Selasa, 01 April 2008

Gerakan Progresif dan Momen Pemilu: ajakan diskusi

dear all,
Satu tahun lagi, pemilihan umum (Pemilu) legislatif akan digelar. Kekuatan-kekuatan politik pro-neoliberal - mulai dari ormas hingga parpol - sibuk berbenah. Eksperimn-eksperime n politiknya menghiasi lembaran media massa nasional, dan juga layar kaca televisi. Mulai dari uji coba koalisi, pamer kepedulian, kampanye berbalut isu kemanusiaan, hingga saling gertak sambal. Para aktivis mereka, juga tak kalah sibuk. Mereka berusaha keras meraih simpati publik, dan juga pesan kepada para oligarkhnya, bahwa mereka tidak main-main memenangkan kursi bagi partainya. Bersama partainya, mereka ingin mejadi nomor satu. Karena itu, mereka ingin rakyat tahu bahwa mereka siap bertarung. Mereka juga ingin rakyat tahu, bahwa mereka pantas untuk dipilih, pantas untuk diijadikan kendaraan bagi amanah kepentingan rakyat.Kita tentu, bisa mencibir apa yang dilakukan oleh mereka, bahwa yang mereka lakukan itu dusta belaka, bohong besar, manis di bibir pahit di kaki. Ujung-ujungnya rakyat kembali dikhianati, ujung-ujungnya adalah kepentingan perut masing-masing. Setelah menang, rakyat ditendang, pada masa pemilu suara rakyat adalah suara tuhan, pasca pemilu suara rakyat adalah suara setan.Lantas, apa yang diperbuat oleh gerakan progesif dalam momen pemilu? Pengalaman sebelumnya menunjukkan, yang dilakukan oleh gerakan progresif adalah melakukan "pendidikan politik." Saya tidak akan berbicara soal apa isi materi dalam program pendidikan politik itu. Saya mengambil jalan pintas saja, bahwa mereka harus benar-benar yakin bahwa partai yang dipilihnya betul-betul sudah terbukti mewakili kepentingannya.Lantas, jika rakyat sadar bahwa ternyata tidak ada satupun partai yang mewakili kepentingannya (dan dengan konfigurasi parpol saat ini, kenyataannya semuanya pro-neoliberal) , apa yang harus dilakukan oleh gerakan progresif? Menganjurkan rakyat untuk golput? Memilih sesuai hati nurani? Bikin parpol sendiri? Ikut parpol yang ada dan pengaruhi dari dalam? Bikin bargaining position dengan parpol yang menang pemilu? Pilih pemipim yang baik dari yang terburuk? Kalau dalam pemilu presiden atau bupati, walikota dan gubernur, ajukan calon independen?Sebelum menjawab soal ini, gerakan progresif harus memiliki sikap yang jernih dalam memandang momen pemilu. Ini sangat penting, karena tidak ada peristiwa politik yang paling bisa memicu keterlibatan rakyat yang luas di dalamnya, selain momentum pemilu. Bahkan, di negara dengan rakyat yang paling apatis dan paling sinis pada politik, seperti AS, momen pemilu selalu merupakan momen dimana rakyat memiliki antusias yang tinggi terhadap politik. Lebih dari itu, tidak pernah ada dalam sejarah dimana revolusi muncul dalam sistem politik yang terbuka. Dalam sistem politik terbuka, yang paling banyak terjadi adalah kudeta yang dilakukan oleh militer. Mungkin itu sebabnya, ketika dalam satu kesempatan Fidel Castro, mengatakan, "saat ini jaman telah berubah. Kita tidak bisa lagi mencontoh Bolshevisme, juga tidak Castroisme."Pemilu memang selalu mendatangkan dilema. Lebih-lebih jika pemilu itu dikuasai oleh kekuatan oligarki pro-neoliberal, seperti Indonesia saat ini. Di satu pihak ini merupakan momen politik yang dituntut oleh kekuatan progresif ketika berjuang melawan kediktatoran, di sisi lain jika saat ini menceburkan diri ke dalam momen ini, berarti harus bersedia ikut aturan main demokrasi neoliberal. Dan itu berbahaya. Ibarat pepatah, keluar dari mulut harimau tapi, masuk kemulut buaya. Tetapi, jika tidak ikut di dalamnya, lantas apa makna dari tuntutan yang dulu diperjuangkan dengan darah dan air mata itu? Apakah itu sekadar taktik untuk meruntuhkan kediktatoran belaka? Jika tidak ikut bertarung saat ini, alternatif apa yang kita sodorkan pada rakyat untuk mengelola mekanisme kekuasaan?Dalam pemilu untuk memilih presiden, bupati, walikotan dan gubernur, sebagian gerakan progresif mengajukan solusi calon independen. Okelah solusi ini benar pada satu langkah yakni, ketika berhadapan dengan calon yang diusung oleh oligarki. Mari berasumsi, bahwa calon independen kita unggul dalam pemilu tapi, pertarungan belum selesai. Calon independen ini berhadapan dengan birokrasi rejim yang kolot, juga parpol yang menduduki parlemen, dan jangan lupa, militer. Bisa dipastikan, langkah sang pemimpin independen ini sangatlah berat. Belum lagi, bagaimana membangun mekanisme kontrol dari gerakan progresif terhadap pemimpin independen ini. Tetapi, untuk pemilu legislatif, kecuali golput yang efektif pada masa kediktatoran, belum tampak sikap yang jelas. Gerakan progresif masih adem-ayem. Pertanda dilema itu masih mencengkeram, seperti dongeng Pedang Damocles? Atau sudah terjadi diskusi dan kemudian melahirkan perpecahan internal? (IndoProgress)

Tidak ada komentar: