Rabu, 04 Juni 2008

Cerpen

Matahari Orange
Untuk Mezis, Selamat Ultah ke-25. Luv U!

"Obsesiku mudah koq, sayang. Tapi please, jangan kau tertawakan, karena itu akan membuatku malu. Ok, Ehmm….aku hanya ingin duduk-duduk di tepi pantai menjemput senja, menunggui matahari besar berwarna orange meluncur tenggelam ke laut, hingga ombak menjadi berwarna-warni."
Itulah jawabanku, ketika kau bertanya tentang apa sebenarnya obsesi hidupku. Dan sungguh sesuai dugaan, kau malah tertawa ngakak setelah mendapat jawaban jujur dariku. Padahal, kaulah orang pertama yang kuberi tahu dengan jujur mengenai hal ini. Dan mungkin, kaulah orang terakhir yang kuberi tahu mengenai hal ini.
Sumpah sayangku, kaulah orang pertama yang kuberi tahu tentang cita-cita hidupku. Obsesi yang menurut penilaianku sendiri terlalu sangat sederhana, terlalu biasa sekaligus sulit diterima. Juga yang menyadarkanku, bahwa tidak semua hal yang sederhana, mudah terwujud dan mudah mendapat dukungan. Mungkin kini orang-orang sudah terbiasa dengan hal yang serba muluk. Cita-cita muluk oleh anak-anak SD, janji-janji muluk oleh calon gubernur, cinta muluk oleh sepasang kekasih baru, cemburu muluk oleh suami yang ingin mengendalikan istri, kebenaran muluk oleh para penjual ideologi.
Huh, betapa aku membenci segala sesuatu yang muluk. Muluk padanan katanya sok suci! Dan aku benci dengan orang yang sok suci! Kalau tidak salah, dulu aku juga pernah mengutarakan tentang hal itu kepadamu, tengah malam, pada pertemuan kita yang entah keberapa, di perjalanan Jember menuju Surabaya. Di Surabaya kau tempelkan bibir tipismu dengan mesra di keningku, dan kita berpisah, aku melanjutkan perjalanan pulang ke Jawa Tengah dan esok kau harus sudah sampai Malang untuk meeting di sana.
Semasa kecil, guru SD-ku bertanya, seperti umumnya guru-guru lainnya, maka pertanyaan wajib yang terlontar dari guru kesayanganku, menanyakan cita-cita murid-muridnya. Dan menjadi kewajiban rutin murid, maka kami harus menjawab pertanyaan tersebut. Teman-temanku semuanya bercita-cita hebat, menjadi dokter, pilot, tentara, tiga cita-cita itu memang favorit teman-temanku. Hingga tiba giliranku menjawab, dan aku shock, karena sama sekali belum terpikir untuk bercita-cita sesuatu, yang jika kuucapkan akan terdengar menakjubkan. Akhirnya aku memilih salah satu dari tiga cita-cita mayoritas yang diucapkan teman-teman. Semua yang mendengarkan jawabanku meresponnya wajar. Duh, padahal kau tahu sayang, waktu itu di kepalaku, cita-citaku hanya ingin duduk-duduk di pantai sambil bermain pasir hingga langit berwarna orange. Lucu sekali, kalau ingat masa-masa itu.
Semasa kuliah dulu, ketika aku tergabung dalam organisasi mahasiswa ‘x’. Ingatkah, ketika itu aku dan kawan-kawan sibuk berteriak-teriak: Revolusi sampai mati!.Kata salah satu senior di organisasi yang telah seratus kali lebih banyak ikut demonstrasi: " Jalan-jalan, naik gunung, ke pantai adalah dunia hedonisme yang akut".
"Huh, bagaimana mungkin bercakap dengan alam adalah hedon? Setahuku hedon adalah, menjual ideologi dengan harga murah, hedon adalah menghabiskan uang kas organisasi untuk membeli alkohol dan nongkrong hampir tiap malam di kafe dan diskotik seperti yang setiap hari kalian lakukan!", begitulah aku berteriak pada mereka, seraya melakukan perlawanan, memperjuangkan obsesi kita untuk menakhlukkan Semeru.
Tapi tak kusangka salah satu kawan yang paling dekat denganku di organisasi berkata lantang, "Alaaah, paling kau mau bercinta dengan pacarmu yang pelukis itu. Dasar maniak kau, mending bercinta sama aku saja, sesama orang kiri pasti lebih asyik".
Benar-benar keterlaluan keusilan mereka, tidak sadar kalau watak patriarkinya masih sangat kental, tapi mereka sudah merasa tuntas secara ideologi. Kalau diskusi selalu ingin menang, kalau kepepet yang diserang seksualitasku sebagai perempuan. Pada tatanan masyarakat patriarki, menyerang seksualitas perempuan memang senjata paling ampuh sekaligus menghebohkan.
Lalu aku pulang kepadamu dan menceritakan keusilan mereka padamu "Lagi pula aku tidak mau bercinta dengan sebongkah daging, hanya karena ia berlabel intelektualis, progresif-revolusioner, aktivis kiri, nasionalis, laskar jihad, penyair, pelukis, novelis, esais, guru, tapi tidak nyambung secara psikologis." Kataku mengakhiri pucak emosiku.
"Biarkan saja celotehan kawan-kawanmu yang picik dan moralis, sayang. Meski mereka bilang, kau sundal sekalipun. Jangan suka urus hal begituan, mending kita manfaatkan waktu luangmu, ke semeru dan kita bicarakan rencana kita ke depan." kau menyakinkanku sambil tersenyum manis, teramat manis.
Hingga akhirnya kita mencuri-curi waktu luang, mewujudkan rencana mendaki gunung Semeru. Aku masih ingat, waktu itu kau merasa sangat bahagia karena recana yang sudah lama ingin kita wajudkan akhirnya sampai juga. Sedangkan aku? Aku tak kalah bahagia. Aku masih ingat sepanjang perjalanan menuju puncak, aku tersenyum-senyum sendiri mirip orang tidak waras. Dan yang lucu, kita tidak bisa menahan diri untuk tidak mandi di Ranu Gembolo, danau kecil di kaki gunung semeru yang airnya berwana hijau. Kita berfikir, kita adalah sepasang bidadari yang sedang jatuh cinta, sepasang bidadari yang kepanasan turun dari langit untuk mandi bersama di danau yang sejuk.
Kau meyeletuk, "kok sepasang bidadari? bukannya bidadari selalu perempuan, sedangkan aku lelaki dan kau perempuan", Begitu kau ucapkan protes dengan nada serius padaku, sedang tanganmu meyipratkan air danau ke wajahku hingga mataku mengerjap karena tidak siap.
"Gimana, kalau aku jadi Jaka Tarup saja, kau jadi bidadari, nanti selendangmu kucuri, jadi kau tidak bisa terbang kembali ke khayangan dan kau jadi istriku."
"Enggak mau ahh jadi istrinya Jaka Tarup, nanti aku disuruh masak terus ha…ha…ha… "
Kita tertawa terus sampai tak hiraukan tubuh kita yang mulai kedinginan sebab terlalu lama berendam. Hingga kau bersin-bersin tiada henti, kuhitung lebih dari sepuluh kali kau berhatshin-hatshin.
Setelah itu kita singgah di Ranu Pane, mampir warung makan dan memesan dua mangkok mie instant rebus plus telur setengah matang. Aku ingat, kau terlalu lapar waktu itu, hingga kau memesan dua telur. Kita juga memesan dua gelas teh hangat, aku tahu, teh hangat adalah minuman favoritmu. Sambil menyeruput tehmu, kau iseng menuliskan nama kita di dinding warung yang sudah fuul stiker organisasi pecinta alam, katamu sebagai tanda kita pernah menakhlukkan (atau, kita yang ditakhlukkan Semeru? buktinya kita tidak bisa menahan untuk tidak datang ke sana) Semeru.
*
Kini kau tahu sendiri, sayang. Setelah tiga tahun berlalu, mereka memilih berada di gelembung-gelembung kebahagiaaan palsu. Aku tak habis pikir, begitu mudahnya idealisme, ideologi yang siang malam didiskusikan hingga mulut berbusa-busa ternyata berujung penyerahan diri pada kepragmatisan di bawah proyek besar penipuan rakyat semacam: Pemilu.
Sesak, dan kelu melihat dan mendengar kabar tentang mereka, dan pasti jika mereka masih waras mereka akan sadar merekalah orang yang paling tersiksa karena berkhianat dan menyangkal sendiri pemahaman yang mereka miliki mengenai hakekat perjuangan. Sungguh aktivis yang malang. Semenjak awal aku memang tidak terlalu percaya dengan segala-sesuatu yang terlalu. Terlalu baik, terlalu mencintai, terlalu militan, terlalu fanatik. ‘Terlalu’ adalah Bullshit! Omong kosong! Kata temanku Rani, dia salah satu pelacur kampus, "Terkadang aktivis dan ideolog itu aneh, mereka hanyalah borjuis kecil, yang bertingkah meniru malaikat suci!"
Dan tradisi masih saja maskulin, korupsi yang terbukti adalah momok jahat yang memporak-porandakan kehidupan memang ditempatkan sebagai agenda yang mendesak untuk diberantas. Tapi malah lokalisasi, tempat perempuan miskin menggapai kebahagiaan lahir batin yang menjadi agenda prioritas pertama untuk diberantas dan dibumihanguskan oleh Perda Anti Maksiat yang digodhok pejabat dan ulama. Masih saja, isu seksualitas perempuan terbukti senjata ampuh untuk menyucikan siapa saja, juga pejabat dan ulama.
Oleh ulama, pelacur-pelacur itu dipaksa tinggal di pondokan dan berkerudung. Aku masih ingat, ketika salah satu pelacur yang bernama Desy (yang nama aslinya Fauriyah), di acara dialog publik mengenai penutupan lokalisasi dia menolak anjuran ulama.
"Saya mau saya makan, tidur, ngaji di pondokkan. Asal pak pejabat dan pak kyai mau membiayai dua orang anak saya yang masih sekolah, membelikan susu seorang anak saya yang masih berusia empat bulan, dan menjaga ibu saya yang sudah buta dan budhek, mereka semua ada di rumah dan sekarang ini menunggu saya pulang membawa makanan. Dan satu lagi yang mau saya sampaikan, bahwa sebenarnya saya sudah memakai kerudung, tapi sayang hanya orang-orang berimanlah yang bisa melihat kerudung saya, karena kerudung saya ada di hati. Kalau bapak pejabat dan pak kyai tidak bisa melihat, celaka! berarti pak pejabat dan pak kyai perlu meningkatkan iman dan takwa."
Lalu serentak seluruh ruangan aula yang peserta dialognya sebagian besar para pelacur dan aktivis mahasiswa menjadi riuh oleh suara tawa dan tepuk tangan. Waktu itu aku duduk di bangku belakang sendiri bersebelahan dengan tempat duduk Mbak Desy, seorang pelacur yang lincah dan baik.
Sepulang dari dialog publik langsung kuceritakan tentang mbak Desy kepadamu, dan kau menyepakatinya, katamu: "Patriarkilah yang mencetak perempuan menjadi makhluk yang pasif. Makanya, lokalisasi pelacuran, yang tersedia hanyalah lokalisasi pelacur perempuan, sedang lokalisasi gigolo sangat sulit kita temukan. Karena gigolo-gigolo terlalu munafik, mereka bersembunyi di balik topeng ulama, pejabat, pengusaha, intelektualis, bahkan aktivis. "
*
Entah ini pertemuan yang keberapa, duduk-duduk denganmu dipantai ketika langit berwarna orange karena efek matahari yang bulat orange seperti jeruk. Angin laut pelan-pelan membelai pasir-pasir di pesisir laut, hingga pasir-pasir itu bergetar, kita melihatnya dan aku merasakannya getaran itu, sayang.
"Pertemuan kali ini aku ingin membuat sebuah keputusan denganmu. Please dengarkan aku, ini tentang aku tidak akan lagi berbohong tentang cita-citaku. Terserah mau seperti apa kau merespon tentang obsesiku, tapi ini riil. Cita-citaku mudah, Ok, Ehmm….aku hanya ingin duduk-duduk di tepi pantai menjemput senja, menunggui matahari besar berwarna orange meluncur tenggelam ke laut hingga ombak menjadi berwarna-warni. Huh, sebel seperti dugaaan awalku, kau malah menertawakan pengakuanku yang sangat penting ini."
"Ok..ok, sama sekali aku tidak mengejekmu. Aku tertawa karena kamu lucu, sama sekali tidak bermaksud mengejekmu, sayang. Seumur hidup, baru sekali ini aku mendengar obsesi hidup yang begitu sederhana. Memangnya kenapa dengan matahari orange dan pantai, hingga membuatmu begitu tertarik padanya?. Oya, ini kubawakan kaos dan celana pendek, sana ganti baju guru-mu itu, di mobil. Kutunggu di sini."
"Ok!" Aku berlari kecil menuju tempat mobil diparkir.
Setelah berganti dengan pakaian ringan, segera aku menyusul kekasihku ke tepian pantai, bermain pasir, berkejar-kejaran seperti anak kecil. Ketika ombak menjadi berwarna-warni dan matahari orange besar menelusup ke dalam lautan ombak, kami berciuman, berpelukan, lalu membicarakan banyak hal, banyak sekali, lalu bekejar-kejaran sampai lelah. Hingga aku lupa menjawab pertanyaan kekasihku, mengapa aku begitu menyukai pantai dengan matahari berwarna orange? kekasihku juga lupa menanyakannya kembali.
Semuanya sudah terjawab, pantai dengan matahari orange selalu memberi banyak jawaban, memberi banyak harapan.

16.00
3 Juni 2008

Tidak ada komentar: