Jumat, 19 Oktober 2007

Pemuda Miskin Dilarang Menikah!

Terkuaknya skandal seks beberapa anggota dewan membuat wajah wakil rakyat semakin memburuk. Hal ini sekaligus menambah citra negatif orang-orang yang katanya adalah wakil rakyat. Lebih dari itu moralitas para pemimpin bangsa dan politik kita menjadi diragukan.
Sangat ironis, para anggota DPR yang pernah melontarkan diberlakukannya UU APP (Undang-undang Anti Pornografi dan Pornoaksi) sekarang justru ketahuan sebagai pelaku pornografi dan pornoaksi. Gaya hidup bebas nampaknya justru menjadi keseharian wakil rakyat kita, bukan dimiliki oleh rakyat yang hidup dalam situasi serba kekurangan dan tertekan oleh kebutuhan-kebutuhan ekonomi, juga pemuda-pemudi kita yang berbaris dalam sejarah pengangguran. Jadi kalau selama ini banyak lontaran-lontaran tentang terjadinya seks bebas di kalangan kaum muda, ternyata hal ini sudah terbantahkan dengan terkuaknya kasus skandal seks wakil rakyat kita

Sementara kita tahu anggota dewan selama ini memiliki gaji yang berlimpah beserta tunjangan-tunjangan yang lebih terkesan mengada-ada yang memungkinkan mereka untuk dapat hidup bersenang-senang. Rakyatpun tidak tahu apa yang dilakukan oleh wakil rakyat dalam kesehariannya, di luar kerjanya sebagai pejabat publik yang mewakili rakyat. Sangat mungkin, dalam kesehariannya semakin banyak pejabat publik kita yang menjalani gaya hidup yang tidak bermoral. Tetapi perlu diingat bahwa wakil rakyat itu dapat bersenang-senang setelah mendapatkan gaji yang didapat setelah mereka menjual nama rakyat yang konon diperjuangkan.

Hal itu sekaligus menggambarkan budaya politik kita yang kian jauh dari nilai kerakyatan. Pada masa pemilu, rekrutmen politik dilakukan dan wakil rakyat seakan menjadi tumpuan harapan bagi nasib rakyat yang kian sengsara. Ternyata, sistem politik yang didominasi oleh kepentingan kaum modal (pengusaha) juga telah membuat wakil rakyat lupa setelah sekian lama duduk di atas kursi yang mendatangkan banyak uang. Uang didapat dari lobi-lobi dengan berbagai kepentingan kaum modal yang berusaha masuk melalui keputusan politik di DPR.

“Wakil rakyat” yang kompromis dengan kepentingan faksi-faksi modal itu memang akan banyak mendapatkan uang, selain mereka sudah dibayar oleh negara atas jabatannya. Inilah yang membuat gaya hidup para “wakil rakyat” mulai berubah. Mereka bukan hanya sering berinteraksi dengan para pengusaha dalam kesehariannya, tetapi juga mulai berkenalan dengan para penghibur, penyanyi, artis-selebritis, dan kalangan-kalangan kelas atas lainnya.Para pejabat publik ini juga semakin lupa diri. Mereka tidak lagi mendasarkan tindakan politiknya untuk menjawab permasalahan-permasalahan yang dialami rakyat. Padahal permasalahan kesjahteraan yang tidak pernah diperjuangkan akan membuat kehidupan rakyat semakin diwarnai dengan permasalahan-permasalahan kebudayaan. Masalah seks bebas memang sudah menggejala di negeri ini. Penyebabnya antara lain terjadinya gaya hidup liberal yang dipengaruhi oleh sistem ekonomi pasar bebas. Kaum adalah kalangan yang paling banyak terkena imbas dari maraknya gaya hidup liberal. Kaum muda yang dalam fase pencarian jati diri akan mudah sekali terbawa arus. Terlebih dengan semakin menjamurnya café-café yang tak lain adalah dunia malam yang rawan pergaulan bebas juga tersebar melalui media TV yang sering menyuguhkan kehidupan para selebritis, dimana gaya hidupnya berganti-ganti pasangan serta kawin cerai merupakan wacana-wacana yang merangsang kebutuhan seksual dan kesenangan yang sifatnya pragmatis. Belum lagi permainan para selebritis dalam film biru yang sekarang dengan mudah dapat diakses oleh para remaja—bahkan anak di bawah umur—berkat kemajuan teknologi yang jauh dari kontrol lembaga keluarga semacam internet dan ponsel yang dilengkapi kamera serta video yang bisa diputar dimanapun.

Sebenarnya tidak semua mahasiswa melakukan seks bebas, namun jika tayangan-tayangan budaya terus meneror setiap detik, jam, hari dan setiap waktu dengan berbagai macam cara dan budaya yang mendukung, walhasil kondom menjadi terbeli dan dibutuhkan, karena mental kita diubah, kita dibujuk dan dikondisikan melalui penyebaran benda-benda tersebut untuk kepentingan mereka, supaya untung dan modalnya bertumpuk. Kebutuhan kita bukanlah kebutuhan fungsional, kita beli bukan hanya karena butuh. Kebutuhan kita—menurut Herbert Marcuse—adalah kebutuhan palsu, semu (false need) yang direkayasa orang lain.

Yang paling menderita adalah kaum miskin yang sama sekali tidak siap untuk memenuhi ekonominya, juga kaum muda yang menganggur. Jika pemuda dari kalangan kaya mampu merayakan hidup bebas dan melakukan berbagai pesta seks yang kadang tak lagi disembunyikan, kaum muda miskin seringkali hanya menjadi korban kebudayaan dengan tanggungan psikologis yang cukup besar. Ketika TV-TV, media cetak, dan bahkan film-film porno (secara diam-diam) bertebaran di kalangan kaum muda melampaui batas kelas, maka sebenarnya ideologi seks bebas telah menjadi landasan masyarakat dalam memandang orang lain. Kaum perempuan biasanya menjadi korban, karena tayangan di film porno, TV, dan gambar-gambar (foto-foto) di media-media itu justru menempatkan perempuan sebagai objek seksual.Kita seringkali munafik terhadap persoalan seksualitas ini. Kita tidak bisa melarang orang untuk tidak menjalin hubungan sebagaimana hakikat mereka sebagai homo seksualis (makhluk seksual). Di kalangan kaum miskin (pemulung, pengemis, gelandangan) di sudut-sudut kota yang hidup secara bersama di bawah jembatan layang atau di rumah-rumah pinggir rel kereta api, mereka banyak yang melakukan hubungan seksual dan melahirkan anak tanpa pernikahan karena untuk mengurus pernikahan (legal) mereka tidak memiliki biaya. Namun bagaimanapun mereka tak ubahnya seperti keluarga umumnya karena saling berbagi atap (rumah), meja makan, makanan, uang, bahkan emosi. Kita tidak bisa melarang mereka sebagaimana kita juga tidak pernah mampu menggugat gaya hidup artis-selebritis yang dengan mudah berganti-ganti pasangan, kumpul kebo, dan melakukan pernikahan hanya sekedar untuk memamerkan baju-baju bagus dan pesta besar. Ada kemunafikan di otak dan hati kita dalam melihat masalah seks bebas ini.***
Dimuat di Hatian Batam Pos tanggal 11 Desember 2006

Kamis, 18 Oktober 2007

ReuNi


Lebaran di kampung halaman kali ini sangat menyenangkan. Selain berjumpa orang tua dan sanak saudara juga yang bertemu dan melepas rindu dengan kawan-kawan semasa SD, SLTP maupun beberapa kawan SMU. Kawan-kawan SD yang saat ini kebanyakan bekerja sebagai buruh kontrak di pabrik-pabrik di kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung dan Tanggerang maen ke rumah. Wah, kangen banget, pasalnya hampir 2 tahun tidak jumpa. Maka perjumpaan itu kami bertukar cerita, bertukar pengalaman dan yang terpenting kami saling menguatkan.
Bekerja sebagai buruh, tinggal di kota yang asing dan jauh dari keluarga...aaah siapa yang lebih mandiri dan dewasa dibanding mereka kawan-kawanku dari kampung halaman 'Desa Dewi'. Bagaimanapun aku menaruh kekaguman yang luar biasa, aku sadar bahwa pengalaman hidupku tidak seheroik mereka yang betul-betul dihadapkan pada kenyataan hidup untuk mati-matian bekerja dan bahkan menghidupi keluarga di desa. Itu semua harus dibayar dengan peluh kerja keras berangkat subuh pulang petang dan was-was jika tiba waktu masa kontrak kerja habis.
Yach, aku bukanlah siapa-siapa..aku memang sering bersedih dan menangis, tapi kualitas sedih dan airmataku tak mungkin sedasyat mereka. Aku mungkin memang berkesempatan berteori dan berteriak-teriak tentang ketidakadilan, tapi penderitaanku kusadari lebih remeh dibanding penderitaan mereka. Dan tersadarlah aku...bahwa aku lebih bodoh mengerti tentang hidup, karena kenyataannya mereka telah merasai lebih banyak asin, manis dan pahit kehidupan dengan takaran yang jutaan lebih banyak dibandingkan denganku.
Lalu, tanggal 16 Oktober 2007 tepatnya hari selasa alumni SLTP N 1 Kutoarjo mengadakan reuni di rumah Agung. Kami semua tambah endut..ha...3x. Dan kawan-kawan juga tidak terlalu serius seperti waktu SMP (konon SLTP berstandar Internasional loh.Hiiingeri3x!). Acara reuni berjalan santai, ada beberapa yang sudah menikah, tapi dominan masih lajang. Kawan-kawan SMP ngeri-ngeri, beberapa ada yang kuliah dengan biaya sendiri. Mereka antara lain studi di STAN (Sekolah Tinggi Ilmu Akuntansi), IPB, UNJ, UNY, UNS, UNDIP, UNSOED dll. Klo dihitung jarak, aku yang paling jauh memilih tempat kuliah.
Setelah acara reuni selesai, kami beramai-ramai mengunjungi alm. Heni (kawan sebangku ketika kelas 1&2). Kunjungan tersebut bertujuan menjalin tali persaudaraan dengan keluarga Heni. 3 tahun lalu Heni menggal dengan cara bunuh diri menengguk beberapa botol baygon cair..entah apa alasan ia melakukan hal tersebut, kami berdoa (berharap) dimanapun Heni berada semoga kini ia merasa lebih tenag dan bahagia. Amin.
Ah, aku tersadar bahwa kami sudah harus memupuk masa remaja yang ambisius semasa SMP kini harus menjadi pemuda yang besemangat dan sadar lebih dini tentang hidup dan bagaimana menjalani hidup sebagaimana mestinya manusia yang bertanggung jawab. Semoga kenangan manis ini akan terus berlanjut:ReuNi yang lebih indah dan mengesankan.

Rabu, 10 Oktober 2007

Opini Pilihan

OPERATOR SELULER DAN PEMBANGUNAN DAERAH TERTINGGAL:

MEMBANGUN KARAKTER OPERATOR SELULER

SEBAGAI AGEN PEMBANGUNAN BANGSA


Oleh: Eko Prasetyo Dharmawan

Latar Belakang
Dalam khasanah ilmu sosial, dikenal konsep agen sosial. Yang dimaksud dengan ‘agen sosial’ itu ialah individu atau kelompok sosial yang sadar akan interaksi dirinya dengan dunia sosialnya, dan kemudian secara sadar bertindak secara tertentu agar konsekuensi yang diinginkannya bisa tercipta. Konsep ‘agen sosial’ ini dihadirkan sebagai pembeda dari individu-individu atau kelompok-kelompok sosial yang tak sadar dan tak memahami kaitan antara tindakannya dengan konsekuensinya terhadap dunia sosial. Golongan yang kedua ini tak sadar betapa setiap tindakannya senantiasa memiliki dampak atau konsekuensi terhadap dunia sosialnya, dan dengan demikian tak sadar akan kemampuannya untuk menciptakan realitas sosial yang tertentu. Karena lupa akan kemampuannya untuk menciptakan realitas sosial itu, maka kemampuannya untuk menciptakan realitas sosial menjadi tak berkembang, menjadi kerdil. Sementara ‘agen sosial’, karena sadar akan kemampuannya untuk turut mempengaruhi berlangsungnya proses sosial, maka secara sadar pula dia akan terus-menerus mengembangkan kemampuannya untuk bisa semakin efektif membentuk dunia sosial seperti yang diinginkannya. Karena kemampuan yang semakin efektif itu selalu menciptakan karakter diri yang kuat, maka otomatis ‘agen sosial’ selalu punya karakter pribadi dan kerja yang kuat. Itulah sebabnya, bangsa-bangsa yang maju selalu terdiri atas individu-individu maupun lembaga-lembaga yang punya karakter kuat. Termasuk lembaga-lembaga usahanya. Karakter yang kuat ini menjadikan bangsa-bangsa yang maju bisa tumbuh menjadi bangsa yang digerakkan oleh sedemikian berlimpah agen-agen sosial yang terus-menerus secara sinergis membangun dunia sosialnya. Mereka sadar bahwa keruntuhan sosial-ekonomi masyarakat adalah juga keruntuhan sosial-ekonomi seluruh bagian di dalamnya, termasuk unsur dunia usaha. Sebaliknya, kemajuan sosial-ekonomi masyarakat akan juga berarti kemajuan dari seluruh bagiannya, termasuk dunia usaha. Tak ada dunia usaha yang bisa lestari berdiri jika daya beli masyarakatnya terus merosot.
Hukum sosial yang sama juga berlaku di seluruh dunia. Bangsa yang besar selalu berisikan agen-agen sosial yang dinamis dan sinergis, sementara bangsa-bangsa yang terbelakang selalu berisikan individu dan kelompok sosial yang saling parasit dan menghambat satu sama lain. Pertanyaannya ialah: termasuk bangsa yang manakah bangsa Indonesia?
Dalam proses pembangunan sekian lama, tak bisa diingkari masih ada persoalan pembangunan di negeri ini. Di antaranya ialah masih adanya daerah-daerah tertinggal, yang jika dibandingkan dengan dinamika kehidupan kota-kota besar, seolah-olah tertinggal sekian puluh tahun jaraknya. Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (KPDT) sendiri menggunakan enam kriteria untuk mengukur ketertinggalan suatu daerah (kabupaten) dengan daerah lain, yaitu kondisi ekonomi, sosial masyarakat, infrastruktur, keuangan, pemerintahan, dan geografis wilayah. Dari kriteria tersebut digunakan indikator-indikator kemiskinan, indeks pembangunan manusia, infrastruktur, celah fiskal, aksesibilitas, dan karakteristik wilayah. Berdasarkan kriteria dan indikator di atas, KPDT menetapkan 199 kabupaten yang tergolong tertinggal di 31 provinsi. Penyebaran daerah tertinggal terutama masih di Kawasan Timur Indonesia (KTI) sebanyak 123 kabupaten (62%), Sumatra 58 kabupaten (29%), dan Jawa Bali 18 kabupaten (9%).
Aspek infrastruktur sendiri meliputi di antaranya ketersediaan jalan, alat komunikasi, pasar, listrik, perbankan dan sebagainya. Dengan kata lain, daerah-daerah tertinggal adalah daerah yang menghadapi permasalahan di bidang ketersediaan infrastruktur. Salah satu infrastruktur yang vital bagi dinamika pembangunan ekonomi di daerah tentu saja ialah jaringan telekomunikasi. Jika hubungan komunikasi antara daerah tersebut dengan daerah lain begitu sulit, bagaimana mungkin pengusaha-pengusaha dari luar daerah akan tertarik untuk berbisnis di daerah tersebut? Selain itu, jika hubungan komunikasi begitu sulit, bagaimana mungkin wawasan dan aktivitas masyarakat di daerah tersebut akan bisa dinamis dan berkembang?
Di era dimana aktivitas ekonomi telah begitu menyatukan berbagai ruang dan waktu, daerah-daerah tertinggal seperti ketinggalan kereta. Hanya tergagap dan menjadi penonton pasif dari arus ekonomi yang luas. Berharap menunggu tetesan kue ekonomi. Situasi ini tentu tak sehat bagi kemajuan ekonomi bangsa secara keseluruhan. Kesenjangan yang begitu besar akan mudah melahirkan begitu banyak problem sosial dan ekonomi. Bahkan politik dan keamanan. Karena itu, sudah saatnya situasi ini diubah.
Membangun ketersediaan jaringan telekomunikasi merupakan salah satu kerja yang bisa dilakukan untuk mempercepat pembangunan daerah tertinggal. Di sinilah peran operator seluler sebagai penyedia jasa layanan komunikasi seluler sangat vital. Tulisan ini akan membahas secara garis besar strategi apa yang bisa dilakukan oleh operator seluler dalam perannya sebagai agen sosial dalam pembangunan bangsa, terutama dalam hal percepatan pembangunan daerah tertinggal. Selain strategi, juga dirumuskan filosofi apa yang mungkin bisa diadopsi oleh operator seluler dalam menjalankan perannya sebagai agen pembangunan bangsa.

Filosofi dan Strategi Operator Seluler dalam Percepatan Pembangunan Daerah Tertinggal
“Bambang Riyadhi Oemar, Ketua Asosiasi Telepon Seluler Indonesia (ATSI), mengatakan sampai akhir Maret 2007 pengguna ponsel di Indonesia telah mencapai 75 juta. Hal ini, ujarnya, adalah peningkatan dari perhitungan terakhir di 2006 yang mencapai 70 juta,” demikian isi berita di situs Detikinet.com Rabu 27 Juni 2007. Jumlah itu sungguh luar biasa besar. Apa yang bisa kita tangkap dari besarnya jumlah pengguna ponsel itu, terutama jika dikaitkan dengan proses pembangunan ekonomi bangsa, dan terutama dengan proses pembangunan daerah tertinggal?
Dalam iklim ekonomi yang sedemikian cepat dan dinamis ini, penggunaan sarana komunikasi yang memungkinkan orang saling berhubungan secara cepat dan mobile sungguh amat vital. Telepon seluler bukan saja memungkinkan orang untuk bisa berkomunikasi secara cepat dan mobile, namun juga bisa terus-menerus memonitor, bahkan mengontrol usahanya dari manapun dan kapan pun. Ruang kantor dan waktu kerja tiba-tiba saja meluas. Tak terbatas dinding gedung kantor maupun jam kerja kantor. Kekuatan yang dimiliki oleh penggunaan telepon seluler sungguh mengagumkan, sehingga siapapun yang berusaha berbisnis dengan meninggalkan telepon seluler akan dengan perlahan atau cepat akan kalah bersaing dengan pesaing-pesaingnya yang menggunakan fasilitas telepon seluler. Mengapa? Karena orang semakin tak sabar untuk menunggu. Orang semakin membutuhkan layanan yang cepat dan mungkin setiap saat. Bisnis berbasis kantor dan jam kerja yang konvensional, kini telah bergeser ke arah bisnis berbasis komunikasi yang mobile dan 24 jam. Meski ini tidak berarti bahwa bisnis berbasis kantor dan jam kerja kemudian akan lenyap, namun kekuatan bisnis saat ini tidaklah terutama terletak pada kestatisannya, namun pada kedinamisannya. Pada unsur mobile dan layanan tiada hentinya. Mereka yang mengandalkan kekuatannya pada kantor dan jam kerja, akan dengan segera kalah bersaing merebut konsumen-konsumen baru, dan bahkan mungkin akan ditinggalkan oleh konsumen-konsumen lamanya jika tak segera memutakhirkan basis kerjanya. Inilah dampak budaya berbisnis yang diciptakan oleh telepon seluler. Sebuah dampak yang bukan hanya mengubah budaya kerja, namun juga menentukan nasib sebuah usaha.
Dengan memahami dampak teknologi terhadap budaya bisnis dan konsekuensi ekonominya, maka kita akan bisa memahami mengapa daerah tertinggal yang tidak memiliki ketersediaan fasilitas komunikasi seluler sungguh merana ekonominya. Bahkan, usaha-usaha yang sejak lama berdiri pun bisa runtuh dengan cepat saat gagal mengintegrasikan diri dengan budaya bisnis yang baru, yang berbasis komunikasi seluler.
Ada 75 juta pengguna ponsel di negeri ini. Anggap saja 1%-nya adalah pebisnis, jadi ada sekitar 7,5 juta pebisnis yang menjalankan usahanya berbasis komunikasi seluler. Namun, bagaimana dengan sekian banyak pengusaha lain, terutama di daerah-daerah yang masih belum tersedia fasilitas komunikasi selulernya, atau setidaknya fasilitas komunikasi selulernya masih buruk kualitasnya? Kekalahan maupun ketakberkembangnya bisnis dan ekonomi di daerah-daerah tertinggal bisa dikatakan merupakan konsekuensi salah satunya dari ketiadaan fasilitas komunikasi seluler yang memadai.
Dalam konteks inilah, peran operator seluler sungguh amat penting. Peran operator seluler sesungguhnya tidaklah sekedar pasif dalam artian hanya sekedar memberikan jasa layanan komunikasi seluler kepada pengguna telepon seluler, namun juga bersifat aktif-konstruktif karena seperti yang telah dijelaskan di atas, teknologi seluler telah turut mengubah budaya bisnis dan nasib ekonomi yang ada. Kemampuan operator seluler untuk turut membentuk budaya bisnis yang mobile itulah yang sungguh bernilai. Pembangunan ekonomi daerah tertinggal tak akan berhasil manakala budaya bisnis yang ada tak adaptif dengan kompleksitas dan dinamika bisnis lokal, regional bahkan global. Hanya ketika budaya bisnis berubah mengikuti irama dunia bisnis yang lebih luas, ada harapan cerah bahwa suatu daerah akan dengan cepat terintegrasi dengan arus ekonomi dan bisnis yang lebih luas dan dengan demikian mampu mencapai taraf kemakmuran dan kesejahteraan seperti yang dicitakan. Peran konstruktif dalam membangun budaya bisnis inilah yang dimiliki oleh operator seluler, dan kemampuan konstruktif ini pula yang patut menjadi filosofi dasar dari operator seluler dalam turut membangun daerah tertinggal.
Selama ini secara sadar atau tak sadar, sengaja atau tak sengaja, operator seluler telah turut membantu kemajuan proses pembangunan budaya bisnis yang baru di negeri ini. Bahkan, operator-operator seluler juga telah menunjukkan kepeduliannya pada pembangunan masyarakat lewat program-program corporate social responsibility (CSR). Hanya saja, program-program CSR itu seringkali terkesan lebih bersifat kuratif sebagai penyeimbang dari aktivitas bisnis perusahaan. Dengan kata lain, seolah-olah ada dua aktivitas yang punya tujuan masing-masing. Satunya bertujuan mencari laba, sementara yang lain untuk membagikan sebagian laba tersebut. Meski hal tersebut patut dipuji, namun sesungguhnya antara CSR dan aktivitas bisnis tak perlu dipahami sebagai sesuatu yang berjalan di lajurnya masing-masing jika kita memahami kekuatan konstruktif yang dimiliki oleh operator-operator seluler dalam membangun budaya bisnis dan ekonomi bangsa. Manakala filosofi “Turut Membangun Budaya Bisnis dan Ekonomi Bangsa Ke Arah Kemajuannya” telah disadari dan diadopsi, maka tak akan ada kesan keterpisahan di antara aktivitas mencari laba dan aktivitas sosial. Filosofi tersebut memahami bahwa pencarian laba yang benar ialah yang turut membangun kemajuan dan kekuatan bisnis dan ekonomi bangsa yang hebat, dan sekaligus pembangunan sosial hanya akan bisa dicapai secara sejati lewat profesionalisme usaha dan kerja.
Filosofi itu pula yang ada baiknya menjadi filosofi operator seluler dalam turut membangun percepatan kemajuan daerah tertinggal. Dengan filosofi tersebut, operator seluler akan bisa melihat bahwa aktivitasnya turut membangun daerah tertinggal sesungguhnya bukan merupakan aktivitas kuratif, namun merupakan investasi. Tentu dengan syarat bahwa pihak operator seluler paham bahwa jika kehidupan bisnis dan ekonomi di daerah tertinggal tersebut berkembang, maka siapa pula yang akan menikmati pertambahan pelanggan bisnis baru? Investasi yang dijalankan dengan strategi yang benar, niscaya akan menghasilkan buah bagi penanamnya.

Bagaimana strateginya?
Secara sederhana, strateginya meliputi 3 (tiga) hal, yaitu:
Strategi penyediaan dan penyempurnaan BTS. Strategi ini jelas bersifat teknis, namun amat penting demi kepuasan dan kenyamanan pelanggan di daerah tertinggal. Bagaimana mungkin pelanggan akan senang jika setiap kali sinyal yang didapatnya putus-putus? Menciptakan pelanggan yang loyal memang penting, namun lebih penting lagi untuk menciptakan pelanggan yang advokatif. Pelanggan yang loyal barangkali memang puas, namun cukup sekedar puas. Sementara pelanggan yang advokatif bukan hanya puas, namun menyebarluaskan kepuasannya itu ke sekelilingnya, dan dengan demikian turut mempromosikan operator seluler yang dianggapnya memuaskan. Pelanggan advokatif ini akan tercipta manakala kualitas hubungan seluler yang didapatnya begitu unggul sehingga mendorongnya ingin orang lain mengikuti jejaknya menggunakan operator seluler yang sama. Penyediaan dan penyempurnaan BTS merupakan salah satu cara terbaik untuk menciptakan pelanggan-pelanggan yang advokatif. Jadi, dengan strategi pertama ini, pelanggan punya insentif untuk mengadopsi budaya bisnis baru, di sisi lain operator seluler bisa menjaring pelanggan-pelanggan baru, yang seiring dengan kemajuan ekonomi daerah, akan semakin membesar jumlahnya. Kedua pihak sama-sama senang.
Strategi pengayaan layanan pelanggan. Pelanggan advokatif juga bisa diciptakan dengan cara penyediaan layanan pelanggan yang bermutu dan simpatik. Sikap responsif dan komunikatif, apalagi terhadap kebutuhan kalangan pebisnis dari daerah-daerah tertinggal, sungguh amat bernilai artinya guna menciptakan pelanggan yang advokatif. Usulan, kritik maupun pengaduan dari pelanggan haruslah menjadi alat evaluasi yang berguna untuk semakin menyempurnakan diri menjadi perusahaan yang lebih efektif dan komunikatif. Sikap komunikatif dan bersahabat ini akan bisa menjadi insentif lain bagi pelanggan untuk semakin mantap berbisnis dengan mengandalkan kepercayaan dukungan dari pihak operator seluler.
Strategi pembangunan kemasyarakatan. Karena membangun budaya bisnis dan ekonomi daerah tertinggal itu bukan saja harus diarahkan pada kalangan pengusaha saja, namun pada seluruh lapisan masyarakat sebagai bagian dari mata rantai ekonomi, maka strategi pembangunan kemasyarakatan sangatlah penting juga artinya. Budaya bisnis dan ekonomi yang maju didasarkan pada kualitas-kualitas kecerdasan dan kreativitas. Karena itulah, pihak operator seluler juga perlu turut serta berpartisipasi membangun tradisi berprestasi dan kreatif dari seluruh lapisan masyarakat di daerah tertinggal, terutama kalangan generasi muda. Ketika kualitas kecerdasan dan kreativitas masyarakat daerah berkembang, kualitas kecerdasan dan kreatif itu juga akan merembes ke dalam aktivitas berekonomi mereka, termasuk dalam aktivitas konsumsi. Ketika aktivitas berekonomi semakin cerdas dan kreatif, maka aktivitas itu akan berlangsung dinamis dan progresif. Kebutuhan-kebutuhan baru akan muncul. Agar kebutuhan-kebutuhan baru ini bisa terpenuhi, maka dibutuhkan alat komunikasi untuk bisa berhubungan dengan peyedia-penyedia kebutuhan baru tersebut. Komunikasi seluler jelas jadi pilihan utamanya karena sifatnya yang mobile dan praktis. Jadi, secara tak langsung muncullah kebutuhan komunikasi baru di masyarakat daerah tertinggal. Lagi-lagi, baik pihak masyarakat daerah tertinggal maupun pihak operator seluler senang.

Penutup
Tentu saja, kenyataan tak semudah dan seindah gagasan. Namun, membangun daerah tertinggal sekaligus meletakkan dasar kelestarian bisnis perusahaan operator seluler bukanlah suatu hal yang tak mungkin diwujudkan. Keduanya bahkan harus selalu berjalan sinergis satu sama lain. Perusahaan-perusahaan besar di negara-negara maju telah lama memahami hal ini dengan membangun masyarakat dan bangsanya, lantas mengapa kita tak mulai meneladaninya?

Senin, 01 Oktober 2007

Aneh....


Namanya Mita Marhaeni, dia kost dan satu kamar denganku. Suatu pagi serambi antri menunggu giliran memakai kamar mandi kost ia raih secara serampangan buku untuk dibaca, sedangkan mulutnya masih asyik mendendangkan "mimpi-nya" Anggun yang diteriakkan radio di kamar kami.
Buku yang dibaca Mita berjudul "Karl Marx (Filosof, Wartawan, penulis)" terbitan An-Najah Press buah karya Sabaruddin Tain. Buku tersebut setahuku buku propaganda untuk anak-anak yang dikemas versi komik. Pada sampul buku tersebut terdapat tulisan: Marxisme Sudah Ambruk! Komunisme Telah Gagal! Ada dialog lucu (menurut saya) dalam buku ini: Diceritakan ketika masih muda Marx tidak tertarik bermain dengan kawan-kawan di sekolahnya, hingga kawannya mengkritik Marx, "Marx, kamu kurang gaul!". Lalu Marx menjawab dengan enteng, "Gak papa, daripada kurang mutu!".
Lalu mengapa buku tersebut bertengger di rak buku kami? Begini ceritanya, kira-kira 1 bulan yang lalu secara kebetulan aku menemukan buku tersebut di rak buku khusus anak-anak di toko buku Toga Mas. Kupikir lumayan juga buku ini buat bacaan anak-anak(ku) kelak. Sebelumnya aku juga membeli buku Karl Marx versi komik dengan sampul berwarna ungu muda terbitan Resist. Biar seimbang dan terjadi dialegtika maka kupikir dua buku tersebut yang membahas pandangan Marx dari dua sudut pandang yang berbeda diharapkan akan bermuara pada perdebatan yang berakhir pada kesimpulan secara objektif. Investasi pikirku.
Tapi liat ja mimik Mita saat membaca buku tersebut, seolah buku yang ditangannya tersebut bukan buku propaganda tapi justru lebih mirip buku humor. Aku sendiri enggak yakin apakah humor cerdas seperti layaknya karya Eko Prasetyo atau logika yang mirip lelucon. Bagaimana menurut Anda buku ini? Apakah benar-benar cerdas dan provokatif? Silahkan baca sendiri…