Selasa, 20 November 2007

Remaja Indonesia Diteror!


Oleh: Ken Ratih Indri Hapsari

Masalah seks bebas dikalangan remaja memang sudah menggejala di negeri ini. Di kabupaten Indramayu beberapa waktu lalu, diketemukan lagi rekaman adegan persetubuhan remaja SMP yang tersebar luas melalui internet maupun HP milik siswa. Maraknya rekaman adegan hubungan seks luar nikah yang dilakukan oleh para pelajar sebelumnya direspon bupati Indramayu. Untuk mengatasi hal tersebut bupati Indramayu menganjurkan supaya sekolah melakukan pemeriksaan keperawanan pada siswi SMU dan hasilnya harus disampaikan kepada orang tua murid yang bersangkutan. Tentu rencana tersebut langsung disambut protes keras masyarakat dan LSM perempuan. Pemeriksaan keperawanan yang—dipaksakan—sepihak oleh sekolah merupakan tindakan pelanggaran HAM berat dan justru melecehkan perempuan serta membuat kondisi kejiwaan para siswi tertekan dan malu.
Menurut Giddens dalam Transformation of intimacy, keterbukaan seksual tidak seluruhnya sama dengan pembebasan. Keterbukaan seksualitas belum tentu sebuah kondisi yang membebasakan, tapi lebih merupakan cerminan gaya hidup liberal yang dipengaruhi oleh sistem ekonomi pasar bebas dikampanyekan secara halus melalui tanyangan televisi. Televisi layak diperhitungkan sebagai salah satu aktor yang bertanggung jawab, karena sebagai media yang secara intens dikonsumsi oleh masyarakat luas.
Kaum remaja adalah kalangan yang paling banyak terkena imbas dari maraknya gaya hidup liberal. Kaum muda yang dalam fase pencarian jati diri akan mudah sekali terbawa arus. Terlebih dengan semakin menjamurnya tempat hiburan malam yang tak lain adalah dunia hedon dan rawan pergaulan bebas, juga gaya hidup yang diimitasi dari media TV yang sering menyuguhkan kehidupan para selebritis dimana gaya hidupnya berganti-ganti pasangan serta kawin cerai. Menurut Louis Althusser, seorang filsuf Prancis, media termasuk termasuk dalam kelompok institusi ideologis tertentu, selain tempat ibadah sekolah, dan lembaga keluarga.
Yang terakhir misalnya konfrontasi tidak sehat yang diekspos secara vulgar oleh tayangan infoteimen. Misalnya, konflik yang terjadi antara Ahmad Dani dan Maya Ratu, sang istri, Maya tidak diijinkan pulang malam, dihukum dengan tidak diijinkan pulang ke rumah. Belum lagi penyataan Dani yang terkesan otoriter dan patriarkis meski dibungkus dogma agama, misalnya: “Istri itu harus cantik dan nurut, percuma kalau cantik tapi tidak nurut suami”. Sayangnya sikap arogan Dani sama sekali tidak mempengaruhi kedigdayaannya dalam bermusik. Remaja-remaja putri justru berebut minta dicium oleh Dani yang saat itu posisinya sebagai komentator dalam acara Mamia.
Sikap selalu ingin benar, sempurna dan dipuja merupakan karakter khas selebritis, meski dengan cara menjatuhkan dan melecehkan orang lain. Fenomena tersebut sedana dengan karya Fromm dalam bukunya yang berjudul akar kekerasan, bahwa watak masyarakat modern yang teralienasi dari dunia riil ditandai dengan sadisme dan narsisme akut. Manusia yang terjangkiti sadisme sulit konformis dengan mudahnya melecehkan untuk mempermalukan orang lain. Sedangkan narsisme adalah keyakinan subyektif mengenai kesempurnaan dirinya, keunggulannya atas orang lain, dan perasaan bangga atas citra dirinya, maka ia secara terus-menerus berusaha mempertahankan citra dirinya. Jika orang lain melukai perasaan narsistiknya dengan meremehkannya, mengkritik dan meralat ucapannnya yang salah maka akan direspon dengan kemarahan yang amat sangat dengan atau tanpa memperlihatkan kemarahannya itu.
Selain TV, media cetak juga mengambil peran penting dalam pembentukan arah kesadaran masyarakat. Tidak diperhatikannya target konsumen oleh para penjual dan distributor majalah-majalah dewasa, membuat para remaja dengan mudahnya mendapatkan bahan bacaan yang tidak cocok dengan kebutuhan usia. Berbeda kondisi di Amerika, batasan umur konsumen bacaan, dikontrol secara ketat.
Belum lagi cara penyampaian berita di tanah air pun tidak sesuai UU penyiaran. Seksisme dalam media yang tertuang dalam bentuk peyoratif, aturan semantik dan penamaan. Pada pemberitaan kriminal, melulu perempuan yang menjadi korban adalah suguhan di halaman utama dengan judul besar. Misalnya, Janda Muda Imut-Imut Digagahi Sopir. Memperkosa sebagai tindakan asusila justru terdistorsi maknanya dengan kata-kata digagahi, seolah pelakunya adalah sosok yang kuat dan gagah, kemudian kata janda dan imut-imut sendiri menempatkan perempuan seolah hanyalah objek. Pemberitaan tersebut sama sekali tidak berpihak pada perempuan. Maka bukan mustahil, jika di kesehariannya semakin tinggi saja angka kekerasan terhadap perempuan.
Mungkin perfilman tanah air mengalami kebangkitan secara kuantitas maupun substansi alur dan jalan cerita yang dimotori oleh sineas muda seperti Nia dinata, Mira Lesmana, Riri Reza dan sutradara muda lainnya melalui Soe Hok Gie, Berbagi Suami, Jablai dll. Namun berkebalikannya, lagu yang dipolulerkan oleh agen-agen industri musik tanah air akhir-akhir ini secara kualitas merosot tajam. Mafia dunia intertamen secara licik menancapkan kesadaran liberal, cuek, dan pasif di tempurung kepala masyarakat—terutama remaja—Indonesia. Misalnya lirik lagu yang diciptakan oleh Eros Sheila On 7: ‘…..hak manusia untuk berpesta..berpesta hinggga jadi gila...ampuni aku DJ di tengah lautan pesta..ampuni aku DJ di tengah para wanita’, Matta yang menyanyikan Ketahuan dan Lobow lagunya yang berjudul Salah, Kangen Band dengan lirik lagunya yang cengeng. Seolah-oleh di dunia ini kebutuhan yang paling mendesak di dunia remaja adalah pacaran, perselingkuhan dan balas dendam, Juga Jadikan Aku Yang Kedua yang dinyanyikan Astrid dimana perempuan dengan kerelaan hati mau saja dimadu, sama sekali tidak punya posisi tawar selain mengabdikan diri pada cinta buta.
Sedangkan dangdut remix pasca Kucing Garong diramaikan oleh Lolita yang menyanyikan Emang Gue Pikirin, dengan liriknya: ‘emang gua pikirin elu ga setia..elu punya gebetan baru gua juga bisa gitu, emang gua pikirin elu mau apa…elu punya cewek sepuluh..gua punya cewok seribu…e..ge pe- e ge pe.. emang gua pikirin..emang elu siapa…’ Keke dengan Capek Dech, dengan liriknya: ‘Capek dech ngurusin kamu… capek dech terserah kamu…capek dech bete bete aku, capek dech aku ga kuku..’ . Sepintas lirik lagu yang dinyanyikan Lolita dan Keke menunjukkan kemampuan perempuan untuk tegar meski dikecewakan dan diabaikan, namun jika jeli maka lirik lagu tersebut tak ubahnya ekspresi kefrustasian (capek dech mikirin kamu) dan balas dendam (elu punya cewek sepuluh…gua punya cowok seribu).
Yang menandakan digandrungi, lagu-lagu tersebut duduk di tangga lagu teratas, sebagai ringtone HP bahkan anak-anakpun pandai menyanyikannya, bukan hanya karena kosa katanya yang dangkal dan mudah dihafalkan, namun juga karena komposisi nada-nadanya yang dibuat sangat sederhana. Sedangkan lagu bertemakan cinta milik Iwan Fals yang lounching albumnya hampir bersamaan dengan lagu-lagu tersebut kalah populer. Kalah populer belum tentu karena kalah secara kualitas, namun lebih dipengaruhi pada pertarungan modal untuk mempromosikannya.
Lirik-lirik lagu yang diciptakan dan dilantunkan sendiri oleh Iwan fals yang bertemakan cinta antara lain berjudul Masih Bisa Cinta, berikut cuplikan liriknya: ‘hari ini kau patahkan semangatku..entah mengapa ku masih bisa cinta..bisa cinta padamu..kumaafkan salahmu..berjanjilah..berjanjilah untuk datang padaku..lihat mataku..akan kucoba perhatikan kamu..datang padaku..rasa hatiku..akan kucoba terus cinta kamu. Air mata tak akan kuuraikan..hanya mengelus dada kumaafkan salahmu..berjanjilah untuk datang padaku. Relasi cinta yang tidak mungkin sempurna dan tanpa konflik dihadapi dengan sikap saling memaafkan, ketabahaan (air mata tak akan kuuraikan), dan yang terpenting instropeksi diri jelas tersirat dalam lirik lagu tersebut.
...Kumaafkan..berjanjilah...’ demikian cuplikan lagu Iwan Fals yang berjudul Masih Bisa Cinta. Kata berjanjilah memiliki makna penting untuk mempererat relasi, karena janji adalah awalan baru setelah relasi mengalami goncangan kepercayaan. Seperti yang diungkapkan Hannah Arendt, Bahwa lewat ke-awalan-baru itu diletakkan sebuah kemungkinan bagi manusia. Kemudian manusia akan membuahkan lagi awal baru-awal baru lainnya. Maksudnya, dengan menerjunkan diri ke dalam dunia, manusia akan selalu menjadi pemula, atau menjadi ”yang memulai”. Jadi, keterlahirannya selalu mengokohkan sebuah kelahiran berikutnya. Dalam hal ini kelahiran atau keterlahiran adalah sebuah keajaiban yang senantiasa datang untuk sejenak menyela perjalanan umat manusia. Maka keterlahiran adalah pengandaian ontologis yang harus ada, sehingga perbuatan atau tindakan manusia dapat terjadi. Karena kelahiran, tindakan manusia adalah unik dan istimewa. Sebab dengan kelahiran itu, tindakan manusia itu berarti memulai sesuatu yang baru, dan menggarisbawahi bahwa manusia itu adalah makhluk yang bisa menyatakan dirinya karena ia mengawali atau memulai kebaruan.
Seperti album Iwan Fals sebelumnya, lagu yang berjudul Negara mengkritik dengan keras kelalaian negara, berikut cuplikan liriknya: negara haru bebaskan biaya pendidikan.. negara harus bebaskan biaya pendidikan., negara harus ciptakan pekerjaan negara harus adil tidak memihak.. itulah tugas negara.. itulah gunanya negara.. itulah artinya negara tempat kita bersandar dan berharap.. kenapa tidak..orang kita kaya raya baik alamnya maupun manusianya..hanya saja kita tidak pandai megolahnya.
Sayang lagu-lagu Iwan Fals tersebut tergusur, kalah populer oleh lagu-lagu cinta yang cengeng dan memabukkan. Padahal usia remaja adalah usia puncaknya energi bersemayam, sangat percuma bila energi terbuang sekedar mengakomodasi watak sadis dan narsistik. Meskipun narsisme pada kondisi tertentu terpenuhi dengan pujian maupun usaha diri, namun jauh dari hakikat kemanusiaan—bahkan cenderung fasis, seperti yang dialami Himmler, Stalin, Hitler, terakhir penembakan massal oleh pelajar yang terobsesi paham nazi. Produktifitas yang jauh dari hakikat kemanusiaan adalah karya semu tak ubahnya seperti patung berhala yang disembah-sembah.
Narsisme kelompok dikalangan remaja ditandai dengan maraknya geng, klub sepeda motor dan tawuran antar pelajar yang kian marak terjadi akhir-akhir ini, selain itu ketertekanan pelajar menghadapi UN ditandai dengan histeria massal. Perilaku pembebasan dari keterasaingan dan ketertekanan remaja selama ini belum memiliki wadah dan mekanisme yang sehat. Tentu bukan hal mustahil remaja Indonesia sehat jasmani dan rohani, kemenangan siswa-siswi di berbagai lomba olimpiade sains internasional adalah bukti konkrit bahwa manusia bukan diciptakan untuk menjadi buruk, tidak memiliki potensi dan kecakapan.

Tidak ada komentar: