Senin, 24 Desember 2007

Cerpen


Pemberontakan Kecil
Oleh: Ken Ratih Indri Hapsari

Ia sisir lagi jalan itu. Bulan sabit dan jutaan bintang di langit membujuknya mengakui keesaan-Nya. Dalam malam itu ia berjalan, tubuhnya gemetar kedinginan, nyaris beku.
Ia menapak tilas pergerakan siang tadi bersama 25 kawannya yang merindukan kemenangan rakyat. Sungguh melempar diri ke jalanan bukanlah hal sulit. Hanya butuh kesadaran, keberanian, dan cinta. Karena cinta tanah ini, maka menjaganya dengan keberanian sampai ujung kematian.
Di perjalanan itu ia bertanya. Begitu sulitkah untuk mencintai pertiwi ini? Ah…tentu saja ngapain repot-repot mikir negara, lebih enak jalan-jalan di mall, terus belanja macam-macam aksesoris, supaya mirip bintang pujaan di televisi. Yeah…kapitalis memang cerdik. Kini rasa nilai-nilai yang diyakini manusia terjungkir balik. Cinta, tawa, nafsu, maut, kepedihan semuanya terbalut kehampaan luar biasa. Marx benar ‘kapital menukarkan setiap kualitas dan objek dengan setiap yang lainnya, sekalipun kualitas itu saling bertentangan. Maka kesadaran dan idealisme tidak akan dihargai, dicemooh, dibenci, karena kualitas dan obyek yang teralienasi.’
Sesaat ia berlari cepat menjauhi ceceran darah di jalanan, darah juang yang menyegarkan pertiwi lebih berharga dari air paling suci. Ia ingat siang tadi kawannya dipukul aparat berkali-kali.
Lalu ia berlari cepat dan tak perlu dibutuhkan kehati-hatian. Ia pecah gelombang udara malam yang kian menyergap dari segala arah. Ia ingin melupakan tragedi siang tadi. Melupakan memang sangat mudah, namun ia kesulitan untuk tidak mengundang kenangan dan menikmatinya.
Kenangan yang memilukan dan semakin menegaskannya pada suatu perlawanan. Rasa muak terhadap ketidakadilan, keinginan untuk memberontak sangat sulit untuk ditunda. Dan kesadaran untuk bergerak tidak butuh pengorganisasian, tapi malah mengoordinir, di sini kemurnian gerakan lahir, takkan pernah ada tawar-menawar.
Dalam perjalanan itu terlihat sesekali ia menangis. Ia merasa kasihan karena banyak teman turutserta melanggengkan kesenangan semu. Terbukti di kampus begitu banyak bersliweran robot yang pikirannya dipenuhi keinginan untuk belanja, bergaya, hura-hura. Semakin lengkap ke-robotannya ketika sekedar menjadi celengan teori-teori anti realitas yang dikotbahkan dosen yang tak lain hanya budak-budak kurikulum. Hasilnya temannya mampu memisahkan, mana yang akademis dan non akademis. Seharusnya kita menolak jika hanya menjadi celengan teori-teori, kecuali kita memang celeng, Lengjilengbeh, celeng siji celeng kabeh hua…hua…hua…hu…hu…hu…
Di sela tangisnya yang kian meraung ia bertanya, bagaimana mungkin hal yang manusiawi dan kegiatan akademis dapat dipisahkan? Bukankah manusia dan ruhnya merupakan satu kesatuan? Kecuali pendidikan memang belum pernah menyentuh jiwa humanis kita.
Lalu tiba-tiba ia berhenti menangis dan tertawa kecil-tawa kecemasan. Kapitalisme memang bagaikan kerajaan. Bila kita memasuki kerajaan itu, maka segala sistemnya akan mengungkung dan memberi kenikmatan yang luar biasa. Kapitalisme seperti arus yang yang sangat besar.
Sejenak ia berhenti tertawa. Lalu ia bertanya, mengapa harus ikut arus itu? Tapi apakah berdaya kita melawan arus yang begitu besar? Ehm… mungkin lebih aman kita minggir saja dari arus? Ia begitu kebingungan dengan pertanyaan yang menyeruak dengan tiba-tiba. Lalu ia berhenti berjalan dan tersenyum. Ya…ya…kita ciptakan saja arus baru. Arus alternatif yang ideal, bukankah sebuah awal dari perlawanan? Arus yang mampu membawa nelayan miskin mencari ikan sebanyak-banyaknya. Ha…ha…ha…, ia tertawa tulus dan meneruskan perjalanan.
Kini ia berhenti dan memungut sesuatu dengan ruh bergetar, lebih dasyat dari gemetarnya tubuh akibat dinginnya angin yang menusuk pori-pori kulitnya. Ia pungut baju berwarna hitam, baju itu milik kawannya. Dia mencopotnya siang tadi untuk menghentikan aliran darah di kepalanya, meskipun itu mustahil. Darah terus mengalir akibat pukulan tongkat aparat yang mengatasnamakan ketertiban, tapi sesungguhnya hanya melakukan perintah atasannya.
* *
Kemarin, kawan-kawannya di Semarang membakar seragam, simbol kegagahan mereka(?). Lalu aparat marah. Dengan membabi buta, mereka mencari, manangkap, dan menganiaya, hingga 2 kawannya harus menginap di RS. Dan itu hal biasa, sama sekali tidak menyakitkan, karena Ibu pertiwi selalu membelai lembut setiap bentuk perjuangan yang murni.
Anehnya, perlawanan itu sama sekali tidak muncul di media apapun, bahkan televisi sekalipun.
Rupanya negara takut akan meluasnya gerakan yang mengkontrol pemerintahan korup. Para jendral malu terkuaknya kebenaran bahwa militer memang melanggar HAM, dan hanya mengenal satu komando ‘membunuh atau dibunuh!’.
Televisi lebih untung menyodorkan AFI dengan artis instannya yang berjingkrak, mengenakan topeng kosmetika, menyuguhkan tayangan sepak bola dengan pemainnya tak lebih seperti seonggok daging yang diperjual belikan dengan harga sangat mahal, atau menayangkan janji-janji kosong para penguasa.
Tuhan tak lagi cemburu pada jimat, demit, dukun. Tuhan cemburu pada artis, uang, penguasa negara yang setiap saat dipuja umat-Nya.
Ia buang baju hitam yang penuh darah ke tepi jalan. Tanpa rasa kehilangan, karena ia memang tidak suka mendramatisir sesuatu. Lalu ia bertanya, begitu berhargakah seragam bagi militer? Mengapa? Begitu berhargakah bendera pertiwi merah putih? Mengapa?
Siapa yang mengklaim bahwa membakar merah putih adalah makar? Mengapa? Merah putih hanyalah simbol. Jika di pertiwi ini masih berserakan anak-anak jalanan, kemiskinan, penindasan, kesinisan terhadap perempuan, pendidikan yang tidak merata, apalah arti bendera? Bakar saja! atau dibuat celana dalam untuk menutupi kemaluan anak-anak pemulung yang tidak punya pakaian. Lebih bermanfaat ketimbang dipajang pada tiang tertinggi.
* *
Ia jadi teringat teman-temannya yang senang mendiskusikan pakaian. Dari pakaian yang tidak menutup pusar pemakainya, sampai cadar yang dipakai ikwan lain. Dalam diskusi sesekali teman-teman mengejek model-model pakaian itu. Lalu muncul pertanyaan, “mengapa menghiraukan model dan varian-varian pakaian? Mengapa tidak berempati seandainya kita tidak punya pakaian yang layak? mengapa pemulung tak mampu membeli pakaian? sedangkan di sisi lain ada orang yang mampu membeli apapun, bahkan pelacur, adilkah?”
Temannya menjawab, “tentu saja adil! bukankah orang menjadi kaya karena perjuangan?dan si kaya berhak menikmati kekayaan itu!”
Lalu ia menjawab, “persis teori Weber dalam ‘Etika Protestan dan Semangat Kapitalisme’. Bahwa seseorang akan meningkat klas-statusnnya dengan cara bekerja keras dan berhemat. Yang menjadi pertanyaan, Seseorang yang tak mampu membeli pendidikan, mampukan dia bekerja sesuai keinginan? Seberapa banyak sih uang yang dapat di tabung pemulung? Sedangkan untuk makan masih kurang.
Lalu temannya menyeletuk, “salah sediri kenapa miskin?!”
Dan ia balik bertanya pada temannya, kalau begitu kau menyalahkan Tuhan? Bukankah Tuhan maha benar. Kau berkata seolah Tuhan telah menjebak pemulung dengan segala kemiskinannya. Kau menginginkan Tuhan memberi pilihan? Bahwa sebenarnya manusia berhak menentukan hidupnya, termasuk apakah sebenarnya dia ingin hidup atau tidak.Tapi temannya acuh dan beralih membicarakan ponsel keluaran terbaru.
* *
Ia terus berjalan menjauh dari tempat ia membuang baju hitam dengan aroma darah kering yang lebih harum dari melati, lebih merah dari mawar. Menjauh, ia melangkah dalam kesenyapan yang begitu malam. Ini jalan yang menyediakan segala sesuatu bukan untuk dikuasai atau menguasai.
Ia tinggalkan alur perjuangan, namun ia tidak berusaha memisahkan, karena segalanya saling bertautan.
Ia mengundang kenangannya bersama kekasih, hingga memenuhi seluruh ruang pikirannya. Ia biarkan kerinduan pada kekasihnya meranum, menggeliat dalam jiwanya. Hingga hanya dapat dituntaskan dengan sebuah pertemuan. Pagar yang tertutup dan sudah karatan, harus kembali membuka diri.
Ia duduk dengan sahabatnya yang juga kekasihnya. Dalam kebisuan, karena sesungguhnya bahasa tak mampu mengapresiasikan makna kasih diantara mereka, perasaan cinta yang begitu dalam. Tanpa campur tangan alur cinta sinetron yang terlalu dibuat-buat, sehingga pemuda-pemudi menangisi hal-hal remeh.
Ia dan kekasihnya telah sepakat untuk saling memberi, demi diri masing-masing. Lalu ia bicara pada kekasihnya, namun lebih mirip ratapan. Bukankah suatu kehebatan ketika kita mengungkapkan rasa cinta dengan cara mencintai? Setiap manusia memiliki sisi romantis dan melankolis, dan itu kutumpahkan padamu. Kengiluanku, kegembiraanku, hasratku tertuju untukmu.
Dan aku yakin kau meragukan ketangguhanku, seperti akupun kepadamu. Karena semuanya adalah keraguan. Descartes benar ‘satu hal yang pasti adalah kita tak ragu bahwa kita benar-benar meragukan sesuatu’.
Lalu ia ingin memeluk kekasihnya. Cinta mampu membawa mereka pada suatu perlawanan dan menebarkan kasih secara universal. Cinta seperti perintah malaikat untuk berbagi keringatmu dengan keringat orang-orang terpingirkan yang tergilas peradaban yang tak beradab.
Mereka membisu didekap erat kegalauan, kengerian, juga kegelian atas stereotif ‘anarkis’ yang diberikan pada mereka. Seperti penipuan orba dengan awas bahaya laten komunis’ untuk membantai rakyat, yang mendukung musuh politiknya, dan dipaksa mengaku komunis.
Jika rakyat tersebut bersalah pada negara mengapa mereka dibantai tanpa proses peradilan? Bukankah negara ini negara hukum? Mengapa tragedi pembantaian sengaja dihilangkan dari sejarah? Bukankah menyembunyikan secuil sejarah, merupakan indikasi ketidakberesan suatu pemerintahan?
Malam merangkak penuh gairah, lalu ia mengatakan sesuatu pada kekasihnya, aku bukanlah venus yang mengunjungi matahari hanya sebentar. Tapi aku dan kamu adalah matahari dengan segala cahayanya yang tidak menyukai kegelapan yang sengaja disembunyikan.
Mereka berdua kemudian terdiam dan terlibat suatu petualangan. Petualangan yang mempunyai suatu perasaan dan memerlukan perasaan yang kuat untuk mengidahkan keadaan.
Sesungguhnya mereka sekedar memiliki segudang kritik dan cita-cita yang sangat mulia, namun tidak memiliki jalan yang jelas menuju destinasi mereka.
***
*Cerpen ini pernah dimuat di Majalah Prima-Fak ISIP UNEJ Juli 2004 dan dalam bentuk yang lebih sederhana dimuat di Majalah Paroki (majalah umat Kritiani-Jember) di akhir tahun 2006.
*Foto dijepret saat purnama bulan Juni 2007
*Kupersembahkan untuk kawan terbaikku yang tak pernah mau berhenti menguatkan:Na
Meski cerpen ini ku akui jauh dari apik untuk orang se-apik kamu: Selamat Natal & Tahun Baru, NA-q..

Minggu, 23 Desember 2007

Kisah Perempuan Buruh Tambang yang Menolak Dilecehkan


North Country (film)



North Country adalah sebuah film tahun 2005 garapan sutradara Niki Caro. Film ini erdasarkan kisah nyata kasus Jenson v. Eveleth Taconite Co. dan terinspirasi dari buku Class Action karangan Clara Bingham dan Laura Leedy Gansler. Syuting dilakukan sejak Februari 2005 bertempat di Minnesota bagian utara (termasuk kota Eveleth), Minneapolis, dan New Mexico

Ikhtisar cerita:
Film ini menceritakan perjuangan seorang wanita yang bekerja di tambang, yang mengalami pelecehan seksual dan melancarkan tuntutan class-action (tuntutan hukum oleh seseorang atau sekelompok orang yang memiliki masalah yang sama terhadap orang/lembaga tertentu) terhadap atasannya karena mereka tidak mampu melindungi dirinya dan karyawan wanita lainnya.

Sinopsis:
Film ini menggunakan plot maju-mundur. Seluruh cerita adalah kesaksian di pengadilan di mana Josey melancarkan tuntutan terhadap atasannya.
Tokoh utama film ini adalah Josey Aimes (Charlize Theron), seorang orang tua tunggal dari dua anak, yang kembali ke kampung halamannya di Minnesota. Untuk mencukupi kebutuhannya, ia bekerja di tambang (meski sebenarnya ayahnya tidak setuju). Pekerja di tambang tersebut nyaris semuanya laki-laki, dan ternyata nyaris semua pekerja wanita di sana mengalami pelecehan seksual, dan mereka tidak bisa apa-apa karena tidak ada perlindungan hukum dari perusahaan. Josey pun mengalaminya, karena mantan kekasihnya saat SMU, Bobby Sharp (Jeremy Renner), berusaha dengan segala cara untuk mendekatinya secara seksual, meski Bobby sebenarnya sudah menikah. Josey pun melaporkan hal ini kepada atasannya, yang semula dikira akan membantunya, tapi ternyata mereka tidak bisa (atau tidak mau) melakukan apa-apa.
Di lain pihak, kedatangan Josey di kampung halamannya juga dicibir oleh sebagian orang. Mereka membicarakan masa lalu Josey, karena Josey tidak pernah memberi tahu siapakah ayah Sammy (anak pertamanya) sebenarnya.
Sementara itu keadaan semakin memburuk. Josey pun mengundurkan diri dari pekerjaannya. Ia dan pengacaranya, Bill White (Woody Harrleson) bermaksud mengajukan tuntutan kepada perusahaan. Namun ketika ia meminta rekan-rekan kerjanya yang sesama wanita untuk bersaksi melawan perusahaan, mereka semua menolak, karena mereka sangat membutuhkan pekerjaan. Persoalan semakin bertambah ketika istri Bobby beteriak-teriak di depan umum pada pertandingan hoki anak-anak, meminta agar Josey menjauhi suaminya. Hal ini membuat marah Sammy (Thomas Curtis) yang memutuskan untuk kabur dari rumah. Namun setelah dinasihati oleh Kyle (Sean Bean) ia pun kembali ke rumah.
Di pengadilan pun terungkap bahwa ternyata Josey diperkosa oleh guru SMU-nya sampai ia hamil. Dan setelah didesak oleh Bill, Bobby pun mengakui bahwa sesungguhnya ia melihat perkosaan tersebut, namun ia tidak melakukan apa-apa. Pada akhirnya, Josey memperoleh dukungan dari rekan sesama perkerja wanitanya, dimulai dari sahabatnya, Glory (Frances McDormand). Mereka mendapatkan sejumlah uang ganti rugi, dan yang terpenting adanya kebijakan yang melindungi mereka — dan wanita-wanita lain setelah mereka — dari pelecehan seksual.
Di film ini sekali lagi Charlize Theron bermain apik. Kegetirannya terekspresikan lewat gestur dan wajahnya yang nyaris tanpa senyum di sepanjang film. Ia berhasil menampakkan citra seorang wanita pekerja keras dan seorang ibu yang protektif karena masyarakat yang ‘kejam’.

Penghargaan:
Charlize Theron dan Frances McDormand masing-masing dinominasikan dalam kategori Aktris Terbaik dan Aktris Pendukung Terbaik pada beberapa ajang penghargaan, di antaranya Academy Awards, Golden Globe, BAFTA Awards dan Screen Actors Guild Awards.

Sabtu, 22 Desember 2007

Pernyataan Sikap:

Jaringan Nasional Perempuan Mahardhika
Catatan Perempuan dalam Peringatan Hari Ibu 22 Desember 2007
CUKUP SUDAH PENDERITAAN PEREMPUAN;
LAWAN PENJAJAHAN MODAL ASING TANPA SISA-SISA ORDE BARU DAN REFORMIS GADUNGAN
Empat puluh enam tahun sudah Hari Ibu ditetapkan1 , atau tujuh puluh tujuh tahun sesudah Kongres Wanita Indonesia pertama dilangsungkan2. Tiga puluh sembilan tahunnya berbuah kesengsaraan3 , dan delapan tahunnya berbuah krisis ekonomi dan politik yang tak berkesudahan. Memang, gerakan demokratik 1998 telah membuka jalan bagi peningkatan kesadaran dan meluasnya organisasi perempuan, hingga tak lagi sekedar kumpulan ibu-ibu PKK atau Dharma Wanita pendamping suami. Tuntutan kesetaraan meluas, walau belum berbuah gerakan yang berkarakter kerakyatan. Gerakan demokratik yang menumbangkan kediktatoran adalah kunci bagi peningkatan kesadaran perempuan saat ini.
Namun celakanya, 8 tahun sejak reformasi, para aktivis dan partai-partai yang mengaku reformis, kini berhenti berjuang menegakkan reformasi. Partai-partai sisa-sisa Orde Baru dan mantan tentara malah beramai-ramai menumpang bendera reformasi. Para aktivis yang sempat berpanas-panas di jalanan, kini juga ramai berteduh di bawah bendera-bendera reformis gadungan dan sisa-sisa Orde Baru. Termasuk aktivis perempuannya. Sementara kesengsaraan terus bergelayut di pundak perempuan, walau kuota perempuan (di bawah bendera partai-partai sisa Orde Baru dan reformis gadungan) meningkat di parlemen.
Semuanya takluk, tak berkutik dihadapan penjajahan modal asing. Bahkan banyak yang berlomba menjadi agen barunya, dengan berpura-pura anti modal asing di parlemen, tapi tak sungguh-sungguh memobilisasi kekuatan partainya dan massa rakyat untuk melawan penjajahan modal asing. Padahal penjajahan modal asing adalah sumber pokok kesengsaraan perempuan Indonesia saat ini, yang mematikan potensi kemajuannya; menghinakan martabatnya; menghancurkan masa depannya sebagai manusia. Penjajahan modal asing mematikan produktivitas rakyat dan lebih banyak menghancurkan tenaga produktif perempuan; menghancurkan produktivitas industri nasional, sehingga menyebabkan kemiskinan berkepanjangan, yang paling banyak mengorbankan perempuan.
Dampak penjajahan yang paling membebani pundak perempuan (yang mayoritas miskin di negeri ini) adalah kenaikan harga dan turunnya daya beli rakyat, terutama di sektor pertanian yang tak tersentuh modal―kecuali sektor agribisnis besar (seperti sawit, karet dan beberapa perkebunan besar negara). Dari 108 juta rakyat miskin yang hidup di bawah Rp. 19.000/hari, porsi kaum perempuan lebih dari setengahnya. PHK sepihak oleh berbagai industri manufaktur yang bangkrut mengorbankan angkatan kerja perempuan lebih banyak ketimbang laki-laki. Kaum perempuan lah yang menjadi korban terbesar dari kemiskinan dan kehancuran tenaga produktif (feminisasi kemiskinan) akibat penjajahan ini.
Deindustrialisasi juga menyebabkan terus meningkatnya angkatan kerja buruh migran perempuan, hingga mencapai 72% dari jumlah laki-laki dalam 10 tahun ini, di mana setiap tahunnya Indonesia mengirimkan 400.000 buruh ke luar negeri tanpa ada status hukum dan perlindungan yang jelas. Tingginya angka pengangguran perempuan juga dimanfaatkan oleh bisnis prostitusi dan pornografi, termasuk peningkatan jumlah pelacur. Jumlah pelacur anak saja mencapai 30%, dan setiap tahun 100.000 anak diperdagangkan.
Tak cukup sampai disitu, pendidikan dan kesehatan, yang merupakan landasan bagi kemajuan sumber daya manusia dan kemajuan suatu bangsa, semakin tak menjangkau perempuan. Semakin sulit pula bagi mayoritas kaum ibu untuk mendapatkan pelayanan kesehatan berkualitas yang murah, karena rumah-rumah sakit besar yang berteknologi tinggi, mayoritas dimiliki asing dan tidak bisa diakses oleh rumah tangga miskin. Program-program semacam Askeskin dan Gakin, selain tak mudah diakses perempuan, juga syarat pengurusannya semakin dipersulit; rumah sakit tetap meminta kontribusi; PT. Askes menunggak membayar klaim; obat-obatan yang diberikan adalah obat kelas dua yang lebih lama menyembuhkan daripada obat-obatan untuk pasien kaya. Menteri kesehatan, yang berjenis kelamin perempuan, tak punya keberanian untuk mengatasi persoalan ini, selain menyuruh masyarakat untuk bersabar dan memaklumi.
Perempuan juga merupakan lapisan masyarakat dengan tingkat melek huruf dan rata-rata sekolah paling rendah. Namun pendidikan berkualitas hanya menjadi milik rumah tangga-rumah tangga kaya. Sehingga masuk akal lah jika perempuan terjerumus ke dalam pekerjaan-pekerjaan yang rentan eksploitasi, kekerasan, pelecehan seksual, termasuk rela dipoligami karena tergantung secara ekonomi. Celakanya, bukan akar persoalannya yang diatasi (yaitu kemiskinan perempuan), tapi perempuannya yang dihukum. Perempuan menjadi objek yang disalahkan, dikejar-kejar, digaruk, bahkan dilecehkan dalam perda-perda syariah dan RUU pornografi.
Memang, beberapa kemajuan politik sudah ada, seperti kuota 30%, UU Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT), UU kewarganegaraan dan sebagainya, yang menjadi pembuka jalan bagi perjuangan kesetaraan perempuan (affirmative action) selanjutnya. Namun, tanpa mengatasi persoalan feminisasi kemiskinan yang bersumber dari rendahnya kualitas tenaga produktif perempuan, maka pekerjaan legislasi pun hanya akan menguntungkan segelintir elit perempuan yang bermimpi bisa merubah nasib perempuan tanpa gerakan massa perempuan.
Bangun Gerakan Massa Perempuan; Lawan Penjajahan Modal Asing
Hal yang paling menggembirakan adalah, kesengsaraan ini tidak lagi diterima dengan lapang dada. Itulah mengapa perlawanan (gerakan) spontan mulai merebak dan meningkat di mana-mana, bahkan kwalitasnya pun mulai meningkat―peningkatan GOLPUT, penjatuhan pimpinan daerah, dan sebagainya (apapun alasannya, GOLPUT adalah cermin tak adanya harapan akan alternatif).
Kaum perempuan Indonesia yang sedang melawan, mulai sadar, bahwa pemerintah dan seluruh partai-partai di parlemen tak bisa diharapkan lagi. Sehingga dengan sadar pula memulai berjuang untuk membangun kekuasaan baru; alat politik alternatif baru; yang bersih dari unsur-unsur sisa Orde Baru dan reformis gadungan. Hanya kekuatan seperti itulah yang lebih berkemampuan menjalankan kebijakan untuk mengangkat harkat dan kesetaraan sejati perempuan. Kekuasaan tersebut akan dibentuk bersama seluruh elemen rakyat yang juga sedang berjuang melawan penjajahan modal asing, yang akan bekerja untuk:
1. MEMENUHI TUNTUTAN-TUNTUTAN DARURAT RAKYAT, seperti kenaikan upah; harga murah; kesehatan dan pendidikan gratis; perumahan murah; makanan bergizi; pelayanan administrasi gratis; modal dan teknologi untuk pertanian; lapangan kerja, mencabut semua produk hukum yang menindas harkat perempuan, dan pembaruan lingkungan.
2. MENGAMBIL ALIH PERUSAHAAN TAMBANG, dan industri yang vital lainnya; MENOLAK PEMBAYARAN HUTANG LUAR NEGERI; mengadili dan menyita harta-harta koruptor sejak berdirinya Orde Baru, sebagai sumber-sumber pendapatan utama bagi kesejahteraan rakyat serta pembangunan industri nasional.
3. MEMBANGUN INDUSTRI NASIONAL YANG MODERN SEBAGAI LANDASAN MENINGKATKAN HARKAT KAUM PEREMPUAN. Alih teknologi, kenaikan upah, kesehatan dan pendidikan gratis, serta kontrol rakyat atas kerja-kerja produksi adalah landasan terbangunnya industri nasional. Dengan industrialisasi nasional, kaum perempuan menjadi pandai dan meningkat harkatnya. Lapangan pekerjaan yang membangkitkan produktivitas kaum perempuan akan bisa disediakan, sehingga ketergantungan ekonomi kaum perempuan terhadap laki-laki juga akan berkurang, dengan demikian, kadar kesetaraan yang lebih sejati dapat tercapai, sehingga akan mengurangi praktek poligami, perdagangan perempuan, kekerasan rumah tangga, hingga pelacuran. Anak-anak pun tidak akan terlantar dijalanan karena negara akan produktif dan memiliki uang untuk membangun tempat-tempat penitipan anak gratis di tempat kerja, dan taman-taman bermain untuk meningkatkan kreativitas anak.
Bila mobilisasi kekuatan politik gerakan yang spontan-ekonomis-fragmentatif bisa disatukan, yang statistik aksinya sudah puluhan per bulannya (dimana perempuan sering berada di garis terdepan dan paling militan), maka pergantian kekuasaan tidaklah mustahil dilakukan. Perjuangan pergantian kekuasaan di Bolivia dan Venezuela memberikan pelajaran pada kita, bahwa berjuang untuk sebuah kekuasaan baru dengan persatuan dan mobilisasi rakyat, tanpa kekuatan lama dan reformis gadungan, tidak mustahil dilakukan dan akan menguntungkan bagi perjuangan kaum perempuan.

Selamat Hari Ibu; bagi Kaum Ibu yang tak Lelah-lelahnya Berjuang!
Selamat Hari Raya Idul Adha, Natal, dan Tahun Baru 2008.

Jakarta, 19 Desember 2007

Vivi Widyawati
Koordinator

1 Oleh Presiden Soekarno melalui Dekrit Presiden No 316 tahun 1959.
2 di Yogyakarta, 22 Desember 1928.
3 Sejak berkuasanya Soeharto, dengan disyahkannya UU penanaman modal Asing 1967, dimulailah penjajahan modal asing di Indonesia; dan agar jangan ada gangguan terhadapnya maka gerakan politik perempuan diberangus hanya sebatas pendamping suami yang patuh. -- Komite NasionalJaringan Nasional Perempuan MahardhikaMobile. [62] [815-8946404] -- Komite NasionalJaringan Nasional Perempuan MahardhikaJl. Tebet Dalam 2G No.1Telp/Fax. 021-8354513Mobile. [62] [815-8946404]

Sabtu, 15 Desember 2007

Selalu Lirik-lirik lagu siptaan Piyu-Padi Menggetarkan dan reflektif,bukan melulu soal cinta yang biasa(h)!

Sang Penghibur
Ciptaan: Piyu

Setiap perkataan yang menjatuhkan
Tak lagi kudengar dengan sungguh
Juga tutur kata yang mencela
Tak lagi kucerna dalam jiwa
Aku bukanlah seorang yang mengerti
Tentang kelihaian membaca hati
Ku hanya pemimpi kecil yang berangan
Tuk merubah nasibnya
Oh..bukankah ku pernah melihat bintang
Senyum menghiasi sang malam
Yang berkilau bagai permata
Menghibur yang lelah jiwanya,
yang sedih hatinya
Yang lelah jiwanya,
yang sedih hatinya

Kugerakkan langkah kaki
Dimana cinta akan bertumbuh
Kulayangkan jauh mata memandang
Tuk melanjutkan mimpi yang terputus
Masih kucoba mengejar rinduku
Meski peluh membasahi tanah
Lelah, penat tak menghalangiku
Menemukan bahagia
Oh..bukankah ku pernah melihat bintang
Senyum menghiasi sang malam
Yang berkilau bagai permata
Menghibur yang lelah jiwanya,
yang sedih hatinya
Yang lelah jiwanya,
yang sedih hatinya
Yang lelah jiwanya…

Oh..bukankah ku bisa melihat bintang
Senyum menghiasi sang malam
Yang berkilau bagai permata
Menghibur yang lelah jiwanya…
Bukankah hidup ada perhentian
Tak harus kencang terus berlari
Kuhelakan nafas panjang
Tuk siap berlari kembali…
berlari kembali
Melangkahkan kaki…
menuju cahaya
(Bagai bintang yang bersinar, menghibur yang lelah jiwanyaBagai bintang yang berpijar, menghibur yang sedih hatinya)

Jumat, 14 Desember 2007

Waria Tuntut HAM


*Oleh: Ken Ratih Indri Hapsari S.Sos

Ada yang menarik dari demonstrasi pada momentum hari HAM (Hak Asasi Manusia) yang diperingati secara internasional pada tanggal 10 Desember lalu. Demostrasi di Ibukota Negara yang dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat, mulai dari sektor tani, kaum miskin perkotaan, buruh, aktivis gerakan, juga turut serta sekelompok waria yang menuntut ditegakkannya keadilan HAM di bumi Indonesia.
Tuntutan waria (atau wanita-pria) antara lain, diakuinya mereka sebagai manusia seutuhnya, sehingga tidak ada alasan untuk men-subalternkan/menyingkirkan kaum waria dari hak berpolitik, berorganisasi, bekerja, dan bersosialisasi maupun membangun relasi. Dan yang terpenting mereka menolak tegas Perda yang telah melarang dan membatasi waria untuk beraktifitas di tengah-tengah masyarakat.
Dalam pandangan masyarakat pada umumnya, waria merupakan penyakit seks atau kiondisi yang patologis sehingga harus diperangi sering dengan cara membabi buta. Waria distereotifkan negatif sama halnya dengan kaum gay, lesbian dan pelacur. Titik tolak penilaian yang sangat ditentutan oleh orientasi seksual ini yang menjadi sebab, sehingga apapun aktivitasnya, selalu waria terlihat aneh—bahkan terkadang seolah sangat menjijikkan.
Menurut Suzanne Staggenborg (Gender, Keluarga, dan Gerakan-Gerakan Sosial, 2003) dalam perjalanan sejarah dan dalam lintas budaya, ditemukan bahwa hubungan-hunbungan sesama jenis sudah lama ada. Identitas homoseksual yaitu, gay dan lesbian semakin pesat seiring dengan perkembangan kapitalisme dan peralihan dari masyarakat desa ke kota.
Pada awal abad dua puluh, di dunia barat, di kota-kota besar seperti Paris, Berlin, dan New York subbudaya homoseksual mulai tumbuh subur. Selama tahun 1920-an, kelompok Prohibition melakukan pembukaan kelab malam secara besar-besaran dan tempat nongkrong yang menjual minuman keras secara ilegal. Hal tersebut menarik perhatian laki-laki maupun perempuan kelas menengah ke atas dan kelas pekerja untuk mengunjunginya. Dalam kenyataanya, anggota kelas menengah di kota-kota mengambil bagian dalam menyebarluaskan hiburan-hiburan komersial lebih dari satu generasi, tapi orang-orang biasa membiarkan adanya eksperimen lebih jauh terhadap norma-norma publik dalam tingkah laku.
Pada perkembangannya, keingintahuan publik terhadap kaum homoseksualitas sangat besar di tahun 1920-an. Laki-laki gay sangat dicari untuk menjadi penghibur di kelab-kelab malam New York, seperti dalam acara “Heboh Waria”. Beberapa waria berakting di jalam dan tentu saja kehebohan merambat ke kota-kota lain. Kehebohan waria mendorong kelas menengah yang suka kelab menunjukkan “kelebihan” mereka dan mengambil jarak dari reformis moral “berfikiran sempit”. Hingga tema homoseksualitas menjadi tema populer pada tahun 1920-an fiksi diantaranya novel karya Ernest Hemingway.
Namun dalam konteks liberalisme seksual di tahun 1920-an terdapat ambivalensi besar dalam seksualitas sesama jenis, seperti terlihat, waria sering ditertawakan, ini menunjukkan pengkhianatan karena ada sebuah kesenangan dengan subbudaya gay sekaligus kecemasan terhadap masalah-masalah yang timbul sehubungan dengan peraturan-peraturan heteroseksual.
Arus balik menentang homoseksual pertama kali muncul selama masa depresi, yakni ketika banyak laki-laki yang dikeluarkan dari pekerjaan dan angka rata-rata perkawinan turun drastis sebagai akibat orang-orang muda banyak yang menunda perkawinan karena alasan-alasan finansial. Pada waktu itu para pendidik dan Rohaniawan cemas jikalau hal ini akan menimbulkan “penyelewengan” seksual, dan hilangnya sifat kelaki-lakian.
Fenomena tersebut relevan dengan analisa sang teroritikus revolusioner Foucault, yang menegaskan bahwa femininitas, maskulinitas dan seksualitas adalah “akibat praktek disiplin”, “the effect of discourse”. Maksudnya, menjadi perempuan atau laki-laki adalah murni kontruksi sosial—merujuk Foucault, adalah pendisiplinan yang ditegakkan oleh norma, agama dan hukum—dan tidak ada hubungannya dengan jenis kelamin.
Secara sosiologis, waria adalah suatu bentuk transgender. Maksudnya adalah mereka adalah kaum yang menentang konstruksi gender yang diberikan oleh masyarakat pada umumnya, yaitu laki-laki atau perempuan saja. Transgender disini mempunyai pengertian; perempuan yang terperangkap ke dalam tubuh laki-laki. Waria menentang konstruksi tersebut, yaitu secara fisik dia laki-laki namun dia berpenampilan perempuan. Peran-peran yang diambil pun peran-peran perempuan.
Menurut sejarah, maraknya waria sangat dipengaruhi oleh konteks peralihan sistem ekonomi, seperti contoh di atas, jadi transgender merupakan fenomena yang tidak lepas dari konteks sosial. Pada posisi ini waria, gay dan lesbian bahkan pelacur tidak boleh jika ditempatkan dan dipandang secara misoginis(jijik) serta menjadi bulan-bulanan segudang stereotif negatif yang pada akhirnya merampas hak asasi mereka sebagai manusia pada umumnya.

Sabtu, 08 Desember 2007

Opini Pilihan:

ERTSBERG MENGGUGAT
(SEBUAH REFLEKSI SEJARAH PROSES PENAMBANGAN DI DAERAH ERTSBERG PAPUA OLEH PT FREEPORT GOLD AND COPPER)

*Oleh: Sapto Raharjanto

Sistem kapitalisme global yang terjadi saat ini yang cenderung mengikis rasa kemanusiaan dan frame kebangsaan karena yang terpenting dari sistem ini ialah bagaimana sebuah penguasaan negara bahkan bagaimana penguasaan dunia yang tanpa batas oleh sebuah dominasi pasar,…dalam perspektif Marxisme yang mengungkap bahwasannya hal yang melekat terhadap kapitalisme ialah adanya meerwarde/nilai lebih yang hanya dinikmati oleh beberapa kelompok kartel besar layaknya sebuah sistem oligarkhi, proses ini bisa dilakukan dengan berbagai cara, seperti penjajahan, baik klasik maupun modern.
Secara teoritik, bentuk negara di bawah kekuasaan Orde Baru adalah sebuah negara otoriter birokratis yang juga berperan sebagai subordinat dari kepentingan ekonomi dan politik AS yang sangat berperan didalam proses pergantian kekuasaan di Indonesia pasca Soekarno. Pada fase ini berkembang jargon-jargon yang sifatnya Top down, seperti ide pembangunanisme. Dengan segenap instrument-instrument pendukungnya seperti militer dan juga berbagai macam budaya kekerasan pendukungnya seperti berlakunya label dan proses stigmatisasi dengan mengembangkan jargon politik: anti pembangunan, anti ideologi negara (Pancasila) dan berpaham komunis, OTB (Organisasi Tanpa Bentuk), GPK (Gerakan Pengacau Keamanan) dan lain sebagainya. Karena itu bukanlah kebetulan jika bentuk negara otoriter birokratis ini didukung penuh oleh kekuatan militer. Derasnya arus investasi modal asing beserta berbagai produk dan imbasnya ikut meramaikan Orde ini dikarenakan adanya sebuah legitimasi serta perlindungan dari penguasa seperti adanya UUPMA 1967 serta berbagai penandatanganan kontrak karya yang merupakan contoh mutlak dari adanya sebuah legitimasi negara terhadap investasi modal asing.
Berbagai macam produk perundang-undangan di atas adalah merupakan sebuah legalitas bagi masuknya investasi asing. Tidak dapat dipungkiri bahwa Negara-negara yang melakukan investasi tersebut pastinya mempunyai hidden motive. PT. Freeport Indonesia yang beroperasi di Papua adalah perusahaan multinasional milik Amerika Serikat dimana pada tahun 1967 setelah jatuhnya pemerintahan Soekarno yang anti Barat, Freeport Gold and Copper melakukan penjajakan investasi ekonomi. Penjajakan investasi itu dilakukan Freeport untuk menambang tembaga terbesar di dunia yang terdapat di Ertsberg, daerah pegunungan tengah Papua.
Kepastian mengenai adanya tambang tembaga terbesar itu dibuktikan oleh Forbes Wilson, seorang geolog AS, melalui sample geologis Ertsberg yang ditelitinya pada tahun 1960. Berawal dari sinilah muncul kepentingan ekonomi politik AS. Dan untuk menjaga eksistensinya, pada tahun 1962 AS mengadakan sebuah pertemuan rahasia di Roma yang dihadiri wakil-wakil Indonesia dan Belanda dan berhasil dibuat The Secret Rome Agreement. Dimana salah satu isi dari perjanjian tersebut disebutkan bahwa AS berkewajiban melakukan investasi melalui badan usaha di Indonesia bagi eksplorasi mineral dan sumber daya alam lainnya. Hal ini yang kemudian menjadi inti dari semua masalah yang melatarbelakangi kepentingan ekonomi politik AS mengenai Papua. Emas dan batubara yang merupakan hasil penambangan dari Freeport sudah puluhan ton dieksplorasi dan di bawa untuk kepentingan AS.
Imbas dari penambangan besar-besaran di wilayah ini ialah adanya pencemaran dan pengrusakan Sungai Ajkwa oleh limbah B3 (Bahan Beracun Berbahaya) yang telah mencapai Laut Arafura. Akibatnya, sejumlah spesies telah punah karena keracunan. Penduduk Papua yang sebenarnya dapat menikmati hasil dari eksplorasi sumber alamnya, malah tetap dalam kondisi yang stagnan. Sehingga tak ayal lagi kemiskinan semakin melilit ditambah lagi dengan kerusakan dan kehancuran lingkungannya. Selain hal tersebut daerah Papua menjadi sebuah wilayah yang rawan konflik, dimana sampai saat ini belum ditemukan jalan terbaik mengenai penyelesaian konflik tersebut dikarenakan permasalahan di Papua bukan hanya sekedar masalah politik, tetapi merupakan konflik multidimensi di segala aspek kehidupan sosial masyarakat. Masalah-masalah tersebut seperti pelanggaran HAM yang kronis, kemiskinan penduduk yang merupakan peringkat pertama di Indonesia, pengembangan sumber daya manusia yang stagnan, operasi dan agresi militer yang tiada henti, korupsi, pembalakan liar, perusakan lingkungan yang parah, dan pencurian sumber-sumber ekonomi rakyat.
Dapat disimpulkan, AS sendiri memiliki hidden motive dari semua peristiwa politik di Indonesia pasca kejatuhan Soekarno (termasuk bagaimana AS melakukan intervensi dalam masalah-masalah yang sedang terjadi di Indonesia seperti keterlibatan AS didalam pergantian kekuasaan di Indonesia pada pertengahan dekade 60-an) karena sejak awal dekade 60-an AS sudah berminat untuk mengeksploitasi tembaga dan emas di Papua.

Namun kerjasama ekonomi antara pemerintah dan PT Freeport ini malah semakin memperparah masalah, karena kerjasama yang dilakukan oleh elite pemerintah yang terkenal dengan budaya KKN-nya dengan PT. Freeport yang adalah milik AS lebih membawa keuntungan bagi kepentingan segelintir elite pemerintah karena ada dugaan bahwa PT Freeport menyuap beberapa pejabat sipil dan militer Indonesia demi kelangsungan investasinya. Sedangkan nasib rakyat Papua yang semakin terpuruk akibat dari kemiskinan, pengembangan sumber daya manusia yang stagnan, operasi militer yang tiada henti, korupsi, pembalakan liar, perusakan lingkungan yang parah, dan pencurian sumber-sumber ekonomi rakyat sering berujung pada pertikaian dan konflik sosial, di mana rakyat Papua berusaha menuntut apa yang menjadi hak milik mereka sebagai reaksi dari ketidakadilan yang dilakukan oleh Freeport dan pemerintah Indonesia yang tidak melakukan tindakan hukum apapun maupun perbaikan dari kerusakan dan kehancuran ekonomi rakyat serta lingkungan hidup di tanah Papua.

*Peneliti
Centre of Local Economy And Politics Studies, Jember

Minggu, 02 Desember 2007

Pedagang Pasar Tradisional Tolak Carrefour


TANGERANG -- Sekitar 500 pedagang Pasar Cileduk, Kota Tangerang, berunjuk rasa di halaman Gedung Pusat Pemerintah Kota Tangerang, Kamis (15/11). Mereka menolak keberadaan Carrefour di CBD Cileduk. Pasalnya, pusat belanja tersebut terletak tepat di depan pasar tradisional Cileduk, Jalan Raya Cileduk, Kota Tangerang.
"Kami menolak keberadaan Carrefour di CBD," kata Ketua Koperasi Pasar Cileduk, H Tb Hasan. Carrefour dinilai para pedagang hanya akan mematikan pendapatan pedagang pasar tradisional tersebut. Hasan mengungkapkan, jika pasar tersebut tetap dipaksakan dibuka, maka para pedagang di Pasar Cileduk akan gulung tikar.
Seorang pedagang, Ngadiran, menyatakan, keberadaan Carrefour tersebut menyalahi beberapa aturan. Menurut Ngadiran, salah satunya, yaitu Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Perindustrian dan Perdagangan 145/MPP/Kep/5/1997 dan nomor 57 tahun 1997 tentang Penataan dan Pembinaan Pasar dan Pertokoan.
Aturan tertanggal 12 Mei 1997 tersebut, ujarnya, menyebutkan, jika keberadaan supermarket harus berjarak 2,6 kilometer dari pasar tradisional. Tetapi, letak supermarket ini tepat berada di depan lokasi pasar tradisional dan hanya berjarak sekitar 24 meter. Untuk itu, Ngadiran juga mempertanyakan pemberian izin. "Ko' bisa dikasih izin?" tanyanya.
Dia mengungkapkan, pihaknya bukannya tidak pernah menempuh jalur diplomatis guna menyelesaikan masalah ini. Para pedagang, sebut Ngadiran, sudah melakukan upaya perundingan dengan pihak CBD sejak Maret lalu. Bahkan, pihak DPRD Kota Tangerang juga memfasilitasi pertemuan tersebut. "Tapi, enggak ada solusinya."
Jika Carrefour ngotot tetap beroperasi, maka pedagang minta beberapa syarat. Carrefour harus menutup akses masuk melalui Jalan Raya Cileduk atau di depan Pasar Cileduk. "Harus lewat jalan lain, entah dari mana," imbuhnya. Jika persyaratan tersebut tidak juga dipenuhi, maka para pedagang akan melakukan penyegelan dan menduduki Carrefour jika tetap diresmikan pada 1 Desember mendatang.
"Itu upaya terpahit. Kami masih membuka jalur komunikasi," imbuh Ngadiran. Selain itu, para pedagang juga akan melakukan upaya hukum atau gugatan terhadap pihak Carrefour. Para pengunjuk rasa berdemo mulai pukul 11.00 WIB. Mereka membentangkan spanduk dan beberapa karton. Mereka berorasi selama lebih dari satu jam. Setelah itu, beberapa perwakilan mereka diterima Komisi C DPRD Kota Tangerang. Wawan Tavip Budiawan mengatakan, pihaknya akan melakukan memfasilitasi mediasi dengan Carrefour. "Akhirnya, menyepakati akan melakukan mediasi dengan Carrefour," kata anggota DPRD dari Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.

Mengejar Mas-Mas



Jenis Ulasan: Film
Isi Ulasan:
Genre: Drama/KomediDurasi: 105 Menit
Sutradara: Rudi Sudjarwo
Cerita & Penulis Skenario: Monty Tiwa
Pemain Dinna Olivia sebagai Ningsih, Dwi Sasono sebagai Parno, Poppy Sovia sebagai Shanaz, Ira Wibowo sebagai Linda (Mama Shanaz), Roy Marten sebagai Ridwan (Papa Shanaz), Elmayana Sabrenia sebagai Wardah, Eddie Karsito sebagai ToyoMarcell, Anthony sebagai Mika

Sutradara Rudi Sudjarwo kembali berduet dengan Monty Tiwa untuk film terbarunya yang berjudul Mengejar Mas-Mas. Seperti biasa, Monty Tiwa bertanggung jawab untuk urusan penulisan skenario, sementara Rudi Sudjarwo memegang posisi sutradara. Sama seperti film Rudi dan Monty sebelumnya yang berjudul Mendadak Dangdut, begitupun juga dalam Mengejar Mas-Mas, dimana kesamaan cerita mengenai benturan kelas sosial ekonomi dalam masyarakat Indonesia, ditonjolkan cukup lugas dalam film ini.
Berkisah mengenai Shanaz (Poppy Sovia), gadis remaja ibukota yang melarikan diri ke Jogjakarta setelah bertengkar keras dengan Linda, mamanya (Ira Wibowo) mengenai rencana keinginan Linda untuk menikah kembali. Shanaz merasa bahwa sang mama tidak menghormati papanya (Roy Marten) yang baru saja meninggal delapan bulan yang lalu.
Merasa tidak ada tempat untuk mencurahkan isi hatinya, Shanaz memilih lari dari rumah untuk menyusul Mika (Marcell Anthony), sang kekasih yang sudah berada di Jogjakarta untuk mendaki gunung. Sial bagi Shanaz, ketika sampai di Jogja, Mika telah naik ke gunung sehari lebih cepat dari yang dijadwalkan.
Terlunta-lunta di Jogja, Shanaz tanpa sengaja memasuki daerah pelacuran Pasar Kembang, dimana Shanaz bertemu dengan Ningsih (Dinna Olivia), seorang pelacur asal Madiun. Ningsih yang baik hati merelakan Shanaz untuk tinggal di tempat kost-nya, yang berbeda lokasi dari tempat pelacuran. Di tempat kost ini, Ningsih mengaku dosen kepada suami istri pemilik kost yaitu Pak Toyo (Eddie Karsito) dan Wardah (Elmayana Sabrenia).
Tinggal di tempat kost tersebut, memperkenalkan Shanaz dengan beberapa orang di lingkungan tersebut, termasuk Parno (Dwi Sasono), seorang pengamen campur sari yang selama ini menaruh hati terhadap Ningsih. Parno pada dasarnya adalah pemuda yang baik, namun lambat laun mulai menaruh hati terhadap Shanaz. Terlebih juga Shanaz yang cuek diam-diam mulai terajut rasa suka terhadap diri Parno. Persoalan menjadi cukup rumit karena ternyata Ningsih juga masih menyimpan hati kepada Parno. Sehingga kisah cinta antara mereka, tampil cukup menarik dalam film ini.
Mengomentari Mengejar Mas-Mas, film ini mempunyai nilai lebih yang kuat ketika berkutat pada budaya lokal, sebut saja budaya Jogjakarta yang menjadi tempat utama film ini. Pujian dapat dilayangkan kepada Monty Tiwa yang berhasil menghadirkan ide cerita yang orisinil serta dialog-dialog yang sering kita temui dalam kehidupan kita bermasyarakat. Kata-kata berbahasa Jawa yang terdapat di beberapa adegan film terasa menambah daya tarik dalam film ini, ditambah selipan budaya lokal yang coba diangkat lewat sosok beberapa tokoh dalam film yang sangat kental dengan kelokalan budaya Jawa, khususnya Jogjakarta.
Sutradara Rudi Sudjarwo yang klop dengan Monty Tiwa, berhasil mentransformasikan skenario Monty Tiwa menjadi film yang sangat menarik untuk ditonton. Walaupun tidak semuanya, namun aroma khas Jogjakarta cukup terwakili lewat beberapa shoot-shoot yang menampilkan tempat-tempat khas Jogjakarta mulai dari adegan dimana Shanaz berjalan di pelataran Malioboro serta mengambil gambar Benteng Vrederbug. Terlebih Rudi Sudjarwo juga berhasil menampilkan area gang lokalisasi pelacuran pasar kembang.
Selain itu, Rudi juga dapat dikatakan cukup selektif dalam memilih karakter-karakter pemain dalam film ini. Peran Ningsih yang dimainkan oleh Dinna Olivia cukup kuat pas, Peran Parno sebagai penyanyi campur sari yang diemban Dwi Sasono juga cukup pas, serta pemilihan Poppy Sovia yang cuek, cerminan remaja ala MTV, terlihat cocok dalam memerankan sosok Shanaz.
Mengomentari akting para pemain, porsi pujian terbesar rasanya pas dialamatkan kepada Dinna Olivia yang berhasil tampil menawan dalam film ini dibandingkan pemain lainnya. Dinna berhasil mengubah dirinya layaknya seorang PSK/pelacur dengan cukup gemilang. Tidak hanya itu, ucapan-ucapan serta bahasa Jawa yang seringkali keluar dari mulutnya dalam adegan film terasa tidak kaku. Walaupun sebelumnya Dinna Olivia, mengaku bahwa menggunakan bahasa jawa merupakan salah satu hal tersulit dalam perannya sebagai Ningsih.
Benturan kelas sosial yang terjadi dalam film ini, memang tdak jauh berbeda seperi kisah dalam film Mendadak Dangdut yang juga dibuat oleh Rudi Sudjarwo dan Monty Tiwa. Bedanya, kalau Mendadak Dangdut serang penyanyi Pop terkenal harus hidup miskin dengan menjadi penyanyi dangdut antar kampung, kali ini dalam Mengejar Mas-Mas seorang remaja yang berasal dari kelas atas harus terdampar pada tempat masyarakat kelas bawah dan terlebih berada tidak di Ibukota.
Realita sosial tersebut berhasil tergambar dengan baik dalam film ini. Indonesia yang dalam kondisi terpuruk berhasil digambarkan oleh Rudi dan Monty. Mulai dari bagaimana Parno seroang pemuda dewasa yang sulit mencari pekerjaan sehingga harus rela hanya menjadi seorang pengamen campur sari dan juga terlihat dalam sosok Ningsih yang terhimpit kondisi ekonomi harus mengalami kenyataan pahit, yaitu menghidupi dirinya sebagai pelacur. Sosok Parno dan Ningsih dapat kita temui dengan mudah di lapisan masyarakat bawah pada saat ini.
Cukup menarik adalah penggambaran perilaku masyarakat kita yang dangkal, yang memilih menghujat atau mengucilkan orang-orang seperti Ningsih yang hidup sebagai pelacur. Mengambil contoh Ningsih, Masyarakat seringkali berpikir bahwa hidup sebagai pelacur adalah pilihan. Padahal yang sebenarnya, hal tersebut terjadi karena kemisikinan yang tidak berhasil diselesaikan oleh Negara yang kaya-raya ini, sehingga munculah pelacuran. Seperti yang kita ketahui bahwa, pelacuran merupakan salah satu anak kandung dari kemisikinan. Dari kaca mata saya sebagai penonton film Mengejar Mas-Mas, Rudi Sudjarwo serta Monty Tiwa berhasil menggambarkan realita tersebut dalam film ini.
Berbicara kelebihan film yang telah diutarakan di atas, tentunya film ini tidak luput dari beberapa kekurangan. Beberapa adegan cukup menganggu lewat cukup kuatnya goyangan-goyangan kamera dalam beberapa adegan. Walaupun hal tersebut dapat kita temui dalam film-film Rudi Sudjarwo sebelumnya, sehingga bisa saja Rudi menjadikan itu salah satu ciri khas-nya dalam membuat film. Kelemahan lain dalam film ini, beberapa dialog bahasa Jawa tidaklah diberikan teks bahasa Indonesia. sehingga hal tersebut tentunya dapat menyulitkan penonton yang tidak mengerti bahasa Jawa.
Secara keseluruhan, film ini tampil segar untuk para penonton Indonesia yang cukup bosan dengan tema horror “itu-itu saja” yang mendominasi film nasional. Ide cerita yang orisinil serta cukup kuatnya budaya lokal yang tersaji dalam film ini cukup baik. Yang tak kalah menarik beberapa lagu soundtrack yang dinyanyikan langsung oleh Monty Tiwa, serta alunan lagu bahasa Jawa yang dinyanyikan oleh penyanyi Geng Kobra asal Jogja, menambah menarik film ini. Selamat Menyaksikan !!!