Politik Perempuan dan Pemilu
Oleh: Ratih Indri Hapsari
Oleh: Ratih Indri Hapsari
Ada sesuatu yang baru pada pilgup Jateng yang belum lama usai. Bibit-Rustri menang telak—meski angka golput tidak boleh dibaaikan—dari pasangan cagup lain. Rupanya sosok perempuan kembali menjadi tumpuan kepercayaan rakyat. Jika ingin hidup tentram, maka serahkan semuanya pada ibu, sehingga muncul semboyan vote for women di kalangan masyarakat konstituen. Bahkan Megawati, mantan presiden perempuan pertama RI, terang-terangnya ingin dipanggil ‘mama’ oleh massa pedukungnya.
Di negara lain, sosok perempuan seperti Aung San Suu Kyi, Vandana Shiva dll, adalah sosok perempuan kuat yang menjadi inspirassi perlawanan terhadap kekurangajaran militer dan ekspansi borjuis kapitalis.
Di Indonesia, pada situasi yang tidak menentu seperti sekarang ini, dimana masyarakat kesulitan beradaptasi dengan kenaikan harga minyak, rakyat yang tidak nyenyak tidur karena takut di PHK, was-was akan lonjakan harga sembako, apalah yang paling menenangkan selain mengadu pada ibu, dan merajuk dipangkuannya. Seperti layaknya masa-masa balita—sebuah fase yang dialami seluruh manusia. Dimana sosok ibu adalah sosok yang tenang, pengasih, selalu membela, dan menjaga maka demikianlah keunggulan karakter perempuan dalam memenangkan posisi kepemimpinan di hati rakyat.
Mengenai teori psikologis tersebut menurut Erich Fromm pada manuskrip yang berjudul "Cinta, Seksualitas, dan Matriarki". Menurutnya, perempuan secara seksualitas memiliki fungsi reproduksi melahirkan anak. Sehingga perempuan lebih dahulu belajar menebarkan cinta dan kasih sayang terhadap makhluk melampaui batas ego, dan menggunakan kelebihan yang dimilikinya untuk memperbaiki eksistensi orang lain. Cinta, perhatian, tanggung jawab terhadap sesama merupakan dunia seorang ibu. Kasih ibu adalah benih yang tumbuh di setiap cinta altruisme. Bahkan lebih dari itu, kasih ibu adalah dasar bagi perkembangan humanisme universal.
Selain karena melahirkan, potensi kepekaan perempuan akan cinta juga disebabkan oleh pengalaman psikologis, terutama karena kodrat tubuhnya, menstruasi yang membuat perempuan menahan sakit hampir sepanjang hidupnya setiap bulan. Pengalaman merasakan realitas material tersebut membuat perempuan begitu tanggap akan rasa sakit dan peka untuk merasakan penderitaan yang dialami oleh orang lain. Perasaannya terlatih untuk merasa. Demikian juga, pikirannya begitu peka dan teliti dalam merespon realitas.
Sayang sekali, potensi psikologis tersebut dalam kurun sejarah tidak didukung oleh syarat-syarat material yang kondusif. Seiring dengan terjadinya perubahan menuju hubungan produksi yang eksploitatif, ternyata perempuan tergeser dari posisi produktifnya menuju ke ranah domestik atau peran-peran yang sempit. Pada hal seandainya perempuan diberikan posisi sebagai pemimpin atau tokoh publik, mungkin kemampuan hati dan otaknya akan sangat berguna. Kodrat alam dijungkirbalikkan dan, sayangnya, citra ibu yang peka akan kasih sayang tersebut telah terdistorsi oleh masyarakat yang narsis dan herois. Citra yang dilekatkan pada perempuan adalah manusia yang sentimental, lemah, dan posesif, serta stereotip negatif lainnya.
Perkembangan psikososial manusia dalam masyarakat kapitalis. Kapitalisme sebagai penyebab dari penjungkirbalikan citra perempuan tersebut, yaitu menempatkan perempuan sebagai objek pemuas dan jenis kelamin kedua (second sex) dengan menekan upah buruh perempuan atau mengeksploitasi tubuhnya di bagi pasar kecantikan, di sisi lain roda kapitalisme merujuk sistem matriarki dalam memasarkan produknya. Misalnya, kini manusia dininabobokan oleh TV, atau antar individu dilengkapi kemudahan berkomunikasi dengan adanya telephone mobile.
Kapitalisme memasarkan produknya untuk memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi manusia seperti ketika masa kanak-kanaknya ketika masih dalam belaian cinta kasih sang ibu. Namun pembedanya adalah kapitalisme melakukan itu semua untuk memupuk keuntungan dan terkadang mengabaikan bahkan berusaha mematikan dan kritik dan kreatif manusia.
Pada akhirnya, kemenangan kader perempuan pada panggung perpolitikan tanah air merupakan angin segar akan perbaikan kehidupan rakyat. Semoga politik bisa menjadi alat perempuan dalam mewujudkan cinta kasih universal, sebaliknya, apabila sosok perempuan yang digadang-gadang justru menjadi alat kepentingan politik sekelompok golongan yang mudah disetir oleh kekakuan ala militer atau keculasan ala borjuis kapitalis maka itu akan menciderai kepercayaan rakyat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar