Senin, 10 November 2008

OPINI

Mencari Pemimpin Berjiwa Pahlawan
Oleh: Ratih Indri Hapsari*

Terpilihnya Barack Obama sebagai presiden Amerika Serikat yang baru disambut dengan euforia oleh mayoritas masyarakat Amerika Serikat. Kemenangan Obama yang mewakili partai demokrat tersebut diharapkan membawa angin segar perubahan dimana pada saat ini dunia tengah mengalami krisis ekonomi global dengan titik episentrumnya di Amerika Serikat (AS). Ketika hasil penghitungan selesai dan dinyatakan Obama unggul atas McCain, maka seketika para pendukung Obama merayakannya dengan penuh suka cita. Di Indonesia sendiri, proses pergantian presiden AS menyita perhatian berbagai pihak. Pemberitaan di TV terus menerus mengupas latar belakang sejarah hidup Obama, perjalanan karier politiknya, kehidupan pribadinya, termasuk ketika Obama kecil pernah tinggal selama kurang lebih empat tahun di Indonesia. Di Indonesia juga terdapat beberapa kelompok pendukung Obama, selain kawan-kawan kecil Obama semasa tinggal di Indonesia, bahkan artis-artis Indonesia yang pernah tinggal di AS, maupun yang—hanya sekedar—bersuamikan orang Amerika juga ikut hiruk pikuk berkumpul, sengaja membuat pesta kecil dengan balon-balon berwarna-warni untuk merayakan kemenangan Obama. Memang tidak sedikit penduduk Indonesia yang sangat mengharapkan Obama menjadi presiden baru Amerika. Ketika ditanya apa alasannya mendukung Obama sebagai Presiden Amerika yang baru, rata-rata mereka menjawab, mengharapkan perubahan baru yang lebih baik untuk Amerika dan dunia, khususnya Indonesia.Fakta tersebut memang secara logika sedikit ganjil, apalagi ketika kita menenggok kondisi perpolitikan di tanah air yang dalam waktu yang tidak jauh berbeda juga sedang berlangsung agenda politik Pilgub. Tapi sangat berkebalikan, antusiasme spontan rakyat justru serentak terfokus pada agenda politik luar negeri yang secara tidak langsung tidak berpengaruh pada perbaikan kehidupan, sedangkan pada event pilgub dalam negeri justru kering. Hal tersebut terbukti dari kemenangan angka golput di berbagai daerah pemilihan gubernur di beberapa provinsi di tanah air. Contoh yang terakhir adalah Pilgub di Jawa Timur (Jatim) yang keberlangsungannya bersamaan dengan pemilihan presiden AS. Estimasi pemilih pada Pilgub Jatim hanya sekitar 55% yang memilih, sedang 40 % lebih penduduk yang terdaftar sebagai calon pemilih tidak menggunakan hak suaranya. Hal tersebut menunjukkan angka apatisme rakyat semakin meluas terhadap agenda pemilihan (dan politik)di tanah air, sedangkan kemeriahan yang ditunjukkan oleh rakyat Indonesia dalam merespon pemimpin baru di negara lain justru lebih spontan, seolah agenda tersebut sangat mempengaruhi keseharian mereka.

Krisis Kepemimpinan di Tanah Air
Pemilu di Indonesia merupakan agenda besar, terlebih karena menelan biaya yang sangat besar (bahkan konon kabarnya, bila dihitung ongkos kampanye pilgub Jatim lebih besar daripada ongkos kampanye pemilihan presiden AS). Orasi dan kampanye politik calon elite melalui pemasangan iklan di TV, memasang spanduk, dan baliho gambar ternyata bukan agenda yang besar menurut rakyat meskipun hal tersebut jelas menelan anggaran besar. Pilgub yang tidak lain memilih calon gubernur di daerah sendiri ternyata bukanlah hal penting bagi masyarakat, mereka juga tidak antusias, bahkan cenderung acuh dan meremehkan kesungguhan calon-calon pemimpin rakyat tersebut.Ketika angka apatisme rakyat terhadap pemilu semakin signifikan, apakah pilihan untuk tidak memilih adalah kesalahan?. Sering sekali kita mendengar statement, bahwa golput (golongan putih) berarti tidak nasionalis, tidak cerdas, dan menyiakan anggaran pemilu yang begitu besar, tidak memilih berarti tidak menyukai perubahan menuju kondisi lebih baik. Demikianlah seringkali golput dijustifikasi sebagai sebuah sikap yang tidak bertanggungjawab. Padahal seharusnya bila ingin mengerti psikososial massa rakyat pemilih, kurang pas bila sekedar menyalahkan dan menyalahkan, tetapi bertanya mengapa hal tersebut bisa terjadi adalah langkah terbijak untuk mengevaluasi mengapa begitu banyak angka golput, dengan mempertanyakan diharapkan nantinya ditemukan sebuah formula solusi yang tepat.

Pemimpin Baru = Pahlawan Baru
Membincangkan calon pemimpin, sama halnya membicarakan pahlawan baru yang diharapkan bisa menjadi patner rakyat menuju kepada peri kehidupan yang maju dan sejahtera. Pahlawan yang ditunggu rakyat bukanlah pahlawan yang hanya pandai berorasi, namun tidak memiliki visi konkrit. Pahlawan yang dirindukan rakyat bukanlah sekedar soal umur, jenis kelamin, maupun ras. Jenis pahlawan baru yang kompeten menjadi pemimpin baru, adalah pahlawan yang mau memberikan gambaran besar perubahan dan mampu mewujudkannya secepatnya, karena rakyat bosan menunggu janji-janji kosong. Rakyat butuh kehidupan yang terbaik, bukan kaos bergambar partai atau iklan-iklan calon pemimpin.