PR Pemuda Paska Reformasi
*Oleh: Ratih Indri Hapsari
*Oleh: Ratih Indri Hapsari
Karena kami tidak boleh memilih dan kamu bebas berencana
Karena kami cuma bersandal dan kamu bebas memakai senapan
Karena kami harus sopan dan kamu punya penjara
Maka tidak dan tidak kepadamu
Karena kami arus kali dan kamu batu tanpa hati
Maka air akan mengikis batu
Karena kami cuma bersandal dan kamu bebas memakai senapan
Karena kami harus sopan dan kamu punya penjara
Maka tidak dan tidak kepadamu
Karena kami arus kali dan kamu batu tanpa hati
Maka air akan mengikis batu
Bait-bait sajak di atas dibaca oleh W.S. Rendra di depan para wakil rakyat di Gedung MPR/DPR beberapa hari sebelum Soeharto mundur pada tahun 1998. Sajak yang semakin mengobarkan semangat kaum reformis. Seperti untaian baik sajak itu, arus kali (semangat reformasi) benar-benar telah menjadi air bah yang mengikis batu (kekuasan korup Soeharto). Pintu air mahasiswa, tokoh kampus, dan tokoh masyarakat begitu deras mengalirkan gelombang reformasi.
Rakyat yang sudah mulai muak dengan senyuman palsu penguasa yang berkeliling negeri serambi mengobral janji-janji. Para pekerja yang terkena PHK massal, Ibu-ibu yang menjadi korban kenaikan dan kelangkaan harga sembako, para intelektual yang diabaikan, mahasiswa, LSM, politisi maupun mantan pejabat di era pemerintahan Orba yang merasa dipinggirkan bersatu menjadi kelompok penekan (pressure group). Pada Kondisinya memang rakyat sudah jengah dengan situasi krisis yang semakin menghimpit dan tidak jelas kapan akan berakhir.
Kaum muda pada waktu itu berada garda terdepan, bersemangat, heroik, berkesadaran dan berani menanggung konsekuensi, meski berakhir kematian sekalipun, demi perubahan yang dinanti. Sedangkan reformasi yang didamba menjadi hal yang teramat mahal. Tak terhitung berapa kerugian materiil dan terlebih telah menumbalkan nyawa-nyawa aktivis mahasiswa yang tertembak hingga meninggal di tempat, pada Tragedi Semanggi dan Tragedi Trisakti ketika sedang meneriakkan tuntutan reformasi. Belum lagi misteri penculikan dan penghilangan buruh dan aktivis prodemokrasi hanya karena mereka menuntut hak-haknya. Sungguh tragedi sejarah yang telah mencoreng Hak Asasi Manusia (HAM).
Rakyat yang sudah mulai muak dengan senyuman palsu penguasa yang berkeliling negeri serambi mengobral janji-janji. Para pekerja yang terkena PHK massal, Ibu-ibu yang menjadi korban kenaikan dan kelangkaan harga sembako, para intelektual yang diabaikan, mahasiswa, LSM, politisi maupun mantan pejabat di era pemerintahan Orba yang merasa dipinggirkan bersatu menjadi kelompok penekan (pressure group). Pada Kondisinya memang rakyat sudah jengah dengan situasi krisis yang semakin menghimpit dan tidak jelas kapan akan berakhir.
Kaum muda pada waktu itu berada garda terdepan, bersemangat, heroik, berkesadaran dan berani menanggung konsekuensi, meski berakhir kematian sekalipun, demi perubahan yang dinanti. Sedangkan reformasi yang didamba menjadi hal yang teramat mahal. Tak terhitung berapa kerugian materiil dan terlebih telah menumbalkan nyawa-nyawa aktivis mahasiswa yang tertembak hingga meninggal di tempat, pada Tragedi Semanggi dan Tragedi Trisakti ketika sedang meneriakkan tuntutan reformasi. Belum lagi misteri penculikan dan penghilangan buruh dan aktivis prodemokrasi hanya karena mereka menuntut hak-haknya. Sungguh tragedi sejarah yang telah mencoreng Hak Asasi Manusia (HAM).
Pemuda dan Semangat Perubahan
Menurut Ben Anderson pada masa perubahan di Indonesia membawanya pada kesimpulan bahwa faktor-faktor budaya yang berakar pada tradisi, tidak sedikit menyumbang pada terciptanya sejenis ‘kesadaran pemuda’ tertentu, yang menurut Anderson, telah menjadi faktor sangat menentukan bagi arah revolusi nasional di Indonesia.
Demikianlah, dari masa ke masa unsur pemuda menyerukan suatu pola perjuangan konfrontasi tanpa kompromi dengan kekuatan-kekuatan anti rakyat—suatu pola perjuangan yang akan membawa pemuda militan kepada pertentangan dengan pemimpin-pemimpin nasional yang paling terkemuka sekalipun.
Demikian pula radikalisme mahasiswa yang muncul di tahun 1966 dan 1998. Karena di dalam komunitas-komunitas yang stabil terdapat orang-orang yang berfikir bebas, orang yang skeptis, orang yang tidak konformis dan mempertanyakan apa yang tidak dipertanyakan orang lain.
Reformasi yang dimotori oleh pemuda pada Akhirnya menyudutkan Soeharto yang telah memimpin Indonesia selama 32 tahun. Pada tanggal 21 Mei 1998 pukul 09.00 WIB, Soeharto mengundurkan diri dan menyerahkan tampuk kepresidenan kepada Wakil Presiden B.J. Habibie.
Kini 10 tahun reformasi telah berlalu, Boro-boro menuntaskan agenda reformasi, sepuluh tahun reformasi berlalu tapi masih menyisakan misteri tragedi Trisaksti dan Semanggi yang tak kunjung menuai jalan terang. Sepuluh tahun reformasi berlalu, bukan kesejahteraan yang didapat, namun kini rakyat masih dibayang-banyangi kemiskinan dan keresahan karena pemerintah yang lagi-lagi berencana menaikkan BBM di akhir Mei nanti. Belum lagi persoalan semakin semakin bertambahnya pengangguran, yang merupakan bukti keterpurukan bangasa yang dari tahun ke tahun semakin menjadi, ditambanh banyaknya kasus korupsi para pejabat negara, konflik politik yang dibalut nuansa SARA dan dipoles dengan cara-cara fetilis (picik dan moralis) melulu menyerang seputar isu seksualitas perempuan.
Bagaimana kini nasib reformasi? Kiranya kita tidak boleh melupakan peran serta pemuda dan mahasiswa pada masa itu yang menolak tunduk meski mati di ujung popor senjata, semoga belum hilang dari ingatan kita semua apa itu butir-butir cita-cita reformasi. Karena setumpuk persoalan itulah PR besar pemuda pasca reformasi.
Menurut Ben Anderson pada masa perubahan di Indonesia membawanya pada kesimpulan bahwa faktor-faktor budaya yang berakar pada tradisi, tidak sedikit menyumbang pada terciptanya sejenis ‘kesadaran pemuda’ tertentu, yang menurut Anderson, telah menjadi faktor sangat menentukan bagi arah revolusi nasional di Indonesia.
Demikianlah, dari masa ke masa unsur pemuda menyerukan suatu pola perjuangan konfrontasi tanpa kompromi dengan kekuatan-kekuatan anti rakyat—suatu pola perjuangan yang akan membawa pemuda militan kepada pertentangan dengan pemimpin-pemimpin nasional yang paling terkemuka sekalipun.
Demikian pula radikalisme mahasiswa yang muncul di tahun 1966 dan 1998. Karena di dalam komunitas-komunitas yang stabil terdapat orang-orang yang berfikir bebas, orang yang skeptis, orang yang tidak konformis dan mempertanyakan apa yang tidak dipertanyakan orang lain.
Reformasi yang dimotori oleh pemuda pada Akhirnya menyudutkan Soeharto yang telah memimpin Indonesia selama 32 tahun. Pada tanggal 21 Mei 1998 pukul 09.00 WIB, Soeharto mengundurkan diri dan menyerahkan tampuk kepresidenan kepada Wakil Presiden B.J. Habibie.
Kini 10 tahun reformasi telah berlalu, Boro-boro menuntaskan agenda reformasi, sepuluh tahun reformasi berlalu tapi masih menyisakan misteri tragedi Trisaksti dan Semanggi yang tak kunjung menuai jalan terang. Sepuluh tahun reformasi berlalu, bukan kesejahteraan yang didapat, namun kini rakyat masih dibayang-banyangi kemiskinan dan keresahan karena pemerintah yang lagi-lagi berencana menaikkan BBM di akhir Mei nanti. Belum lagi persoalan semakin semakin bertambahnya pengangguran, yang merupakan bukti keterpurukan bangasa yang dari tahun ke tahun semakin menjadi, ditambanh banyaknya kasus korupsi para pejabat negara, konflik politik yang dibalut nuansa SARA dan dipoles dengan cara-cara fetilis (picik dan moralis) melulu menyerang seputar isu seksualitas perempuan.
Bagaimana kini nasib reformasi? Kiranya kita tidak boleh melupakan peran serta pemuda dan mahasiswa pada masa itu yang menolak tunduk meski mati di ujung popor senjata, semoga belum hilang dari ingatan kita semua apa itu butir-butir cita-cita reformasi. Karena setumpuk persoalan itulah PR besar pemuda pasca reformasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar