berisikan individu dan kelompok sosial yang saling parasit dan menghambat satu sama lain. Pertanyaannya ialah: termasuk bangsa yang manakah bangsa Indonesia?
Dalam proses pembangunan sekian lama, tak bisa diingkari masih ada persoalan pembangunan di negeri ini. Di antaranya ialah masih adanya daerah-daerah tertinggal, yang jika dibandingkan dengan dinamika kehidupan kota-kota besar, seolah-olah tertinggal sekian puluh tahun jaraknya. Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) sendiri menggunakan enam kriteria untuk mengukur ketertinggalan suatu daerah (kabupaten) dengan daerah lain, yaitu kondisi ekonomi, sosial masyarakat, infrastruktur, keuangan, pemerintahan, dan geografis wilayah. Dari kriteria tersebut digunakan indikator-indikator kemiskinan, indeks pembangunan manusia, infrastruktur, celah fiskal, aksesibilitas, dan karakteristik wilayah. Berdasarkan kriteria dan indikator di atas, KPDT menetapkan 199 kabupaten yang tergolong tertinggal di 31 provinsi. Penyebaran daerah tertinggal terutama masih di Kawasan Timur Indonesia (KTI) sebanyak 123 kabupaten (62%), Sumatra 58 kabupaten (29%), dan Jawa Bali 18 kabupaten (9%).
Aspek infrastruktur sendiri meliputi di antaranya ketersediaan jalan, alat komunikasi, pasar, listrik, perbankan dan sebagainya. Dengan kata lain, daerah-daerah tertinggal adalah daerah yang menghadapi permasalahan di bidang ketersediaan infrastruktur. Salah satu infrastruktur yang vital bagi dinamika pembangunan ekonomi di daerah tentu saja ialah jaringan telekomunikasi. Jika hubungan komunikasi antara daerah tersebut dengan daerah lain begitu sulit, bagaimana mungkin pengusaha-pengusaha dari luar daerah akan tertarik untuk berbisnis di daerah tersebut? Selain itu, jika hubungan komunikasi begitu sulit, bagaimana mungkin wawasan dan aktivitas masyarakat di daerah tersebut akan bisa dinamis dan berkembang?
Di era dimana aktivitas ekonomi telah begitu menyatukan berbagai ruang dan waktu, daerah-daerah tertinggal seperti ketinggalan kereta. Hanya tergagap dan menjadi penonton pasif dari arus ekonomi yang luas. Berharap menunggu tetesan kue ekonomi. Situasi ini tentu tak sehat bagi kemajuan ekonomi bangsa secara keseluruhan. Kesenjangan yang begitu besar akan mudah melahirkan begitu banyak problem sosial dan ekonomi. Bahkan politik dan keamanan. Karena itu, sudah saatnya situasi ini diubah.
Membangun ketersediaan jaringan telekomunikasi merupakan salah satu kerja yang bisa dilakukan untuk mempercepat pembangunan daerah tertinggal. Di sinilah peran operator seluler sebagai penyedia jasa layanan komunikasi seluler sangat vital. Tulisan ini akan membahas secara garis besar strategi apa yang bisa dilakukan oleh operator seluler dalam perannya sebagai agen sosial dalam pembangunan bangsa, terutama dalam hal percepatan pembangunan daerah tertinggal. Selain strategi, juga dirumuskan filosofi apa yang mungkin bisa diadopsi oleh operator seluler dalam menjalankan perannya sebagai agen pembangunan bangsa.

Filosofi dan Strategi Operator Seluler dalam Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal
“Bambang Riyadhi Oemar, Ketua Asosiasi Telepon Seluler Indonesia (ATSI), mengatakan sampai akhir Maret 2007 pengguna ponsel di Indonesia telah mencapai 75 juta. Hal ini, ujarnya, adalah peningkatan dari perhitungan terakhir di 2006 yang mencapai 70 juta,” demikian isi berita di situs Detikinet.com Rabu 27 Juni 2007. Jumlah itu sungguh luar biasa besar. Apa yang bisa kita tangkap dari besarnya jumlah pengguna ponsel itu, terutama jika dikaitkan dengan proses pembangunan ekonomi bangsa, dan terutama dengan proses pembangunan daerah tertinggal?
Dalam iklim ekonomi yang sedemikian cepat dan dinamis ini, penggunaan sarana komunikasi yang memungkinkan orang saling berhubungan secara cepat dan mobile sungguh amat vital. Telepon seluler bukan saja memungkinkan orang untuk bisa berkomunikasi secara cepat dan mobile, namun juga bisa terus-menerus memonitor, bahkan mengontrol usahanya dari manapun dan kapan pun. Ruang kantor dan waktu kerja tiba-tiba saja meluas. Tak terbatas dinding gedung kantor maupun jam kerja kantor. Kekuatan yang dimiliki oleh penggunaan telepon seluler sungguh mengagumkan, sehingga siapapun yang berusaha berbisnis dengan meninggalkan telepon seluler akan dengan perlahan atau cepat akan kalah bersaing dengan pesaing-pesaingnya yang menggunakan fasilitas telepon seluler. Mengapa? Karena orang semakin tak sabar untuk menunggu. Orang semakin membutuhkan layanan yang cepat dan mungkin setiap saat. Bisnis berbasis kantor dan jam kerja yang konvensional, kini telah bergeser ke arah bisnis berbasis komunikasi yang mobile dan 24 jam. Meski ini tidak berarti bahwa bisnis berbasis kantor dan jam kerja kemudian akan lenyap, namun kekuatan bisnis saat ini tidaklah terutama terletak pada kestatisannya, namun pada kedinamisannya. Pada unsur mobile dan layanan tiada hentinya. Mereka yang mengandalkan kekuatannya pada kantor dan jam kerja, akan dengan segera kalah bersaing merebut konsumen-konsumen baru, dan bahkan mungkin akan ditinggalkan oleh konsumen-konsumen lamanya jika tak segera memutakhirkan basis kerjanya. Inilah dampak budaya berbisnis yang diciptakan oleh telepon seluler. Sebuah dampak yang bukan hanya mengubah budaya kerja, namun juga menentukan nasib sebuah usaha.
Dengan memahami dampak teknologi terhadap budaya bisnis dan konsekuensi ekonominya, maka kita akan bisa memahami mengapa daerah tertinggal yang tidak memiliki ketersediaan fasilitas komunikasi seluler sungguh merana ekonominya. Bahkan, usaha-usaha yang sejak lama berdiri pun bisa runtuh dengan cepat saat gagal mengintegrasikan diri dengan budaya bisnis yang baru, yang berbasis komunikasi seluler.
Ada 75 juta pengguna ponsel di negeri ini. Anggap saja 1%-nya adalah pebisnis, jadi ada sekitar 7,5 juta pebisnis yang menjalankan usahanya berbasis komunikasi seluler. Namun, bagaimana dengan sekian banyak pengusaha lain, terutama di daerah-daerah yang masih belum tersedia fasilitas komunikasi selulernya, atau setidaknya fasilitas komunikasi selulernya masih buruk kualitasnya? Kekalahan maupun ketakberkembangnya bisnis dan ekonomi di daerah-daerah tertinggal bisa dikatakan merupakan konsekuensi salah satunya dari ketiadaan fasilitas komunikasi seluler yang memadai.
Dalam konteks inilah, peran operator seluler sungguh amat penting. Peran operator seluler sesungguhnya tidaklah sekedar pasif dalam artian hanya sekedar memberikan jasa layanan komunikasi seluler kepada pengguna telepon seluler, namun juga bersifat aktif-konstruktif karena seperti yang telah dijelaskan di atas, teknologi seluler telah turut mengubah budaya bisnis dan nasib ekonomi yang ada. Kemampuan operator seluler untuk turut membentuk budaya bisnis yang mobile itulah yang sungguh bernilai. Pembangunan ekonomi daerah tertinggal tak akan berhasil manakala budaya bisnis yang ada tak adaptif dengan kompleksitas dan dinamika bisnis lokal, regional bahkan global. Hanya ketika budaya bisnis berubah mengikuti irama dunia bisnis yang lebih luas, ada harapan cerah bahwa suatu daerah akan dengan cepat terintegrasi dengan arus ekonomi dan bisnis yang lebih luas dan dengan demikian mampu mencapai taraf kemakmuran dan kesejahteraan seperti yang dicitakan. Peran konstruktif dalam membangun budaya bisnis inilah yang dimiliki oleh operator seluler, dan kemampuan konstruktif ini pula yang patut menjadi filosofi dasar dari operator seluler dalam turut membangun daerah tertinggal.
Selama ini secara sadar atau tak sadar, sengaja atau tak sengaja, operator seluler telah turut membantu kemajuan proses pembangunan budaya bisnis yang baru di negeri ini. Bahkan, operator-operator seluler juga telah menunjukkan kepeduliannya pada pembangunan masyarakat lewat program-program corporate social responsibility (CSR). Hanya saja, program-program CSR itu seringkali terkesan lebih bersifat kuratif sebagai penyeimbang dari aktivitas bisnis perusahaan. Dengan kata lain, seolah-olah ada dua aktivitas yang punya tujuan masing-masing. Satunya bertujuan mencari laba, sementara yang lain untuk membagikan sebagian laba tersebut. Meski hal tersebut patut dipuji, namun sesungguhnya antara CSR dan aktivitas bisnis tak perlu dipahami sebagai sesuatu yang berjalan di lajurnya masing-masing jika kita memahami kekuatan konstruktif yang dimiliki oleh operator-operator seluler dalam membangun budaya bisnis dan ekonomi bangsa. Manakala filosofi “Turut Membangun Budaya Bisnis dan Ekonomi Bangsa Ke Arah Kemajuannya” telah disadari dan diadopsi, maka tak akan ada kesan keterpisahan di antara aktivitas mencari laba dan aktivitas sosial. Filosofi tersebut memahami bahwa pencarian laba yang benar ialah yang turut membangun kemajuan dan kekuatan bisnis dan ekonomi bangsa yang hebat, dan sekaligus pembangunan sosial hanya akan bisa dicapai secara sejati lewat profesionalisme usaha dan kerja.
Filosofi itu pula yang ada baiknya menjadi filosofi operator seluler dalam turut membangun percepatan kemajuan daerah tertinggal. Dengan filosofi tersebut, operator seluler akan bisa melihat bahwa aktivitasnya turut membangun daerah tertinggal sesungguhnya bukan merupakan aktivitas kuratif, namun merupakan investasi. Tentu dengan syarat bahwa pihak operator seluler paham bahwa jika kehidupan bisnis dan ekonomi di daerah tertinggal tersebut berkembang, maka siapa pula yang akan menikmati pertambahan pelanggan bisnis baru? Investasi yang dijalankan dengan strategi yang benar, niscaya akan menghasilkan buah bagi penanamnya.

Bagaimana strateginya?
Secara sederhana, strateginya meliputi 3 (tiga) hal, yaitu:
Strategi penyediaan dan penyempurnaan BTS. Strategi ini jelas bersifat teknis, namun amat penting demi kepuasan dan kenyamanan pelanggan di daerah tertinggal. Bagaimana mungkin pelanggan akan senang jika setiap kali sinyal yang didapatnya putus-putus? Menciptakan pelanggan yang loyal memang penting, namun lebih penting lagi untuk menciptakan pelanggan yang advokatif. Pelanggan yang loyal barangkali memang puas, namun cukup sekedar puas. Sementara pelanggan yang advokatif bukan hanya puas, namun menyebarluaskan kepuasannya itu ke sekelilingnya, dan dengan demikian turut mempromosikan operator seluler yang dianggapnya memuaskan. Pelanggan advokatif ini akan tercipta manakala kualitas hubungan seluler yang didapatnya begitu unggul sehingga mendorongnya ingin orang lain mengikuti jejaknya menggunakan operator seluler yang sama. Penyediaan dan penyempurnaan BTS merupakan salah satu cara terbaik untuk menciptakan pelanggan-pelanggan yang advokatif. Jadi, dengan strategi pertama ini, pelanggan punya insentif untuk mengadopsi budaya bisnis baru, di sisi lain operator seluler bisa menjaring pelanggan-pelanggan baru, yang seiring dengan kemajuan ekonomi daerah, akan semakin membesar jumlahnya. Kedua pihak sama-sama senang.
Strategi pengayaan layanan pelanggan. Pelanggan advokatif juga bisa diciptakan dengan cara penyediaan layanan pelanggan yang bermutu dan simpatik. Sikap responsif dan komunikatif, apalagi terhadap kebutuhan kalangan pebisnis dari daerah-daerah tertinggal, sungguh amat bernilai artinya guna menciptakan pelanggan yang advokatif. Usulan, kritik maupun pengaduan dari pelanggan haruslah menjadi alat evaluasi yang berguna untuk semakin menyempurnakan diri menjadi perusahaan yang lebih efektif dan komunikatif. Sikap komunikatif dan bersahabat ini akan bisa menjadi insentif lain bagi pelanggan untuk semakin mantap berbisnis dengan mengandalkan kepercayaan dukungan dari pihak operator seluler.
Strategi pembangunan kemasyarakatan. Karena membangun budaya bisnis dan ekonomi daerah tertinggal itu bukan saja harus diarahkan pada kalangan pengusaha saja, namun pada seluruh lapisan masyarakat sebagai bagian dari mata rantai ekonomi, maka strategi pembangunan kemasyarakatan sangatlah penting juga artinya. Budaya bisnis dan ekonomi yang maju didasarkan pada kualitas-kualitas kecerdasan dan kreativitas. Karena itulah, pihak operator seluler juga perlu turut serta berpartisipasi membangun tradisi berprestasi dan kreatif dari seluruh lapisan masyarakat di daerah tertinggal, terutama kalangan generasi muda. Ketika kualitas kecerdasan dan kreativitas masyarakat daerah berkembang, kualitas kecerdasan dan kreatif itu juga akan merembes ke dalam aktivitas berekonomi mereka, termasuk dalam aktivitas konsumsi. Ketika aktivitas berekonomi semakin cerdas dan kreatif, maka aktivitas itu akan berlangsung dinamis dan progresif. Kebutuhan-kebutuhan baru akan muncul. Agar kebutuhan-kebutuhan baru ini bisa terpenuhi, maka dibutuhkan alat komunikasi untuk bisa berhubungan dengan peyedia-penyedia kebutuhan baru tersebut. Komunikasi seluler jelas jadi pilihan utamanya karena sifatnya yang mobile dan praktis. Jadi, secara tak langsung muncullah kebutuhan komunikasi baru di masyarakat daerah tertinggal. Lagi-lagi, baik pihak masyarakat daerah tertinggal maupun pihak operator seluler senang.

Penutup
Tentu saja, kenyataan tak semudah dan seindah gagasan. Namun, membangun daerah tertinggal sekaligus meletakkan dasar kelestarian bisnis perusahaan operator seluler bukanlah suatu hal yang tak mungkin diwujudkan. Keduanya bahkan harus selalu berjalan sinergis satu sama lain. Perusahaan-perusahaan besar di negara-negara maju telah lama memahami hal ini dengan membangun masyarakat dan bangsanya, lantas mengapa kita tak mulai meneladaninya?

Tidak ada komentar: