Sabtu, 26 April 2008

Ketika Kaum Buruh Perempuan Bergerak

Sekilas mengenai Revolusi Febuari 1917 di Rusia
By Ken Budha Kusumandaru (PRP)

Prolog
Pada bulan Maret ini, tepatnya pada tanggal 8 Maret, kita sepatutnya mengenangkan kembali sebuah peristiwa besar yang mengguncang seluruh dunia, yang mengubah arah sejarah, yang dampaknya masih terasa sampai sekarang-namun yang juga diupayakan pelupaannya oleh para intelektual pengabdi kelas berkuasa-Revolusi Februari 1917 di Rusia.
Revolusi ini disebut Revolusi Februari karena penanggalan yang dipakai di Rusia pada jaman itu merupakan penanggalan Gereja Ortodoks Yunani (Kalender Julian). Kalender ini, pada abad ke-20, ketinggalan 13 hari dari penanggalan Gereja Katolik Roma (Kalender Gregorian, yang di Indonesia dikenal sebagai penanggalan Masehi). Maka, seturut penanggalan tersebut, apa yang bagi kita adalah 8 Maret 1917, bagi kaum revolusioner Rusia masa itu adalah 22 Februari 1917. Oleh karena itulah revolusi yang dipicu oleh demonstrasi di tanggal 8 Maret 1917 ini dikenal sebagai Revolusi Februari.
Revolusi ini sangat menarik dan tepat dibahas dalam satu edisi yang tema utamanya bicara tentang Hari Perempuan Internasional karena picu bagi Revolusi ini ditarik persis ketika kaum buruh perempuan di St. Petersburg, Rusia, berdemonstrasi memperingati Hari Perempuan Internasional. Penembakan yang dilakukan pasukan tentara dan polisi Tsar Rusia terhadap 128.000 buruh yang terlibat dalam peringatan Hari Perempuan Internasional itu merupakan bendera start bagi sebuah gelombang revolusioner yang mampu memaksa salah satu Kekaisaran tertua dan paling kolot di Eropa untuk turun tahta.
Kaum perempuan seringkali dipandang sebagai elemen terbelakang dalam gerakan revolusioner. Kaum revolusioner seringkali memandang kaum perempuan dalam hidup mereka sebagai penghalang bagi aktivitas revolusioner mereka. Kaum liberal memandang tidak seharusnya perempuan terlibat dalam aktivitas revolusioner dan mengarahkan perempuan pada aktivitas politik berbasis "gender" yang anti perjuangan kelas. Kaum konservatif yang paling parah, memandang gerakan perempuan dengan jijik, tapi sekaligus berusaha mengorganisir perempuan agar tetap terpenjara oleh semboyan "kasur, dapur dan sumur".
Menarik pelajaran dari sebuah masa revolusioner adalah tugas yang nyaris mustahil dilakukan dengan sempurna. Tapi, setidaknya ada beberapa point yang harus dikemukakan karena point-point ini muncul dengan begitu jelas di tengah gejolak revolusioner di Rusia, yang diawali oleh demonstrasi memperingati Hari Perempuan Internasional 8 Maret 1917.

Menuju Revolusi Februari 1917
Latar belakang
Kalau mau menunjuk, peristiwa mana yang menjadi titik-tolak dari Revolusi Februari 1917, kita akan mengalami kesulitan memilih. Proses yang terjadi menjelang Februari 1917 adalah satu proses yang membingungkan. Ada setidaknya tiga faktor pembingung yang beredar di tengah gerakan buruh Rusia masa itu:
1. Di satu pihak, Perang Dunia I yang pecah di tahun 1914 telah membuat banyak buruh dikirim ke medan pertempuran, baik sebagai anggota pasukan garis depan ataupun sebagai tentara cadangan. Dapat diperkirakan bahwa jika pengusaha ditanya oleh kekaisaran: "buruh mana yang kiranya akan dilepas untuk dijadikan tentara wajib militer?", tentunya buruh-buruh maju yang "rewel" yang akan pertama kali dilepas oleh pengusaha untuk dibiarkan maju berperang. Sekitar 17% dari kader buruh maju Rusia terpaksa pergi ke garis depan karena wajib militer ini.
2. Di pihak lain, terjadi kekacauan di tengah gerakan sosialis di seluruh dunia akibat pertikaian yang dipicu sikap Partai Sosial Demokrat Jerman, yang memilih untuk mendukung pemerintahnya berperang. Dengan kata lain, gerakan buruh Jerman kemudian memobilisasi diri untuk bertempur dengan buruh-buruh dari negeri lain, yang pada saat bersamaan dimobilisasi juga oleh pemerintah masing-masing. Partai Sosial Demokrat Jerman, yang dipimpin Kautsky, pada saat itu adalah suar bagi partai-partai buruh dan revolusioner di seluruh dunia. Dapat dibayangkan kekacauan yang timbul gara-gara sikap ini-sikap yang oleh Lenin disebut sebagai "sosial-chauvinisme".
3. Keadaan darurat perang juga membuat aktivitas polisi dan militer meningkat tajam. Ini jelas merupakan satu penghalang yang besar bagi kekuatan-kekuatan revolusioner Rusia yang, di masa itu, bergerak di bawah tanah. Keadaan darurat perang ini membuat banyak jalur dana, terbitan dan komunikasi antar kader terputus dan, kalaupun ada, menjadi beresiko sangat tinggi. Hampir semua kader revolusioner yang bekerja "di atas tanah" ditangkapi, disiksa dan/atau dipenjarakan. Terhitung Januari 1915, hampir semua jaringan legal gerakan buruh revolusioner Rusia telah berhasil dihancurkan oleh polisi dan tentara Rusia.
Akibat kekacauan ini, terjadi penguatan yang besar pada kekuatan kiri-tengah, yang pada saat itu diwakili oleh Partai Buruh Sosial Demokrat Rusia (RSDRP-Rossijskoj Social-Demokratičeskoj Rabočej Partii) dari sayap Mensheviki. Sementara RSDRP dari sayap revolusioner, Bolsheviki, mengalami kemunduran yang tajam.
Gerakan buruh, secara umum, juga mengalami pukulan hebat. Para buruh yang sudah lama terlatih dalam teori dan praktek progresif, harus merunduk-runduk di bawah penerapan "disiplin militer" dalam pabrik. Akibat banyaknya buruh laki-laki yang dikirim ke medan tempur, para pengusaha mengisi kebutuhan tenaga kerja mereka dengan buruh-buruh perempuan-yang, selain dianggap lebih patuh, juga dapat diupah lebih murah. Meningkatnya jumlah buruh perempuan dan buruh-buruh muda yang tidak pernah terlatih dalam perjuangan buruh menyebabkan padamnya suasana pergerakan di pabrik-pabrik.
Para buruh Rusia, di awal Perang Dunia I, bersedia bekerja lembur demi memacu produksi untuk memenangkan perang. Mereka juga lebih suka mengumpulkan dana untuk membantu keluarga buruh yang kepala keluarga atau anggota keluarganya harus pergi berperang-bukannya untuk dana mogok. Pendeknya, propaganda revolusioner tentang sikap yang harus diambil gerakan buruh terhadap perang ditabur di tanah yang kering dan gersang.
Suasana gerakan buruh benar-benar amat lembam (macet, tidak mau bergerak). Massa yang apatis karena tidak memiliki teori dan pengalaman revolusioner memadai, ketakutan akibat represi dan suasana perang, kurangnya kader akibat keharusan menyembunyikan diri dan banyaknya penangkapan. Tidak ada kepemimpinan sentral dalam gerakan. Semua ini menyebabkan setiap orang yang "berakal sehat" akan mengatakan: suasana revolusioner di Rusia padam sudah.

Kebangkitan kembali suasana revolusioner
Memang, orang "berakal sehat" akan mengatakan demikian. Tapi, karena itulah kita menolak penggunaan akal sehat. Kita memakai dialektika sebagai cara berpikir, bukan akal sehat. Dengan dialektika, kita tahu bahwa setiap hal selalu mengandung benih dari hal lain yang menjadi lawannya. Mudahnya: setiap kemunduran selalu mengandung potensi untuk terjadinya kemajuan, tiap kelemahan dapat dibalik menjadi kekuatan, tiap kekuatan dapat menjadi titik lemah yang mematikan, tiap kelahiran akan membawa kematian dan tiap kematian adalah bahan bakar bagi kelahiran baru.
Oleh karena itu, banyak orang menjadi tidak tahan dan berputus asa ketika mengalami kemunduran dan kekalahan serius. Banyak orang tidak sadar bahwa proses dialektika bekerja secara laten dalam tiap kekalahan, dalam tiap kemunduran, dalam tiap kejatuhan. Kesabaran, keuletan dan ketelatenan dalam mengolah kekalahan dan kemunduran adalah kunci bagi kemenangan dan kemajuan. Seperti burung Phoenix dari legenda kuno Timur Tengah, sejenis burung yang hanya bertelur sekali dalam 500 tahun, dan telur itu hanya bisa menetas jika si burung membakar dirinya sendiri-dari kematian, muncul kelahiran baru.
Banyak orang di sekitar kita yang tadinya terlibat dalam gerakan buruh, atau gerakan rakyat secara umum, menjadi tawar hatinya melihat kemunduran demi kemunduran yang terjadi di tengah gerakan ini. Pada titik ekstrimnya, orang-orang ini kemudian tidak lagi percaya bahwa gerakan buruh atau gerakan rakyat lainnya akan mampu mencapai kemenangan. Orang-orang yang putus asa ini kemudian berpaling pada cara-cara instan untuk "membantu rakyat". Ada yang berpaling pada terorisme, ada yang berpaling pada "penguatan ekonomi"-ada pula yang terang-terangan menyeberang ke kubu musuh, dengan alasan "bermain dari dalam sistem".
Mereka ini tidak tahu, atau pura-pura tidak tahu, bahwa keuletan dan ketepatan kerja di masa-masa sulit akan menjadi kunci kemenangan ketika situasi berubah. Ini karena jika kita terus bertahan di masa sulit, kita akan menjadi yang paling siap ketika angin berganti arah. Secara mental dan disiplin tubuh kita paling siap. Tapi juga karena massa akan menilai siapa yang paling setia pada mereka di saat-saat tersulit.
Para kader partai proletariat revolusioner di Rusia, mereka yang tersisa, yang jumlahnya tidak banyak, memiliki kesabaran yang dituntut dari mereka dalam masa-masa sulit seperti itu. Tanpa terburu-buru, tapi juga sekaligus tanpa mengendurkan tuntutan politiknya, mereka berhasil mengorganisir pemogokan yang diikuti 2000 orang di St. Petersburg pada tanggal 9 Januari 1915. Mayday gagal diperingati karena aksi kepolisian dilancarkan secara membabi-buta pasca pemogokan Januari 1915 itu. Hanya 600 orang yang ikut serta dalam aksi Mayday di seluruh Rusia. Tapi, kerja-kerja propaganda, agitasi dan pengorganisiran terus dilakukan tanpa henti. Ketiadaan kepemimpinan sentral dijawab oleh para organiser dengan inisiatif dari bawah. Berbekal kemampuan menggunakan dialektika, para organiser dan "kolektif pimpinan dari bawah" ini menangkap situasi, memanfaatkan kabar yang datang dari luar sebisa mungkin sebagai bekal pengorganisiran mereka. Tidak ada yang nampak mendengarkan, oke sajalah. Tapi, seperti kebijaksanaan para petani tempo doeloe, apa yang kita tabur itulah yang akan kita tuai.
Demikianlah, di tengah kelembaman massa rakyat pekerja, ketidakpuasan perlahan-lahan muncul kembali ke permukaan. Kekalahan demi kekalahan yang dialami oleh tentara Rusia di medan perang, korban yang begitu besar akibat tidak kompetennya para perwira, harga-harga yang pelan tapi pasti merambat naik, makin langkanya barang-barang kebutuhan pokok karena semua produksi dikirim ke garis depan ... semua ini tidak luput dari perhatian rakyat pekerja Rusia. Ketidakpuasan ini bukanlah hasil dari agitasi kader-kader revolusioner. Situasi ekonomi-sosial-politiklah yang menciptakannya. Tapi, rakyat pekerja Rusia mendapatkan ekspresi-jalan untuk menyatakan ketidakpuasan mereka-melalui apa yang diagitasi-propagandakan oleh para kader revolusioner, buruh-buruh maju dan mereka yang pernah berpengalaman terlibat dalam revolusi 1905.
Dengan kata lain, para kader yang bertahan dalam kondisi sulit di tahun-tahun awal Perang Dunia I berhasil menjadi corong (alias "megafon") bagi ketidakpuasan massa rakyat pekerja.
Demikianlah, setelah begitu lama tidak terjadi pemogokan atau aksi besar di seluruh Rusia-mendadak-terjadilah aksi besar-besaran menentang keputusan Tsar yang membekukan Duma (parlemen kekaisaran Rusia). Kekalahan demi kekalahan yang diderita pasukan-pasukan Rusia bukanlah satu hal yang bisa diabaikan begitu saja. Para politisi yang ada dalam Duma melihat bahwa keresahan yang muncul di tengah rakyat jelata akibat kekalahan-kekalahan ini bisa dipicu menjadi sebuah pemberontakan yang lebih luas. Oleh karena itu, kaum parlementaris ini lantas mengajukan sebuah petisi pada Tsar untuk menghentikan perang, setidaknya mengurangi peran Rusia dalam perang. Tapi, Tsar yang bodoh itu menjawab petisi ini dengan membekukan Duma. Pecahlah demonstrasi dan pemogokan di seluruh Rusia pada tanggal 4 September 1915, diikuti oleh puluhan sampai ratusan ribu orang di St. Petersburg, Nizhni Novgorod, Moskow, Kharkov danYekaterinoslav. Di St. Petersburg sendiri aksi diikuti oleh 150.000 orang.
Betapa jauh bedanya dengan yang kita lihat terjadi pada tanggal 1 Mei 1915, di mana Mayday hanya diperingati 600 orang di seluruh Rusia!
Perubahan yang terjadi hanya dalam hitungan bulan!
Mereka yang berpikir dengan "akal sehat" tidak akan dapat mengerti hal ini. Mereka akan menuduhkan terjadinya konspirasi, hasutan, tipuan .... Yang benar saja! Mana mungkin berkonspirasi dengan 150 ribu orang? Atau menghasut, atau menipu, sekian banyak orang untuk bergerak hanya dalam satu hari setelah Duma dibekukan?
Dan, yang paling menarik adalah kenyataan bahwa buruh-buruh perempuan dan buruh-buruh mudalah yang paling banyak bergerak-lapisan yang tadinya dipandang sebagai lapisan berkesadaran paling terbelakang. Bagaimana mungkin mereka yang "paling belakang" bisa tiba-tiba melompat ke depan?

Kaum perempuan Rusia melompati rintangan
Dialektika bekerja tanpa kasat mata. Ia adalah proses yang terus berlangsung (ongoing) dan tanpa henti (unceasingly). Ia adalah proses molekular (mengutip Trotsky), yang terjadi pada atom-atom dalam susunan masyarakat. Ia adalah tumbuhnya tanaman. Ia adalah geraknya bumi-kita tidak menyadarinya sampai gempa menghantam kita. Tumburan, kontradiksi, gesekan, terjadi dari hari ke hari. Tidak selalu dapat kita amati. Tidak selalu dapat kita analisa karena kerumitan dan kompleksitasnya. Tapi proses itu terus berlangsung tanpa sepengetahuan kita, dan kita pun terkejut ketika mendadak kita tiba di penghujung proses tanpa menyadari jalannya proses tersebut.
Oleh karena itulah setiap orang yang bekerja dengan gerakan rakyat harus selalu mawas diri dan waspada terhadap segala bentuk perubahan yang terjadi di tengah masyarakatnya. Perubahan-perubahan kecil, yang nyaris tidak terdeteksi, barangkali akan sangat vital dan menentukan di masa depan.
Perempuan adalah korban utama yang diserahkan oleh Rusia demi Perang Dunia Pertama. Memang, korban tewas dalam pertempuran mungkin 99% terdiri dari laki-laki. Namun, mereka adalah ayah dan suami dari banyak keluarga rakyat pekerja. Kekaisaran Rusia tidak mau tahu dengan nasib keluarga yang ditinggalkan suami atau anak atau saudara-saudara yang tewas di medan laga. Untuk mengisi perut mereka dan anak-anak mereka, mereka dipaksa menjadi pencari nafkah bagi keluarga. Di samping itu, kekurangan tenaga kerja (seperti sudah disebutkan di muka) membuat Kekaisaran Rusia menerapkan wajib-kerja (work draft) pada kaum perempuan Rusia. Maka, kini kaum perempuan Rusia mengalami penindasan berganda, di rumah oleh sistem patriarki dan di pabrik oleh sistem kerja-upahan. Mereka harus bekerja lima belas sampai delapan belas jam di pabrik, lalu masih harus melaksanakan "kewajiban" kerja-kerja domestik di rumah-hanya untuk mendapati bahwa harga-harga barang kebutuhan pokok melejit tinggi akibat perang dan semakin jauhnya kesenjangan antara si kaya dan si miskin.
Semua ini terjadi di depan mata mereka. Dari hari ke hari mereka melihat hal ini berlangsung. Kemuakan bertumbuh di hati dan pikiran kaum perempuan Rusia. Bersamaan dengan kemuakan, tumbuh pertanyaan di hati mereka. Bersama dengan pertanyaan, muncul pula ketidakpercayaan pada sistem kemasyarakatan yang selama ini mereka anggap benar adanya.
Dan mereka menemukan jawaban pertanyaan mereka dari apa yang dilakukan, dipropagandakan dan diperjuangkan oleh kaum revolusioner. Mereka menemukan bahwa sosialismelah jawaban bagi pertanyaan mereka.
Tentu saja mereka tidak begitu saja percaya. Mereka akan terus mempertanyakan. Sebagian dari kaum perempuan ini, yang kepercayaannya tumbuh dengan cepat, lantas bergabung dengan kaum revolusioner. Tapi, mereka yang tidak yakin juga pada satu saat tiba pada kesimpulan bahwa mereka harus bergerak mengambil kesimpulan sendiri. Mereka harus memastikan bahwa mereka bisa mengambil kesimpulan sendiri.
Pada titik inilah kesadaran mereka melompat. Dari keadaan skeptis, terbelakang dan pasif, mereka melompat ke dalam kesadaran maju yang revolusioner.
Inilah yang sering tidak dipahami oleh mereka yang menepuk dada bahwa dirinya revolusioner. Mereka yang merasa kesadarannya paling maju dan paling menginginkan perubahan, sehingga gagal melihat bahwa masyarakat juga terus berubah dan menginginkan perubahan itu. Banyak orang yang mengaku revolusioner menginginkan agar jumlah orang yang revolusioner menjadi mayoritas dalam masyarakat. Tidak benar. Tidak pernah ada revolusi yang terjadi karena kaum revolusioner adalah mayoritas. Revolusi akan terjadi jika mayoritas rakyat sudah memutuskan bahwa mereka harus menemukan jawaban sendiri atas pertanyaan-pertanyaan dalam hati dan pikiran mereka. Mereka belum tentu sudah menerima bahwa jawaban yang diberikan oleh kaum revolusioner adalah benar. Mereka hanya mengambil keputusan bahwa pertanyaan mereka harus terjawab dan sistem yang sekarang ada tidak bisa memberikan jawabannya. Mereka mau dipimpin oleh kaum revolusioner hanya jika, bagi mereka, hanya kaum revolusioner yang memiliki jawaban. Biarlah sekarang kaum revolusioner yang memimpin, tapi nanti mereka akan menuntut pembuktian jawaban itu dari kaum revolusioner.
Saat-saat kritisnya terletak pada saat di mana pertanyaan mulai muncul secara spontan dalam bentuk-bentuk gerakan tak terorganisir. Jika pada titik ini kaum revolusioner gagal menanggapi, maka pertanyaan itu akan berubah menjadi rasa putus asa.
Kaum revolusioner Rusia tepat membaca pembalikan posisi ini. Pada saat yang tepat, pada peringatan Hari Perempuan Internasional 8 Maret 1914 (penanggalan kita), diluncurkanlah sebuah terbitan khusus perempuan: Rabotnitsa (Perempuan Buruh). Terbitan ini didanai oleh sumbangan kolektif-kolektif perempuan di tengah gerakan buruh, dikerjakan sendiri oleh para aktivis perempuan buruh. Isinya adalah tentang kondisi buruh perempuan dan perjuangan perempuan-baik di pabrik, di desa, di partai maupun di tengah rumah tangga. Terbitan ini juga memuat perjuangan perempuan di negeri-negeri lain-baik itu buruh maupun bukan. Satu seruan yang terus-menerus dikumandangkan oleh Rabotnitsa adalah agar perempuan kelas pekerja mengorganisir diri sendiri, lalu bergabung dengan perjuangan kaum laki-lakinya-bahkan juga menyerukan agar kaum perempuan berani membangunkan dan memimpin kaum laki-laki yang masih "tertidur".
Jadi, ketepatan pembacaan situasi dan perumusan tindakan oleh kaum revolusioner berkecocokan dengan proses dialektik yang meradikalisir kaum buruh perempuan di Rusia. Ketika kedua hal ini bertemu dan berkecocokan, meledaklah tenaga revolusioner yang dibangunkan oleh situasi objektif di tengah kaum perempuan Rusia. Tanpa tindakan yang tepat dari kaum revolusioner, tenaga yang terbangun secara spontan ini akan selalu tersimpan sebagai potensi. Sama seperti batu batere atau accu, yang memiliki potensi tenaga listrik, baru dapat dimanfaatkan tenaganya ketika terhubung secara tepat dengan rangkaian listrik tertentu. Jika kutub-kutub batere dihubungkan dengan cara keliru, potensi tenaga listrik tidak akan keluar-atau malah menyebabkan korsleting (hubungan pendek), yang bersifat merusak.
Kita melihat kesadaran kaum perempuan Rusia seperti "melompat" karena kita tidak melihat proses dialektika yang terjadi di tengah mereka. Sebenarnya, potensi kesadaran mereka bergerak sejajar dengan kesadaran masyarakat pada umumnya. Hanya saja, karena mereka mulai dari posisi yang terbelakang, kaum revolusioner juga terlambat menyadari perkembangan kesadaran itu. Begitu disadari, begitu kaum revolusioner mengambil tindakan untuk menangkup kesadaran tersebut, kaum perempuan langsung menyambut-dan kita melihat seakan mereka mengalami "lompatan kesadaran".

Penutup
Salah satu pelajaran terpenting dari Revolusi Februari 1917 di Rusia ini adalah bahwa kaum revolusioner tidak dapat-dan tidak boleh-mengabaikan sektor-sektor rakyat pekerja yang manapun. Kaum revolusioner tidak boleh memvonis satu sektor sebagai "terbelakang" dan kemudian meninggalkannya sama sekali. Semua sektor rakyat pekerja harus diberi perhatian yang sama-walau mungkin untuk penanganannya memang harus menuruti sebuah skala prioritas yang disesuaikan dengan sumberdaya yang dipunyai organisasi.
Revolusi Februari 1917 di Rusia merupakan pembuktian bahwa sektor perempuan bukan saja berpotensi revolusioner, melainkan berpotensi untuk memimpin sebuah revolusi. Di saat kaum laki-laki meragu, kaum perempuanlah yang tampil ke depan memicu revolusi berlangsung. Kalau ada yang kita bisa teladani, pengorganisiran spesial di sektor perempuan, penggemblengan kader-kader perempuan revolusioner menjadi pemimpin-pemimpin, harus dimulai dari sekarang. Sehingga, ketika peluang untuk perluasan propaganda, rekrutmen dan pendidikan di kalangan perempuan kelas pekerja terbuka lebih lebar, kitalah yang akan menjadi organisasi yang paling siap untuk mengambil peluang itu.


*Penulis adalah Ketua Divisi Pendidikan Komite Pusat Perhimpunan Rakyat Pekerja. Artikel ini disadur dari website PRP

Jumat, 25 April 2008

PERNYATAAN SIKAP "May Day"

PERNYATAAN SIKAP
PERHIMPUNAN RAKYAT PEKERJA

1 Mei: hari perlawanan seluruh rakyat pekerja untuk mencapai
kesejahteraan! !!


Salam rakyat pekerja,
Hanya dalam hitungan hari, gerakan reformasi yang ditandai dengan
jatuhnya rezim Orde Baru Soeharto pada tanggal 21 Mei 1998 sudah akan
berusia 10 tahun. Reformasi, pernah memunculkan harapan-harapan baru
akan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia. Namun kesejahteraan yang telah
diimpikan oleh rakyat Indonesia semenjak reformasi, sampai saat ini
tidak kunjung datang. Kehidupan rakyat Indonesia semakin terpuruk dengan
naiknya harga-harga kebutuhan pokok, pengangguran yang semakin tinggi,
upah murah, mahalnya biaya pendidikan, mahalnya biaya pelayanan
kesehatan dan permasalahan lainnya yang semakin mencekik rakyat
Indonesia.
Keterpurukan atas kehidupan rakyat Indonesia tentu saja tidak bisa
dilepaskan dari berbagai kebijakan yang dimunculkan para penguasa, baik
di pemerintahan maupun parlemen. Penguasa yang dipilih oleh rakyat
Indonesia melalui Pemilu, justru tidak pernah melindungi rakyat yang
telah memandatkan nasibnya sejak masa kampanye. Nyaris seluruh kebijakan
dalam 10 tahun ini, hanya mencerminkan nafsu kepentingan para pemilik
modal asing maupun domestik. Karena jelas, sebagian besar pemimpin di
Indonesia berasal dari kalangan pemilik modal. Lihat saja, siapa yang
gembira dengan program privatisasi di perusahaan-perusaha an negara
(BUMN) dan dunia pendidikan, peraturan mengenai ketenagakerjaan yang
menghasilkan sistem kerja kontrak dan outsourcing serta upah murah dan
lain sebagainya.
Kekuasaan negara selama 10 tahun ini, telah berhasil mengantarkan rakyat
Indonesia ke dalam alam penjajahan gaya baru -- Neokolonialisme.
Sementara segala janji-janji yang dikampanyekan pada saat Pemilu tidak
pernah terbukti dan hanyalah omong kosong. Maka sudah saatnya rakyat
Indonesia tidak mempercayai kembali orang-orang dan partai politik yang
saat ini berkuasa dan mendapatkan kursi di parlemen. Karena dari seluruh
partai politik yang memiliki kursi di parlemen, ternyata tak satu pun
yang berhasil membuktikan mampu membela kondisi peri kehidupan rakyat
Indonesia..Sudah saatnya rakyat Indonesia mengambilalih kekuasaan yang
selama ini rakyat percayakan dan TIDAK menggantungkan lagi harapan dan
nasib kita selama 5-6 tahun ke depan pada orang-orang dan partai politik
seperti ini..
Terkait dengan mandat reformasi 10 tahun lalu yang berlandaskan pada
semangat perubahan untuk kedaulatan dan kebebasan, maka Rakyat Indonesia
sudah harus mencari alternatif solusi dari segala permasalahan akibat
krisis dan kegagalan pembangunan kapitalisme selama ini dan mencari
jalan keluarnya untuk menyelesaikan permasalahan- permasalahan rakyat.
Gagasan politik Keadilan Sosial atau Sosialisme merupakan sebuah
alternatif yang harus diperjuangkan oleh rakyat Indonesia. Dalam gagasan
sosialisme, rakyat pekerja dilindungi dari ganasnya eksploitasi sistem
kerja kontrak dan outsorcing di dunia ketenagakerjaan. Dengan
sosialisme, maka pendidikan harus gratis, ilmiah dan demokratis. Dengan
sosialisme maka keserakahan pasar bebas tidak lagi berkuasa mutlak
menentukan kenaikan harga-harga kebutuhan pokok rakyat. Dengan
sosialisme, tidak boleh ada lagi upah buruh/pekerja yang murah. Gagasan
politik sosialisme adalah amanat penderitaan rakyat.
Untuk memperjuangkan sosialisme dibutuhkan perjuangan dan kesadaran,
maka tentunya dibutuhkan sebuah persatuan gerakan rakyat yang besar.
Dengan kesadaran dari seluruh rakyat Indonesia untuk memperjuangkan
nasibnya demi mencapai kesejahteraan, maka hal tersebut bukanlah sesuatu
yang tidak mungkin. Sebagai awalan, 1 Mei yang merupakan hari buruh
internasional dapat menjadi suatu ajang konsolidasi dan memperlihatkan
kekuatan rakyat yang besar dan terorganisir kepada para penguasa yang
hanya mementingkan kepentingan para pemilik modal.
Maka dari itu, kami dari Perhimpunan Rakyat Pekerja (PRP) menyatakan
sikap:
1. Kepada seluruh rakyat Indonesia untuk menyatukan dan
merapatkan dirinya ke dalam barisan massa aksi 1 MEI (MAYDAY) yang
dipimpin kawan-kawan buruh yang sudah bertekad akan mengepung
istana..
2. Kepada seluruh rakyat Indonesia untuk menjadikan momentum
yang terjadi di bulan Mei (mulai tanggal 1 Mei sampai tanggal 21
Mei) sebagai agenda persatuan perjuangan rakyat Indonesia. Mari
kawan, kita tegaskan gerakan Reformasi untuk perubahan yang sejati belum
selesai!.
3. Kepada seluruh rakyat Indonesia untuk tidak mempercayai
penguasa dan pemimpin saat ini yang berkuasa, baik di pemerintahan
dan parlemen. Jangan gunakan hak suara dalam PEMILU 2009, bila
hanya untuk memperkuat kekuasaan negara yang justru lebih memilih
menjual diri pada modal asing dan tak pernah memenuhi kewajibannya untuk
menjamin perlindungan sosial dan mensejahterakan rakyat Indonesia.
4. Alternatif dari seluruh permasalahan rakyat dan bangsa
Indonesia saat ini adalah dengan mengusung keadilan sosial atau
SOSIALISME, dimana rakyat dapat mencapai kesejahteraan dan
kemerdekaan yang sejati dan tidak ditindas oleh kepentingan modal.

Jakarta, 24 April 2008

Komite Pusat Perhimpunan Rakyat Pekerja
Sekretaris Jenderal
Irwansyah (indoprogress)

Selasa, 01 April 2008

Gerakan Progresif dan Momen Pemilu: ajakan diskusi

dear all,
Satu tahun lagi, pemilihan umum (Pemilu) legislatif akan digelar. Kekuatan-kekuatan politik pro-neoliberal - mulai dari ormas hingga parpol - sibuk berbenah. Eksperimn-eksperime n politiknya menghiasi lembaran media massa nasional, dan juga layar kaca televisi. Mulai dari uji coba koalisi, pamer kepedulian, kampanye berbalut isu kemanusiaan, hingga saling gertak sambal. Para aktivis mereka, juga tak kalah sibuk. Mereka berusaha keras meraih simpati publik, dan juga pesan kepada para oligarkhnya, bahwa mereka tidak main-main memenangkan kursi bagi partainya. Bersama partainya, mereka ingin mejadi nomor satu. Karena itu, mereka ingin rakyat tahu bahwa mereka siap bertarung. Mereka juga ingin rakyat tahu, bahwa mereka pantas untuk dipilih, pantas untuk diijadikan kendaraan bagi amanah kepentingan rakyat.Kita tentu, bisa mencibir apa yang dilakukan oleh mereka, bahwa yang mereka lakukan itu dusta belaka, bohong besar, manis di bibir pahit di kaki. Ujung-ujungnya rakyat kembali dikhianati, ujung-ujungnya adalah kepentingan perut masing-masing. Setelah menang, rakyat ditendang, pada masa pemilu suara rakyat adalah suara tuhan, pasca pemilu suara rakyat adalah suara setan.Lantas, apa yang diperbuat oleh gerakan progesif dalam momen pemilu? Pengalaman sebelumnya menunjukkan, yang dilakukan oleh gerakan progresif adalah melakukan "pendidikan politik." Saya tidak akan berbicara soal apa isi materi dalam program pendidikan politik itu. Saya mengambil jalan pintas saja, bahwa mereka harus benar-benar yakin bahwa partai yang dipilihnya betul-betul sudah terbukti mewakili kepentingannya.Lantas, jika rakyat sadar bahwa ternyata tidak ada satupun partai yang mewakili kepentingannya (dan dengan konfigurasi parpol saat ini, kenyataannya semuanya pro-neoliberal) , apa yang harus dilakukan oleh gerakan progresif? Menganjurkan rakyat untuk golput? Memilih sesuai hati nurani? Bikin parpol sendiri? Ikut parpol yang ada dan pengaruhi dari dalam? Bikin bargaining position dengan parpol yang menang pemilu? Pilih pemipim yang baik dari yang terburuk? Kalau dalam pemilu presiden atau bupati, walikota dan gubernur, ajukan calon independen?Sebelum menjawab soal ini, gerakan progresif harus memiliki sikap yang jernih dalam memandang momen pemilu. Ini sangat penting, karena tidak ada peristiwa politik yang paling bisa memicu keterlibatan rakyat yang luas di dalamnya, selain momentum pemilu. Bahkan, di negara dengan rakyat yang paling apatis dan paling sinis pada politik, seperti AS, momen pemilu selalu merupakan momen dimana rakyat memiliki antusias yang tinggi terhadap politik. Lebih dari itu, tidak pernah ada dalam sejarah dimana revolusi muncul dalam sistem politik yang terbuka. Dalam sistem politik terbuka, yang paling banyak terjadi adalah kudeta yang dilakukan oleh militer. Mungkin itu sebabnya, ketika dalam satu kesempatan Fidel Castro, mengatakan, "saat ini jaman telah berubah. Kita tidak bisa lagi mencontoh Bolshevisme, juga tidak Castroisme."Pemilu memang selalu mendatangkan dilema. Lebih-lebih jika pemilu itu dikuasai oleh kekuatan oligarki pro-neoliberal, seperti Indonesia saat ini. Di satu pihak ini merupakan momen politik yang dituntut oleh kekuatan progresif ketika berjuang melawan kediktatoran, di sisi lain jika saat ini menceburkan diri ke dalam momen ini, berarti harus bersedia ikut aturan main demokrasi neoliberal. Dan itu berbahaya. Ibarat pepatah, keluar dari mulut harimau tapi, masuk kemulut buaya. Tetapi, jika tidak ikut di dalamnya, lantas apa makna dari tuntutan yang dulu diperjuangkan dengan darah dan air mata itu? Apakah itu sekadar taktik untuk meruntuhkan kediktatoran belaka? Jika tidak ikut bertarung saat ini, alternatif apa yang kita sodorkan pada rakyat untuk mengelola mekanisme kekuasaan?Dalam pemilu untuk memilih presiden, bupati, walikotan dan gubernur, sebagian gerakan progresif mengajukan solusi calon independen. Okelah solusi ini benar pada satu langkah yakni, ketika berhadapan dengan calon yang diusung oleh oligarki. Mari berasumsi, bahwa calon independen kita unggul dalam pemilu tapi, pertarungan belum selesai. Calon independen ini berhadapan dengan birokrasi rejim yang kolot, juga parpol yang menduduki parlemen, dan jangan lupa, militer. Bisa dipastikan, langkah sang pemimpin independen ini sangatlah berat. Belum lagi, bagaimana membangun mekanisme kontrol dari gerakan progresif terhadap pemimpin independen ini. Tetapi, untuk pemilu legislatif, kecuali golput yang efektif pada masa kediktatoran, belum tampak sikap yang jelas. Gerakan progresif masih adem-ayem. Pertanda dilema itu masih mencengkeram, seperti dongeng Pedang Damocles? Atau sudah terjadi diskusi dan kemudian melahirkan perpecahan internal? (IndoProgress)

BukuBaru


Buku ini terpilih sebagai salah satu dari tiga buku terbaik di bidang ilmu-ilmu sosial dalam International Convention of Asian Scholars, Kuala Lumpur, 2007
John RoosaDalih Pembunuhan Massal: GERAKAN 30 SEPTEMBER DAN KUDETA SUHARTO
Dalam wacana utama sejarah Orde Baru "pengkhianatan G30S/PKI" menjadi mantera pembenar bagi penumpasan berbagai bentuk gerakan yang bersifat kerakyatan. Sedemikian kuat dan mendalam pengaruh mantera ini sehingga untuk waktu yang cukup lama orang tidak lagi bertanya tentang apa itu Gerakan 30 September dan keabsahan pengaitan gerakan tersebut dengan PKI. Mengikuti logika penyelidikan seorang detektif, John Roosa berusaha meneliti "apa yang sebenarnya telah terjadi" dalam Gerakan 30 September -- suatu peristiwa pemberontakan dari sejumlah perwira yang berujung pada kudeta. Selama puluhan tahun, studi-studi tentang peristiwa politik berdarah ini belum melahirkan analisis yang solid dan uraian yang menyeluruh tentang fakta-fakta terselubung di sekitar peristiwa tersebut. Berbagai pendapat tentang dalang G-30-S, apakah itu Suharto, Angkatan Darat, pemerintah Amerika Serikat dan CIA, PKI atau bahkan Sukarno, semuanya diuji kembali dalam buku ini untuk memahami lebih baik proses transisi kekuasaan yang paling berdarah dalam sejarah Indonesia. Roosa juga mengurai dan menganalisa, mengapa suatu peristiwa pembunuhan tujuh perwira Angkatan Darat bisa berkembang menjadi gelombang kekejaman yang meluas dan sulit dicari padanannya dalam sejarah modern Indonesia.(sumber IndoProgress)